Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

Spontaneous Pneumothoraces

Oleh :
dr. Nidya Dwi Cahyani

Pembimbing :
dr. Aleksis, Sp.P

Pendamping:
dr. Dianti Aswita

RSUD PURI HUSADA TEMBILAHAN


KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA
PUSAT PERENCANAAN DAN PENDAYAGUNAAN SDM KESEHATAN
BADAN PPSDM KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI
RIAU
2019-2020
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ........................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pneumothoraks ................................................................... 5
2.2 Epidemiologi Pneumothoraks .......................................................... 5
2.3 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Mekanisme Kejadian ......... 6
2.4 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Jenis Fistula ....................... 8
2.5 Perhitungan Luas Pneumothoraks …………………………….. 10
2.6 Manifestasi Klinis dan Diagnosis Pneumothoraks ........................... 12
2.7 Penatalaksanaan Pneumothoraks............................................ 13
2.8 Komplikasi Pneumothoraks.............................................................. 15
2.9 Prognosis Pneumothoraks ................................................................ 16
BAB III LAPORAN KASUS ........................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 18

2
BAB I
PENDAHULUAN

Pneumothoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura. Pada
keadaan normal rongga pleura tidak terisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap
rongga dada.1 Pneumothoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik. Pneumothoraks spontan
dibagi menjadi primer dan sekunder, primer jika penyebabnya tidak diketahui, sedangkan sekunder
jika terdapat latar belakang penyakit paru. Pneumothoraks traumatik dibagi menjadi pneumothoraks
traumatik iatrogenik dan bukan iatrogenik. 2

Istilah 'pneumothorax' pertama kali diciptakan oleh Itard dan kemudian Laennec masing-
masing pada tahun 1803 dan 1819 mengacu pada udara di rongga pleura (yaitu, di ruangan antara
paru-paru dan dinding dada). Pada saat itu, sebagian besar kasus pneumotoraks adalah sekunder
akibat tuberkulosis, meskipun beberapa diketahui terjadi pada pasien yang sehat (pneumotoraks
primer). Klasifikasi ini telah bertahan lama, dengan deskripsi modern pertama pneumotoraks yang
terjadi pada orang sehat (pneumotoraks spontan primer, PSP) yang di temukan Kjærgaard2 pada
tahun 1932. Ini adalah masalah kesehatan global yang signifikan, dengan insiden yang dilaporkan
18–28 / 100.000 kasus per tahun untuk pria dan 1,2–6 / 100.000 untuk wanita dengan tingkat
kematian yang sesuai sebesar 1,26 / juta dan 0,62 / juta per tahun antara tahun 1991 dan 1995.3

Pada penelitian terkini dari 505 pasien di Israel dengan pneumothoraks spontan sekunder
didapatkan penyebab terbanyak adalah PPOK 348, tumor 93, sarkoidosis 26, tuberkulosis 9, penyakit
infeksi paru lainya 16, dan lain-lain 13 orang.1 Data di RSU dr.Soetomo tahun 2000-2004
menyebutkan terdapat 392 orang pasien pneumotoraks spontan sekunder yang dirawat di bangsal
paru, dan pasien dengan penyakit dasar Tuberkulosis paru sebanyak 304 orang (76%). Fistel
bronkopleura adalah keadaan dimana terjadi hubungan antara rongga pleura dan bronkus, hal ini
merupakan hal yang relatif jarang terjadi tetapi membawa dampak terhadap tingginya morbiditas dan
mortalitas serta berhubungan dengan lamanya perawatan di rumah sakit.4

Di RS Cipto Mangunkusumo pada tahun 2000-2011 didapatkan pasien dengan pneumotorak


spontan primer 25%, pneumotorak spontan sekunder 47,1%, pneumotorak traumatik 13,5% dan
pneumotorak tension 14,4%. Angka mortalitas pneumotoraknya pun tinggi yaitu sebanyak 33,7%
dengan penyebab kematian terbanyak gagal napas (45,8%).5 Di Instalasi Gawat Darurat ( IGD)

3
Persahabatan Jakarta pada tahun 1999 didapat 253 penderita pneumotoraks dan angka ini merupakan
5,5 % kunjungan dari seluruh kasus respirasi yang datang.2

Tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang
Pneumothoraks sebagai salah satu penyakit di bidang ilmu Penyakit Paru sehingga dapat melakukan
diagnosis dini untuk menentukan terapi bagi pasien.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pneumothoraks


Pneumothoraks adalah kumpulan dari udara atau gas dalam rongga pleura dari dada
antara paru-paru dan dinding dada.1

Pneumothorax merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada kavum pleura.
Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa
mengembang terhadap rongga dada.2

2.2 Epidemiologi Pneumothoraks


Pneumothoraks spontan lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan.
kejadian tahunan PSP (Pneumothoraks Spontan Primer) adalah 18-28 per 100.000 pada laki-
laki dan 1,2-6,0 pada wanita. Pneumothoraks Spontan Sekunder (PSS) kurang umum, dengan
6,3 untuk pria dan 2,0 untuk perempuan. resiko kambuhnya tergantung pada penyakit paru-
paru yang mendasarinya. Setelah episode kedua telah terjadi, ada kemungkinan lebih tinggi
untuk episode berikutnya.1
Insiden pneumothoraks yang dilaporkan 18–28 / 100.000 kasus per tahun untuk pria
dan 1,2–6 / 100.000 untuk wanita.3

