Anda di halaman 1dari 12

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019

ISSN 0000-0000
Yogyakarta, 08 Oktober 2019

BATIK FUNGSIONAL SEBAGAI SALAH SATU STRATEGI PENGEMBANGAN


INDUSTRI BATIK DALAM MEMASUKI ERA INDUSTRI 4.0
Functional Batik As One Of The Batik Industries Development Strategy In Entering
The 4.0 Industrial Era

Istihanah Nurul Eskani¹, Agus Haerudin1, Joni Setiawan1, Dwi Wiji Lestari1, Isnaini1, Widi Astuti2
¹Balai Besar Kerajinan dan Batik, Jl. Kusumanegara No. 7 Yogyakarta 55166
2
Balai Penelitian Teknologi Mineral, LIPI, Jl. Ir. Sutami, Lampung Selatan, Lampung 35361

Korenspondesi Penulis
Email : hana.eskani@gmail.com

Kata kunci: batik fungsional, industri 4.0, nanoteknologi, antibakteri


Keywords: functional batik, industry 4.0, nanotechnology, antibacterial

ABSTRAK
Industri 4.0 merupakan fase baru dalam revolusi industri pada abad ini yang berfokus pada
interkonektivitas, machine learning dan real time data. Pada tanggal 4 April 2018 pemerintah Indonesia
telah menetapkan program ‘Making Indonesia 4.0’, sebuah rumusan strategi yang merupakan peta jalan
terintegrasi untuk memasuki era Revolusi Industri 4.0 (4 IR). Salah satu sektor yang menjadi fokus
penerapan 4 IR yaitu industri tekstil yang menargetkan Indonesia menjadi produsen functional clothing
terkemuka pada tahun 2030. Industri batik yang merupakan bagian dari industri tekstil harus bisa
mengambil peran di era industri 4.0 ini agar keberadaannya tetap terjaga. Makalah ini menjelaskan salah
satu strategi yang dapat dilakukan oleh industri batik dalam era industri 4.0, yaitu pengembangan batik
fungsional. Batik fungsional merupakan batik yang memiliki fungsi lebih dari sekadar sebagai bahan
pakaian, namun bahan tersebut dapat bersifat antibakteri, antiUV, hidrofobik (anti air), tidak mudah
kusut dan tidak mudah kotor (self cleaning). Pengembangan batik fungsional dapat dilakukan dengan
mengaplikasikan agen finishing fungsional pada kain, antara lain agen antibakteri komersial, agen
finishing dari bahan alami dan aplikasi nanoteknologi menggunakan nanopartikel. Aplikasi nanopartikel
selain dapat memberikan fungsi lebih pada batik juga dapat meningkatkan kualitas pewarnaannya.
Pengembangan batik fungsional diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk batik dan
melestarikan batik di era industri 4.0.

ABSTRACT
Industry 4.0 is a new phase in the industrial revolution of this century which focuses on interconnectivity,
machine learning and real time data. On 4 April 2018 the Indonesian government established the
'Making Indonesia 4.0' program, an integrated road map for entering the 4.0 Industrial Revolution (4 IR)
era. One of the focus sector on the application of 4 IRs is the textile industry which targets Indonesia to
become a leading functional clothing producer by 2030. The batik industry which is part of the textile
industry must be able to take a role in this 4.0 industry era to maintain its existence. This paper explains
one strategy that can be carried out by the batik industry in the 4.0 industrial era, that is the
development of functional batik. Functional batik is batik that has a function more than just clothing,
but these materials can be antibacterial, anti-UV, hydrophobic (waterproof), anti wrinkled and self
cleaning. The Development of functional batik can be done by applying functional finishing agents to
the fabric, including commercial antibacterial agents, finishing agents from natural materials and
nanotechnology applications using nanoparticles. Application of nanoparticles is not only to provide
B4-1
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 36 No. 1, Juni 2019

more functions to batik but also it can improve the quality of its coloring. The development of functional
batik is expected to increase the competitiveness of batik products and preserve batik in the 4.0
industrial era.

