Anda di halaman 1dari 45

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Setelah ibu melahirkan, tidak hanya perasaan gembira yang dirasakan oleh

ibu, akan tetapi ibu juga akan mengalami kesedihan dan duka cita. Kenangan

persalinan akan memenuhi pikirannya (Mansyur, 2014). Pengalaman ibu dalam

perawatan bayi baru lahir, kondisi selama sebelum persalinan dan pendidikan

sebelum persalinan penting untuk kesiapan perawatan diri dan bayi baru lahir

(Escobar et al.,dalam Rahayuningsih, 2012).


Persiapan masa nifas yang tidak diberikan sejak masa kehamilan,

menyebabkan ibu tidak mengetahui perawatan diri dan bayinya dengan baik.

(Escobar et al, dalam Rahayuningsih, 2012). Beberapa penelitian menemukan

berbagai komplikasi dan masalah kesehatan fisik terjadi pada ibu nifas. Di Kanada

masalah kelelahan setelah melahirkan memiliki prevalensi tertinggi yaitu 55%,

nyeri pada perineum 45,9% dan nyeri pada bagian punggung 54,5% (Serçekuş

Pınar, dan Hatice Başkale Mate, 2016).


Semua masalah tersebut memberikan rasa sakit dan ketidaknyamanan bagi

ibu. Kondisi ini mungkin juga akan mengganggu adaptasi psikologis ibu

khususnya dalam pelaksanaan peran dan tugas seorang ibu. Kelelahan, kelemahan

dan gangguan tidur menyebabkan ibu tidak dapat memberikan perhatian pada

bayinya. Ibu kurang memberi respon ketika bayinya menangis, sehingga

menyebabkan keterlambatan dalam memenuhi kebutuhan bayi. Uraian diatas

memberikan gambaran bahwa pemulihan fisik ibu selama periode postpartum

mempengaruhi kemampuan ibu dalam beradaptasi dan pencapaian peran sebagai

orang tua. Pencapaian peran ibu merupakan proses kognitif dan afektif yang

1
2

menghasilkan kemampuan berinteraksi dengan bayi. Keyakinan orang tua

terhadap kemampuannya dalam mengatur dan melakukan tugas yang

berhubungan dengan mengasuh anak dalam kondisi tertentu atau disebut juga

Parenting self efficacy (PSE).


Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Potter dan Hui-Chin

membuktikan bahwa ibu yang memiliki PSE yang tinggi mempunyai kemampuan

yang lebih baik dalam melakukan tugas sebagai orang tua, lebih tanggap dalam

merespon setiap isyarat dan kebutuhan bayi serta memiliki hubungan interaksi

yang lebih baik dengan anak. PSE yang tinggi akan menurunkan resiko terjadinya

depresi postpartum, stress dan kecemasan, dan berhubungan positif dengan

kesejahteraan orang tua, kepuasan perkawinan dan fungsi keluarga serta kepuasan

peran menjadi orang tua. Sebaliknya PSE yang rendah dapat menimbulkan

konflik perkawinan, kurang memiliki waktu santai dan menyenangkan dengan

anak serta memiliki kesulitan yang tinggi dalam melakukan tugas mengasuh bayi

seperti dalam proses laktasi (Elek, Hudson & Boufard, dalam Silalahi, 2012).

Dalam proses laktasi seringkali terjadi kegagalan baik dari bayi ataupun ibu.

Salah satu faktor dari ibu dimana memiliki persepsi ketidakcukupan ASI pada

dirinya. Hal ini dapat menimbulkan gangguan dalam proses menyusui, sehingga

pemberian ASI menjadi tidak adekuat. Pemberian ASI yang tidak adekuat dapat

menyebabkan kekurangan nutrisi pada bayi dan bayi rentan terhadap penyakit

yang pada akhirnya menyebabkan kematian bayi khususnya Bayi Baru Lahir

(BBL) (Walyani, 2015).

Secara global, pada tahun 2016 bayi yang mendapatkan ASI secara

eksklusif selama 6 bulan hanya mencapai 40%, sedangkan target WHO 2030
3

mencapai 60%. Berikut adalah presentase negara prevelensi menyusui dari

berbagai wilayah (WHO, 2017).

Tahun 2016, bayi yang telah mendapatkan ASI eksklusif sampai usia enam

bulan adalah sebesar 29,5% artinya sebesar 70,5% bayi telah mendapat MP-ASI.

Pencapaian tertinggi pemberian ASI di Provinsi NTT sebesar 79,9% dan terendah

pemberian ASI Provinsi Gorontalo sebesar 32,3% sedangkan provinsi Lampung

pemberian ASI sebesar 43,1% masih di bawah target pencapaian provinsi

(Kemenkes, 2017)
Berdasarkan data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun

2016 tentang cakupan ASI eksklusif pada provinsi Lampung mengalami

penurunan sebesar 8,8%. Hal ini terlihat dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin)

Kemenkes 2016 yang menyebutkan bahwa Lampung berada pada angka 63,7%

pada tahun 2014, tahun 2015 mengalami penurunan pada angka 54,9% dari target

80 persen, tahun 2016 mengalami penurunan pada angka 43,1% (Kemenkes,

2017)
Pencaian ASI eksklusif tahun 2016 tertinggi di Kabupaten Mesuji sebanyak

85,28% dan terendah di Kota Metro sebanyak 33,50% sedangkan di Kabupaten

Lampung Utara sebanyak 42,33% (Dinkes Lampung, 2017). Berdasarkan data

terlihat bahwa Kabupaten Lampung Utara dalam cakupan pemberian ASI

eksklusif masih di bawah pencapaian provinsi sebesar 56,26%.

Ibu yang memberikan ASI eksklusif di Kabupaten Lampung Utara dari

tahun 2012 sampai 2016 berkisar 20%-70%. Cakupan pemberian ASI eksklusif

dari tahun 2012-2016 mengalami penurunan. Peningkatan yang signifikan terjadi

di tahun 2011 sebesar 70.40% kemudian menurun kembali ditahun 2012 sebesar

59.80%, dan menurun kembali pada tahun 2013 menjadi 51,00% dan tahun 2014
4

menjadi 42,20% namun terjadi sedikit meningkat di tahun 2015 yaitu 48,3%

sedangkan pada tahun 2016 cakupan ASI Ekslusif mengalami penurunan menjadi

42,33% (Dinkes Lampung Utara, 2017).

Di Lampung Utara tahun 2015 jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif

sebesar 48,3% sedangkan target cakupan ASI eksklusif 80%. Puskesmas

Ulak Rengas Kecamatan Abung Tinggi yaitu 95,61% dan cakupan terendah ada

Puskesmas Negara Ratu hanya 9,41% sedangkan di Puskesmas Kotabumi II

sebesar 35,7%. Ditahun 2016 cakupan pemberian ASI terendah masih di

Puskesmas Negara Ratu namun mengalami peningkatan menjadi sebesar 14,6%

sedangkan Puskesmas Kotabumi II mengalami penurunan menjadi sebesar 21,3%

(Profil Kesehatan Kab. Lampung Utara, 2017).

Penyebab utama kegagalan pemberian ASI eksklusif di dunia adalah karena

ibu merasa ASI-nya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi. Sekitar 35%

ibu yang memberikan makanan tambahan kepada bayi sebelum berusia enam

bulan ternyata karena mengalami persepsi ketidakcukupan ASI (Insufficient

Breast Milk). Insufficient Breast Milk merupakan pendapat ibu yang meyakini

bahwa produksi ASI-nya kurang (tidak cukup) untuk memenuhi kebutuhan

bayinya dan selanjutnya memberikan makanan pendamping ASI dini (Ester,

2012). Alasan utama yang dikemukakan oleh ibu yang merasa ASI-nya tidak

cukup adalah bayi rewel, menangis setelah menyusui, bayi ingin terus disusui atau

menyusu lama, payudara ibu terasa lembek, dan ASI tidak dapat diperah

(Prabasiwi, 2015)
Hasil penelitian Huang, et al. (2009) menunjukkan bahwa persepsi

ketidakcukupan ASI dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor ibu, faktor bayi dan

laktasi. Dalam penelitian tersebut, terbukti secara signifikan bahwa faktor ibu
5

(status pekerjaan ibu), faktor bayi (kebiasaan menyusui dan perlekatan menyusui)

serta faktor laktasi (inisiasi menyusu dini, rawat gabung, dan dukungan keluarga)

memengaruhi persepsi ketidakcukupan ASI. Faktor lain yang memengaruhi

persepsi ketidakcukupan ASI adalah usia ibu, paritas, pengetahuan, kebiasaan

menyusui malam hari, perlekatan menyusui, dan dukungan tenaga kesehatan

Penelitian Ali (2017) mengungkapkan bahwa ibu yang mengalami depresi

postpartum memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsi ketidakcukupan

ASI.
Berdasarkan hasil prasurvey yang dilakukan pada tanggal 2-16 Januari 2019

pada 10 orang ibu post partum yang ada di wilayah kerja Puskesmas Kotabumi II,

diketahui bahwa 70% merupakan primipara dan 30% adalah multipara, dari 10 ibu

tersebut, sebanyak 60% ibu sudah memberikan susu formula dengan alasan ASI

belum keluar, sedangkan 40% ibu memberikan ASI namun ibu mengungkapkan

ASI yang keluar masih sedikit. Dari 10 orang ibu tersebut, sebanyak 80%

mengungkapkan tidak memiliki kepercayaan diri dalam melakukan perawatan

pada bayinya khususnya berkaitan dengan pemberian ASI, karena ibu merasa

bahwa kedepan ASI yang akan diberikan kepada anak tidak akan mencukupi

sehingga ibu berkeinginan untuk memberikan tambahan susu formula.