5
2.3 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Mekanisme Kejadian
Pneumothoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik dan klasifikasi
pneumothoraks berdasarkan mekanisme kejadian adalah sebagai berikut :
a. Pneumothoraks Spontan
Adalah pneumothoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa adanya suatu penyebab
trauma atau iatrogenik, ada 2 jenis yaitu :
 Pneumothoraks Spontan Primer (PSP)
Suatu pneumothoraks yang terjadi tanpa riwayat penyakit paru yang
mendasari sebelumnya, umumnya pada indivisu sehat, dewasa muda, laki-laki
tinggi, perokok, tidak berhubungan dengan aktifitas fisik yang berat tetapi
justru pada saat istirahat dan sampai sekarang belum diketahui penyebabnya.2
Mekanisme yang diduga mendasari terjadinya PSP adalah ruptur bleb
subpleura pada apeks paru-paru. Udara yang terdapat di ruang intrapleura
tidak didahului oleh trauma, tanpa disertai kelainan klinis dan radiologis.
Namun banyak pasien yang dinyatakan mengalami PSP mempunyai penyakit
paru-paru subklinis. Riwayat keluarga dengan kejadian serupa dan kebiasaan
merokok meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks ini.6
Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme PSP
adalah terdapat sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya.
Peningkatan porositas menyebabkan kebocoran udara viseral dengan atau
tanpa perubahan emfisematous paru-paru. Hubungan tinggi badan dengan
peningkatan resiko terjadinya PSP adalah karena gradien tekanan pleura
meningkat dari dasar ke apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks paru-paru
orang bertubuh tinggi rentan terhadap meningkatnya tekanan yang dapat
mendahului proses pembentukan kista subpleura.7 PSP umumnya dapat
ditoleransi dengan baik oleh penderitanya karena tidak adanya penyakit paru-
paru yang mendasar.6 Pada sebagian besar kasus PSP, gejala akan berkurang
atau hilang secara spontan dalam 24-48 jam.7

 Pneumothoraks Spontan Sekunder (PSS)


Pneumotoraks dapat ditemukan pada tuberkulosis dengan kavitas. Pada
pasien yang dirawat dengan diagnosis tuberkulosis, 1% sampai 3% ditemukan
adanya pneumotoraks.

6
Mekanisme terjadinya pneumotoraks pada tuberculosis belum diketahui
secara pasti. Beberapa kemungkinan di antaranya yaitu pembentukan nodul
subpleura yang mengalami perkejuan dan nekrosis yang selanjutnya akan
pecah ke rongga pleura, terjadinya peningkatan tekanan intra alveolar akibat
batuk yang sering menyebabkan septa antara pecah yang mengakibatkan
terjadinya pneumomediastinum, atau pecahnya bula lesi emfisematus.
Untuk penangan PSS, ACCP merekomendasikan pemasangan chest
tube atau thorakostomi untuk setiap pasien PSS, dan pleurodesis pada episode
pertama PSS guna mencegah rekurensi. Sedangkan BTS merekomendasikan
aspirasi dengan syringe dan kateter untuk pasien pneumotoraks kecil dengan
penyakit paru ringan yang mendasari. Sebagian besar pasien membutuhkan
drainase melalui chest tube. Pelepasan chest tube dilakukan setelah terjadi re-
ekspansi paru dan resolusi kebocoran udara. Pleurodesis merupakan terapi
pilihan terakhir dan dilakukan pada pasien dengan kebocoran udara yang tidak
teratasi dan mengalami pneumotoraks rekuren.7

b. Pneumothoraks Traumatik
Adalah pneumothoraks yang terjadi akibat suatu trauma, baik trauma
penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada
maupun paru. Pneumothoraks traumatik dibagi menjadi 2 yaitu:
 Pneumothoraks Traumatik Iatrogenik
Suatu pneumothoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan
medis. Pneumothoraks jenis inipun masih dibedakan menjadi 2 yaitu :
a) Pneumothoraks Traumatik Iatrogenik Aksidental yaitu
penumothoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena
kesalahan/komplikasi tindakan medis tersebut,
b) Pneumothoraks Traumatik Iatrogenik Artifisial yaitu
penumothoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi
udara ke dalam rongga pleura melalui jarum dengan suatu alat
Maxwell box.2
 Pneumothoraks Traumatik bukan Iatrogenik
Pneumothoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas
pada dinding dada baik terbuka maupun tertutup.2 Pneumotoraks jenis ini