B4-2
Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik, Oktober 2019

PENDAHULUAN
Saat ini kita telah memasuki era Revolusi Industri 4.0 atau Fourth Industrial Revolution
(4IR) yang disinyalir akan memberikan perubahan di berbagai bidang kehidupan manusia. Di
bidang otomotif, keberadaan mobil tanpa pengemudi akan menyebabkan sopir angkutan
kehilangan pekerjaannya. Di bidang ritel, pada 2015 amazon dan e-bay mengalami
pertumbuhan 10% sedangkan Macys di AS menutup 100 toko nya pada Juni 2016 dan
Mitsukashi di Jepang menutup 4 toko di akhir 2016 (Nugraha, 2018). Keberadaan drone akan
berdampak di berbagai bidang. Di bidang pertanian drone digunakan untuk memonitor
tanaman sehingga diketahui waktu panen secara presisi. Drone juga digunakan dalam
pengiriman barang, pembuatan film juga monitoring lalu lintas. Di industri manufaktur,
pekerja akan digantikan oleh robot. Adidas membangun pabrik ‘speed factory’ yang
sepenuhnya otomatis di Jerman. Sepuluh robot menghasilkan 500.000 pasang sepatu per
tahun sedangkan apabila dikerjakan oleh pekerja manusia membutuhkan lebih dari 600
pekerja. Dokter dan pengacara pun akan digantikan oleh Artificial Inteligent (AI). Firma hukum
AS menggunakan robot untuk menangani kasus pailit, MD Anderson cancer centre
mempekerjakan IBM AI yang memiliki akurasi 96%. Pada tahun 2019 ini Balai Besar Kerajinan
dan Batik Kementerian Perindustrian mengembangkan Batik Analyzer, alat pembeda batik dan
bukan batik yang berbasis pada AI. Di bidang pendidikan banyak bermunculan kursus online
yang meminimalisir tatap muka di kelas.
Revolusi Industri 4.0 mencakup beragam teknologi canggih, seperti kecerdasan buatan
(AI), Internet of Things (IoT), wearables, robotika canggih, 3D printing, neuro-bioteknologi dan
nano teknologi (Nugraha, 2018; Haryono, 2018). Indonesia menetapkan fokus pada lima sektor
utama untuk penerapan awal dari teknologi ini, yaitu (a) makanan dan minuman, (b) tekstil
dan pakaian, (c) otomotif, (d) kimia, dan (e) elektronika. Kelima sektor tersebut dipilih menjadi
fokus setelah melalui evaluasi dampak ekonomi dan kriteria kelayakan implementasi yang
mencakup ukuran PDB, perdagangan, besaran investasi, potensi dampak terhadap industri lain
dan kecepatan penetrasi pasar. Indonesia akan mengevaluasi strategi dari setiap fokus sektor
setiap tiga sampai empat tahun untuk meninjau kemajuannya dan mengatasi tantangan
pelaksanaannya (Hartarto, 2018). Di bidang tekstil dan pakaian ditargetkan pada tahun 2030
Indonesia menjadi produsen functional clothing yang terkemuka. Strategi yang dilakukan
adalah : (1) Meningkatkan kemampuan di sektor hulu, fokus pada produksi serat kimiawi dan
bahan pakaian dengan biaya yang lebih rendah dan berkualitas tinggi untuk meningkatkan
daya saing di pasar global. (2) Meningkatkan produktifitas manufaktur dan buruh melalui
penerapan teknologi, optimalisasi lokasi pabrik serta peningkatan ketrampilan. Lebih lanjut,
seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pergeseran permintaan dari pakaian dasar (basic
clothing) menjadi pakaian fungsional, Indonesia harus mampu untuk (3) membangun
kemampuan produksi functional clothing dan (4) meningkatkan skala ekonomi untuk
memenuhi permintaan functional clothing yang terus berkembang, baik di pasar domestik
maupun ekspor (Hartarto, 2018).

