Spontaneous Pneumothoraces
Oleh :
dr. Nidya Dwi Cahyani
Pembimbing :
dr. Aleksis, Sp.P
Pendamping:
dr. Dianti Aswita
2
BAB I
PENDAHULUAN
Pneumothoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura. Pada
keadaan normal rongga pleura tidak terisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap
rongga dada.1 Pneumothoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik. Pneumothoraks spontan
dibagi menjadi primer dan sekunder, primer jika penyebabnya tidak diketahui, sedangkan sekunder
jika terdapat latar belakang penyakit paru. Pneumothoraks traumatik dibagi menjadi pneumothoraks
traumatik iatrogenik dan bukan iatrogenik. 2
Istilah 'pneumothorax' pertama kali diciptakan oleh Itard dan kemudian Laennec masing-
masing pada tahun 1803 dan 1819 mengacu pada udara di rongga pleura (yaitu, di ruangan antara
paru-paru dan dinding dada). Pada saat itu, sebagian besar kasus pneumotoraks adalah sekunder
akibat tuberkulosis, meskipun beberapa diketahui terjadi pada pasien yang sehat (pneumotoraks
primer). Klasifikasi ini telah bertahan lama, dengan deskripsi modern pertama pneumotoraks yang
terjadi pada orang sehat (pneumotoraks spontan primer, PSP) yang di temukan Kjærgaard2 pada
tahun 1932. Ini adalah masalah kesehatan global yang signifikan, dengan insiden yang dilaporkan
18–28 / 100.000 kasus per tahun untuk pria dan 1,2–6 / 100.000 untuk wanita dengan tingkat
kematian yang sesuai sebesar 1,26 / juta dan 0,62 / juta per tahun antara tahun 1991 dan 1995.3
Pada penelitian terkini dari 505 pasien di Israel dengan pneumothoraks spontan sekunder
didapatkan penyebab terbanyak adalah PPOK 348, tumor 93, sarkoidosis 26, tuberkulosis 9, penyakit
infeksi paru lainya 16, dan lain-lain 13 orang.1 Data di RSU dr.Soetomo tahun 2000-2004
menyebutkan terdapat 392 orang pasien pneumotoraks spontan sekunder yang dirawat di bangsal
paru, dan pasien dengan penyakit dasar Tuberkulosis paru sebanyak 304 orang (76%). Fistel
bronkopleura adalah keadaan dimana terjadi hubungan antara rongga pleura dan bronkus, hal ini
merupakan hal yang relatif jarang terjadi tetapi membawa dampak terhadap tingginya morbiditas dan
mortalitas serta berhubungan dengan lamanya perawatan di rumah sakit.4
3
Persahabatan Jakarta pada tahun 1999 didapat 253 penderita pneumotoraks dan angka ini merupakan
5,5 % kunjungan dari seluruh kasus respirasi yang datang.2
Tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang
Pneumothoraks sebagai salah satu penyakit di bidang ilmu Penyakit Paru sehingga dapat melakukan
diagnosis dini untuk menentukan terapi bagi pasien.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pneumothorax merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada kavum pleura.
Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa
mengembang terhadap rongga dada.2
5
2.3 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Mekanisme Kejadian
Pneumothoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik dan klasifikasi
pneumothoraks berdasarkan mekanisme kejadian adalah sebagai berikut :
a. Pneumothoraks Spontan
Adalah pneumothoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa adanya suatu penyebab
trauma atau iatrogenik, ada 2 jenis yaitu :
Pneumothoraks Spontan Primer (PSP)
Suatu pneumothoraks yang terjadi tanpa riwayat penyakit paru yang
mendasari sebelumnya, umumnya pada indivisu sehat, dewasa muda, laki-laki
tinggi, perokok, tidak berhubungan dengan aktifitas fisik yang berat tetapi
justru pada saat istirahat dan sampai sekarang belum diketahui penyebabnya.2
Mekanisme yang diduga mendasari terjadinya PSP adalah ruptur bleb
subpleura pada apeks paru-paru. Udara yang terdapat di ruang intrapleura
tidak didahului oleh trauma, tanpa disertai kelainan klinis dan radiologis.