7
terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang merusak pleura viseralis atau
parietalis. Pada trauma tajam, luka menyebabkan udara dapat masuk ke rongga
pleura langsung ke dinding toraks atau menuju pleura viseralis melalui
cabang-cabang trakeobronkial. Luka tusuk atau luka tembak secara langsung
melukai paru-paru perifer menyebabkan terjadinya hemothoraks dan
pneumotoraks di lebih dari 80% lesi di dada akibat benda tajam.
Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis
terobek oleh fraktur atau dislokasi costa. Kompresi dada tiba-tiba
menyebabkan peningkatan tekanan alveolar secara tajam dan kemudian terjadi
ruptur alveoli. Saat alveoli ruptur udara masuk ke rongga intersisiel dan terjadi
diseksi menuju pleura viseralis atau mediastinum. Pneumotoraks terjadi saat
terjadi ruptur pada pleura viseralis atau mediastinum dan udara masuk ke
rongga pleura. Manifestasi klinisnya dapat berupa fallen lung sign/peptic lung
sign di mana hilus paru terletak lebih rendah dari normal atau terdapat
pneumotoraks persisten dengan chest tube terpasang dan berfungsi dengan
baik.8
Pneumotoraks traumatik bukan iatrogenik juga dapat terjadi akibat
barotrauma. Pada suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik
dengan tekanannya, sehingga apabila ditempatkan pada ketinggian 3050 m,
volume udara yang tersaturasi pada tubuh meningkat 1,5 kali lipat daripada
saat di ketinggian permukaan laut. Pada peningkatan tekanan tersebut, udara
yang terjebak dalam bleb dapat mengalami ruptur dan menyebabkan
pneumotoraks. Hal ini biasanya terjadi pada kru pesawat terbang. Sedangkan
pada penyelam, udara yang terkompresi dialirkan ke paru-paru harus melalui
regulator dan sewaktu naik ke permukaan barotrauma dapat terjadi seiring
dengan penurunan tekanan secara cepat sehingga udara yang terdapat di paru-
paru dapat menyebabkan pneumotoraks.8

2.4 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Jenis Fistula


a. Pneumothoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam
rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi
negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru
8
belum mengalami reekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun
tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan
pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif. Misal terdapat robekan
pada pleura viseralis dan paru atau jalan nafas atau esofagus, sehingga masuk
kavum pleura karena tekanan kavum pleura negative.9

b. Pneumothoraks Terbuka (Open Pneumothorax)

Gambar 2.1 Open Pneumothorax

Pneumotoraks terbuka yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan


antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar
karena terdapat luka terbuka pada dada. Dalam keadaan ini tekanan intrapleura
sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura
sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang
disebabkan oleh gerakan pernapasan. Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif
dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum
bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound).9

9
c. Pneumothoraks Ventil (Tension Pneumothorax)

Gambar 2.2 Tension Pneumothorax


Pneumotoraks ventil adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang
positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis
yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus
serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang
terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar.
Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi
tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan
paru sehingga sering menimbulkan gagal napas.9

2.5 Penghitungan Luas Pneumotoraks


Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan
jenis kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang
bisa dipakai dalam menentukan luasnya kolaps paru, antara lain :

1. Menurut British Thoracic Society pleural disease guideline 2010


menggunakan fungsi kubus dari dua pengukuran sederhana, dan fakta bahwa
pneumotoraks radiografi 2 cm mendekati 50% pneumotoraks berdasarkan
volume.3

10
2. Menurut American College of Chest Physicians Delphi Consensus
Statement.9

Gambar 2.3 Perhitungan Luas Pneumothoraks berdasarkan BTS dan ACCP

3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas
hemitoraks menurut KIRCHER & SWARTEL.

(L) hemitorak – (L) kolaps paru

(AxB) - (axb) x 100 %


AxB

Gambar 2.3 Perhitungan Luas Pneumothoraks


berdasarkan KIRCHER & SWARTEL

11
2.6 Manifestasi Klinis dan Diagnosis Pneumothoraks
2.6.1 Anamnesis
a) Pneumothoraks Spontan Primer :
- Nyeri dada dan kadang-kadang sesak nafas ringan
- Gejala biasanya mulai saat istirahat
b) Pneumothoraks Spontan Sekunder :
- Nyeri dada yang tiba-tiba dan lebih berat dari PSP
- Bibir berwarna kebiruan (sianosis) karena penurunan kadar oksigen dalam
darah
- Sesak nafas yang mendadak
- Penurunan kesadaran
c) Pneumothoraks terbuka :
- Sesak nafas
- Nyeri dada yang hebat setiap menarik nafas, karena kasus ini biasanya di
barengi dengan patah tulang rusuk.
d) Tension Pneumothoraks :
- Sesak nafas yang semakin lama semakin dirasakan kuat
- Nyeri dada yang semakin lama semakin dirasakan kuat
- Sianosis (biru) pada bibir dan kulit.1

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


a) Inspeksi: dapat terjadi pergeseran trakea, pencembungan dan pada waktu
pergerakan nafas, tertinggal pada sisi yang sakit.
b) Palpasi: Pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau melebar, iktus
jantung terdorong kesisi thoraks yang sehat. Fremitus suara melemah sampai
menghilang.
c) Perkusi: Suara ketok hipersonor sampai timpani, batas jantung terdorong ke
thoraks yang sehat.
d) Auskultasi: suara nafas melemah sampai menghilang, nafas dapat amforik
apabila ada fistel yang cukup besar.1

12
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
a) Radiologis:
- Garis pleura viseralis tampak putih lurus atau cembung terhadap
dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis. Celah
antara kedua garis pleura tersebut tampak lusen karena berisi
kumpulan udara dan tidak didapatkan corakan vaskuler pada
daerah tersebut ini disebut pleural line.
- Bila pneumotoraks berat dapat menyebabkan terjadinya kolaps
dari paru- paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru yang
terdesak ini lebih padat dengan densitas seperti bayangan tumor.
- Biasanya arah kolaps ke medial
- Perdorongan pada jantung misalnya pada pneumotoraks ventil
- Mediastinum dan trakea dapat terdorong kesisi yang berlawanan.
b) BGA: untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah.