B4-3
Batik merupakan karya adiluhung bangsa Indonesia yang telah mendapatkan pengakuan
dari UNESCO pada 2 Oktober 2009 sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity yang
berasal dari Indonesia. Menurut SNI 0239:2014 istilah batik diartikan dengan kerajinan tangan
sebagai hasil pewarnaan rintang menggunakan malam panas yang dilekatkan dengan canting
(cap maupun tulis) yang membentuk motif/makna (BSN, 2014). Batik telah menjadi bagian
dalam kehidupan bangsa Indonesia. Saat ini batik digunakan dalam kehidupan sehari-hari baik
sebagai pakaian maupun peralatan rumah tangga. Masyarakat menggunakan batik dari
kelahiran bayi sebagai gendongan, bedong, pakaian, sampai pada upacara kematian. Oleh
karena itu sangat penting dikembangkan batik fungsional. Batik fungsional merupakan batik
yang memiliki fungsi lebih dari sekadar sebagai bahan pakaian, namun bahan tersebut dapat
bersifat antibakteri, antiUV, hidrofobik (anti air), tidak mudah kusut dan tidak mudah kotor
(self cleaning). Bahan baku pembuatan batik adalah kain, perintang warna berupa malam/lilin
batik dan zat warna. Kain yang biasa digunakan adalah kain dari serat alami yang mudah
menyerap warna seperti katun dan sutera. Proses pembatikan dilakukan dengan melekatkan
malam/lilin panas yang berfungsi sebagai perintang warna menggunakan alat canting cap
atau canting tulis. Selanjutnya dilakukan proses pewarnaan, dapat menggunakan zat warna
alam maupun zat warna sintetis. Setelah proses pewarnaan dilakukan proses pelepasan malam
dengan cara kain direbus pada air mendidih. Proses perebusan ini dilakukan dua kali, yang
terakhir dengan larutan soda abu untuk mematikan warna yang menempel pada batik dan
menghindari kelunturan. Kain batik yang sudah direbus selanjutnya di cuci hingga bersih dan
dijemur ditempat yang teduh (Ristiani, 2017).
Industri batik termasuk dalam industri kreatif yang telah memberikan kontribusi besar
dalam perekonomian Indonesia. Pada 2018, ekspor batik senilai USD 52,44 juta atau setara
Rp.734 miliar. Kemenperin menargetkan nilai ekspor batik nasional dapat meningkat hingga
6-8 persen pada tahun 2019. Industri batik merupakan industri padat karya yang telah banyak
menyerap tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja yang terserap dari sektor hulu
seperti weaving dan dyeing hingga sektor industri batik sebanyak 628 ribu orang. Sementara
itu, pekerja di industri batik sendiri mencapai sepertiganya atau 212 ribu orang. Dengan tipe
industri yang demikian, industri batik harus memiliki strategi dalam menghadapi era industri
4.0. Apabila dilakukan otomatisasi di industri batik akan menyebabkan hilangnya lapangan
pekerjaan ribuan orang, maka perlu dipilih strategi yang tepat dalam transformasi industri
batik menuju industri 4.0. Sejalan dengan strategi yang telah dirumuskan pemerintah yaitu
membangun kemampuan produksi functional clothing, maka pengembangan batik fungsional
merupakan strategi yang tepat bagi industri batik dalam memasuki era industri 4.0. Makalah
ini menjelaskan beberapa metode yang dapat digunakan untuk pembuatan batik fungsional,
dari metode konvensional menggunakan senyawa-senyawa komersial yang digunakan
sebagai agen penyempurnaan/finishing sampai pada metode menggunakan nanoteknologi.

B4-4
METODOLOGI PENELITIAN
Penulisan makalah ini menggunakan metode deskriptif kualitatif bersumber dari data
primer dan sekunder.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pembuatan tekstil fungsional dapat dilakukan dengan melakukan modifikasi permukaan
kain menggunakan agen finishing yang memberikan efek tertentu pada kain tersebut, antara
lain antibakteri, antiUV, anti kusut, anti kotor atau anti air. Modifikasi permukaan kain dapat
dilakukan secara perendaman, penyemprotan (spraying), cara kimia dengan pembentukan
ikatan kovalen/grafting polimeryzation dan pad-dry-cure method (Novarini & Wahyudi, 2011).
Metode kimia dengan pembentukan ikatan kovalen hanya dapat dilakukan pada kain dari serat
alami dan serat regenerasi seperti katun, wool dan viscose. Agen finishing yang digunakan
juga hanya yang reaktif tinggi seperti aldehida, gugus alkil terhalogenasi, epoxide dan asil
klorida (Winiati et al., 2016). Metode pad-dry-cure merupakan metode yang biasa digunakan
dalam penyempurnaan tekstil. Bahan tekstil direndam terlebih dulu dalam larutan agen
finishing kemudian dilakukan padding dengan alat pad mangle sampai tercapai wet pick up
(WPU) 70%-80% kemudian dilakukan drying (pengeringan) pada suhu 80oC selama + 5 menit
dan curing pada suhu 130oC-150oC selama + 3 menit menggunakan mesin stenter. Pada
proses batik, modifikasi permukaan kain dapat dilakukan sebelum proses pembatikan
(pelekatan malam) atau setelah proses pelorodan (penghilangan malam).