Namun banyak pasien yang dinyatakan mengalami PSP mempunyai penyakit
paru-paru subklinis. Riwayat keluarga dengan kejadian serupa dan kebiasaan
merokok meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks ini.6
Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme PSP
adalah terdapat sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya.
Peningkatan porositas menyebabkan kebocoran udara viseral dengan atau
tanpa perubahan emfisematous paru-paru. Hubungan tinggi badan dengan
peningkatan resiko terjadinya PSP adalah karena gradien tekanan pleura
meningkat dari dasar ke apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks paru-paru
orang bertubuh tinggi rentan terhadap meningkatnya tekanan yang dapat
mendahului proses pembentukan kista subpleura.7 PSP umumnya dapat
ditoleransi dengan baik oleh penderitanya karena tidak adanya penyakit paru-
paru yang mendasar.6 Pada sebagian besar kasus PSP, gejala akan berkurang
atau hilang secara spontan dalam 24-48 jam.7
6
Mekanisme terjadinya pneumotoraks pada tuberculosis belum diketahui
secara pasti. Beberapa kemungkinan di antaranya yaitu pembentukan nodul
subpleura yang mengalami perkejuan dan nekrosis yang selanjutnya akan
pecah ke rongga pleura, terjadinya peningkatan tekanan intra alveolar akibat
batuk yang sering menyebabkan septa antara pecah yang mengakibatkan
terjadinya pneumomediastinum, atau pecahnya bula lesi emfisematus.
Untuk penangan PSS, ACCP merekomendasikan pemasangan chest
tube atau thorakostomi untuk setiap pasien PSS, dan pleurodesis pada episode
pertama PSS guna mencegah rekurensi. Sedangkan BTS merekomendasikan
aspirasi dengan syringe dan kateter untuk pasien pneumotoraks kecil dengan
penyakit paru ringan yang mendasari. Sebagian besar pasien membutuhkan
drainase melalui chest tube. Pelepasan chest tube dilakukan setelah terjadi re-
ekspansi paru dan resolusi kebocoran udara. Pleurodesis merupakan terapi
pilihan terakhir dan dilakukan pada pasien dengan kebocoran udara yang tidak
teratasi dan mengalami pneumotoraks rekuren.7
b. Pneumothoraks Traumatik
Adalah pneumothoraks yang terjadi akibat suatu trauma, baik trauma
penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada
maupun paru. Pneumothoraks traumatik dibagi menjadi 2 yaitu:
Pneumothoraks Traumatik Iatrogenik
Suatu pneumothoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan
medis. Pneumothoraks jenis inipun masih dibedakan menjadi 2 yaitu :
a) Pneumothoraks Traumatik Iatrogenik Aksidental yaitu
penumothoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena
kesalahan/komplikasi tindakan medis tersebut,
b) Pneumothoraks Traumatik Iatrogenik Artifisial yaitu
penumothoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi
udara ke dalam rongga pleura melalui jarum dengan suatu alat
Maxwell box.2
Pneumothoraks Traumatik bukan Iatrogenik
Pneumothoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas
pada dinding dada baik terbuka maupun tertutup.2 Pneumotoraks jenis ini
7
terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang merusak pleura viseralis atau
parietalis. Pada trauma tajam, luka menyebabkan udara dapat masuk ke rongga
pleura langsung ke dinding toraks atau menuju pleura viseralis melalui
cabang-cabang trakeobronkial. Luka tusuk atau luka tembak secara langsung
melukai paru-paru perifer menyebabkan terjadinya hemothoraks dan
pneumotoraks di lebih dari 80% lesi di dada akibat benda tajam.
Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis
terobek oleh fraktur atau dislokasi costa. Kompresi dada tiba-tiba
menyebabkan peningkatan tekanan alveolar secara tajam dan kemudian terjadi
ruptur alveoli. Saat alveoli ruptur udara masuk ke rongga intersisiel dan terjadi
diseksi menuju pleura viseralis atau mediastinum. Pneumotoraks terjadi saat
terjadi ruptur pada pleura viseralis atau mediastinum dan udara masuk ke
rongga pleura. Manifestasi klinisnya dapat berupa fallen lung sign/peptic lung
sign di mana hilus paru terletak lebih rendah dari normal atau terdapat
pneumotoraks persisten dengan chest tube terpasang dan berfungsi dengan
baik.8
Pneumotoraks traumatik bukan iatrogenik juga dapat terjadi akibat
barotrauma. Pada suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik
dengan tekanannya, sehingga apabila ditempatkan pada ketinggian 3050 m,
volume udara yang tersaturasi pada tubuh meningkat 1,5 kali lipat daripada
saat di ketinggian permukaan laut. Pada peningkatan tekanan tersebut, udara
yang terjebak dalam bleb dapat mengalami ruptur dan menyebabkan
pneumotoraks. Hal ini biasanya terjadi pada kru pesawat terbang. Sedangkan
pada penyelam, udara yang terkompresi dialirkan ke paru-paru harus melalui
regulator dan sewaktu naik ke permukaan barotrauma dapat terjadi seiring
dengan penurunan tekanan secara cepat sehingga udara yang terdapat di paru-
paru dapat menyebabkan pneumotoraks.8
9
c. Pneumothoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
10
2. Menurut American College of Chest Physicians Delphi Consensus
Statement.9
3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas
hemitoraks menurut KIRCHER & SWARTEL.
11
2.6 Manifestasi Klinis dan Diagnosis Pneumothoraks
2.6.1 Anamnesis
a) Pneumothoraks Spontan Primer :
- Nyeri dada dan kadang-kadang sesak nafas ringan
- Gejala biasanya mulai saat istirahat
b) Pneumothoraks Spontan Sekunder :
- Nyeri dada yang tiba-tiba dan lebih berat dari PSP
- Bibir berwarna kebiruan (sianosis) karena penurunan kadar oksigen dalam
darah
- Sesak nafas yang mendadak
- Penurunan kesadaran
c) Pneumothoraks terbuka :
- Sesak nafas
- Nyeri dada yang hebat setiap menarik nafas, karena kasus ini biasanya di
barengi dengan patah tulang rusuk.
d) Tension Pneumothoraks :
- Sesak nafas yang semakin lama semakin dirasakan kuat
- Nyeri dada yang semakin lama semakin dirasakan kuat
- Sianosis (biru) pada bibir dan kulit.1
12
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
a) Radiologis:
- Garis pleura viseralis tampak putih lurus atau cembung terhadap
dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis. Celah
antara kedua garis pleura tersebut tampak lusen karena berisi
kumpulan udara dan tidak didapatkan corakan vaskuler pada
daerah tersebut ini disebut pleural line.
- Bila pneumotoraks berat dapat menyebabkan terjadinya kolaps
dari paru- paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru yang
terdesak ini lebih padat dengan densitas seperti bayangan tumor.
- Biasanya arah kolaps ke medial
- Perdorongan pada jantung misalnya pada pneumotoraks ventil
- Mediastinum dan trakea dapat terdorong kesisi yang berlawanan.
b) BGA: untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah.
13
Pemeriksaan nadi karotis dan radialis didapatkan takhikardi, akral dan
memeriksa capillary refill test. Dilakukan pemasangan intravenous line, bila terjadi
perdarahan masif dilakukan pemasangan double line dengan cairan kristaloid.
14
Bila chest drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa
melakukan terapi definitive, perban dapat diletakkan di atas luka dan diplester pada
tiga sisinya. Secara teori, hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk
memungkinkan udara keluar dari pneumotoraks selama ekspirasi, namun tidak
masuk selama inspirasi. Hal ini mungkin sulit bila dilakukan pada luka yang luas
dan efeknya sangat bervariasi. Sesegera mungkin chest drain harus dipasangdan
luka ditutup.
2.7.4 Penatalaksanaan Tension Pneumothorax
2.7.4.1 Needle Thoracostomy
Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada
emergensi dengan needle toracostomy. Jarum ukuran 14-16 G ditusukkan pada
Intercostal Space (ICS) II Mid Clavicular Line (MCL). Jarum dipertahankan
hingga udara dapat dikeluarkan melalui spuit yang terhubung dengan jarum.
Jarum ditarik dan kanul dibiarkan terbuka di udara. Udara yang keluar dengan
cepat dari dada menunjukkan adanya tension pneumothorax. Manuver ini
mengubah tension pnemothorax menjadi simple pneumothorax.