2.7 Penatalaksanaan Pneumothoraks


2.7.1 Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks
Penatalaksanaan awal pada semua pasien trauma adalah dilakukan stabilisasi
leher hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera cervical dengan cara
memasang cervical collar. Evaluasi tingkat kesadaran dengan menyapa pasien dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan ABC (airway, breathing, circulation).3
Pada pemeriksaan jalan nafas yaitu membuka jalan nafas dengan jaw thrust
(bila dicurigai terdapat cedera cervical/pada pasien tidak sadar) atau head tilt chin
lift dilanjutkan dengan membersihkan rongga mulut dengan swab mengunakan jari
telunjuk, mempertahankan jalan nafas agar tetap terbuka. Pada pasien tidak sadar
dilakukan pemasangan orofaringeal tube untuk mencegah lidah jatuh dan menutup
jalan nafas.
Pemeriksaan pernafasan yaitu melihat, mendengar, dan merasakan dilakukan
secara bersamaan. Pada pasien dengan pneumotoraks perkembangan dinding dada
asimetris, deviasi trakea ke paru yang sehat, JVP meningkat, suara nafas menurun
bahkan menghilang dan pada perkusi didapatkan hipersonor. Bila didapatkan
tanda-tanda tersebut, langsung dilakukan tindakan needle thoracostomy.

13
Pemeriksaan nadi karotis dan radialis didapatkan takhikardi, akral dan
memeriksa capillary refill test. Dilakukan pemasangan intravenous line, bila terjadi
perdarahan masif dilakukan pemasangan double line dengan cairan kristaloid.

2.7.2 Penatalaksanaan Pneumotoraks Spontan

Gambar 2.4 Penatalaksanaan Pneumothoraks Spontan3

2.7.3 Penatalaksanaan Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)


Oksigen 100% harus diberikan melalui facemask. Intubasi harus
dipertimbangkan bila oksigenasi atau ventilasi tidak adekuat. Intubasi tidak boleh
menunda pemasangan chest tube dan penutupan luka. Manajemen definitif pada
open pneumotoraks adalah menutup luka dan segera memasang intercostal chest
drain.

14
Bila chest drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa
melakukan terapi definitive, perban dapat diletakkan di atas luka dan diplester pada
tiga sisinya. Secara teori, hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk
memungkinkan udara keluar dari pneumotoraks selama ekspirasi, namun tidak
masuk selama inspirasi. Hal ini mungkin sulit bila dilakukan pada luka yang luas
dan efeknya sangat bervariasi. Sesegera mungkin chest drain harus dipasangdan
luka ditutup.
2.7.4 Penatalaksanaan Tension Pneumothorax
2.7.4.1 Needle Thoracostomy
Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada
emergensi dengan needle toracostomy. Jarum ukuran 14-16 G ditusukkan pada
Intercostal Space (ICS) II Mid Clavicular Line (MCL). Jarum dipertahankan
hingga udara dapat dikeluarkan melalui spuit yang terhubung dengan jarum.
Jarum ditarik dan kanul dibiarkan terbuka di udara. Udara yang keluar dengan
cepat dari dada menunjukkan adanya tension pneumothorax. Manuver ini
mengubah tension pnemothorax menjadi simple pneumothorax.
2.7.4.2 Pemasangan Chest Tube
Pemasangan chest tube merupakan terapi definitif pada tension
pneumothorax. Chest tube harus tersedia dengan cepat di ruang resusitasi dan
pemasangannnya biasanya cepat. Pemasangan terkontrol chest tube lebih baik
untuk blind needle thoracostomy. Hal ini menyebabkan status respiratori dan
hemodinamik pasien akan menoleransi beberapa menit tambahan untuk
melakukan surgical thoracostomy. Setelah pleura dimasuki (diseksi tumpul),
tekanan akan didekompresi dan pemasangan chest tube dapat dilakukan tanpa
terburu-buru. Hal ini terutama berlaku bagi pasien yang terventilasi manual
dengan tekanan positif.

2.8 Komplikasi Pneumothoraks


Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumotoraks antara lain adalah
pneumomediastinum dan emfisema subkutis. Pneumomediastinum dapat terjadi melalui tiga
tahap yang umum disebut dengan efek Macklin. Urutan kejadiannya adalah terjadinya ruptur
alveolar kemudian terjadi diseksi sepanjang selubung bronkovaskuler menuju daerah hilus
dan akhirnya udara mencapai mediastinum.