(a) (b)
Gambar 1. Proses padding menggunakan alat pad mangle (a), Proses drying dan curing
menggunakan mesin stenter (b)

Beberapa senyawa yang dapat digunakan untuk pembuatan batik fungsional dijelaskan
sebagai berikut.

B4-5
Agen Antibakteri Komersial
Finishing menggunakan agen antibakteri komersial merupakan metode finishing
konvensional yang sudah banyak dilakukan di industri tekstil. Agen antibakteri komersial
antara lain Triclosan, N-Halamine, Senyawa ammonium kuartener, dan Polybiguanides (Islam
et al., 2017). Triclosan merupakan senyawa halogen yang banyak digunakan sebagai biosida
dalam deterjen dan peralatan rumah tangga termasuk tekstil dan plastik. Triclosan telah teruji
sebagai agen antibakteri dalam kain katun terhadap bakteri Eschericia coli dan Staphylococcus
aureus. Mekanisme antibakteri dengan memblokir biosintesa lipid sehingga menghambat
pertumbuhan bakteri. Untuk meningkatkan daya tahannya terhadap pencucian, triclosan biasa
digunakan dengan agen cross-linking asam polikarboksilat. N-Halamine memiliki satu atau
dua ikatan kovalen antara nitrogen dan sebuah atom halogen, biasanya Chlor. Substitusi
elektrofilik atom Chlor dengan Hidrogen dalam air menyebabkan transfer ion Cl + yang dapat
menghalangi proses metabolisme mikroorganisme seperti bakteri, virus dan jamur. Senyawa
ammonium kuartener memiliki kutub positif pada atom nitrogen yang dapat berinteraksi
dengan kutub negatif dari membrane sel bakteri kemudian mengubah fungsi sel yang
menyebabkan bakteri tersebut mati. Polybiguanides banyak digunakan sebagai agen
antiseptik, terutama dalam pengobatan untuk pencegahan infeksi. Senyawa ini juga banyak
digunakan dalam finishing tekstil terutama untuk melindungi serat selulosa dari
mikroorganisme. Untuk membuat batik antibakteri, agen antibakteri komersial dapat
diaplikasikan di akhir proses (setelah proses pelorodan) dengan metode pad-dry-cure seperti
yang dijelaskan sebelumnya.

(a) (b)

(c)
Gambar 2. Rumus kimia beberapa agen antibakteri komersial (a) Triclosan (b) Senyawa
Ammonium Kuartener dan (c) Polybiguanides (Islam et al., 2017)

Agen Finishing dari Senyawa Alami


Kesadaran akan pelestarian lingkungan menyebabkan berkembangnya bahan–bahan
alami dalam penyempurnaan tekstil. Kitosan [β(1,4)-2-amino-2-deoksi-D-glikopiranosa]

