MERIAH, ACEH
Nurul Husna (1704107010035)
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi,
terutama bencana hidrometeorologi. Berdasarkan tren kejadian bencana di Indonesia
selama 10 tahun terakhir (2008-2017), tercatat bahwa terjadi tanah longsor sebanyak
4.174 kejadian dengan korban jiwa sebanyak 1.775 (Badan Nasional Penanggulangan
Bencana, 2018). Letak geografis Indonesia di pertemuan 3 lempeng, Indo-Australia
dan Eurasia serta pasifik menyebabkan adanya guncangan gempa tektonik pada area
subduksi dan sesar. Kabupaten Bener Meriah yang terletak di provinsi Aceh, Sumatra
bagian utara merupakan salah satu daerah rawan bencana karena kondisi geografis
yang terletak di dataran tinggi dan pegunungan yang menyebabkan kondisi
permukaan tanah tidak rata. Guncangan gempa dan curah hujan tinggi pada daerah
pegunungan dengan lereng curam dapat mengakibatkan terjadinya longsor.
Tanah longsor adalah salah satu jenis pergerakan massa tanah atau batuan, ataupun
campuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari gangguan kestabilan
tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Adapun faktor yang mempengaruhi tanah
longsor diantaranya adalah kemiringan lereng, tekstur tanah, permeabilitas tanah,
tingkat pelapukan batuan, kedalaman efektif tanah, kerapatan torehan, kedalaman
muka air tanah, dan curah hujan sedangkan faktor non alami meliputi: penggunaan
lahan dan kerapatan vegetasi. Sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana No. 4 tahun 2008, pada umumnya risiko bencana yang
disebabkan oleh faktor alam meliputi, bencana akibat faktor geologi (gempa bumi,
tsunami, dan erupsi gunung berapi) dan bencana akibat hidrometeorologi (banjir,
tanah longsor, kekeringan, dan angin topan).
Untuk menghindari kerugian akibat bencana tersebut dilakukan tindakan pengelolaan
risiko bencana salah satunya dengan memperkirakan daerah potensi tanah longsor di
kabupaten Bener Meriah. Analisa ini dilakukan dengan parameter-parameter
penyebab tanah longsor seperti kemiringan lereng, curah hujan, penggunaan lahan,
geologi dan jarak dari patahan dan sungai.
Dengan memanfaatkan data DEM yang di plot ke Arc GIS dapat dihasilkan peta
kemiringan lereng berdasarkan kontur dari DEM. Kemudian peta kemiringan lereng
dikelaskan sesuai parameter penyebab longsor dan dilakukan skoring dan
pembobotan untuk mendapatkan daerah rawan longsor.
B. Tanah longsor
Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan,
bahan rombakan, tanah atau material campuran tersebut bergerak ke bawah atau
keluar lereng. Secara singkat proses terjadinya tanah longsor diterangkan sebagai
berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah, jika air
tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir,
maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan diatasnya akan bergerak mengikuti
lereng dan keluar lereng
Ada enam jenis tanah longsor yakni: longsoran translasi, longsoran rotasi,
pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah dan aliran bahan rombakan. Jenis
longsoran translasi dan longsoran rotasi merupakan jenis longsoran yang paling
banyak terjadi di Indonesia.
C. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis adalah suatu komponen yang terdiri dari perangkat
keras, perangkat lunak, data geografis dan sumber daya manusia yang bekerja
bersama secara efektif untuk memasukkan, menyimpan, memperbaiki,
mempebaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan
menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis.
SIG terdiri atas empat subsistem, yaitu : data masukkan (input), data storage and
retrieval, data manipulation and analysis, dan data keluaran (reporting). (Demers,
1997 dalam Prahasta, 2001).
1. Data masukan (Input) : berfungsi untuk mengumpulkan dan menyiapkan data
spasial dan data atribut serta mengkonversi atau mentransformasi format data
aslinya ke dalam format data SIG.
2. Data keluaran (Reporting) : berfungsi untuk menampilkan atau menyajikan
keluaran seluruh basis data baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy, seperti
: grafik, tabel, peta, dan lainlain.
3. Data Storage and Retrieval : berfungsi mengorganisasikan data spasial dan data
atribut dalam basis data sehingga mudah dipanggil, di update, dan di edit.
4. Data Analysis and Manipulation : berfungsi untuk menentukan informasi-
informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG serta melakukan manipulasi dan
pemodelan data untul menghasilkan informasi yang diharapkan.