15
Pneumomediastinum jarang menyebabkan komplikasi klinis yang signifikan. Tetapi
pada beberapa kasus, tension pneumomediastinum dapat menyebabkan peningkatan tekanan
mediastinum sehingga terjadi penekanan langsungterhadap jantung atau menurunkan aliran
darah balik sehingga terjadi penurunan curah jantung. Pneumomediastinum dapat
berkembang menjadi emfiesema subkutis. Apabila udara pada subkutan dan mediastinum
sangat banyak dapat terjadi kompresi jalan napas dan jantung.11

Gambar 2.5 Komplikasi Pneumothoraks, Pneumomediastinum

Pada fotothoraks tampak sebagai daerah radiolusens di sekitar batas jantung


kiri.Mediastinum berhubungan dengan daerah submandibula, retrofaringeal, dan selubung
pembuluh darah leher, dan toraks lateral.11
Emfisema subkutis terjadi akibat udara memasuki daerah-daerah tersebut dan
bermanifestasi sebagai pembengkakan tidak nyeri. Pada palpasi akan terasa seperti kertas.
Gambaran radiologis untuk emfisema subkutis adalah radiolusen di tepian struktur anatomi
terkait. Komplikasi ini dapat memperparah keadaan pasien dengan pneumotoraks akibat
kompresi jalan napas. Pertolongan pertama yang dapat dilakukan apabila terjadi distres
adalah insisi kulit dengan pisau pada daerah kulit yang mengalami pembengkakan.

2.9 Prognosis Pneumothoraks


Pasien dengan pneumothoraks spontan hampir separuhnya akan mengalami
kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube thoracostomy.
Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumothoraks yang dilakukan torakotomi
terbuka. Pasien yang penatalaksanaannya cukup baik jarang dijumpai komplikasi. Pasien
pneumthoraks spontan sekunder tergantung penyakit paru yang mendasarinya, misalkan pada
pasien PSS dengan PPOK harus lebih berhati-hati karena sangat berbahaya.

16
BAB III
STATUS PASIEN

IDENTITAS
Nama : Tn. B
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 61 Tahun
Alamat : Pelangiran
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Masuk Rumah Sakit : 24 November 2019
Nomor CM : 3338**

ANAMNESIS TANGGAL: 24 November 2019 (10.19 WIB)


KELUHAN UTAMA : Sesak nafas

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :


Tn. B, 61 tahun, alamat pelangiran, datang ke RSUD Puri Husada melalui IGD pada tanggal
24 November 2019 dengan keluhan utama sesak napas yang hebat sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit (SMRS). Awalnya satu bulan yang lalu pasien pernah mengalami sesak yang munculnya
tiba-tiba. Sesak bertambah saat pasien bergerak dan menarik napas yang dalam akan tetapi sesak
dapat berkurang dengan istirahat, sehingga pasien tidak pernah berobat. Semakin hari sesak
dirasakan pasien semakin memberat sehingga pasien memutuskan untuk berobat ke puskesmas
mandah, setelah berobat sesak teratasi. Satu minggu kemudian pasien mengeluhkan sesak yang
makin hebat, sesak muncul tiba-tiba, sesak bertambah saat pasien bergerak, tidak berkurang dengan
perubahan posisi, pasien juga mengeluhkan nyeri pada dada kiri, nyeri bertambah saat pasien
menarik napas dalam. Batuk-batuk (+) batuk berdahak berwarna putih dengan volume +/- ½ gelas,
batuk berdarah tidak dijumpai, demam tidak dijumpai, pada saat ini pasien di bawa keluarga nya ke
Puskesmas Mandah dan di rawat selama dua hari, setelah kondisi pasien agak stabil pasien dirujuk ke
RSUPH tembilahan.
Pasien mempunyai riwayat batuk lama sebelumnya, batuk berdahak berwarna putih, batuk
berdarah tidak dijumpai, demam dijumpai hilang timbul, keringat malam tidak dijumpai, penurunan
berat badan tidak dijumpai dan nafsu makan biasa, ini di keluhkan pasien dalam +/- 3 bulan ini, akan
tetapi pasien tidak merasa terganggu dengan keluhan tersebut sehingga pasien tidak berobat..
17
Riwayat minum obat selama 6 bulan disangkal. Pasien juga tidak mempunyai riwayat trauma,
riwayat asma, riwayat penyakit jantung, riwayat kencing manis dan riwayat hipertensi. Tidak ada
keluarga yang mempunyai keluhan yang sama. Pasien bekerja sebagai Petani dan mempunyai
kebiasaan merokok sejak usia 12 tahun dengan jumlah rokok 2 bungkus/hari. Pasien berhenti
merokok 1 bulan yang lalu saat sesak.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :


 Riwayat TBC dan penyakit paru lainnya (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat trauma disangkal

RIWAYAT PENYAKIT PADA KELUARGA :


 Riwayat TBC dan penyakit paru lainnya (-)
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat penyakit jantung disangkal

RIWAYAT PENGOBATAN
Obat sesak berbentuk pil berwarna putih kecil yang di minum 2x1, pasien tidak mengingat
nama obatnya

RIWAYAT GIZI DAN KEBIASAAN :


Pasien sering mengkonsumsi makanan gorengan, bersantan, berlemak dan jarang
berolahraga. Kebiasaan pasien merokok, namun setelah sesak dalam -/+ 2 bulan ini pasien telah
menghentikannya

PEMERIKSAAN FISIK

I. STATUS PRESENS
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Composmentis

18
BB 54 Kg Tekanan darah : 115/95 mmHg
TB 164 cm Denyut nadi : 102 x/menit
Pernafasan : 28 x/menit
Suhu : 36°C
VAS : skala 0

II. STATUS GENERALISATA :


Kepala dan Leher
Mata : konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
THT : tidak ada kelainan
Leher : JVP 5+2 cmH2O