B4-6
merupakan biopolymer yang disintesa dari deasetilasi kitin [β(1,4)-2-asetomido-2-deoksi-D-
glikopiranosa]. Kitin banyak terkandung dalam udang, kepiting, serangga dan crustacea
lainnya. Kitosan dapat menghambat pertumbuhan bakteri karena memiliki atom N bermuatan
positif yang akan berikatan dengan residu muatan negatif yang terdapat dalam permukaan
bakteri sehingga menyebabkan terjadinya perubahan permukaan dan permeabilitas sel dan
akhirnya sel bakteri menjadi rusak (Winiati et al., 2016). Para peneliti telah banyak melakukan
riset penggunaan kitosan sebagai penyempurna tekstil. Pelapisan kain katun dengan kitosan
menggunakan cross linker asam sitrat telah memberikan sifat antibakteri terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan meningkatkan ketuaan warna kain tersebut pada pewarnaan
dengan zat warna alam indigo (Purnawati, 2018). Kain sutera yang terlebih dahulu dilakukan
proses degumming dan asilasi kemudian dilapisi dengan nanopartikel kitosan dan diwarna
dengan ekstrak Henna, memiliki ketahanan luntur warna terhadap gosokan yang lebih baik
daripada kain tanpa pelapisan nano kitosan (Erdawati et al., 2013). Kitosan telah diaplikasikan
sebagai fiksator pewarnaan batik warna alami di IKM batik Asih Matahari Blitar dengan metode
pre mordanting (pelapisan kitosan pada kain sebelum proses pembatikan), meta/simultan
mordanting (kitosan dicampurkan dalam zat warna alam) dan post mordanting (pelapisan
kitosan setelah proses pewarnaan) (Maharani et al., 2019). Fiksasi kain katun dengan kitosan
juga dapat dilakukan secara kimia melalui pembentukan ikatan kovalen (Winiati et al., 2014).
Kain katun terlebih dulu dioksidasi menggunakan Kalium periodat sehingga terbentuk gugus
aldehida yang akan berikatan dengan gugus amina pada kitosan.
Beberapa zat warna alam yang diekstrak dari tumbuhan juga ada yang memiliki fungsi
lain disamping menimbulkan warna. Biji kakao yang dapat digunakan sebagai zat warna alam
batik juga mengandung polifenol yang memiliki daya hambat terhadap bakteri (Kusuma, et
al., 2013). Ekstrak kulit buah manggis memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus
aureus dan Staphylococcus epidermidis pada konsentrasi minimal 3,125% (Poeloengan &
Praptiwi, 2010). Ekstrak kayu secang yang biasa digunakan untuk pewarna alami merah
mengandung flavonoid dan terpenoid yang dapat menghambat pertumbuhan jamur
Aspergillus niger dan Candida albicans (Karlina et al., 2016) . Bixin dari Bixa orellana, quercetin
dari kulit bawang merah, acacetin dari Acacia nilotica dapat digunakan sebagai pewarna tekstil
sekaligus memberikan tambahan fungsi seperti antibakteri dan anti UV. Beberapa tanaman
herbal selain zat warna alami juga mengandung zat antimikroba dan digunakan dalam
finishing tekstil antara lain lidah buaya, tea tree oil dan minyak kayu putih (Islam et al., 2017).

B4-7
Gambar 3. Struktur kimia kitosan

Fungsional Finishing via Nanoteknologi


Nanoteknologi merupakan ilmu yang mempelajari partikel dalam rentang ukuran 1-100
nm. Nanopartikel merupakan bagian dari nanoteknologi yang sangat popular dan
berkembang pesat karena dapat diaplikasikan secara luas seperti dalam bidang pertanian,
lingkungan, elektronik, optis, dan biomedis (Suwarda & Maarif, 2013). Ukuran 1 nanometer
sama dengan 10-9 meter. Sebagai ilustrasi ukuran nanometer ini, jika dianggap bahwa jari-jari
bumi ini adalah 1 meter, maka jari-jari sepakbola adalah sekitar 1 nanometer (Dwandaru,
2012). Material nano dalam berbagai bentuk seperti nano partikel logam, oksida logam dan
nano komposit telah banyak digunakan dalam fungsionalisasi tekstil untuk memberikan sifat
anti UV, antibakteri, konduktif, anti kotor dan anti air. Nanopartikel tersebut dapat
diaplikasikan pada permukaan tekstil dengan beberapa cara, antara lain in situ sintesis di
permukaan tekstil, penyemprotan (spraying) dan wet processes (perendaman).
Nanopartikel yang biasa digunakan adalah nanopartikel perak, Titanium dioksida (TiO2)
dan seng oksida (ZnO). Nanopartikel perak memiliki aktivitas antibakteri yang kuat dan
menghasilkan warna yang berbeda-beda tergantung pada ukuran dan bentuknya (Islam et al.,
2017). Koloid perak memiliki sifat yang khas dan merupakan bahan konduktivitas yang baik,
dapat berfungsi sebagai katalis, stabil secara kimiawi dan memiliki aktivitas sebagai anti
bakteri. Telah dibuktikan bahwa dalam konsentrasi rendah, perak tidak bersifat toksik terhadap
sel manusia (Saputra et al., 2011). Nanopartikel perak memperlihatkan kemampuan dalam
menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus 30% lebih kuat dibanding terhadap
bakteri Escherichia coli (Wahyudi et al., 2011). Titanium dioksida (TiO2) digunakan untuk
fungsionalisasi tekstil jenis katun, wool maupun serat sintetik yang dapat memberikan sifat
antibakteri, anti UV dan self cleaning (anti kotor) (Islam,2016). Aplikasi komposit
TiO2/Ag/kitosan pada kain kasa dapat menghambat pertumbuhan bakteri E.coli sebesar
98,66% dan bakteri S. aureus sebesar 71,47% (Purnawan et al., 2014). Komalasari & Sunendar
(2013) mengaplikasikan TiO2 pada kain katun dengan cross linking kitosan yang dapat
memberikan sifat anti UV. Kain sutera yang anti UV berhasil dibuat oleh Zhang dengan
impregnasi Hyperbranched polymer –TiO2 (HPB-TiO2) pada kain (Zhang et al., 2015)
Seng Oksida (ZnO) memiliki beberapa kelebihan antara lain lebih murah dan memiliki
aktivitas yang kuat walaupun dalam jumlah kecil. Seng oksida banyak dipakai sebagai agen