Berdasarkan masalah diatas peneliti tertarik untuk meneliti tentang

hubungan antara parenting self efficacy dengan persepsi ibu tentang insufficient

breast milk pada ibu postpartum di UPTD Puskesmas Kotabumi II tahun 2019.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka peneliti merumuskan

masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. “Apakah ada hubungan antara

parenting self efficacy dengan persepsi ibu tentang insufficient breast milk pada

ibu postpartum di UPTD Puskesmas Kotabumi II tahun 2019?


6

1.3 Tujuan penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk Mengetahui hubungan antara parenting self efficacy dengan persepsi

ibu tentang insufficient breast milk pada ibu postpartum di UPTD Puskesmas

Kotabumi II tahun 2019.


1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui distribusi frekuensi parenting self efficacy pada

ibu postpartum di UPTD Puskesmas Kotabumi II tahun 2019.


1.3.2.2 Untuk mengetahui Insufficient Breast Milk pada ibu postpartum di

UPTD Puskesmas Kotabumi II tahun 2019.


1.3.2.3 Untuk mengetahui hubungan antara parenting self efficacy dengan

persepsi ibu tentang insufficient breast milk pada ibu postpartum di UPTD

Puskesmas Kotabumi II tahun 2019.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.2 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian dapat menjadi bahan referensi dan bahan kepustakaan

khusunya bagi mahasiswa tentang pendidikan kesehatan tentang hubungan antara

parenting self efficacy dengan persepsi ibu tentang insufficient breast milk pada

ibu postpartum di UPTD Puskesmas Kotabumi II.

1.4.3 Manfaat Aplikatif


Hasil penelitian dapat menjadi masukan bagi tempat penelitian agar dapat

meningkatkan pendidikan kesehatan terhadap ibu bersalin dan nifas tentang

Parenting Self Efficacy, persepsi Insufficient Breast Milk dan pentingnya asi

ekslusif pada ibu dan bayi

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kuantitatif, dengan rancangan penelitian cross sectional. Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh ibu post partum, pengambilan sampel secara
7

purposive sampling. Tempat penelitian direncanakan di UPTD Puskesmas

Kotabumi II pada bulan Januari – April tahun 2019. Variabel dalam penelitian ini

ada dua yaitu variabel independen parenting self efficacy dan variabel dependen

persepsi ibu tentang insufficient breast milk. Pengumpulan data menggunakan

kuesioner, analisa data secara univariat (distribusi frekuensi) dan bivariat

menggunakan uji chi square.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Air Susu Ibu (ASI)

2.1.1 Pengertian

ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan

garam-garam organik yang desekresi oleh kedua belah payudara ibu,

sebagai makanan utama bagi bayi.ASI bukan minuman, namun ASI

merupakan satu-satunya makanan tunggal paling sempurna bagi bayi

hingga berusia 6 bulan.ASI cukup mengandung seluruh zat gizi yang

dibutuhkan bayi. Selain itu, secara alamiah ASI dibekali enzim pencerna

susu sehingga organ pencernaan bayi mudah mencerna dan menyerap gizi

ASI. Sistim pencernaan bayi usia dini belum memiliki cukup enzim

pencerna makanan, oleh karena itu berikan pada bayi ASI saja hingga usia
8

6 bulan, tanpa tambahan minuman atau makanan apapun (Soetjiningsih,

2012).

Air susu ibu (ASI) merupakan suatu cairan hidup yang dapat

berubah dan memberi respon terhadap kebutuhan bayi seiring dengan

pertumbuhannya. ASI adalah suatu cairan yang terbentuk dari campuran

dua zat yaitu lemak dan air yang terdapat dalam larutan protein, laktosa

dan garam-garam anorganik yang dihasilkan oleh kelenjar payudara ibu,

dan bermanfaat sebagai makanan bayi (Maryunani, 2012).

8
2.2.2 Manfaat ASI

Manfaat ASI bagi bayi dan ibu antara lain (Maryunani, 2012):

a. Manfaat ASI bagi bayi

Kandungan antibodi yang terdapat di dalam ASI mengakibatkan bayi

akan menjadi lebih sehat dan kuat dan menghindari bayi dari

malnutrisi. Didalam manfaatnya untuk kecerdasan, laktosa yang

terkandung dalam ASI berfungsi untuk proses pematangan otak secara

optimal. Pembentukan Emotional Intelligence (EI) akan dirangsang

ketika bayi disusui dan berada dalam dekapan ibunya. Kandungan di

dalam ASI juga dapat meningkatkan sistem imun yang menyebabkan

bayi lebih kebal terhadap berbagai jenis penyakit.

b. Manfaat Memberikan ASI bagi Ibu :

Pemberian ASI merupakan diet alami bagi ibu karena pada saat

menyusui akan terjadi proses pembakaran kalori yang membantu


9

penurunan berat badan lebih cepat, mengurangi resiko anemia yang

diakibatkan oleh perdarahan setelah melahirkan, menurunkan kadar

estrogen sehingga mencegah terjadinya kanker payudara, serta

pemberian ASI juga akan memberikan manfaat ekonomis bagi ibu

karena ibu tidak perlu megeluarkan dana untuk membeli susu atau

suplemen untuk bayi.

2.2.3 Kandungan ASI

Adapun zat nutrient yang terkandung dalam ASI menurut IDAI (2008)

adalah sebagai berikut:

a. Karbohidrat

Laktosa adalah karbohidrat utama dalam ASI dan berfungsi sebagai

salah satu sumber energi dalam otak. Kadar laktosa yang terdapat

dalam ASI hampir dalam dua kali lipat dibanding laktosa yang

ditemukan pada susu sapi atau susu formula. Kadar karbohidrat dalam

kolostrum tidak terlalu tinggi, tetapi jumlahnya meningkat terutama

laktosa pada ASI transisi (7-14 hari setelah melahirkan). Sesudah

melewati masa ini maka kadar karbohidrat ASI relatif stabil.

b. Protein

Kandungan protein ASI cukup tinggi dan komposisinya berbeda

dengan protein yang terdapat dalam susu sapi.

c. Lemak

Kadar lemak dalam ASI tinggi yaitu lemak omega 3 dan omega 6 yang

dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan otak yang cepat selama

masa bayi. Disamping itu ASI juga mengandung banyak asam lemak
10

rantai panjang diantaranya asam dokosaheksanoik (DHA) dan asam

arakodinat (ARA) yang berperan terhadap perkembangan saraf dan

retina mata. ASI mengandung asam lemak jenuh dan tak jenuh yang

seimbang sehingga baik untuk kesehatan jantung dan pembuluh darah.

d. Karnitin

Karnitin ini mempunyai peran membantu proses pembentukan energi

yang diperlukan untuk mempertahankan metabolisme tubuh. ASI

mengandung kadar karnitin yang tinggi terutama pada tiga minggu

pertama menyusui, bahkan didalam kolostrum kadar karnitin ini lebih

tinggi lagi.

e. Vitamin

Meliputi kandungan vitamin K, vitamin D, vitamin E, vitamin A,

vitamin yang larut dalam air, dan mineral.

f. Garam dan mineral

Dalam ASI terkandung zat besi dan kalsium yang merupakan mineral

yang sangat stabil dan mudah diserap oleh bayi (Maryunani, 2012).

2.2.4 Komposisi Gizi dalam ASI

Komposisi ASI dibedakan menjadi 3 macam menurut waktunya

(Maryunani, 2012).

a. Kolostrum

Adalah cairan yang dikeluarkan oleh payudara di hari hari pertama

kelahiran bayi, kolostrum lebih kental bewarna kekuning-kuningan,

karena banyak mengandung komposisi lemak dan sel-sel hidup.

Kolostrum juga mengandung mengandung zat zat gizi yang pas untuk
11

bayi antara lain protein 8,5%, lemak 2,5%, sedikit karbohidrat 3,5%,

garam dan mineral 0,4%, air 85,1 %, antibodi serta kandungan

imunoglobulin lebih tinggi jika dibandingkan dengan ASI matur yang

mengakibatkan bayi tidak mudah terserang diare.