Thorax - Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : S1(+) S2(+) regular, murmur (-) gallop (-)

Thorax - Paru
Inspeksi : gerakan paru kanan tertinggal, sela iga melebar (+), pursed lip breathing (+)
Palpasi : stem fremitus kanan < kiri
Perkusi : hipersonor pada paru kanan, dan sonor pada paru kiri
Auskultasi : vesikuler melemah diseluruh lapangan paru kanan, vesikuler (+) di seluruh
lapangan paru kiri ronkhi (-/+) wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : simetris
Palpasi : soepel, nyeri tekan (-) a/r epigastrium, hepar lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus dalam batas normal

Ekstremitas
Kelemahan anggota gerak tidak dijumpai
Akral hangat, CRT < 2 detik

19
PEMERIKSAAN PENUNJANG

I. Laboratorium darah rutin, kimia klinik dan elektrolit tanggal (24 november 2019)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Hemoglobin 12.1 g/dl ♂ 12-17 atau ♀ 10-16
Leukosit 14.270/mm2 5000 – 10000
Hematokrit 37 vol % ♂ 40-54 atau ♀ 37-45
Trombosit 447.000/mm2 150.000 – 450.000
Eritrosit 4.6/mm2 ♂4.5-5.5 atau ♀4-5 juta
MCV 81 fL 80-96
MCH 26 pg 26-33
MCHC 33 gr/dL 33-36
MPV 8 fL 4.00 – 11.00
RDW-SD 43.3 Fl
RDW-CV 15.0 % 11.6 – 14.80
KIMIA KLINIK
Gula Darah Sewaktu 107 mg/dl < 200

II. RONTGEN THORAX


Foto Thorax pada tanggal (24 November 2019) dengan hasil :
- Foto asimetris dan inspirasi maksimal
- Soft tissue normal
- Trachea masih di tengah
- Cor tidak membesar
- Pulmo :
 Hill sebagian normal
 Corakan bronkovascular normal
 Tampak infiltrate dikedua lapangan paru atas
 Tampak bayangan lusen avascular di hemithorak atas sampai bawah
kanan dengan bayangan paru kolaps di dalamnya

20
Kesan :

- Pneumothoraks kanan
- Gambaran TBC paru lama disertai infeksi sekunder
- Atherosclerosis aorta

III. EKG pada tanggal 24 november 2019


Sinus rhytmia, frekuensi 107x/I, normal EKG

IV. BTA pada tanggal 24 november 2019


(++)

Diagnosa Kerja

Pneumothoraks spontan sekunder ec tb paru

Diagnosis banding

Pneumothoraks spontan sekunder ec PPOK

Pemeriksaan tambahan yang diusulkan :


- Pemeriksaan AGD

Tatalaksana Awal
- O2 via nasal canul 3-4 lpm
- Infus D5% + Aminopillin 1 amp /8jam
- Nebu ventolin /4jam
- Inj Levofloxacin 750mg/24jam
- Inj. Methyl prednisolone 125mg/12jam
- Tab FDC 1x3
- Tab B6 1x1
- Persiapan pemasangan WSD diruang OK pada tanggal 25 november 2019

21
FOLLOW UP :
Diruangan perawatan paru
Tanggal S-O A P
25/11/2019 Sesak nafas (+) Pneumothoraks WSD Terpasang dengan
Batuk (+) dengan dahak spontan single bottle water seal
berwarna putih, volume per sekunder ec system pada pukul 10.35
kali batuk -/+ 1 gelas aqua, TB paru WIB
batuk darah (-) Bubble (+)
Demam (-) Cairan (-)
KU : lemah Undulasi (+)
GCS : E4M6V5
TD : 121/69 mmHg - O2 via nasal canul 3-4
Suhu : 36 C lpm
Nadi : 91x/mnt - Infus D5% +
RR : 26x/mnt Aminopillin 1 amp 20
Pupil : Isokor, TPM
Sp: vesikuler melemah - Nebu ventolin /4jam
di seluruh lapangan - Inj Levofloxacin
paru kanan, vesicular 750mg/24jam
di paru kiri - Inj Methyl
rhonki(-/+), prednisolone
wheezing (-/+) 125mg/12jam
- Tab FDC 1x3
- Tab B6 1x1
26/11/19 Sesak nafas (+) berkurang Pneumothoraks WSD Terpasang
Batuk (+) berkurang, spontan Bubble (+) banyak,
berdahak berwarna putih sekunder ec Cairan (-)
Nyeri pada daerah terpasang TB paru Undulasi (+)
selang Sumbatan pada selang (-)
Demam (-) - Infus D5% +
KU :Tampak sakit sedang Aminopillin 1 amp 20
GCS : E4M6V5 TPM

22
TD : 128/85 mmHg - Nebu ventolin /4jam
Suhu : 36,1 C - Inj Levofloxacin
Nadi : 82x/mnt 750mg/24jam
RR : 24x/mnt - Inj. Methyl
Pupil : Isokor, prednisolone
Sp: vesikuler melemah 125mg/12jam
di seluruh lapangan - Inj. Ketorolac/8jam
paru kanan, rhonki(- - Tab FDC 1x3
/+), wheezing (-/+) - Tab B6 1x1