B4-8
finishing pada tekstil, coating, kosmetik dan serat selulosa untuk menghambat pertumbuhan
bakteri. Seng Oksida dikenal sebagai antibakteri yang bagus karena tahan pada kondisi proses
yang keras dan aman bagi manusia maupun binatang (Dimapilis et al., 2018). Kemampuan
antibakteri ZnO disebabkan karena kemampuannya menghambat oksidasi sel bakteri. Ion Zn+
dari seng oksida akan berinteraksi dengan senyawa thiol dari enzim pernapasan bakteri yang
akan menghambat pernapasan sehingga bakteri tersebut mati (Mishra et al., 2017). Aplikasi
seng oksida pada kain katun dengan binder poliakrilat 1% dapat menghambat pertumbuhan
bakteri 93% untuk bakteri Eschericia coli dan 97% untuk bakteri Staphylococcus aureus
(Novarini & Wahyudi, 2011).

(a) (b)
Gambar 4. Aktivitas antibakteri kain (a) Tanpa ZnO : tidak terlihat zona inhibisi di sekitar
kain, (b) Kain diaplikasi ZnO : terlihat zona inhibisi di sekitar kain

Gambar 5. Kain batik yang diaplikasi ZnO memiliki warna yang lebih tua (serapan warna
lebih kuat)

Aplikasi seng oksida pada kain selain dapat memberikan sifat antibakteri juga dapat
meningkatkan kualitas pewarnaannya. Kain katun yang sebelumnya telah dilakukan proses
karboksimetilasi kemudian diaplikasi menggunakan seng oksida dan titanium isopropoxide
memiliki sifat antimikroba dan ketahanan luntur warna yang baik (Mohamed, et al., 2016).
Tavanaie (2017) mengaplikasikan ZnO-TiO2-PET (Polietilen Tereptalat) pada kain dan

B4-9
mendapatkan serapan warna dan ketahanan luntur warna yang sangat bagus ( excellent).
Aplikasi ZnO pada kain juga dapat memberikan sifat antiUV. Pelapisan ZnO bersama binder
poliakrilat 5% dengan pengulangan proses padding-drying hingga 2 kali, memberikan sifat
anti UV yang baik pada kain katun kanvas (Sugiyana et al., 2018). Suatu permukaan dikatakan
anti air atau hidrofobik apabila cairan yang diteteskan di atas permukaan membentuk butiran
air dengan sudut kontak cukup besar. Seperti pada Gambar 6, permukaan yang memiliki sudut
kontak lebih dari 90o dapat dikatakan sebagai permukaan yang hidrofobik (Rohaeti, 2017).
Seng oksida (ZnO) dan asam stearat yang diaplikasikan pada kain katun dengan teknik
penyemprotan-perendaman dapat memberikan sifat hidrofobik/anti air dengan sudut kontak
air lebih dari 90o (Mulyawan et al., 2019).

Gambar 6. Sudut Kontak permukaan (Rohaeti, 2017)

Beberapa metode pembuatan batik fungsional yang telah disebutkan di atas,


nanoteknologi merupakan teknologi baru di industri batik. Nanopartikel yang memiliki ratio
luas permukaan per volume yang besar, memberikan sifat-sifat unggul dan spesifik apabila
diaplikasikan pada material tekstil. Teknologi aplikasi yang sederhana memungkinkan bagi
industri batik untuk membuat batik fungsional via nanoteknologi, namun yang perlu dikaji
lebih lanjut adalah nilai ekonominya. Sumber daya alami Indonesia yang berlimpah dengan
sumber bijih mineral di pulau-pulaunya yang banyak sangat potensial untuk disintesa menjadi
nanopartikel yang sangat bermanfaat di berbagai bidang kehidupan. Dengan produksi
nanopartikel dalam negeri diharapkan harganya akan lebih terjangkau bagi masyarakat
industri di Indonesia.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Batik fungsional merupakan batik yang memiliki fungsi lebih dari sekadar sebagai bahan
pakaian, namun bahan tersebut dapat bersifat antibakteri, anti UV dan hidrofobik (anti air).
Pengembangan batik fungsional merupakan salah satu strategi bagi industri batik dalam
memasuki era industri 4.0 yang sejalan dengan strategi pemerintah dalam ‘Making Indonesia
4.0’, yaitu membangun kemampuan produksi functional clothing. Pembuatan batik fungsional
dapat menggunakan agen antibakteri komersial, agen finishing dari senyawa alami dan nano
teknologi. Aplikasi nanoteknologi di industri batik dapat dilakukan dengan pelapisan
nanopartikel pada kain sebelum maupun setelah diproses batik dengan metode pad-dry-cure.