2.7.4.2 Pemasangan Chest Tube
Pemasangan chest tube merupakan terapi definitif pada tension
pneumothorax. Chest tube harus tersedia dengan cepat di ruang resusitasi dan
pemasangannnya biasanya cepat. Pemasangan terkontrol chest tube lebih baik
untuk blind needle thoracostomy. Hal ini menyebabkan status respiratori dan
hemodinamik pasien akan menoleransi beberapa menit tambahan untuk
melakukan surgical thoracostomy. Setelah pleura dimasuki (diseksi tumpul),
tekanan akan didekompresi dan pemasangan chest tube dapat dilakukan tanpa
terburu-buru. Hal ini terutama berlaku bagi pasien yang terventilasi manual
dengan tekanan positif.
15
Pneumomediastinum jarang menyebabkan komplikasi klinis yang signifikan. Tetapi
pada beberapa kasus, tension pneumomediastinum dapat menyebabkan peningkatan tekanan
mediastinum sehingga terjadi penekanan langsungterhadap jantung atau menurunkan aliran
darah balik sehingga terjadi penurunan curah jantung. Pneumomediastinum dapat
berkembang menjadi emfiesema subkutis. Apabila udara pada subkutan dan mediastinum
sangat banyak dapat terjadi kompresi jalan napas dan jantung.11
16
BAB III
STATUS PASIEN
IDENTITAS
Nama : Tn. B
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 61 Tahun
Alamat : Pelangiran
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Masuk Rumah Sakit : 24 November 2019
Nomor CM : 3338**
RIWAYAT PENGOBATAN
Obat sesak berbentuk pil berwarna putih kecil yang di minum 2x1, pasien tidak mengingat
nama obatnya
PEMERIKSAAN FISIK
I. STATUS PRESENS
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Composmentis
18
BB 54 Kg Tekanan darah : 115/95 mmHg
TB 164 cm Denyut nadi : 102 x/menit
Pernafasan : 28 x/menit
Suhu : 36°C
VAS : skala 0
Thorax - Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : S1(+) S2(+) regular, murmur (-) gallop (-)
Thorax - Paru
Inspeksi : gerakan paru kanan tertinggal, sela iga melebar (+), pursed lip breathing (+)
Palpasi : stem fremitus kanan < kiri
Perkusi : hipersonor pada paru kanan, dan sonor pada paru kiri
Auskultasi : vesikuler melemah diseluruh lapangan paru kanan, vesikuler (+) di seluruh
lapangan paru kiri ronkhi (-/+) wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : simetris
Palpasi : soepel, nyeri tekan (-) a/r epigastrium, hepar lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus dalam batas normal
Ekstremitas
Kelemahan anggota gerak tidak dijumpai
Akral hangat, CRT < 2 detik
19
PEMERIKSAAN PENUNJANG
I. Laboratorium darah rutin, kimia klinik dan elektrolit tanggal (24 november 2019)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Hemoglobin 12.1 g/dl ♂ 12-17 atau ♀ 10-16
Leukosit 14.270/mm2 5000 – 10000
Hematokrit 37 vol % ♂ 40-54 atau ♀ 37-45
Trombosit 447.000/mm2 150.000 – 450.000
Eritrosit 4.6/mm2 ♂4.5-5.5 atau ♀4-5 juta
MCV 81 fL 80-96
MCH 26 pg 26-33
MCHC 33 gr/dL 33-36
MPV 8 fL 4.00 – 11.00
RDW-SD 43.3 Fl
RDW-CV 15.0 % 11.6 – 14.80
KIMIA KLINIK
Gula Darah Sewaktu 107 mg/dl < 200
20
Kesan :
- Pneumothoraks kanan
- Gambaran TBC paru lama disertai infeksi sekunder
- Atherosclerosis aorta
Diagnosa Kerja
Diagnosis banding
Tatalaksana Awal
- O2 via nasal canul 3-4 lpm