Sekresi kolostrum hanya berlangsung sekitar 5 hari, diakibatkan oleh

hilangnya estrogen dan progesteron oleh plasenta yang tiba-tiba

menyebabkan laktogenik prolaktin memegang peranan tiba tiba dalam

memproduksi air susu. Kemudian, kelenjar payudara mulai progresif

menyekresikan air susu dalam jumlah yang besar. Manfaat besar dari

kolostrum masih banyak tidak diketahui oleh ibu-ibu setelah

melahirkan, sehingga mereka masih ragu untuk melakukan inisiasi

dini. Kebanyakan mereka takut memberikan kolostrum karena

kepercayaan yang menganggap kolostrum sebagai ASI basi atau ASI

kotor sehingga harus dibuang. Padahal manfaat kolostrum tersebut

sudah seringkali diberitakan melalui media, ataupun melalui

penyuluhan.

b. ASI masa transisi

ASI masa transisi terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-10, dimana

pengeluaran ASI oleh payudara sudah mulai stabil. Pada masa ini,

terjadi peningkatan hidrat arang dan volume ASI, serta adanya

penurunan komposisi protein. Akibat adanya penurunan komposisi

protein ini diharapkan ibu menambahkan protein dalam asupan

makanannnya.

c. ASI Matur
12

ASI matur disekresi dari hari ke-10 sampai seterusnya. Kadar

karbohidrat dalam kolostrum tidak terlalu tinggi, tetapi jumlahnya

meningkat terutama laktosa pada ASI transisi. Setelah melewatri masa

transisi kemudian menjadi ASI matur maka kadar karbohidrat ASI

relatif stabil. Komponen laktosa (karbohidrat) adalah kandungan

utama dalam ASI sebagai sumber energi untuk otak. Konsentrasi

laktosa pada air susu manusia kira-kira 50% lebih banyak jika

dibandingkan dengan kadar laktosa dalam susu sapi. Walaupun

demikian, angka kejadian diare karena intoleransi laktosa jarang

ditemukan pada bayi yang mendapatkan ASI. Hal ini disebabkan

karena penyerapan laktosa ASI lebih baik jika dibandingkan dengan

laktosa yang terdapat pada susu sapi.

Namun sebaliknya, kandungan protein yang terdapat pada susu sapi

biasanya dua kali lebih besar jika dibandingkan dengan protein pada

ASI. Protein dalam susu terbagi menjadi protein whey dan casein .

Protein whey banyak terdapat pada ASI, sifatnya lebih mudah diserap

oleh usus bayi. Sedangkan susu sapi lebih banyak mengandung protein

casein dengan presentase kira-kira 80% yang sulit dicerna olehh usus

bayi. Kadar lemak omega 3 dan omega 6 berperan dalam

perkembangan otak bayi. Disamping itu terdapat asam lemak rantai

panjang diantaranya asam dokosaheksonik (DHA) dan asam

arakidonat (ARA) yang penting bagi perkembangan jaringan syaraf

serta retina mata. Jika kekurangan asam lemak omega-3 berpotensi

menimbulkan gangguan syaraf dan penglihatan. Kadar lemak baik


13

tersebut lebih banyak ditemukan pada ASI dibanding susu sapi. Bayi

yang mendapatkan ASI tidak akan kekurangan asam linolenat karena

6-9% kandungan energi total ASI adalah asam linolenat.

2.3 Volume Produksi

ASI pada bulan terakhir kehamilan, kelenjar-kelenjar pembuat air

susumulai menghasilkan ASI. Dalam kondisi normal, pada hari pertama

dan kedua sejak lahir, air susu yang dihasilkan sekitar 50-100 ml sehari.

Jumlahnya pun meningkat hingga 500 ml pada minggu kedua.Dan

produksi ASI semakin efektif dan terus menerus meningkat pada hari 10-

14 hari setelah melahirkan.Bayi yang sehat mengkonsumsi 700-800 ml

ASI setiap hari.Setelah memasuki masa 6 bulan volume pengeluaran ASI

mulai menurun (Maryunani,2012).

Jumlah ASI yang dibutuhkan bayi berdasarkan usia antara lain:

a. Hari pertama dan kedua

Pada hari pertama dan kedua ukuran lambung bayi sebesar biji kemiri,

sedangkan kebutuhan pada tahap ini adalah 10-100ml atau sama

dengan 1 sendok makan dan ½ gelas takar per 24 jam.

b. Hari ke 3-7

Pada tahap ini lambung bayi berukuran seperti buah cheri sedangkan

pada hari ke 7 berukuran seperti buah leci. Kebutuhan ASI pada hari ke

3-4 adalah 200 ml atau 1 gelas takar, dan pada hari ke 5-7 adalah 400-

600 ml atau sekitar 2-2 ½ gelas takar per 24 jam.

c. Minggu ke 2 sampai bulan ke 6


14

Pada minggu ke 2 sampai bulan ke 6 ukuran lambung bayi adalah

sebesar buah leci dan kebutuhan ASI pada tahapan ini adalah 700-800

ml/24 jam. Bayi yang mendapatkan ASI memadai umumnya lebih

tenang, tidak rewel dan dapat tidur pulas.Tanda pasti bahwa ASI

memadai dapat terlihat pada penambahan berat badan bayi yang baik.

Dalam keadaan normal usia 0-5 hari biasanya berat badan bayi akan

menurun. Setelah usia 10 hari berat badan bayi akan kembali seperti

lahir. Secara alamiah ASI diproduksi dalam jumlah yang sesuai dengan

kebutuhan bayi.

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhiProduksi ASI

Produksi ASI dapat meningkat atau menurun tergantung dari stimulasi

pada kelenjar payudara. Menurut Maryunani,(2012), Adapun hal-hal yang

mempengaruhi produksi ASI antara lain adalah:

a. Makanan

Produksi ASI sangat dipengaruhi oleh makanan yang dimakan ibu,

sehingga ibu harus makan secara teratur dan mengandung cukup gizi

yang diperlukan, karena kelenjar pembuat ASI tidak dapat bekerja

dengan sempurna tanpa makanan yang cukup.Sehingga makanan ibu

harus memenuhi jumlah kalori, protein, lemak, dan vitamin

sertamineral yang cukup, selain itu ibu dianjurkan minum lebih banyak

kurang lebih 8-12 gelas/hari.


15

b. Ketenangan jiwa dan fikiran

Produksi ASI sangat dipengaruhi oleh faktor kejiwaan, ibu yang selalu

dalam keadaan tertekan, sedih, kurang percaya diri dan berbagai

bentuk ketegangan emosional akan menurunkan volume ASI bahkan

tidak akan terjadi produksi ASI. Ibu menyusui juga harus cukup

istirahat, bila kurang dalam istirahat ibu kelemahan dalam

menjalankan fungsinya dengan demikian pembentukan dan

pengeluaran ASIberkurang.

c. Perawatan payudara

Dengan merangsang buah dada akan mempengaruhi hypopise untuk

mengeluarkan hormon progesterone dan estrogen lebih banyak lagi

dan hormon oxytocin.

d. Anatomis buah dada

Bila jumlah lobus dalam buah dada berkurang, lobulus pun berkurang.

Dengan demikian produksi ASI juga berkurang karena sel-sel acini

yang menghisap zat-zat makan dari pembuluh darah akan berkurang.

e. Faktor obat-obatan

Diperkirakan obat-obatan yang mengandung hormon mempengaruhi

prolaktin dan oxytocin yang berfungsi dalam pembentukan dan

pengeluaran ASI. Apabila hormon-hormon ini terganggu dengan

sendirinya akan mempengaruhi pembentukan dan pengeluaran ASI.

2.2 ASI Ekslusif


16

1. Pengertian

ASI Eksklusif adalah pemberian hanya ASI saja selama enam

bulan tanpa tambahan cairan apapun, seperti susu formula, jeruk, madu, air

teh, air putih dan tanpa pemberian makanan tambahan lain, seperti pisang,

bubur susu, biskuit, bubur atau nasi tim. Setelah bayi berusia enam bulan,

barulah bayi diberikan makanan pendamping ASI dengan ASI tetap

diberikan sampai usia bayi 2 tahun atau lebih.ASI Eksklusif adalah

pemberian ASI selama 6 bulan tanpa pemberian minuman atau makanan

apapun, termasuk air bening, vitamin dan obat (Maryunani, 2012).

Sebelum tahun 2001, World Health Organization (WHO)

merekomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif selama 4-6 bulan.

Namun pada tahun 2001, setelah melakukan telaah artikel penelitian

secara sistematik dan berkonsultasi dengan para pakar, WHO merevisi

rekomendasi ASI eksklusif tersebut dari 4-6 bulan menjadi 6 bulan (180

hari), kemudian dilanjutkan selama 2 tahun dengan panambahan makanan

pendamping yang tepat waktu, aman, benar dan memadai (WHO, 2010

dalam Jafar, 2011).

Menyusui eksklusif adalah tidak memberi bayi makanan atau

minuman lain, termasuk air putih, selain menyusui (kecuali obat-obatan

dan vitamin atau mineral tetes; ASI perah yang diperbolehkan) (Kemenkes

RI, 2014).

Kandungan zat gizi ASI yang sempurna membuat bayi tidak akan

kekurangan gizi tetapi, makanan ibu harus bergizi guna mempertahankan

kuantitas dan kualitas ASI. Memberikan susu formula sebelum bayi


17

berusia 6 bulan akan meningkatkan risiko diare, dan sudah pasti

memboroskan dana rumah tangga karena harga susu formula tidak murah

(Soetjiningsih, 2012).