B4-10
Pengembangan batik fungsional via nanoteknologi memerlukan dukungan pemerintah antara
lain dengan produksi nanopartikel dalam negeri sehingga harganya akan lebih terjangkau.

Saran
Perlu dikaji tekno ekonomi pembuatan batik fungsioal via nanoteknologi.

KONTRIBUSI PENULIS
Kontributor utama : Istihanah Nurul Eskani, penulis yang lain sebagai kontributor anggota.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi yang telah memberikan dana INSINAS untuk penelitian ini, juga Balai Besar Kerajinan
dan Batik serta tim peneliti batik antibakteri sehingga penelitian dapat berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
BSN. (2014). SNI 0239:2014, Batik - Pengertian dan Istilah. Jakarta, Indonesia: Badan Standardisasi
Nasional.
Dimapilis, E. A., Hsu, C., Marie, R., Mendoza, O., & Lu, M. (2018). Zinc oxide nanoparticles for water
disinfection. Sustainable Environment Research, 28(2), 47–56.
https://doi.org/10.1016/j.serj.2017.10.001
Dwandaru, W. S. B. (2012). Aplikasi Nanosains dalam Berbagai Bidang Kehidupan: nanoteknologi. In
Seminar Regional Nanoteknologi (pp. 1–9). Ypgyakarta.
Erdawati, Nuryadin, S., & Purwanto, A. (2013). Pelapisan kain sutera nano partiket kitosan untuk
meningkatkan ketahanan warna. JRSKT, 3(1), 229–238.
Hartarto, E. (2018). Making Indonesia 4.0. Jakarta.
Haryono, I. (2018). Kebijakan Kemenperin dalam Program Making Industrial Relations Making Indonesia.
In 5th Industrial Relations Conference. Jakarta.
Islam, S., Shabbir, M., & Mohammad, F. (2017). Insights into the Functional Finishing of Textile Materials
Using Nanotechnology. Textiles and Clothing Sustainability, 97–115. https://doi.org/10.1007/978-
981-10-2188-6
Karlina, Y., Adirestuti, P., Agustini, D. M., Fadhillah, N. L., & Malita, D. (2016). Pengujian Potensi Antijamur
Ekstrak Air Kayu Secang Terhadap Aspergillus niger Dan Candida albicans. Chimica et Natura Acta,
4(2), 84–87.
Komalasari, M., & Sunendar, B. (2013). Penggunaan TiO2 Partikelnano Hasil Sintesis Berbasis Air
Menggunakan Metoda Sol-Gel Pada Bahan Kapas Sebagai Aplikasi Untuk Tekstil Anti Uv. Arena
Tekstil, 28(1), 16–21.
Kusuma, Y. T. C., Suwasono, S., & Yuwanti, S. (2013). Pemanfaatan Biji Kakao Inferior Campuran Sebagai
Sumber Antioksidan Dan Antibakteri. Berkala Ilmiah Pertanian, 1(November), 33–37.
Maharani, D. K., Tjahjani, S., & Kusumawati, N. (2019). Pewarnaan Batik Tulis Menggunakan Pewarna
Alami Dan Bahan Fiksasi Kitosan Pada Kelompok Batik Tulis Asih Matahari Kota Blitar. ABDI, 4(2),
55–58.
Mishra, P. K., Mishra, H., & Ekielski, A. (2017). Zinc oxide nanoparticles : a promising nanomaterial for
biomedical applications. Drug Discovery Today, 6446(17).
https://doi.org/10.1016/j.drudis.2017.08.006
Mohamed, F. A., Ibrahim, H. M., El-kharadly, E. A., & El-alfy, E. A. (2016). Improving Dye ability and