- Infus D5% + Aminopillin 1 amp /8jam
- Nebu ventolin /4jam
- Inj Levofloxacin 750mg/24jam
- Inj. Methyl prednisolone 125mg/12jam
- Tab FDC 1x3
- Tab B6 1x1
- Persiapan pemasangan WSD diruang OK pada tanggal 25 november 2019
21
FOLLOW UP :
Diruangan perawatan paru
Tanggal S-O A P
25/11/2019 Sesak nafas (+) Pneumothoraks WSD Terpasang dengan
Batuk (+) dengan dahak spontan single bottle water seal
berwarna putih, volume per sekunder ec system pada pukul 10.35
kali batuk -/+ 1 gelas aqua, TB paru WIB
batuk darah (-) Bubble (+)
Demam (-) Cairan (-)
KU : lemah Undulasi (+)
GCS : E4M6V5
TD : 121/69 mmHg - O2 via nasal canul 3-4
Suhu : 36 C lpm
Nadi : 91x/mnt - Infus D5% +
RR : 26x/mnt Aminopillin 1 amp 20
Pupil : Isokor, TPM
Sp: vesikuler melemah - Nebu ventolin /4jam
di seluruh lapangan - Inj Levofloxacin
paru kanan, vesicular 750mg/24jam
di paru kiri - Inj Methyl
rhonki(-/+), prednisolone
wheezing (-/+) 125mg/12jam
- Tab FDC 1x3
- Tab B6 1x1
26/11/19 Sesak nafas (+) berkurang Pneumothoraks WSD Terpasang
Batuk (+) berkurang, spontan Bubble (+) banyak,
berdahak berwarna putih sekunder ec Cairan (-)
Nyeri pada daerah terpasang TB paru Undulasi (+)
selang Sumbatan pada selang (-)
Demam (-) - Infus D5% +
KU :Tampak sakit sedang Aminopillin 1 amp 20
GCS : E4M6V5 TPM
22
TD : 128/85 mmHg - Nebu ventolin /4jam
Suhu : 36,1 C - Inj Levofloxacin
Nadi : 82x/mnt 750mg/24jam
RR : 24x/mnt - Inj. Methyl
Pupil : Isokor, prednisolone
Sp: vesikuler melemah 125mg/12jam
di seluruh lapangan - Inj. Ketorolac/8jam
paru kanan, rhonki(- - Tab FDC 1x3
/+), wheezing (-/+) - Tab B6 1x1
23
berwarna putih encer dalam TB paru + Undulasi (+)
jumlah -/+ 1 gelas aqua dyspepsia Sumbatan pada selang (-)
Nyeri pada daerah terpasang - Infus D5% +
selang (+) berkurang Aminopillin 1 amp 20
Nyeri ulu hati (+) berkurang TPM
Lemas (+) - Nebu ventolin /4jam
Demam (-) - Inj Levofloxacin
KU :Tampak sakit sedang 750mg/24jam
GCS : E4M6V5 - Inj. Methyl
TD : 124/81 mmHg prednisolone
Suhu : 36,4 C 125mg/12jam
Nadi : 86x/mnt - Inj. Ketorolac/8jam
RR : 24x/mnt - Inj. Norsec /24jam
Pupil : Isokor,
- Tab FDC 1x3
Sp: vesikuler melemah
- Tab B6 1x1
di seluruh lapangan
- Tab tracetat 3x1
paru kanan, rhonki(-
- Tab sunrecome 3x1
/+), wheezing (-/+)
r/ Rontgen Thorax PA
ulang
24
Suhu : 36,2 C - Tab Levos 1x750mg
Nadi : 89x/mnt - Tab B6 1x1
RR : 24x/mnt - Tab tracetat 3x1
Pupil : Isokor, - Tab sunrecome 3x1
Sp: vesikuler melemah
di seluruh lapangan paru
kanan, rhonki(-/+),
wheezing (-/+)
pemeriksaan penunjang :
Hasil Rontgen thorax:
perbaikan pneumothorax
25
7/12/2019 Sesak nafas (+), sesak di Pneumothoraks WSD Terpasang
pengaruhi saat aktivitas, spontan Bubble (+) berkurang,
sesak dijumpai saat malam sekunder ec Cairan (-)
hari. TB paru + susp Undulasi (+)
Batuk (-) CPC Sumbatan pada selang (-)
Nyeri pada daerah terpasang - Diet TKTP
selang (+) berkurang - Infus D5% +
Nyeri ulu hati (-) Aminopillin 1 amp 20
Lemas (+) TPM
Demam (-) - Inj. Ketorolac/8jam
KU :Tampak sakit sedang - Nebu ventolin/8 jam
GCS : E4M6V5 - Tab FDC 1x3
TD : 127/64 mmHg - Tab Levos 1x750mg
Suhu : 36 C
- Tab B6 1x1
Nadi : 98x/mnt