Menurut petunjuk Bina Gizi Masyarakat, pengertian ASI eksklusif

adalah hanya memberikan ASI saja sampai bayi berumur 6 bulan.Bahkan

pemberian ASI harus dilanjutkan sampai anak berumur 2 tahun yang

tentunya disertai dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai

(Nurmiati dan Besral 2008).Pertemuan bersama antara perwakilan WHO

dan UNICEF pada tahun 1990 di 6 Italia menghasilkan Deklarasi

Innocenti tentang Perlindungan, Promosi, dan Dukungan pada Pemberian

ASI. Deklarasi tersebut mendefinisikan bahwa pemberian makanan bayi

yang optimal adalah pemberian ASI eksklusif mulai dari saat lahir hingga

bayi berusia 4-6 bulan dan terus berlanjut hingga tahun kedua kehidupan,

sementara makanan tambahan yang sesuai baru diberikan ketika bayi

berusia 6 bulan. Dukungan pemerintah Indonesia terhadap hal tersebut

diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti Gerakan Nasional

Perancangan PP-ASI serta Gerakan Rumah Sakit dan Puskesmas Sayang

Bayi (Depkes RI 2004). Roesli (2008) menjelaskan bahwa ASI sebagai

makanan tunggal yang memenuhi kebutuhan bayi normal sampai usia 6

bulan. Setelah usia 6 bulan, bayi harus mulai diberikan makanan padat,

tetapi ASI dapat diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih.

2. Durasi Pemberian ASI

WHO pada tahun 1991 merekomendasikan durasi pemberian ASI

eksklusif pada bayi selama periode 4-6 bulan pertama.Tahun 2001, WHO
18

menetapkan durasi pemberian ASI eksklusif yang optimal adalah selama 6

bulan.Fawtrell et al. (2012) mendukung hal ini melalui hasil penelitian

yang menyatakan bahwa durasi ASI eksklusif selama 6 bulan lebih optimal

dibandingkan 3-4 bulan.The U.S Surgeon General merekomendasikan

pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan meneruskan ASI sampai 12

bulan, dengan pengenalan makanan padat pada usia 4-6 bulan (Brown et

al. 2015).

C.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI Eksklusif

Faktor-faktor yang memengaruhi pemberian ASI ekslusif adalah sebagai

berikut:

a. Adanya perubahan struktur masyarakat dan keluarga. Hubungan

kerabat yang luas di daerah pedesaan menjadi renggang setelah keluarga

pindah ke kota. Pengaruh orang tua seperti nenek, kakek, mertua dan

orang terpandang dilingkungan keluarga secara berangsur menjadi

berkurang, karena mereka itu umumnya tetap tinggal di desa sehingga

pengalaman mereka dalam merawat makanan bayi tidak dapat diwariskan.

b. Kemudahan-kemudahan yang didapat sebagai hasil kemajuan

teknologi pembuatan makanan bayi seperti pembuatan tepung makanan

bayi, susu buatan bayi, mendorong ibu untuk mengganti ASI dengan

makanan olahan lain.

c. Iklan yang menyesatkan dari produksi makanan bayi menyebabkan

ibu beranggapan bahwa makanan-makanan itu lebih baik dari ASI.


19

d. Para ibu sering keluar rumah baik karena bekerja maupun karena

tugas-tugas sosial, maka susu sapi adalah satu-satunya jalan keluar dalam

pemberian makanan bagi bayi yang ditinggalkan di rumah.

e. Adanya anggapan bahwa memberikan susu botol kepada anak

sebagai salah satu simbol bagi kehidupan tingkat sosial yang lebih tinggi,

terdidik dan mengikuti perkembangan zaman.

f. Ibu takut bentuk payudara rusak apabila menyusui dan

kecantikannya akan hilang.

g. Pengaruh melahirkan di rumah sakit atau klinik bersalin. Belum

semua petugas paramedis diberi pesan dan diberi cukup informasi agar

menganjurkan setiap ibu untuk menyusui bayi mereka, serta praktek yang

keliru dengan memberikan susu botol kepada bayi yang baru lahir (Siregar,

2004).

Adapun faktor lain yang memengaruhi pemberian ASI adalah faktor sosial

budaya (ibu bekerja, meniru teman, tetangga atau orang terkemuka yang

memberi susu botol, merasa ketinggalan jaman jika menyusui), faktor

psikologis (takut kehilangan daya tarik sebagai wanita, tekanan batin), faktor

fisik ibu (ibu yang sakit, misalnya mastitis, panas dan sebagainya), faktor

kurangnya petugas kesehatan sehingga masyarakat kurang mendapat

penerangan atau dorongan tentang manfaat pemberian ASI eksklusif,

meningkatnya iklan susu formula (Soetjiningsih, 2012).

Selain itu perilaku seseorang juga sangat memengaruhi pemberian ASI

eksklusif. Menurut Laurence W. Green dalam Notoatmodjo (2010), perilaku

dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu:


20

a. Faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu faktor-faktor yang

mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara

lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan

sebagainya.

b. Faktor pemungkin (enabling factors) adalah faktor-faktor yang

memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang

dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau

fasilitas untuk tarjadinya perilaku kesehatan, misalnya Puskesmas,

Posyandu, Rumah sakit atau tempat pembuangan air, tempat pembuangan

sampah, tempat berolah raga, makanan bergizi, uang dan sebagainya.

c. Faktor penguat (reinforcing factors) adalah faktor yang mendorong

atau memperkuat terjadinya perilaku.

Setelah masa cuti berakhir ibu masih bisa memberikan ASI eksklusif, sebab

usus bayi usia 3 bulan belum siap mencerna makanan selain air susu ibu.

Selain itu ASI merupakan sumber gizi ideal dengan komposisi seimbang, jika

diberikan secara eksklusif bayi akan lebih sehat dan lebih cerdas dibanding

bayi yang tidak mendapatkannya. Untuk buah hati tercinta, seharusnya

bekerja di luar rumah bukanlah halangan untuk memberikan yang terbaik

untuknya, termasuk memberikan ASI secara eksklusif. Ibu tetap bisa

memberikan ASI perah, yakni ASI yang diperas dari payudara, lalu diberikan

pada bayi saat ibu bekerja di kantor. Cara memeras ASI cukup dengan pijitan

dua jari sendiri, ASI bisa keluar lancar, memang membutuhkan waktu, yakni

masing-masing payudara 15 menit.

Cara menyimpan ASI perah:


21

a. Taruh ASI dalam kantong plastik polietilen (misal plastik gula);

atau wadah plastik untuk makanan atau yang bisa dimasukkan dalam

microwave, wadah melamin, gelas, cangkir keramik. Jangan masukkan

dalam gelas plastik minuman kemasan maupun plastik styrofoam.

b. Beri tanggal dan jam pada masing-masing wadah.

c. Dinginkan dalam refrigerator (kulkas). Simpan sampai batas

waktu yang diijinkan (±2 minggu).

d. Jika hendak dibekukan, masukkan dulu dalam refrigerator selama

semalam, baru masukkan ke freezer (bagian kulkas untuk

membekukan makanan), gunakan sebelum batas maksimal yang

diijinkan (±3-6 bulan).

e. Jika ASI beku akan dicairkan, pindahkan ASI ke refrigerator

semalam sebelumnya, esoknya baru cairkan dan hangatkan. Jangan

membekukan kembali ASI yang sudah dipindah ke refrigerator.

Cara Memberi ASI Perah

a. Ambil ASI berdasarkan waktu pemerasan (yang pertama diperah

yang diberikan lebih dahulu).

b. Jika ASI beku, cairkan di bawah air hangat mengalir. Untuk

menghangatkan, tuang ASI dalam wadah, tempatkan di atas wadah lain

berisi air panas.

c. Kocok dulu, lalu tes dengan cara meneteskan ASI di punggung

tangan. Jika terlalu panas, angin-anginkan agar panas turun.

d. Jangan gunakan oven, microwave untuk menghangatkan agar zat-

zat penting ASI tidak larut/hilang.


22

e. Berikan dengan sendok agar bayi bisa tetap merasakan puting susu

ibunya. Jika menggunakan botol susu maka bayi akan terbiasa dengan

dot karet sehingga bayi akan kesulitan menyusu dari payudara.

Cara Penyimpanan ASI

a. ASI Segar

ASI yang baru saja diperah atau ASI segar, bisa bertahan rata-rata 4

jamdalam suhu ruangan. Kolostrum berbentuk cairan kekuningan

yang lengketdan kental, keluar pada beberapa hari setelah kelahiran

hingga hari ke limasetelah persalinan, kolostrum masih aman

disimpan selama 4 jam setiapkali perah dalam suhu ruang kurang dari

25oC. Level suhu dan durasi waktu penyimpanan yang aman untuk

ASI perahyaitu:

1) ASI yang disimpan dalam suhu ruang 16-29dalam 3-6 jam.

