Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN TIFOID

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Medikal Bedah I

Oleh :
Evi Yanti Polina 30140119023K

Program Studi RPL D III Keperawatan


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Santo Borromeus
Bandung
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak tergantung
pada iklim, tetapi di jumpai secara luas di berbagai negara berkembang
terutama yang terletak di daerah tropis dan subtropis. Hal ini disebabkan
karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu
yang kurang baik. Tifoid dapat di temukan sepanjang tahun. Insiden tertinggi
didapatkan pada anak-anak dan tidak ada perbedaan yang nyata antara
insidensi Tifoid pada wanita dan pria.
Data World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah
kasus tifoid di seluruh dunia mencapai 17 juta kasus. Data surveilans saat ini
memperkirakan di Indonesia ada 600 ribu - 1,3 juta kasus dan tiap tahunnya
dengan lebih dari 20.000 kematian. Rata-rata di Indonesia orang yang berusia
3-19 tahun memberikan angka sebesar 91% terhadap kasus tifoid (Aden,
2010).
Di Jawa Barat, prevalensi tifoid menurut Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2009 adalah 2,14 per 1.000 atau menempati urutan kedua
setelah pneumonia.
Tifoid banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat kita, baik di
perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan
kualitas kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan seperti lingkungan kumuh,
kebersihan tempat-tempat umun yang kurang serta perilaku masyarakat yang
tidak mendukung untuk hidup sehat.
Mengacu pada ulasan di atas, betapa tingginya angka penderita tifoid
dan akibat yang ditimbulkan, maka penulis mencoba menyusun pengelolaan
kasus keperawatan dalam bentuk karya ilmiah dengan judul “Asuhan
Keperawatan Pasien Tifoid”
1.2.Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan pendahuluan ini, antara lain sebagai berikut
1.2.1. Tujuan Umum
 Memenuhi tugas dari mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I.
 Menyusun asuhan keperawatan untuk pasien yang mengalami tifoid.
1.2.2. Tujuan Khusus
 Pembaca mampu melakukan pengkajian pada pasien yang mengalami
tifoid.
 Pembaca mampu merumuskan diagnosa pada pasien yang mengalami
tifoid
 Pembaca mampu menyusun intervensi pada pasien yang mengalami
tifoid.
 Pembaca mampu melakukan implementasi pada pasien yang
mengalami tifoid.
 Pembaca mampu melakukan evaluasi pada pasien yang mengalami
tifoid.

1.3.Metode Penulisan
Penulis menggunakan studi kepustakaan sebagai metode penulisan
laporan pendahuluan ini, yaitu mengambil data dari berbagai referensi yang
berhubungan dengan asuhan keperawatan pasien tifoid.

1.4.Sistematika Penulisan
Penulisan asuhan keperawatan ini terdiri dari 3 bab dengan sistematika
sebagai berikut :
JUDUL LUAR
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang penulisan karya ilmiah, tujuan
penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini berisi tentang teori-teori yang mendukung dalam
penulisan karya ilmiah.
BAB III PENUTUP
Bab ini berisi tentang simpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1.Konsep Penyakit
2.1.1. Definisi
Tifoid dan paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus.
Paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukan gambaran klinis yang
sama, atau menyebabkan enteritis akut. Sinonim dengan tifoid adalah
typoid and paratyphoid fever, enteric fever, typhus and paratypus
abdominalis. (Soeparman, 1999, Edisi II, Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta,
FKUI).
Tifoid merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus
yang disebabkan oleh salmonella thypii, penyakit ini dapat ditularkan
melalui makan, mulut atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman
salmonella thypii. (Hidayat Alimul Azis.A, 2006, Edisi I, Pengantar Ilmu
Keperawatan Anak, Jakarta, Salemba Medika).
Tifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan oleh salmonella typhi, salmonella paratyphi A, salmonella
paratyphi B, salmonella paratyphi C. Penyakit ini mempunyai tanda-tanda
khas berupa perjalanan yang cepat berlangsung kurang lebih 3 minggu
disertai gejala demam, nyeri perut, dan erupsi kulit. Penyakit ini termasuk
dalam penyakit daerah tropis dan penyakit ini sangat sering dijumpai di
Asia termasuk di Indonesia (Widodo, 2009).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tifoid
adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella
type A, B dan C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan
minuman yang terkontaminasi.
2.1.2. Anatomi dan Fisiologi
Saluran gastrointestinal adalah jalur (panjang total 23-26 kaki)
yang berjalan dari mulut melalui esophagus, lambung, dan usus sampai
anus.