- Tab tracetat 3x1
RR : 28x/mnt
- Tab sunrecome 3x1
Pupil : Isokor,
R/ konsul jantung dan
Sp: vesikuler melemah
periksa elektrolit
di seluruh lapangan paru
kanan, rhonki(-/+),
wheezing (-/+)
26
KU :Tampak sakit sedang - Tab tracetat 3x1
GCS : E4M6V5 - Tab sunrecome 3x1
TD : 101/62 mmHg Advice dari jantung :
Suhu : 36 C - Tab spironolactone
Nadi : 119x/mnt 12,5mg 3x1
RR : 29x/mnt - Tab furosemide 40mg
Pupil : Isokor, 1x1
Pulmo = Sp: vesikuler - Tab candesartan 4mg
melemah 1x1, syarat TD
di seluruh lapangan paru >100mmHg
kanan, rhonki(-/+),
wheezing (-/+)
COR : S1 S2 reguler,
murmur (+) gallop (-)
HASIL EKG : terlampir
14/12/2019 Sesak nafas (+) berkurang, Pneumothoraks WSD Terpasang
Batuk (-) spontan Bubble (+) berkurang,
Nyeri pada daerah terpasang sekunder ec Cairan (-)
selang (-) TB paru + Undulasi (+) berkurang
Nyeri ulu hati (-) CHF NYHA II Sumbatan pada selang (-)
Lemas (-) + Imbalance - Diet TKTP
Demam (-) elektrolit - Tab FDC 1x3
KU :Tampak sakit sedang teratasi - Tab prednisone 15mg
GCS : E4M6V5 3x1
TD : 117/64 mmHg - Tab PCT 3x500mg
Suhu : 36 C - Tab Ibuprofen
Nadi : 96x/mnt 3x500mg
RR : 24x/mnt - Tab norsec 1x1
Pupil : Isokor, - Tab B6 1x1
Sp: vesikuler melemah
- Tab tracetat 3x1
di seluruh lapangan paru
- Tab sunrecome 3x1
kanan, rhonki(+/+),
Advice dari jantung :
wheezing (+/+)
- Tab spironolactone
27
12,5mg 3x1
- Tab furosemide 40mg
1x1
- Tab candesartan 4mg
1x1, syarat TD
>100mmHg
R/PBJ membawa selang
Hasil thorax terakhir
perbaikan
28
DAFTAR PUSTAKA
Setiati S., 2014. Ilmu Penyakit Dalam JILID II. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hal. 1650.
Hisyam B, Budiono E. (2009). Pneumotoraks Spontan. Dalam : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing, pp: 2339-46.
Macduff A, Arnold A, Harvey J.(2010). Management of Spontaneous Pneumothorax :
British Thoraic Society Pleural Disease Guideline 2010. Thorax 65:18-31
Lihawa N, Pradjoko I. (2010). Seorang Penderita Pneumotoraks Spontan Sekunder
Kiri dengan Single Fistel Bronkopleura. Majalah Kedokteran Respirasi Vol
1(3): 24.
Muttaqien F, Bermansyah, Saleh I. (2019). Pengaruh Durasi Pneumotorak Terhadap
Tingkat Stress Oksidatif Paru. Jurnal Qanun Medika Universitas Sriwijaya Vol
3: 1.
Heffner, Hogein. 2004. Management of Secondary Spontaneous Pneumothorax:
there’s confusion in the air. Volume 125 (4): 1315-20
Mackenzie, SJ, and Gray, A. 2007.Primary Spontaneous Pneumothorax: why all the
confusion over first-line treatment?. Journal of Royal College of Physicians of
Edinburgh; 37:335-338
Sharma A, Jindal P. (2008). Principles of Diagnosis and Management of Traumatic
Pneumothorax. Journal of Emergencies, Trauma and Shock 1 : 1.
Alsagaff H., Mukty A., 2009. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya : Airlangga
University Press.
Guyatt G, Gutterman D, Baumann M, et al. Grading strength of recommendations and
quality of evidence in clinical guidelines: report from an American College of
Chest Physicians task force. Chest. 2006;129(1):174-181.
29
Carolan L.P, 2019. What is the role of the dissection of free air in the pathophysiology
of pneumomediastinum (PM)?. Medscape
30