2) ASI yang disimpan dalam kulkas dengan suhu 0-4oCbisa

bertahan hingga 3-8 bulan dan masih aman dikonsumsi.

3) ASI yang disimpan dalam freezer lemari es satu pintu

dengan suhukurang dari 15oC aman dikonsumsi hingga 2 minggu.

Jika ASIdisimpan dalam freezer lemari es dua pintu dengan suhu

kurang dari18oC waktu penyimpanan bisa lebih lama, yaitu hingga

3-6 bulan.

4) ASI yang disimpan dalam freezer tunggal/khusus dengan

suhu kurangdari 18oC, ASI aman disimpan hingga 6-12 bulan.

b. ASI Beku
23

ASI yang sudah disimpan dalam jangka waktu tertentu dalam freezer

danmenjadi beku. ASI yang menjadi beku sebelum diberikan pada

bayi,sebaiknya dihangatkan ke dalam mangkuk yang diisi air hangat

dan segeradiberikan kepada bayi. Batas maksimal penyimpanan ASI

beku dalamsuhu ruangan rata-rata selama 4 jam, meskipun 5-6 jam

masih ditoleransijika kondisinya sangat bersih. ASI yang masih tersisa

jangan disimpandalam freezer kembali tapi harus segera dibuang.

Berikut cara-cara menyimpan ASI dalam lemari es atau freezer yaitu:

1) ASI perah disimpan dalam botol kaca dan pengisian

maksimal ¾ daridaya tampung botol.

2) Pastikan botol yang akan digunakan telah dibersihkan dan

disterilkan.

3) Menempelkan label jam dan tanggal pada botol kaca atau

tempat yangakan digunakan untuk menyimpan ASI perah.

4) Pisahkan ASI dengan bahan makanan lain yang tersimpan

dalamlemari es, lebih baik lagi jika mempunyai lemari es khusus

untukmenyimpan ASI.

5) Bila ASI keluar dalam jumlah banyak, simpan sebagian di

freezeruntuk jangka panjang dan sebagian dilemari es bagian

bawah untukpemakaian jangka pendek.

6) Menyimpan ASI di bagian dalam freezer atau lemari es,

bukandibagian pintu. Karena bagian pintu berpeluang mengalami

perubahandan variasi suhu udara.


24

7) ASI beku yang tersimpan di freezer dan akan diberikan

kepada bayi,sehari sebelumnya diturunkan ke lemari es bagian

bawah agarpelelehan ASI perah yang sudah beku berjalan perlahan.

8) Jika ASI perah belum benar-benar meleleh sempurna,

masukkan botolyang berisi ASI ke dalam mangkuk yang berisi air

hangat.

c. ASI yang Sudah Dihangatkan dengan Air Hangat

ASI perah yang sudah dicairkan dengan air hangat sebaiknya

langsungdiberikan kepada bayi atau sampai jadwal minum ASI

berikutnya.Menyimpan dalam botol di lemari es selama 4 jam.Cara

menghangatkan ASI perah, yaitu:

1) Berikan ASI dengan hari dan tanggal yang paling lama

disimpandalam freezer.

2) Amati bau dan rasanya, jika tercium basi jangan gunakan

ASI tersebutuntuk dikonsumsi.

3) Cairkan ASI yang sudah beku dengan memindahkannya

dari freezer kedalam lemari pendingin, simpan selama 12 jam

sebelum diberikankepada bayi.

4) Hangatkan ASI dengan cara meletakkan botol atau wadah

ASIkedalam mangkuk berisi air hangat.

5) Tidak memanaskan atau merebus ASI diatas kompor,

ataumemanaskan ASI dalam wicrowave.

6) Periksa suhu ASI yang sudah dihangatkan dan mencicipi

ASI tersebutsebelum diberika kepada bayi.


25

d. ASI yang Sudah Diminum

Pentingnya menyimpan ASI sesuai takaran pemakaian. Jika

menyimpanASI dalam botol atau wadah yang melebihi takaran

penggunaan (tersisa),sebaiknya ASI harus dibuang. Jangan

menyimpan sisa ASI yang sudahdiminum bayi dari botol yang sama

ke dalam lemari es dan freezer.

2.3 parenting Self Efficancy


1. Definisi Parenting self-efficacy

Menjadi orang tua merupakan suatu proses perubahan yang berfokus

pada perubahan kualitas individu atau setelah kehidupan perkawinan setelah

pasangan mempunyai anak. Tingkat kemudahan beradaptasi sebagai orang

tua bergantung pada bagaimana keberhasilan suatu keluarga dalam

menentukan hubungan anggota keluarga setelah kelahiran anggota baru

(Wardiyah dan Rilyani, 2016)

Bandura sebagai tokoh yang mendasari konstruk parenting self-

efficacy mendefinisikan parenting self-efficacy sebagai keyakinan individu

yang dimiliki orang tua mengenai kemampuan yang dimiliki dalam sebuah

kondisi tertentu (Bandura dalam Meunir & Roskam, 2014). Self-efficacy

belief Bandura (1994, dalam Meunir & Roskam, 2014) menentukan

bagaimana seseorang merasakan sesuatu, berfikir, dan bersikap. Bandura

(1997, dalam Jackson & Scheines, 2011) juga mengatakan orang yang

memiliki self-efficacy tinggi lebih memiliki pengalaman stres dan depresi

yang lebih sedikit karena mereka dapat beraksi membuat lingkungannya

menjadi lebih teratur dan tidak menakutkan. Sedangkan orang yang


26

memiliki self-efficacy rendah, ketika menghadapi stres cenderung mudah

menyerah, membuat atribusi internal sebagai faktor kegagalannya, dan

berpengalaman memiliki tingkat kecemasan atau depresi yang tinggi. Dari

dasar teori ini, pada dunia parenting self-efficacy pengasuhan orang tua

dikenal dengan parenting self-efficacy. Perspektif Bandura (2011) orang tua

yang merasa kompeten dalam tugas-tugas tertentu lebih mungkin untuk

mendapatkan kepuasan dari pengasuhan. Dengan demikian, mereka

mungkin memiliki tingkat motivasi yang lebih tinggi dibanding orang tua

yang tidak merasa kompeten. Motivasi ini diasumsikan dapat meningkatkan

kemampuan pengasuhan mereka.

Tidak jauh berbeda, tokoh Coleman dan Karraker (2011) yang

membuat alat ukur parenting self-efficacy pada anak usia kanak-kanak

madya mendefinisikan parenting self-efficacy sebagai persepsi orang tua

mengenai kemampuan mereka (self referent) untuk secara positif

memengaruhi perilaku dan tumbuh kembang anak mereka secara umum.

Coleman dan Karraker (2011) lebih banyak merujuk pada kemampuan diri

sebagai orang tua dari sisi ibu atau yang seringkali disebut dengan maternal

self-efficacy. Sedangkan menurut Grusec, Hastings, & Mammone (dalam

Naomi, 2011) parenting self-efficacy merujuk kepada ekspektasi orang tua

mengenai tingkat dimana mereka dapat secara efektif memengaruhi perilaku

anak mereka.Dari beberapa definisi di atas, secara umum parenting self-

efficacy diartikan sebagai keyakinan orang tua akan kemampuannya dalam

mengasuh anak secara efektif dan menghasilkan perkembangan anak yang

baik.
27

2.2.1 Transisi parenting self-efficacy

Fase trust dan mistrust pada bayi dan orang tua menurut Erikson,

merupakan fase yang sangat penting untuk fase perkembangan seterusnya.

Adanya kelahiran bayi membuat orang tua memainkan peran baru. Setiap

orang mempunyai konsep menjadi orang tua berdasarkan pengalaman

selama masa anak-anak, nilai kultur dan latar belakang etnik. Selain peran

sebagai orang tua, perlu juga pemberian tugas antarpasangan dan juga harus

membantu anak-anak mereka lain dalam menerima kehadiran anggota baru.

Fase transisi menjadi orang tua adalah sebagai berikut (Wardiyah & Rilyani,

2016:

1. Fase penantian

Kehamilan merupakan tahap penantian sebelum menjadi orang tua dan

orang tua perlu menyelesaikan tugas-tugas tertentu selama masa ini.

Pengambilan keputusan dan harapan memengaruhi proses menjadi orang

tua di masa yang akan datang, sama seperti pembagian tugas dalam

keluarga .

2. Fase bulan madu

Fase bulan madu adalah masa pascapartum saat tercapainya pelekatan

antara orang tua dan bayi setelah kontak dan keintiman yang lama.

2.2.2 Komponen parenting self-efficacy

Proses menjadi orang tua mencakup dua komponen, yaitu sebagai berikut

(Wardiyah & Rilyani, 2016):

1. Cognitive-motor skill
28

Cognitive-motor skill yaitu pengetahuan dan keterampilan yang

berkaitan dengan perawatan bayi seperti menyusui, menggendong,

memakaikan baju, memandikan, dan melindungi anak dari bahaya.

Kemampuan tersebut tidak timbul secara otomatis tetapi dipengaruhi

oleh budaya dan pengalaman individu. Beberapa orang perlu belajar

melakukan tugas tersebut dari bacaan atau dari orang lain misalhnya

orang tua, mertua, tetangga, atau petugas kesehatan.