27/11/19 Sesak nafas (+) berkurang Pneumothoraks WSD Terpasang


Batuk (+) berkurang, spontan Bubble (+) banyak,
berdahak berwarna putih sekunder ec Cairan (-)
Nyeri pada daerah terpasang TB paru + Undulasi (+)
selang (+) dyspepsia Sumbatan pada selang (-)
Nyeri ulu hati (+) mual dan - Infus D5% +
muntah (-) Aminopillin 1 amp 20
Demam (-) TPM
KU :Tampak sakit sedang - Nebu ventolin /4jam
GCS : E4M6V5 - Inj Levofloxacin
TD : 128/85 mmHg 750mg/24jam
Suhu : 36,1 C - Inj. Methyl
Nadi : 82x/mnt prednisolone
RR : 24x/mnt 125mg/12jam
Pupil : Isokor, - Inj. Ketorolac/8jam
Sp: vesikuler melemah - Inj. Norsec /24jam
di seluruh lapangan - Tab FDC 1x3
paru kanan, rhonki(-
- Tab B6 1x1
/+), wheezing (-/+)

28/11/19 Sesak nafas (+) berkurang Pneumothoraks WSD Terpasang


Batuk (+) sesekali, setiap spontan Bubble (+) banyak,
batuk mengeluarkan dahak sekunder ec Cairan (-)

23
berwarna putih encer dalam TB paru + Undulasi (+)
jumlah -/+ 1 gelas aqua dyspepsia Sumbatan pada selang (-)
Nyeri pada daerah terpasang - Infus D5% +
selang (+) berkurang Aminopillin 1 amp 20
Nyeri ulu hati (+) berkurang TPM
Lemas (+) - Nebu ventolin /4jam
Demam (-) - Inj Levofloxacin
KU :Tampak sakit sedang 750mg/24jam
GCS : E4M6V5 - Inj. Methyl
TD : 124/81 mmHg prednisolone
Suhu : 36,4 C 125mg/12jam
Nadi : 86x/mnt - Inj. Ketorolac/8jam
RR : 24x/mnt - Inj. Norsec /24jam
Pupil : Isokor,
- Tab FDC 1x3
Sp: vesikuler melemah
- Tab B6 1x1
di seluruh lapangan
- Tab tracetat 3x1
paru kanan, rhonki(-
- Tab sunrecome 3x1
/+), wheezing (-/+)
r/ Rontgen Thorax PA
ulang

29/11/19 Sesak nafas (+) berkurang Pneumothoraks WSD Terpasang


Batuk (+) sesekali, setiap spontan Bubble (+) banyak,
batuk mengeluarkan dahak sekunder ec Cairan (-)
berwarna putih encer dalam TB paru Undulasi (+)
jumlah -/+ 1 gelas aqua Sumbatan pada selang (-)
Nyeri pada daerah terpasang - Diet TKTP
selang (+) berkurang - Infus D5% +
Nyeri ulu hati (-) Aminopillin 1 amp 20
Lemas (+) TPM
Demam (-) - Inj. Ketorolac/8jam
KU :Tampak sakit sedang - Inj. Norsec /24jam
GCS : E4M6V5 - Tab FDC 1x3
TD : 118/72 mmHg

24
Suhu : 36,2 C - Tab Levos 1x750mg
Nadi : 89x/mnt - Tab B6 1x1
RR : 24x/mnt - Tab tracetat 3x1
Pupil : Isokor, - Tab sunrecome 3x1
Sp: vesikuler melemah
di seluruh lapangan paru
kanan, rhonki(-/+),
wheezing (-/+)

30/11/2019 Sesak nafas (-) Pneumothoraks WSD Terpasang


– Batuk (+) sesekali spontan Bubble (+) berkurang,
6/12/2019 Nyeri pada daerah terpasang sekunder ec Cairan (-)
selang (+) berkurang TB paru Undulasi (+)
Nyeri ulu hati (-) Sumbatan pada selang (-)
Lemas (-) - Diet TKTP
Demam (-) - Infus D5% +
KU :Tampak sakit sedang Aminopillin 1 amp 20
GCS : E4M6V5 TPM
TD : 118/72 mmHg - Inj. Ketorolac/8jam
Suhu : 36,2 C - Inj. Norsec /24jam
Nadi : 89x/mnt - Tab FDC 1x3
RR : 24x/mnt - Tab Levos 1x750mg
Pupil : Isokor, - Tab B6 1x1
Sp: vesikuler melemah
- Tab tracetat 3x1
di seluruh lapangan paru
- Tab sunrecome 3x1
kanan, rhonki(-/+),
r/ latihan pengembangan
wheezing (-/+)
paru dengan cara meniup
balon.

pemeriksaan penunjang :
Hasil Rontgen thorax:
perbaikan pneumothorax

25
7/12/2019 Sesak nafas (+), sesak di Pneumothoraks WSD Terpasang
pengaruhi saat aktivitas, spontan Bubble (+) berkurang,
sesak dijumpai saat malam sekunder ec Cairan (-)
hari. TB paru + susp Undulasi (+)
Batuk (-) CPC Sumbatan pada selang (-)
Nyeri pada daerah terpasang - Diet TKTP
selang (+) berkurang - Infus D5% +
Nyeri ulu hati (-) Aminopillin 1 amp 20
Lemas (+) TPM
Demam (-) - Inj. Ketorolac/8jam
KU :Tampak sakit sedang - Nebu ventolin/8 jam
GCS : E4M6V5 - Tab FDC 1x3
TD : 127/64 mmHg - Tab Levos 1x750mg
Suhu : 36 C
- Tab B6 1x1
Nadi : 98x/mnt
- Tab tracetat 3x1
RR : 28x/mnt
- Tab sunrecome 3x1
Pupil : Isokor,
R/ konsul jantung dan
Sp: vesikuler melemah
periksa elektrolit
di seluruh lapangan paru
kanan, rhonki(-/+),
wheezing (-/+)