B4-11
antimicrobial properties of Cotton Fabric, 6(02), 119–123.
https://doi.org/10.7324/JAPS.2016.60218
Mulyawan, A. S., Nugraha, J., Wijayanti, R. B., Sana, A. W., & Sugiyana, D. (2019). Studi Peningkatan Sifat
Tahan Air Kain Kapas Dengan Modifikasi Teknik Coating Menggunakan Suspensi Zno Dan Asam
Stearat. Arena Tekstil, 34(1), 35–40.
Novarini, O. E., & Wahyudi, T. (2011). Sintesis Nanopartikel Seng Oksida (ZnO) Menggunakan Surfaktan
Sebagai Stabilisator dan Aplikasinya pada Pembautan Tekstil Antibakteri. Arena Tekstil, 26(2), 81–
87.
Nugraha, D. (2018). Transformasi Sistem Revolusi Industri 4.0 .
Poeloengan, M., & Praptiwi. (2010). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Buah Manggis (Gardnia
mangostana Linn). Media Litbang Kesehatan, XX(30), 65–69.
Purnawan, C., Martini, T., Rawiningtyas, S., & Zidni, Z. (2014). Aktivitas antibakteri Kain Kasa terlapisi
TiO2/Ag Amorf, Ag, dan Kitosan/Ag terhadap Bakteri Gram Negatif dan Positif. Jurnal Manusia
Dan Lingkungan, 21(1), 30–33.
Purnawati, I. (2018). Pengaruh Pelapisan nanokitosan Cross linker Asam sitrat terhadapo Dyeability zat
warna alam indigo dan aktivitas antibakteri pada kain katun. Universitas Gadjah Mada.
Ristiani, S. (2017). Pengembangan Teknik Smock pada Batik Untuk Meningkatkan Daya Saing Produk
Fesyen. Yogyakarta.
Rohaeti, E., & Yogyakarta, U. N. (2017). The Hydrophobicity and the Antibacterial Activity of Polyester
Modified With Silver Nanoparticle and Hexadecyltrimethoxysilane
https://doi.org/10.20884/1.jm.2017.12.1.295
Saputra, A. H., Haryono, A., Arya, J., & Anshari, M. H. (2011). Preparasi Koloid Nanosilver dengan berbagai
jenis reduktor sebagai bahan antibakteri. Jurnal Sains Material Indonesia, 12(3), 202–208.
Sugiyana, D., Septiani, W., Mulyawan, A. S., Wahyudi, T., & Tekstil, B. B. (2018). Pengembangan Tekstil
Untuk Atap Anti Ultraviolet Dengan Aplikasi Nanopartikel Zno Menggunakan Modifikasi Metode
Padding. Arena Tekstil, 33(2), 75–84.
Suwarda, R., & Maarif, M. S. (2013). Pengembangan inovasi teknologi nanopartikel berbasis pati untuk
menciptakan produk yang berdaya saing. Jurnal Teknik Industri, 3(2), 104–122.
Tavanaie, M. A. (2017). Production of cationic dyeable poly ( ethylene terephthalate ) fibers via
nanotechnology, (May), 1–9. https://doi.org/10.1002/adv.21848
Wahyudi, T., Sugiyana, D., & Helmy, Q. (2011). Sintesis Nanopartikel Perak dan Uji Aktivitasnya terhadap
Bakteri E. coli dan S. aureus. Arena Tekstil, 26(1), 55–60.
Winiati, W., Kasipah, C., Septiani, W., Novarini, E., & Yulina, R. (2016). Aplikasi Kitosan Sebagai Zat
Antibakteri pada Kain Poliester-Selulosa dengan cara Perendaman. Arena Tekstil, 31(1), 1–10.
Winiati, W., Kasipah, C., Yulina, R., Wahyudi, T., Mulyawan, A. S., Septiani, W., & Tekstil, B. B. (2014). Fiksasi
Kitosan pada Kain Katun Sebagai Antibakteri. Arena Tekstil, 29(1), 25–36.
Zhang, W., Zhang, D., Chen, Y., & Lin, H. (2015). Hyperbranched Polymer Functional TiO 2 Nanoparticles :
Synthesis and Its Application for the anti-UV Finishing of Silk Fabric, 16(3), 503–509.
https://doi.org/10.1007/s12221-015-0503-1

B4-12

Anda mungkin juga menyukai