Gambar 2.1. Anatomi Saluran Gastrointestinal

Esofagus terletak di mediastinum rongga torakal, anterior terhadap


tulang punggung dan posterior terhadap trakea dan jantung. Panjang
esophagus kira-kira 25 cm menjadi distensi bila makanan mlewatinya.
Lambung ditempatkan dibagian atas abdomen sebelah kiri dari
garis tengah tubuh, tepat dibawah diafragma kiri. Lambung adalah suatu
kantung yang dapat berdistensi dengankapasitas kira-kira 1500 ml.
Lambung dapat di bagi ke dalam empat bagian : kardia (jalan masuk),
fundus, korpus, dan pylorus.
Usus halus adalah segmen paling panjang dari saluran
gastrointestinal yang jumlah panjangnya kira-kira dua per tiga dari
panjang total saluran. Bagian ini membalik dan melipat diri yang
memungkinkan kira-kira 7000 cm area permukaan untuk sekresi dan
absorpsi. Usus halus dibagi kedalam 3 bagian, yaitu :
1. Duodenum (bagian atas)
2. Jejunum (bagian tengah)
3. Ileum (bagian bawah)
Pertemuan antara usus halus dan besar terletak dibagian bawah
kanan duodenum. Ini disebut sekum. Pada pertemuan ini yaitu katup
ileosekal, yang berfungsi untuk mengontrol pasase isi usus kedalam usus
besar dan mencegah refluks bakteri ke dalam usus halus. Pada tempat ini
terdapat apendiks veriformis.
Usus besar terdiri dari segmen asenden pada sisi kanan abdomen,
segmen transversum yang memanjang dari abdomen atas kanan ke kiri,
dan segmen desenden pada sisi kiri abdomen. Bagian ujung dari usus besar
terdiri dari dua bagian: kolon sigmoid dan rectum. Rectum berlanjut pada
anus.

2.1.3. Etiologi
Tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi, bakteri
berbentuk basil dan berjenis gram negatif, berflagel (bergerak dengan bulu
getar), anaerob, dan tidak menghasilkan spora, anaerob fakultatif, masuk
dalam keluarga enterobacterisceae, panjang 1-3 um, dan lebar 0.5-0.7um,
berbentuk batang single atau berpasangan.
Gambar 2.2. Bakteri Salmonella Thypi

Salmonella typhi hidup dengan baik pada suhu 37℃. Bakteri ini
dapat hidup pada air steril yang beku dan dingin, air tanah, air laut serta
dapat hidup berbulan-bulan dalam telur yang terkontaminasi dan tiram
beku. Parasit ini dapat dimatikan pada suhu 60℃ selama 15 menit atau
menggunakan antiseptik. Hidup subur pada medium yang mengandung
garam empedu.. Terdapat ratusan jenis bakteri Salmonella, tetapi hanya 4
jenis yang dapat menimbulkan typhoid yaitu:
1. Salmonella thypi, basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar,
tidak berspora. Bakteri ini mempunyai sekurang-kurangnya tiga
macam antigen yaitu:
a. Antigen O (somatik, terdiri dari zat komplek liopolisakarida) :
Merupakan polisakarida yang sifatnya spesifik untuk grup
Salmonella dan berada pada permukaan organisme dan juga
merupakan somatik antigen yang tidak menyebar.
b. Antigen H : Terdapat pada flagella dan dan bersifat termolabil
c. Antigen V1 : Merupakan kapsul yang meliputi tubuh bakteri dan
melindungi antigen O terhadap fagositosis dan protein membrane
hialin.
2. Salmonella paratyphi A
3. Salmonella paratyphi B
4. Salmonella paratyphi C
2.1.4. Patofisiologi dan Pathways
Penularan Salmonella typhi dapat ditularkan melalui berbagai
cara, yang dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan /
kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita tifoid dapat menularkan bakteri
Salmonella typhi kepada orang lain. Bakteri tersebut dapat ditularkan
melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan
dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang
memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan, makanan yang
tercemar bakteri Salmonella typhi masuk ke tubuh orang yang sehat
melalui mulut. Kemudian bakteri masuk ke dalam lambung, sebagian
bakteri akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke
usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan
limpoid ini bakteri berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah
(bakteremia primer) dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel
retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi
darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus
halus dan kandung empedu (Ngastiyah, 2005).
Pada akhir masa inkubasi (5-9 hari), bakteri kembali masuk dalam
darah (bakteremi sekunder) dan menyebar keseluruh tubuh terutama
kedalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak berbentuk
lonjong di atas Plak Peyer. Tukak tersebut dapat mengakibatkan
perdarahan dan perforasi usus. Pada masa bakteremi ini, bakteri
mengeluarkan endotoksin yang mempunyai peran membantu proses
peradangan lokal dimana bakteri ini berkembang.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada tifoid
disebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian
eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan
penyebab utama demam pada tifoid. Endotoksemia berperan pada
patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus
halus. Demam disebabkan karena Salmonella typhi dan endotoksinnya
merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan
yang meradang. Zat pirogen ini akan beredar dalam darah dan
mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang menimbulkan
gejala demam.