8/12/2019 Sesak nafas (+), sesak di Pneumothoraks WSD Terpasang


– pengaruhi saat aktivitas, spontan Bubble (+) meningkat,
13/12/2019 sesak dijumpai saat malam sekunder ec Cairan (-)
hari. TB paru + Undulasi (+)
Batuk (-) CHF NYHA II Sumbatan pada selang (-)
Nyeri pada daerah terpasang + Imbalance - Diet TKTP
selang (+) berkurang elektrolit - Tab FDC 1x3
Nyeri ulu hati (-) - Tab PCT 3x500mg
Lemas (-) - Tab Ibuprofen 3x1
Demam (-) - Tab B6 1x1

26
KU :Tampak sakit sedang - Tab tracetat 3x1
GCS : E4M6V5 - Tab sunrecome 3x1
TD : 101/62 mmHg Advice dari jantung :
Suhu : 36 C - Tab spironolactone
Nadi : 119x/mnt 12,5mg 3x1
RR : 29x/mnt - Tab furosemide 40mg
Pupil : Isokor, 1x1
Pulmo = Sp: vesikuler - Tab candesartan 4mg
melemah 1x1, syarat TD
di seluruh lapangan paru >100mmHg
kanan, rhonki(-/+),
wheezing (-/+)
COR : S1 S2 reguler,
murmur (+) gallop (-)
HASIL EKG : terlampir
14/12/2019 Sesak nafas (+) berkurang, Pneumothoraks WSD Terpasang
Batuk (-) spontan Bubble (+) berkurang,
Nyeri pada daerah terpasang sekunder ec Cairan (-)
selang (-) TB paru + Undulasi (+) berkurang
Nyeri ulu hati (-) CHF NYHA II Sumbatan pada selang (-)
Lemas (-) + Imbalance - Diet TKTP
Demam (-) elektrolit - Tab FDC 1x3
KU :Tampak sakit sedang teratasi - Tab prednisone 15mg
GCS : E4M6V5 3x1
TD : 117/64 mmHg - Tab PCT 3x500mg
Suhu : 36 C - Tab Ibuprofen
Nadi : 96x/mnt 3x500mg
RR : 24x/mnt - Tab norsec 1x1
Pupil : Isokor, - Tab B6 1x1
Sp: vesikuler melemah
- Tab tracetat 3x1
di seluruh lapangan paru
- Tab sunrecome 3x1
kanan, rhonki(+/+),
Advice dari jantung :
wheezing (+/+)
- Tab spironolactone

27
12,5mg 3x1
- Tab furosemide 40mg
1x1
- Tab candesartan 4mg
1x1, syarat TD
>100mmHg
R/PBJ membawa selang
Hasil thorax terakhir
perbaikan

28
DAFTAR PUSTAKA

Setiati S., 2014. Ilmu Penyakit Dalam JILID II. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hal. 1650.
Hisyam B, Budiono E. (2009). Pneumotoraks Spontan. Dalam : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing, pp: 2339-46.
Macduff A, Arnold A, Harvey J.(2010). Management of Spontaneous Pneumothorax :
British Thoraic Society Pleural Disease Guideline 2010. Thorax 65:18-31
Lihawa N, Pradjoko I. (2010). Seorang Penderita Pneumotoraks Spontan Sekunder
Kiri dengan Single Fistel Bronkopleura. Majalah Kedokteran Respirasi Vol
1(3): 24.
Muttaqien F, Bermansyah, Saleh I. (2019). Pengaruh Durasi Pneumotorak Terhadap
Tingkat Stress Oksidatif Paru. Jurnal Qanun Medika Universitas Sriwijaya Vol
3: 1.
Heffner, Hogein. 2004. Management of Secondary Spontaneous Pneumothorax:
there’s confusion in the air. Volume 125 (4): 1315-20
Mackenzie, SJ, and Gray, A. 2007.Primary Spontaneous Pneumothorax: why all the
confusion over first-line treatment?. Journal of Royal College of Physicians of
Edinburgh; 37:335-338
Sharma A, Jindal P. (2008). Principles of Diagnosis and Management of Traumatic
Pneumothorax. Journal of Emergencies, Trauma and Shock 1 : 1.
Alsagaff H., Mukty A., 2009. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya : Airlangga
University Press.
Guyatt G, Gutterman D, Baumann M, et al. Grading strength of recommendations and
quality of evidence in clinical guidelines: report from an American College of
Chest Physicians task force. Chest. 2006;129(1):174-181.

29
Carolan L.P, 2019. What is the role of the dissection of free air in the pathophysiology
of pneumomediastinum (PM)?. Medscape

30

Anda mungkin juga menyukai