2. Cognitive-affective skill

Cognitive-affective skill merupakan komponen psikologis, baik dari

ayah maupun ibu sebagai dasar menjadi orang tua. Aspek kecintaan

menerima figur menjadi orang tua mencakup sikap

kehalusan/kelembutan, kesadaran, dan perhatian terhadap kebutuhan

bayi berpengaruh terhadap lingkungan bayi.

Hubungan orang tua dan anak yang sehat dapat dilakukan dengan cara

sebagai berikut (Wardiyah & Rilyani, 2016):

1. Aquaintance

Pengetahuan mengenai orang lain yang ditimbulkan dari interaksi

perilaku yang tampak, antara lain kontak mata, sentuham, ungkapan

verbal dan eksplorasi. Aquaintance adalah persyaratan sebelum boundig

attachment.

2. Attachment

Hubungan unik antara dua orang yang spesifik, yang melibatkan

komitmen efektif dan emosional

3. Bounding
29

Bounding merupakan hubungan/interaksi awal antara orang tua atau

bayi.

2.2.3 Membangun Parentingself-efficacy

Menjadi orang tua pada periode awal postpartum merupakan periode

belajar dan beradaptasi bagi seorang ibu. Ibu mempelajari perilaku baru

dalam perawatan bayi yang efektif untuk mencapai kepuasan menjadi orang

tua. Salah satu yang mempengaruhi kepuasan ibu mencapai peran adalah

kepercayaan diri yang digambarkan sebagai self-efficacy (Leahy-Warren &

McCarthy, 2011), yaitu keyakinan seseorang terhadap kemampuannya

melakukan perilaku tertentu dengan baik. Self-efficacy adalah penilaian

seseorang terhadap kemampuannya dalam mengatur dan melakukan

serangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai hasil tertentu

(Bandura, 2011). Dalam beradaptasi menjadi orang tua, self-efficacy

dibutihkan untuk menggerakkan motivasu, sumber-sumber daya kognitif

dan tindakan yang dibutuhkan dalam mencapai situasi yang diinginkan.

Menurut Bandura (2011), self-efficacy seseorang ditentukan oleh

tingkat kesulitan dan spesifikasi tugas yang harus diselesaikan. Demikian

pula dengan tugas pengasuhan (parenting) bayi baru lahir. Orang tua yang

memiliki self-efficacy tinggi akan melakukan usaha yang lebih keras dan

memiliki kekuatan yang lebih besar guna mencapai tujuan yang diinginkan.

Parenting self-efficacy yang rendah menyebabkan ibu cenderung

mengerjakan tugas yang sesuai dengan kemampuannya dan menghindari

tugas yang dinilai diluar batas kemampuannya (Bandura, 2011).


30

Self-efficacy pada ibu postpartum sangat penting untuk menilai

kemampuan ibu melakukan perawatan bayi baru lahir secara efektif. Self-

efficacy mempengaruhi penilaian, usaha, ketahanan, pilihan hidup, dan

ketekunan ibu dalam beradaptasi menjadi orang tua. Parenting self-efficacy

merupakan keyakinan orang tua terhadap kemampuannya dalam mengatur

dan melakukan tugas yang berhubungan dengan pengasuhan anak dalam

kondisi tertentu (de Montigny & Lacharita, 2010). Proses menjadi orang

tua melibatkan hubungan dengan bayi dan pengembangan

keterampilan dalam tugas pengasuhan anak (Mercer, 2011).

Bandura (2011) menegaskan bahwa keberhasilan melakukan tugas dan

peran sebagai orang tua, ditentukan oleh keyakinan terhadap keberhasilan

dan kepercayaan diri dalam melakukan perilaku tertentu. Parenting self-

efficacy yang tinggi sangat penting bagi kenyamanan dan kepuasan menjadi

orang tua (Elek et al, 2011).

Parenting self-efficacy sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan

dan perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anak yang optimal. Beberapa

penelitian membuktikan bahwa ibu yang memiliki parenting self-efficacy

tinggi memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melakukan tugas sebagai

orang tua, lebih tanggap dalam merespon setiap isyarat dan kebutuhan bayi,

serta memiliki hubungan interaksi yang lebih baik dengan anak (Potter &

Perry, 2013). Hal ini akan meningkatkan tanggung jawab ibu dalam

merawat anak dan menurunkan kejadian kekerasan pada anak.

Bandura (2011) mengidentifikasi empat komponen sumber informasi

penting dalam membangun dan meningkatkan self-efficacy, yaitu: enactive


31

mastery experience, vicarious experience, persuassion verbal,dan

physiological and affective state. Enactive mastery experience (pengalaman

menguasai tindakan) berhubungan dengan pengalaman keberhasilan dan

kegagalan melakukan tugas tertentu. Menurut Bandura (2011) pengalaman

masa lalu merupakan sumber informasi yang paling berpengaruh terhadap

self-efficacy seseorang. Pengalaman orang tua terhadap keberhasilan dan

kegagalan dalam merawat anak sebelumnya dapat mempengaruhi

kepercayaan diri ibu dan meningkatkan self-efficacy untuk menghadapi

kesulitan-kesulitan pada perawatan anak selanjutnya.

Sumber informasi kedua adalah vicarious experience (pengalaman

pemodelan/kinerja orang lain). Keberhasilan orang lain menguasai suatu

tindakan akan mempengaruhi self-efficacy seseorang. Persepsi self-efficacy

seseorang akan meningkat ketika melihat orang lain berhasil melakukan

tugas tertentu, sebaliknya kegagalan orang lain juga dapat menurunkan self-

efficacy (Bandura, 2011). Keberhasilan orang lain biasanya akan memicu

dan memotivasi seseorang untuk berhasil, terutama bila memiliki kesamaan

dengan model tersebut. Semakin seseorang merasa mirip dengan model,

maka semakin besar pengaruh keberhasilan dan kegagalan model terhadap

terhadap self-efficacy, sebaliknya perbedaan yang besar dengan model akan

sangat tidak berpengaruh terhadap self-efficacy seseorang.

Persuasi verbal merupakan upaya yang digunakan untuk meyakinkan

seseorang bahwa ia memiliki kemampuan dalam mencapai tujuan yang

diinginkan. Persuasi dapat diberikan melalui dukungan dan informasi yang

sesuai dengan kebutuhan setiap ibu. Seseorang yang diberikan persuasi akan
32

memiliki motivasi dan kemauan yang lebih besar untuk menyelesaikan

tugas dan tanggung jawabnya dibandingkan yang tidak dipersuasi

(Bandura, 2011). Feedback positif terhadap setiap usaha yang telah

dilakukan seseorang dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dapat

meningkatkan motivasi. Leahy-Warren (2010) menegaskan bahwa informasi

dan dukungan dari tenaga kesehatan dan orang terdekat selama periose

postpartum akan mempengaruhi keyakinan ibu terhadap kemampuannya

dalam mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai orang tua.

Faktor lain yang tidak kalah penting mempengaruhi self-efficacy

adalah kondisi fisik dan emosi. Penurunan fungsi fisik akan menghasilkan

kinerja yang buruk. Kondisi stres dan kecemasan juga dapat mengancam

kemampuan diri seseorang (Bandura, 2011). Kelemahan dan kelelahan

setelah melahirkan dapat mempengaruhi parenting self-efficacy ibu. Oleh

karena itu, hasil akhir perawatan postpartum ditujukan untuk pemulihan dan

peningkatan fungsi fisik, serta memberikan kesejahteraan psikologis ibu

sehingga ibu mampu beradaptasi dan menjalankan peran sebagai orang tua

dengan baik (Perry & Potter, 2013).

Pembentukan self-efficacy seseorang didasarkan atas tiga dimensi

(Bandura, 2011), yaitu dimensi magnitude (tingkat kesulitan), dimensi

generality, dan dimensi strength (kekuatan). Dimensi mangnitude berkaitan

dengan tingkat kesulitan tugas sejauh mana keyakinan individu terhadap

kemampuannya melakukan tugas dengan tingkat kesulitan tertentu. Ketika

orang tua dihadapkan pada tugas dan tanggung jawab sebagai orang tua,

mereka akan memilih mengerjakan tugas yang sesuai dengan


33

kemampuannya dan menghindari tugas yang dinilai diluar batas

kemampuannya. Tingkat kesulitan mencakup tingkat keterampilan

(keyakinan terhadap keterampilan yang dimiliki untuk menyelesaikan tugas

dengan baik), tingkat usaha (keyakinan mampu mengerahkan usaha yang

cukup untuk menyelesaikan tugas dengan baik), tingkat ketepatan

(keyakinan mampu menyelesaikan tugas dengan tepat), produktivitas

(keyakinan akan menghasilkan sesuatu), dan cara menghadapi ancaman

(keyakinan mampu menghadapi setiap rintangan yang datang.