Gambar 2.3. Pathway Tifoid


(Sumber: Aplikasi asuhan keperawatan & NANDA NIC-NOC, 2015)
2.1.5. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi bakteri berkisar selama 7 ─ 20 hari, masa inkubasi
terpendek yaitu tiga hari dan terlama selama 60 hari (T.H. Rampengan dan
I.R. Laurentz, 1995). Rata-rata masa inkubasi bakteri selama 14 hari
dengan gejala klinis sangat bervariasi dan tidak spesifik (Pedoman
Diagnosis dan Terapi, Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 1994). Selama masa inkubasi ditemukan gejala prodromal
(gejala awal tumbuhnya penyakit / gejala yang tidak khas) :
1. Perasaan tidak enak badan
2. Lesu
3. Nyeri kepala
4. Pusing
5. Diare
6. Anoreksia
7. Batuk
8. Nyeri otot (Mansjoer, Arif, 1999).
Menyusul gejala klinis yang lain, seperti :
1. Demam, pada kasus yang khas demam berlansung 3 minggu, bersifat
febris remiten dan suhu tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama,
suhu tubuh berangsur-angsur naik tiap hari, biasanya menurun pada
pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari. Dalam minggu
kedua pasien terus berada dalam keadaan demam, pada minggu ketiga
suhu berangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan, pada mulut terdapat panas berbau
tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup
selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan,
jarang disertai tremor. Pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut
kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya sering terjadi konstipasi tetapi juga dapat diare
atau normal.gangguan kesadaran, umumnya kesadaran pasien menurun
walaupun tidak dalam yaitu apatis sampai samnolen, jarang terjadi
spoor, koma, atau gelisah gejala tersebut mungkin terdapat gejala
lainnya. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola,
yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit
yang dapat ditemukan pada minggu pertama

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada klien dengan tifoid adalah
pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :
1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam tifoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia
tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam tifoid, jumlah
leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal
bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada
komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah
leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam tifoid.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada demam tifoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali normal setelah sembuhnya tifoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif, hal itu menandakan demam tifoid, tetapi bila
biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam
typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari
beberapa faktor :
a. Teknik pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium
yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media
biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik
adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia
berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
Biakan darah terhadap Salmonella typhi terutama positif pada
minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya.
Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam tifoid di masa lampau dapat
menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat
menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti
mikroba, pertumbuhan bakteri dalam media biakan terhambat dan
hasil biakan mungkin negatif.
4. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat
dalam serum klien dengan tifoid juga terdapat pada orang yang pernah
divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah
suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.
Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum klien yang disangka menderita tifoid. Akibat infeksi oleh
Salmonella typhi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal
dari tubuh bakteri).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal
dari flagel bakteri).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal
dari simpai bakteri)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien
menderita tifoid.
Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :
1. Faktor yang berhubungan dengan klien :
a. Keadaan umum : Gizi buruk dapat menghambat pembentukan
antibodi.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakitA: aglutinin baru
dijumpai dalam darah setelah klien sakit 1 minggu dan
mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
c. Penyakit – penyakit tertentu : Ada beberapa penyakit yang
dapat menyertai demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan
antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma
lanjut.
d. Pengobatan dini dengan antibiotika : Pengobatan dini dengan
obat anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
e. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat
tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi
karena supresi sistem retikuloendotelial.
f. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi
dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat
meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan
sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-
lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H
pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai
diagnostik.
g. Infeksi klien dengan klinis / subklinis oleh Salmonella
sebelumnya : Keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal
yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.
h. Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer
aglutinin terhadap Salmonella typhi karena penyakit infeksi
dengan demam yang bukan typhoid pada seseorang yang
pernah tertular Salmonella di masa lalu.
2. Faktor-faktor Teknis
a. Aglutinasi silang : beberapa spesies Salmonella dapat
mengandung antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi
aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan reaksi
aglutinasi pada spesies yang lain.
b. Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan
mempengaruhi hasil uji widal.
c. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada
penelitian yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi
antigen dari strain Salmonella setempat lebih baik dari suspensi
dari strain lain.
5. Kultur
a. Kultur darah : Bisa positif pada minggu pertama
b. Kultur urin : Bisa positif pada akhir minggu kedua
c. Kultur feses : Bisa positif dari minggu kedua hingga minggu ketiga
6. Anti Salmonella typhi IgM
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi secara dini infeksi akut
Salmonella typhi, karena antibodi IgM muncul pada hari ketiga dan
keempat terjadinya demam.