A. Lokasi Penelitian
4) Extract by mask> pilih data DEM Aceh di kolom Input Raster> pilih shp
kab_kota di kolom Input raster or feature mask data> Ok
5) Klik Fill> Muncul kotak dialog Fill> pilih data yang telah dipotong melalui
extract di kolom Input surface raster>Ok
6) Klik Hillshade di kolom search>Muncul kotak dialog> Klik data hasil Fill di
kolom Input raster> Ok
7) Project Raster>> Muncul kotak dialog Project Raster>> Pilih file hasil
hillshade tadi di kolom Input raster>> Pada kolom Output Coordinate System
pilih Projected Coordinate System>> UTM>> WGS1984>> Northern
Hemisphere>> WGS 1984 UTM Zone 47N>> Ok
8) Hasil project raster kita hillshade kembali>> Klik kanan pada file yang baru di
hillshade>> Klik kanan properties>>Symbology>> Stretched> Histogram>>
Atur garis grafik sehingga ketajaman lereng sangan terlihat>>Ok
9) Slope>> Muncul Kotak dialog>>Pilih file hasil Hillshade di kolom input
raster>>Ok
Bener Meriah merupakan salah satu kabupaten dengan wilayah perbukitan dan
pegunungan sehingga banyak dijumpai lahan miring ataupun bergelombang. Potensi
bencana tanah longsor terjadi sekitar kawasan pegunungan atau bukit dipengaruhi oleh
kemiringan lereng yang curam pada tanah yang basah dan bebatuan yang lapuk, curah
hujan tinggi, gempa bumi atau letusan gunung berapi yang menyebabkan lapisan
batuan di permukaan terlepas dari bagian utama gunung atu bukit. Terjadinya tanah
longsor ditandai dengan keretakan pada tanah, runtuhnya bagian tanah dalam jumlah
besar, perubahan cuaca ekstrim dan adanya penurunan kualitas lanscape dan
ekosistem. Gunung Burni telong dan Burni geureudong yang terletak di selatan
kabupaten Bener Meriah mengalami peningkatan aktivitas setelah tsunami dan gempa
Aceh 2004 silam.
Analisa data dilakukan berdasarkan klasifikasi parameter potensi bahaya tanah longsor
berikut:
A. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng berpengaruh besar terhadap kejadian tanah longsor. Terjadinya
tanah longsor dipengaruhi tingkat kecuraman dan gaya pendorong terhadap
material pada lereng tersebut. Jika kecuraman lereng sangat tinggi maka gaya
pendorongnya semakin besar. Semakin miring lereng suatu lokasi maka semakin
besar potensi terjadi tanah longsor. Tingkat kemiringan dari datar hingga curam.
Peta kelerengan menggunakan citra DEM yang telah diekstrak dan dikoreksi.
B. Curah Hujan
Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang memiliki peran besar terhadap
terjadinya tanah longsor. Hal ini mengindikasikan bahwa lebih banyak presipitasi
yang terjadi pada suatu wilayah akan menyebabkan lebih banyak kejadian tanah
longsor. Aditian dan Kubota (2017) menunjukkan bahwa peningkatan tingkat
curah hujan memungkinkan tanah menjadi tidak stabil dan rentan terhadap
bencana tanah longsor. Hal ini kemudian diperkuat oleh Hasnawir et al. (2017)
yang menunjukkan bahwa intensitas curah hujan sangat berpengaruh terhadap
kejadian tanah longsor yang di dukung oleh faktor penyebab lainnya.
Data curah hujan kabupaten Bener Meriah cenderung tinggi mencapai 13.327
mm/tahun dengan rata-rata 1.105,6 mm/bulan. Jika sebelumnya curah hujan
tertinggi terjadi di bulan Oktober dan Desember, maka di tahun 2019 cuaca
dominan berkabut, hujan ringan dan hujan lokal dimulai sejak November hingga
Desember sehingga diperkirakan puncak curah hujan tinggi di Bener Meriah akan
terjadi di januari hingga febuari 2020 (BMKG:2019). Curah hujan merupakan
salah satu faktor penentu tingkat potensi bahaya longsor di kabupaten Bener
Meriah. Semakin tinggi curah hujannya, maka dipastikan wilayah tersebut
berpotensi tinggi terjadi bencana tanah longsor.
C. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan berpengaruh besar terhadap kondisi air tanah, hal ini akan
mempengaruhi kondisi tanah dan batuan yang pada akhirnya mempengaruhi
keseimbangan lereng. Pengaruhnya dapat bersifat memperbesar atau memperkecil
kekuatan geser tanah pembentuk lereng.
Berdasarkan hasil pengamatan penutupan lahan yang didapatkan, terdapat
beberapa vegetasi yang bisa menyebabkan terjadinya tanah longsor. Vegetasi
merupakan penutup lahan dari terpaan dan hambatan laju aliran permukaan. Akar
tanaman berfungsi mengikat agragat tanah agar tidak mudah lepas dari posisinya.
Penggunaan lahan di Bener Meriah adalah 2% sawah, 25% untuk kebun, 55,5%
hutan selebihnya adalah pemukiman dll.
Dari hasil pengamatan, hutan lahan kering berada pada wilayah kemiringan lereng
yang agak curam. Selain itu, masyarakat masih melakukan aktivitas perkebunan
seperti kopi, cengkeh dll. Tanaman-tanaman tersebut memiliki sistem perakaran
yang tidak kuat di dalam tanah sehingga menyebabkan potensi terjadinya tanah
longsor lebih besar terutama pada saat curah hujan tinggi yang diperkirakan terjadi
di januari hingga febuari 2020. Di area hutan tutupan vegetasi yang masih rapat
dan memiliki perakaran kuat yang dapat menahan air hujan dan bisa mencegah
penjenuhan material di lereng. Pemukiman yang berada di wilayah lereng curam
baik di daerah lerengnya maupun daerah datar tetapi berada di bawah tanah
berlereng curam akan sangat berpotensi terkena dampak longsoran.
D. Geologi
Kondisi Geologi Bener Meriah terdiri dari batuan sedimen, batuan vulkanik dan
aluvial. Batuan gunung api Burni telong dan Burni Geuredong merupakan salah
satu formasi vulkanik dan sedimen di lereng terjal di Bener Meriah. Dominasi
sedimen hampir merata di bagian selatan yang merupakan dataran tinggi
diantaranya sedimen kapur dan glaukosit halus serta sedimen sedikit kapur dengan
material kasar konglomerat, batu pasir dan mika. Batuan sedimen terdapat di
daerah lembah.
Komposisi Sedimen yang mendominasi di dataran tinggi menjadi pemicu longsor
apabila sewaktu-waktu mencapai batas saturasi (tingkat kejenuhan air). Jenis
batuan yang terdapat di Bener Meriah di kelompokkan menjadi batuan beku,
batuan metamorfik atau malihan, batuan sedimen dan gunung api tua, batu
gamping, batu gunung api muda serta endapan aluvium. Batuan vulkanik dan
endapan aluvium yang mudah lapuk sehingga musim hujan air akan meresap ke
dalam batuan dan menyebabkan massa batuan bertambah berat sehingga
berpotensi terjadinya longsor (Arsyad et al.,2018).
E. Jarak dari Patahan dan Sungai
Faktor penyebab longsor untuk jarak ke sungai, rasio jarak/kedekatan digunakan
untuk memahami tingkat pengaruh pada tanah longsor. Berdasarkan peta jarak dari
sungai pada Daerah aliaran sungai yang dianalisis dari DEM Nasional, terdapat
beberapa kelas jarak dari sungai. Untuk jarak ke sungai di 0 - < 100 m memiliki
rasio frekuensi tinggi terjadinya tanah longsor dan di kelas >= 300 m, 200-< 300m
dan 100-<200m memiliki rasio rendah terhadap longsor. Ini menunjukkan
kemungkinan terjadinya tanah longsor akan meningkat jika jarak ke sungai lebih
dekat.
Faktor penyebab untuk jarak ke patahan sama seperti jarak ke sungai yaitu rasio
jarak kedekatan digunakan untuk memahami tingkat pengaruh pada tanah longsor.
Jarak ke patahan di 0-<500 m, 500-<1000m, 1000-<1500m dan 1500-<2000m
memiliki frekuensi rasio tinggi terhadap potensi longsor. Sedangkan jarak ke
patahan >= 2.000 m memiliki rasio rendah terjadinya tanah longsor. Hal Ini
menunjukkan bahwa semakin dekat jarak ke patahan, maka kemungkinan
terjadinya tanah longsor akan meningkat, terlebih jika terdapat patahan aktif dan
saling bergesekan yang bisa menyebabkan patahan semakin terbuka dikarenakan
menghilangnya kekuatan tanah sehingga tingkat terjadinya tanah longsor semakin
meningkat.
F. Daerah Rawan Longsor
Penentuan tingkat kerawanan tanah longsor didasarkan dari hasil skor kumulatif
yang didapat dari keseluruhan parameter. Pada penelitian ini digunakan 3 kelas
kerawanan yaitu rendah yang ditandai warna biru muda, sedang ditandai warna
abu-abu dan tinggi ditandai warna hitam. Penetapan tingkat kerawanan daerah
kejadian longsor di daerah penelitian didasarkan kepada model pendugaan
kawasan rawan tanah longsor oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi/DVMBG (2004). Berdasarkan analisis dari model pendugaan yang
dilakukan, diketahui bahwa parameter yang berpengaruh tinggi terhadap terjadinya
bencana tanah longsor adalah jumlah curah hujan dan kondisi kemiringan lereng.
V. KESIMPULAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah
1) Analisis menggunakan frekuensi rasio, menunjukkan bahwa pada kelas faktor
kemiringan lereng, daerah dengan kemiringan >40 memiliki probabilitas terjadinya
longsor yang paling tinggi diantara faktor lainnya.
2) Berdasarkan peta kerawanan tanah longsor, dapat dilihat bahwa daerah yang
memiliki tingkat kerawanan longsor yang sedang sampai sangat tinggi berada pada
selatan dan sebagian utara kabupaten Bener Meriah yaitu daerah pegunungan dan
lereng serta gunung Burni Telong dan Burni Geuredong. Sedangkan daerah
dengan tingkat kerawanan rendah sampai sangat rendah berada di tengah dan barat
Bener Meriah pada daerah dataran dan hilir.
3) dt
REFERENSI
Ramadhan, Taufik E., et al. "Pemodelan Potensi Bencana Tanah Longsor Menggunakan Analisis
Sig Di Kabupaten Semarang" Jurnal Geodesi Undip, vol. 6, no. 1, 2017, pp. 118-127.
Aditian, A., & Kubota, T. (2017). The influence of Increasing Rainfall Intensity on Forest Slope
Stability in Aso Volcanic Area, International Journal of Ecology and Development, Vol. 32, 1,
2017.01.
Arsyad, U., Barkey, R., Wahyuni, & Matandung, K. K. (2018). Karakteristik Tanah Longsor di
Daerah Aliran Sungai Tangka. Jurnal Hutan dan Masyarakat, Vol. 10 (1): 203-214.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2018). Retrieved Oktober 27, 2018, from Data
Informasi Bencana Indonesia (DIBI) Tahun 2013-2017: http://dibi.bnpb.go.id/dibi/
Djamaluddin, R. (2003). Fundamental study on application of unresin continuous carbon fiber
reinforcing system to concrete structures. Institusi Nasional Informasi Scholary dan Navigator
Informasi Akademik CiNii, 927-934.
Handayani, L., & Singarimbun, A. (2016). Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Sekitar Daerah
Prospek Panas Bumi Provinsi Jawa Barat. JoP, Vol. 2 N0. 1, November 2016, 17-22.
Azhari, P. A., Maryanto, S., Rachmansyah, A. 2016. Identifikasi Struktur Geologi Dan
Pengaruhnya Terhadap Suhu Permukaan Tanah Berdasarkan Data Landsat 8 Di Lapangan Panas
Bumi Blawan. Jurnal Penginderaan Jauh. Vol. 13.
Manuho, J., As’ari, Pasau, G. 2015. Identifikasi Patahan Manado Dengan Menggunakan Metode
Geolistrik Konfigurasi Half Schlumberger Di Kota Manado. Jurnal Ilmiah Sains. Vol. 15.
Reswara, P.A. A., Sehah. 2014. Pendugaan Lapisan Reservoir Panas Bumi Di Kawasan
Gunungapi Slamet Dengan Memanfaatkan Data Anomali Medan Gravitasi Citra Satelit. Berkala
Fisika. Vol. 17.
Seta, I., 2011. Pendugaan Struktur Patahan Dengan Metode Gayaberat. Positron. Vol. I.
Bennett J.D., Bridge D., Cameroon N.R, Djunuddin A., Ghazali S.A, Jeffery D.H, Whandoyo R.
1983. Peta Geologi Lembar Takengon, Sumatera. Pusat Penelitian Geologi, Bandung, Indonesia.
Kurniawan, A.F. 2012. Pemanfaatan Data Anomali Gravitasi Citra GEOSAT dan ERS-1
Satellite untuk Memodelkan Struktur Geologi Cekungan Bentarsari Brebes. Indonesian Journal
of Applied Physics. Vol.2.
Telford, W. M., Geldart, L. P., Sheriff, R. E. 1990. Applied Geophysics Second Edition,
Cambridge University Press, USA.
Setyawan, A., Yudianto, H., Nishijima, J., Hakim, S. 2015. Horizontal Gradient Analysis for
Gravity and Magnetic Data Beneath Gedongsongo Geothermal Manifestation, Unggaran,
Indonesia. Procedings Worlds Geothermal Congress 2015. Melbourne, Australia.
Rusydy, I and Samsudin, A. R. 2011. Teknik Penapisan Data Geomagnet Untuk Mendeteksi
Keberadaan Bijih Besi di Temangan Kelantan, Malaysia, in Aceh Development International
Conference (ADIC) Aceh Development International Conference, 1015-1024.