Bandura berpendapat bahwa self-efficacy dapat menurunkan rasa

cemas dan khawatir dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawab yang

harus dikerjakan karena individu memiliki kontrol yang baik terhadap

segala sesuatu yang ada disekitarnya. Kontrol individu dapat mengurangi

kesalahan dalam menyelesaikan tugas tertentu. Keberadaan self-efficacy

akan terlihat dalam proses perubahan perilaku, (Bandura, 2011), meliputi

proses kognitif, motivasi, afektif dan selektif. Self-efficacy dapat

mempengaruhi proses kognitif seseorang sebab dalam mewujudkan tujuan,

perilaku manusia selalu diatur dalam pemikiran sebelumnya. Parenting self-

efficacy yang tinggi akan mempengaruhi orang tua dalam melakukan

tindakan yang tepat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai

orang tua. Self-efficacy akan mengarahkan orang tua dalam memilih

perilaku yang sesuai dengan kapasitas kemampuannya dan tujuan yang

ingin dicapai. Motivasi yang kuat mengarahkan segala perilaku dan

memberikan keyakinan terhadap kemampuannya dalam menghadapi segala

hambatan dalam pencapaian tujuan.


34

Self-efficacy seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, tergantung

jenis tugas yang harus diselesaikan oleh individu tersebut. Beberapa faktor

yang dapat mempengaruhi parenting self-efficacy adalah (Badura, 2011):

a. Usia

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hubungan usia terhadap

parenting self- efficacy belum terlihat jelas. Umumnya self-efficacy

yang tinggi dapat ditemui pada usia 40-65 tahun yang disebut sebagai

tahap usia keberhasilan. Rentang usia ini merupakan waktu untuk

pengaruh maksimal, mampu membimbing dan menilai diri sendiri.

b. Jenis kelamin

Beberapa penelitian menunjukkan laki-laki memiliki self-efficacy yang

lebih tinggi dibandingkan perempuan.

c. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan umumnya akan mempengaruhi kemampuan

seseorang dalam menenerima dan mengolah informasi. Individu dengan

tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki self-efficacy yang lebih tinggi

pula.

d. Dukungan

Dukungan, terutama dari pasangan atau orang terdekat memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap self-efficacy. Dukungan sosial yang

adekuat memberikan keyakinan kepada ibu untuk melakukan tugas

perawatan bayi dengan benar.

e. Paritas/jumlah anak
35

Paritas/jumlah anak dihubungkan dengan pengalaman mengasuh dan

merawat anak sebelumnya. Pengalaman masa lalu sangat

mempengaruhi self-efficacy seseorang

f. Status kesehatan anak

Status kesehatan anak berhubungan dengan tingkat kesulitan perawatan

yang harus diberikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

masalah kesehatan anak berhubungan positif dengan parenting self-

efficacy yang rendah.

2.2.4 Evidance Based Edukasi Postpartum dan Parenting Self-

efficacy

Edukasi sebagai bagian dari pendidikan kesehatan (educational)

merupakan serangkaian upaya untuk mempengaruhi orang lain, baik

individu, keluarga, kelompok atau masyarakat agar terlaksana perilaku

hidup sehat sesuai dengan harapan pendidik (Notoatmodjo, 2012). Edukasi

merupakan proses pembelajaran interaktif dan menjadi bagian penting

dalam keperawatan untuk menambah pengetahuan, sikap dan keterampilan

dengan kegiatan yang mengarah pada meningkatkan, mempertahankan, dan

memulihkan status kesehatan, pencegahan penyakit, dan membantu individu

mengatasi efek sisa dari penyakit (Smeltzer & Bare, 2012; Potter & Perry,

2013).

Edukasi postpartum merupakan upaya pembelajaran bagi ibu

postpartum dan keluarga melalui pemberian informasi guna meningkatkan

pengetahuan, sikap, dan keterampilan terkait perawatan diri dan bayi serta

kemampuan melakukan peran orang tua. Pemberian edukasi postpartum


36

terintegrasi dalam asuhan keperawatan ibu dan bayi serta menjadi bagian

dari program rencana pemulangan ibu.

Idealnya, topik edukasi postpartum sudah diperkenalkan sejak masa

kehamilan melalui program edukasi atau kelas prenatal sebagai periode

persiapan menjadi orang tua. Sayangnya, program kelas prenatal umumnya

disediakan oleh rumah sakit swasta dengan biaya yang relatif mahal

sehingga sulit terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Edukasi prenatal

juga lebih berfokus pada masalah selama kehamilan dan persiapan

melahirkan sehingga perawatan bayi dan keterampilan sebagai orang tua

sering terlupakan (Sercekus & Mete, 2016). Oleh sebab itu, penting sekali

untuk memberikan pengajaran pada periode postpartum dalam upaya

membantu ibu meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri dalam

menjalankan perannya sebagai seorang ibu.

Penerimaan terhadap pengalaman persalinan akan membantu ibu

berpindah ke fase berikutnya, yaitu taking-hold (independen) yang

biasanya berlangsung kira-kira 10 hari. Ibu mulai menunjukkan perhatian

pada bayi, memiliki keinginan untuk belajar dan melakukan perawatan diri

dan bayinya. Kondisi fisik yang mulai pulih dan nyaman memungkinkan ibu

untuk menerima informasi dan pembelajaran terkait perawatan diri dan

bayinya sehingga menjadi waktu yang tepat bagi perawat untuk memberikan

edukasi postpartum (Perry, & Potter, 2013). Dukungan tambahan dari orang

terdekat dan tenaga kesehatan sangat dibutuhkan ibu selama periode ini

untuk meningkatkan keyakinan dan kemampuan ibu dalam melakukan tugas

dan tanggung jawab sebagai orang tua. Kurangnya dukungan akan membuat
37

ibu merasa cemas, kewalahan dan kelelahan, dan semua kondisi ini dapat

menjadi pencetus depresi postpartum (postpartum blues). Akhir dari fase

independen diharapkan akan membentuk suatu pola menetap sesuai dengan

tugas dan tanggung jawab yang telah dapat diterima oleh orang tua dan bayi.

Kondisi ini akan memungkinkan ibu dan keluarga bergerak maju sebagai

suatu sistem dengan anggota keluarga dapat saling berinteraksi yang disebut

dengan fase letting-go (interdependen).

Secara umum edukasi bertujuan untuk mengajarkan klien untuk hidup

dalam kondisi yang terbaik dan berusaha keras mencapai tingkat

kesehatan yang maksimum (Smeltzer & Bare, 2012). Edukasi postpartum

menjadi bagian dari pemeliharaan dan promosi kesehatan, pencegahan

penyakit dan komplikasi, pemulihan kesehatan selama periode postpartum

sehingga dapat beradaptasi terhadap semua perubahan yang terjadi dan

mampu menjalankan peran sebagai orang tua dengan baik (Potter & Perry,

2013).

Pemberian edukasi pada periode postpartum menjadi bagian penting

dalam perawatan maternitas. Beberapa penelitian membuktikan bahwa

edukasi pada periode postpartum dapat meningkatkan pengetahuan, sikap,

dan kemampuan ibu dalam perawatan diri dan bayi, termasuk kemampuan

dalam menyusui (Khresheh, Suhaimat, Jalamdeh, & Barclay, 2011).

Pengetahuan, sikap, dan kemampuan tersebut tentu saja memberi pengaruh

baik terhadap pencapaian peran ibu. Weiss & Lokken (2009) membuktikan

dalam penelitiannya bahwa edukasi postpartum yang berkualitas

mempengaruhi kesiapan pulang ibu, meningkatkan keterampilan dan


38

kepercayaan ibu dalam menjalankan peran perawatan diri, bayi, dan

keluarganya di rumah. Sementara ibu yang merasa menerima edukasi

kurang berkualitas membutuhkan perawatan atau kunjungan emergensi

karena mempunyai masalah pada bayinya. Wagner, Bear, & Davidson

(2011) juga menemukan bahwa ibu yang menerima edukasi tentang

perawatan dirinya selama periode postpartum memiliki kepuasan yang lebih

besar terhadap perawatan yang diterimanya. Kepuasan tersebut tentu saja

memberi dampak pada kualitas pelayanan dan nama baik rumah sakit.

Beberapa metode edukasi postpartum yang biasa digunakan

(Notoatmodjo, 2012) adalah:

a. Metode edukasi individu. Metode ini digunakan untuk membina

perilaku baru pada individu yang mulai tertarik kepada suatu perubahan

perilaku atau inovasi. Penggunaan metode ini didasarkan pada keunikan

dan kebutuhan belajar setiap individu yang berbeda. Edukasi individu

dapat dilakukan dalam bentuk bimbingan dan penyuluhan (guidance

and councelling), dan wawancara (interview).

b. Metode edukasi kelompok merupakan edukasi yang diberikan pada

sekumpulan individu yang saling berinteraksi dalam pemenuhan

kebutuhan hidupnya Penggunaan metode edukasi ini harus

memperhatikan besarnya kelompok dan tingkat pendidikan. Edukasi

kelompok dapat dilakukan dalam bentuk ceramah, diskusi, dan curah

pendapat (brain storming). Edukasi kelompok sangat memungkinkan

ibu mendapat pengetahuan dari pengalaman ibu lain yang berada dalam

kelompok diskusi.
39

2.2.5 Teori Belajar dalam Meningkatkan Edukasi dan Parenting

Self-efficacy

Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang berkelanjutan

dengan memberikan berbagai stimulus sehingga menghasilkan perubahan

perilaku. Salah satu dasar teori teori yang digunakan dalam

mengembangkan intervensi edukasi pada pasien adalah teori sosial kognitif

(social cognitive theory). Teori sosial kognitif dikembangkan oleh Bandura,

sebagian besar membahas tentang teori kognitif dengan menggabungkan

prinsip-prinsip behaviourisme. Teori ini menjelaskan bahwa individu

memperoleh informasi, nilai, sikap, penilaian moral, standar perilaku dan

perilaku baru melalui pengamatan. Individu dapat belajar, meniru dan

menyusun aturan dalam berperilaku dengan melakukan pengamatan orang-

orang disekitarnya, model film atau rekaman video, model simbol (catatan

hasil kinerja) atau instruksi yang telah ditetapkan, dan semua informasi

tersebut memberi panduan untuk melakukan tindakan tertentu (Redman,

2007).

Teori sosial kognitif mengemukakan bahwa perubahan perilaku pada

individu merupakan hasil interaksi antara manusia (personal), perilaku

(behavior), dan lingkungan (environmental). Perilaku dapat mempengaruhi

kognitif dan lingkungan, kognitif dapat mempengaruhi perilaku dan

lingkungan, dan lingkungan dapat mempengaruhi kognitif dan lingkungan

(Billek-Sawhney & Reicherter, 2004; Ormrod, 2009). Hubungan timbal

balik ketiga faktor tersebut terlihat pada skema berikut:

Skema 2.1
Teori kognitif
40

BEHAVIOR

COGNITIVE AND ENVIRONMENTAL


PERSONAL FACTORS FACTORS

Sumber: Billek-Sawhney & Reicherter, 2004; Ormrod, 2009

Dalam model pembelajaran Bandura, interaksi ketiga faktor tersebut

dijelaskan oleh Bandura dalam teori imitasi (peniruan). Bersama Walter

(2015) Bandura melakukan penelitian pada anak-anak dengan cara

memberikan tontonan video tentang orang dewasa memukul, mengetuk

dengan palu besi dan menumbuk sambil menjerit-jerit. Setelah itu, anak-

anak tersebut diarahkan bermain diruang bermain dan terdapat patung

seperti dalam video. Setelah melihat patung tersebut, anak-anak meniru

aksi- aksi seperti yang dilakukan orang dalam video yang mereka tonton.

Teori sosial kognitif digunakan untuk mengenal dan memprediksi

perilaku individu dan mengidentifikasi metode-metode yang tepat untuk

merubah perilaku individu sehingga akan sangat berguna bila diterapkan

pada intervensi-intervensi yang bertujuan untuk merubah perilaku dan

promosi kesehatan, misalnya edukasi kesehatan (Bandura, 2011). Proses

belajar berhubungan dengan perubahan perilaku dan melewati suatu proses

kognisi. Individu membentuk perilaku baru dan menjadi evaluasi terhadap


41

perilaku lama, kemudian pengalaman sebelumnya menuntun individu

menginvestigasi masalah-masalah yang muncul pada pengalaman saat ini.

Teori ini juga mampu menyoroti alasan individu

mempertimbangkan dan mengadopsi perilaku baru, misalnya sistem

kepercayaan, pengetahuan, sikap, nilai, motivasi dan self-efficacy.

Keberhasilan edukasi akan lebih besar jika kita memahami alasan mengapa

klien mengadopsi atau tidak mengadopsi perilaku, dan sikap juga dapat

diukur untuk memprediksi dan mempertahankan perubahan perilaku

Menurut Notoatmodjo (2012), perilaku manusia sebagian besar

diperoleh melalui proses kognitif dan meniru orang lain (pemodelan).

Perilaku model dipelajari melalui bahasa, keteladanan dan nilai-nilai yang

diyakini. Seseorang akan meniru suatu kemampuan atau perilaku yang

didemonstrasikan orang lain yang dianggap sebagai model, dan kemampuan

meniru akan semakin besar jika seseorang memiliki kepuasan dan

penguatan yang positif. Oleh sebab itu, sebagai seorang edukator bagi

pasien, perawat harus mampu berperan sebagai model karena seseorang

cenderung meniru dan mengikuti sikap dan perilaku orang lain yang

dipercaya. Perawat memiliki image yang positif bagi pasien sehingga setiap

perkataan dan perilaku perawat cenderung diperhatikan, diingat dan ditiru

oleh pasien untuk memperbaiki dan mempertahankan status kesehatan yang

diharapkan.

Dalam mengembangkan edukasi pasien, teori sosial kognitif

didasarkan pada beberapa konsep penting yaitu tujuan (goals), hasil yang

diharapkan (outcome expectations), dan kemampuan diri (self-efficacy).


42

Goals merupakan kondisi kesehatan khusus yang diinginkan pasien.

Outcome expectations merupakan keyakinan melakukan perilaku tertentu

akan memberikan hasil yang diharapkan. Self-efficacy merupakan keyakinan

seseorang terhadap kemampuannya melakukan perilaku tersebut. Self-

efficacy diperlukan untuk memulai dan mempertahankan perubahan perilaku

(Billek-Sawhney & Reicherter, 2004). Individu yang memiliki self-efficacy

tinggi akan melakukan usaha keras atau perilaku-perilaku khusus yang

diyakini dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Menggunakan konsep pembelajaran teori sosial kognitif, beberapa

penelitian mengembangkan intervensi untuk merubah perilaku dengan

meningkatkan self-efficacy. Dalam pelaksanaannya, perawat berperan

sebagai edukator dan model yang memfasilitasi individu meningkatkan

kemampuan beradaptasi dan melakukan aktivitas fisik. Penelitian oleh Wan-

Yim, Tang, & Goggins (2008) memberikan intervensi dua sesi program

edukasi pada ibu hamil untuk meningkatkan kemampuan melewati proses

persalinan. Program edukasi dikembangkan dengan mengacu pada 3 sumber

informasi yang dapat meningkatkan self-efficacy menurut Bandura, yaitu

penguasaan tindakan, pemodelan, dan persuasi verbal. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa setelah program edukasi, self-efficacy ibu dalam

menjalani persalinan meningkat secara signifikan. Hasil penelitian ini juga

membuktikan bahwa kemampuan koping terhadap nyeri dan cemas

saat persalinan pada ibu yang diberikan edukasi lebih baik dibandingkan

kelompok kontrol.

Secara umum, edukasi postpartum bertujuan untuk membantu


43

beradaptasi terhadap peran ibu dan belajar bagaimana merawat diri dan

bayinya, serta dapat mengidentifikasi masalah kesehatan yang umum terjadi

(Perry & Potter, 2013). Ibu postpartum membutuhkan informasi seputar

perawatan diri dan bayinya selama 6 bulan paska melahirkan. Dalam

meningkatkan parental self-efficacy, perawat perlu menyediakan informasi

terkait tugas-tugas dalam membina hubungan ibu dan anak dalam setiap

situasi, bagaimana untuk tanggap terhadap isyarat dan kebutuhan bayi, dan

bagaimana memberikan respon pada setiap tahap pertumbuhannya.

Beberapa materi pokok yang berhubungan dengan perawatan dan

pengasuhan bayi adalah karakteristik perilaku bayi, pola aktivitas/tidur bayi,

kebutuhan nutrisi bayi, perawatan dasar bayi seperti memandikan, merawat

tali pusat, mengganti pakaian dan membedong, mengangkat, menggendong

dan menenangkan bayi, serta cara merangsang pertumbuhan dan

perkembangan bayi.

2.3 kerangka teori

Faktor yang mempengaruhi


produksi ASI:
a. Makanan
b. Ketenangan jiwa dan
fikiran
Predisposing c. Penggunaan ala
factors: tkontrasepsi
Pengetahuan d. Perawatan payudara
Sikap
EnablingKeyakinan
factors:
Kepercayaan
Lingkungan Fisik (Fasilitas dan sarana
Nilai-nilai,
dari tempat bekerja) dsb
44

Masalah ibu menyusui

1. Kurang
informasi
2. Putting
susu pendek/
terbenam
Menyusui 3. Payudara
bengkak
4. Putting
susu lecet
5. Saluran
Reinforcing factor ASI tersumbat
Sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain. 6. Radang
Dukungan keluarga
Self efficacy payudara
7. Abses
payudara
8. Asi

Sumber : modiviksi antara Green (2005), Soetjiningsih (2012), Danutmaja (2012)

2.4 kerangka konsep

Gambar 2.2
Kerangka Konsep
45

parenting self efficacy


insufficient breast milk

2.5 Hipotesis

Ha: Ada hubungan antara parenting self efficacy dengan persepsi ibu

tentang insufficient breast milk pada ibu postpartum di UPTD Puskesmas

Kotabumi II tahun 2019.

Anda mungkin juga menyukai