2.1.7. Komplikasi
Komplikasi Intestinal
1) Perdarahan usus
Karena perlukaan dinding usus dan ditandai dengan melena.
2) Perforasi usus
Karena bakterinya yang mengakibatkan peradangan usus dan terjadi
pada minggu ke 3, dengan gejala pasien mengeluh sakit perut hebat,
akan lebih nyeri lagi jika ditekan, terlihat tegang (kembung), nadi kecil
dan cepat, TD turun.
3) Ileus paralitik : karena peradangan (inflamasi) usus yang lama sehingga
menyebabkan peristaltik usus berhenti.

Komplikasi Ekstra Intestinal


1) Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, thrombosis.
2) Darah : anemia, trombositopenia.
3) Ginjal : glomerulonefritis
4) Tulang : osteomielitis dan arthritis
5) Neuropsikiatrik : delirium, meningitis, polyneuritis perifer

2.1.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terhadap pasien penderita tifoid terdiri atas 3
bagian, yaitu:
1. Perawatan
Pasien demam typoid perlu dirawat di Rumah Sakit untuk isolasi,
observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai
minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari.
Maksud tirah baring adalah untuk mencegah perdarahan usus.
Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya
kekuatan pasien.
2. Diet
Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori, dan tinggi protein,
tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang maupun
menimbulkan gas.
3. Pengobatan
Obat-obatan yang sering dipergunakan, ialah:
a. Antibiotika, pemberian antibiotika untuk menghentikan dan
memusnahkan penyebaran kuman.
b. Kloramfenicol dosis pertama 4 x 20 mg, hari kedua 4 x 500 mg
diberikan selama demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam
kemudian dosis diturunkan 4 250 mg selama 5 hari.
c. Anti inflamasi, kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan
gangguan kesadaran. Deksametason 1-3 mg/kg BB/ hari IV, dibagi
3 dosis hingga kesadaran membaik.
d. Antipiretik, tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap pasien
demam tifoid, seperti : parasetamol.
e. Antiemetik, diberikan bila mual dan muntah.
f. Diberi cairan dan elektrolit untuk mencegah dehidrasi.
2.1.9. Discharge Planning
Discharge planning atau cara mencegah diri dari penyakit typhoid yaitu
dengan cara sebagai berikut :
1. Meningkatkan hygiene sanitasi makanan dan lingkungan.
Pencegahan utama dalam penyebaran penyakit ini yaitu dengan
meningkatkan hygiene sanitasi makanan dan lingkungan seperti
membiasakan cuci tangan dengan bersih setelah BAB dan sebelum
makan.
2. Vaksinasi.
Vaksinasi dengan menggunakan vaksin T.A.B (mengandung basil
thypoid dan parathypoid A dan B yang dimatikan ) yang diberikan
subkutan 2 atau 3 kali pemberian dengan interval 10 hari merupakan
tindakan yang praktis untuk mencegah penularan
demam thypoid. Jumlah kasus penyakit itu di Indonesia cukup tinggi,
yaitu sekitar 358-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Suntikan
imunisasi thypoid boleh dilakukan setiap dua tahun manakala vaksin
oral diambil setiap lima tahun. Bagaimanapun, vaksinasi tidak
memberikan jaminan perlindungan 100 persen.
3. Minum air yang telah dimasak.
Masak air sekurang-kurangnya lima menit penuh (apabila air sudah
masak, biarkan ia selama lima menit lagi). Buat es batu menggunakan
air yang dimasak. Makan makanan yang baru dimasak. Jika terpaksa
makan di warung, pastikan makanan yang dipesan khas dan berada
dalam keadaan `berasap’ karena baru diangkat dari dapur. Tutup
semua makanan dan minuman agar tidak dihinggapi lalat dan letakkan
makanan ditempat tinggi.
4. Gunakan penjepit, sendok, atau garpu bersih untuk mengambil
makanan.
Buah-buahan hendaklah dikupas dan dibilas sebelum dimakan. Cuci
tangan dengan sabun dan air bersih sebelum menyedia atau memakan
makanan,membuang sampah sarap, memegang bahan mentah atau
selepas membuang air besar. Dengan hal-hal tersebut, kita akan
mengurangi jumlah insiden typhoid yang seharusnya hal-hal tersebut
merupakan kewajiban sehari-hari dan bukan hanya diterapkan saat
sedang musim wabah.
Pilih tempat dan peralatan makanan yang bersih. Sebaiknya membuat
makanan sendiri daripada membeli makanan atau minuman dari penjaja
jalanan terutama yang menjual minuman dingin. Bersihkan tempat
perkembangbiakan lalat – lalat. Segeralah periksa ke dokter jika
mengalami tanda-tanda terkena typhoid.

2.2.Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai