PENDAHULUAN
1
seksual. Selain itu discar berwarna keputihan juga membuat seorang wanita merasa
terganggu dan mengurangi kepercayaan diri. Angka prevalensi kandidiasis pada
kelompok perempuan perilaku risiko tinggi adalah 11,2–28,9%, angka tersebut
justru lebih rendah dari kelompok perempuan perilaku risiko rendah (Qomariyah
dkk., 2001)
Frekuensi Kandidiasis Vaginalis di Indonesia yang cukup tinggi dilaporkan
sebesar 40 persen pada 1987 dan terus mengalami peningkatan menjadi 60 persen
pada tahun 1991 dan menjadi 65 persen pada tahun 1995 (Anindita, 2006).
Pada tahun 1997,penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan
Population Council di Jakarta Utara melaporkan angka prevalensi kandida
vaginalis sekitar 22 persen di antara wanita pengunjung klinik KB (Djajadilaga,
1998).
Penelitian yang dilakukan oleh Kandera dan Surya (1993) tentang hubungan
antara pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dengan infeksi genitalia
melaporkan bahwa di antara wanita yang mengalami keputihan sebanyak 98,4%
positif terhadap adanya bakteri.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kandidiasis
Kandidiasis vaginalis telah menjadi salah satu infeksi yang paling umum
pada saluran genital bawah dan jutaan perempuan berusia lebih dari 25 tahun
(Cakiroglu et al, 2014).
Kandidiasis vaginalis mempengaruhi hingga 75% wanita usia reproduksi
setidaknya sekali, hampir setengah akan mengalami kekambuhan, da n 5-8%
memiliki beberapa episode setiap tahun. KVV didiagnosis hingga 40% dari wanita
dengan keluhan vagina (Gandhi et al,2015).
Infeksi Candida pada vagina dapat menyebabkan bau, sekret putih
kekuningan yang mungkin disertai dengan rasa gatal, iritasi, dan pembengkakan.
Itu juga dapat membuat jalan buang air kecil atau berhubungan seks terasa sangat
menyakitkan, Infeksi jamur pada vagina paling sering disebabkan oleh Candida,
spp terutama candida albican. Kandida menginfeksi secara superfisial atau
terlokalisasi (Faraji et al, 2012) .
Manifestasi kandidiasis vaginalis merupakan hasil interaksi antara
patogenesis kandida dengan mekanisme pertahanan vagina yang berkaitan dengan
faktor predisposisi (Darmani, 2003)
Jamur kandida bersifat dimorfik sehingga pada tubuh manusia mungkin
ditemukan dalam bentuk yang berbeda sesuai fasenya. Bentuk blastospora
(blastoconida) merupakan bentukan yang bertanggungjawab terhadap terjadinya
penularan dan penyebaran. Termasuk fase di dalam aliran darah dan juga
merupakan bentuk asimptomatik pada vagina. Bentuk filamen kandida merupakan
bentuk yang biasanya dapat dilihat pada penderita dengan gejala-gejala simtomatik.
Bentuk filamen kandida dapat menginvasi mukosa vagina dan berpenetrasi ke sel-
sel epitel vagina. Germinasi kandida ini akan meningkatkan kolonisasi dan
memudahkan invasi ke jaringan. Belum banyak diketahui bahwa enzim proteolitik,
toksin dan enzim phospholipase dari jamur kandida dapat merusak protein bebas
3
dan protein bebas dan protein sel sehingga memudahkan kolonisasi dan invasi
jamur. Jamur kandida dapat dapat tumbuh di dalam sel, dan bentuk intraseluler ini
merupakan pertahanan atau perlindungan terhadap pertahanan tubuh (Sobel, 1999)
Pada semua kelainan yang mengganggu flora normal vagina dapat
menjadikan vagina sebagai tempat yang sesuai bagi kandida untuk berkembang
biak. Infeksi kandida dapat terjadi secara endogen maupun eksogen atau secara
kontak langsung. Infeksi endogen lebih sering terjadi sebelumnya kandida sudah
hidup di dalam tubuh manusia sebagai saprofit. Pada keadaan tertentu dapat terjadi
perubahan sifat jamur dari saprofit menjadi patogen oleh karena itu kandida disebut
oportunistik (mulyati, 1994. Damani 2003)
Sebagian wanita penderita kandidiasis vagina simptomatik tidak
menunjukan respon yang baik terhadap terapi dan timbul keadaan infeksi kronik.
Penyebab timbulnya keadaan ini adalah faktor host dan faktor organisme penyebab
infeksi. Pada keadaan timbulnya kandidiasis berulang yang disebabkan oleh infeksi
relaps dapat disimpulkan bahwa terapi pertama telah gagal. Hal ini mungkin terjadi
karena adanya organisme yang tersembunyi dalam lumen atau dalam jaringan pada
mukosa vagina. Beberapa penelitian menunjukan 25% dari penderita wanita yang
telah berhasil diberikan terapi dalam waktu 30 hari kemudian kultur vagina menjadi
positif kembali, strain fungi yang didapat sama dengan strain fungi terdahulu. Bila
terapi awal kandidiasis vagina berhasil mengeradikasi organisme, maka infeksi
berulang dapat menjelaskan timbulnya keadaan kandidiasis vagina kronik dan
berulang (Suprihatin, 1982)
Patogenesis penyakit dan bagaimana mekanisme pertahanan vagina
terhadap kandida belum sepenuhnyaa dimengerti, infeksi terutama melalui kontak
langsung (transmisi seksual) merupakan faktor yang tinggi pada kelompok aktif
seksual (Curry, 1994., Darmani 2003)
Faktor risiko yang mungkin mempengaruhi Kandidiasis Vaginalis seperti
pengobatan antibiotik berspektrum luas, diabetes mellitus tidak terkontrol,
malnutrisi, immunosupresi, kehamilan, obesitas, transplantasi jaringan, hubungan
seksual,dan penggunaan kontrasepsi seperti intrauterine device (Gandhi et al,
2015).
4
Faktor risiko berupa benda asing seperti Cu-IUD dapat berperan penting
dalam menyebabkan KVV dan setelah pemberhentian Cu-IUD infeksi diperkirakan
akan berkurang (Cakiroglu et al, 2014).
Alat kontrasepsi (IUD) adalah metode yang paling banyak digunakan
karena aman dan menghemat biaya. Lebih dari 100 juta perempuan sekarang
menggunakan alat kontrasepsi ini (Teeraganok et al, 2012).
Chassot et al, 2008 menyatakan bahwa alat kontrasepsi intrauterine dapat
mengakumulasi Candida albicans. Mereka meyakinkan bahwa semua bagian dari
IUD memungkinkan tumbuhnya ragi.
Tumbuhnya Candida albicans pada bagian yang berbeda dari IUD dan
pembentukan biofilm adalah atribut penting yang mempengaruhi terjadinya
Kandidiasis vaginalis dan Kandidiasis vaginalis berulang (Gandevani et al, 2015).
5
c. Efektivitas
Menurut Hartanto (2004), efektifitas dari IUD dinyatakan dalam angka
kontinuitas yaitu berapa lama IUD tetap tinggal tanpa ekspulsi spontan tanpa
terjadinya kehamilan / tanpa pengeluaran karena alasan medis / pribadi. Angka
kegagalan IUD pada umumnya adalah 1-3 kehamilan per 100 wanita per tahun.
2) Komplikasi lain :
a) Merasakan sakit dan kejang selama 3 sampai 5 hari setelah pemasangan.
b) Perdarahan berat pada waktu haid atau diantaranya yang memungkinkan
penyebab anemia.
6
c) Tidak mencegah IMS termasuk HIV/AIDS.
d) Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau
perempuan yang sering berganti pasangan.
e) Penyakit radang panggul terjadi sesudah perempuan dengan IMS memakai
AKDR. PRP dapat memicu infertilitas.
7
2.3 Miconazole
Miconazole adalah antimikotik golongan azol, Kelompok azol dapat dibagi
menjadi dua kelompok berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol. Kelompok
imidazol (ketokonazol,miconazole, dan klotrimazol) terdiri dari dua nitrogen dan
kelompok triazol (itrakonazol, flukonazol, varikonazol, dan posakonazol)
mengandung tiga nitrogen (Onyewu, 2007).
Kedua kelompok ini memiliki spektrum dan mekanisme aksi yang sama.
Triazol dimetabolisme lebih lambat dan efek samping yang sedikit dibandingkan
imidazol, karena keuntungan itulah para peneliti berusaha mengembangkan
golongan triazol daripada imidazol (Gupta, 2002).
Miconazole digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis
versikolor, serta kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Miconazole cepat
berpenetrasi pada stratum korneum dan bertahan lebih dari 4 hari setelah
pengolesan. Kurang dari 1% diabsorpsi dalam darah. Absorpsi kurang dari 1,3% di
vagina. (Bennet, 2016)
Sifat Fisiko Kimia dan Rumus Kimia obat
Serbuk hablur, putih atau praktis putih, berbau lemah. Sangat sukar larut dalam
air dan isopropanol, sukar larut dalam etanol, kloroform, dan propilen glikol, agak
sukar larut dalam metanol, larut dalam dimetilformamid, mudah larut dalam
dimetilsulfoksida
8
Farmakologi Umum
Miconazole adalah obat turunan sintetik dari 1-phenetylimidazole
yang memiliki aktivitas antifungi, bekerja mempengaruhi permeabilitas jamur
dengan mengganggu biosintesa ergosterol yang mengakibatkan terganggunya
membran plasma
Farmakodinamik
Miconazole memiliki aktivitas antifungi terhadap dermatofit dan ragi serta
memiliki aktivitas antibakteri terhadap basil dan coccus positif, miconazole
menghambat biosintesis ergosterol jamur dan mengubah komposisi komponen
lemak di dalam membrane yang menyebabkan nekrosis sel-sel jamur
Farmakokinetik
Absorbsi
Miconazole diabsorbsi sistemik, setelah penggunaan 60mg miconazole
menghasilkan konsentrasi plasma puncak 31-49mg/ml yang dua setelah
penggunaan
Distribusi
Miconazole yang diabsorbsi terikat pada protein plasma (88,2%) terutama
pada serum albumin dan sel darah merah 10.6%
Metabolisme & Eliminasi
Miconazole yang diabsorbsi sebagaian besar dimetabolisme di tubuh.
Kurang dari 1% miconazole yang diabsorbsi diekskresi melalui urine sebagai obat
utuh tanpa diubah. Pada sebagaian besar pasien, waktu paruh plasma miconazole
adalah 20-25jam.
Eliminasi waktu paruh miconazole adalah serupa pada pasien gangguan ginjal.
Konsentrasi plasma miconazole umumnya berkurang (kira-kira 50%) selama
hemodialisis
9
Dosis
Pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 200mg selama 7 hari atau 100
mg selama 14 hari yang dimasukkan ke dalam vagina. Pengobatan kandidiasis oral,
diberikan oral gel (25 mg) 4 kali sehari. Pengobatan infeksi jamur pada kulit
digunakan miconazole krim 2%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari
kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari
(Bennet, 2006).
Toksisitas
Efek samping pemakaian topikal vagina adalah rasa terbakar, gatal atau iritasi
7% kadang-kadang terjadi kram di daerah pelvis (0,2%), sakit kepala, urtika, atau
skin rash. Iritasi, rasa terbakar dan maserasi jarang terjadi pada pemakaian
kutaneus. Miconazole aman digunakan pada wanita hamil, meskipun beberapa ahli
menghindari pemakaian pada kehamilan trimester pertama (Bennet, 2006).
10
Contoh penulisan resep
11
BAB III
PEMBAHASAN.
Sobel, 1999 dalam bukunya menjelaskan kandidiasis vagina adalah
terjadinya infeksi jamur kandida pada dinding vagina yang disebabkan oleh genus
candida khususnya candida albicans dan genus candida lainnya. Adanya faktor-
faktor predisposisi dapat menyebabkan perubahan pada jamur kandida yang semula
saprofit menjadi patogen sehingga terjadi kandidiasis vagina. Dimana alat
Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) merupakan salah satu faktor predisposisi yang
dapat memicu jamur kandida yang semula asymptomatis menjadi aktif
berkembang biak sehingga timbul kandidiasis vagina
Penelitian dari Kasdu, D, 2008 menjelaskan tentang hubungan penggunaan
AKDR dengan Kejadian Kandidiasis vaginalis adalah Adanya IUD dapat
menimbulkan terjadinya reaksi terhadap benda asing dan memicu pertumbuhan
jamur kandida yang semula saprofit menjadi patogen sehingga terjadi kandidiasis
vagina dengan gejala timbulnya keputihan yang berlebih. Keputihan bisa muncul
karena terjadinya infeksi. Infeksi ini timbul jika penyebabnya (bakteri atau
mikroorganisme) masuk melalui prosedur medis, seperti insersi IUD yang tidak
mengikuti prosedur aseptik yang benar serta infeksi pada saluran reproduksi bagian
bawah yang terdorong sampai ke servik atau sampai pada saluran reproduksi bagian
atas
Menurut Dagli et al, 2015 alat kontrasepsi dalam rahim merupakan salah
satu faktor pencetus terjadinya kandidiasis vulvovaginalis, Baris and Karakaya,
2013 mencetuskan bahwa wanita yang menggunakan alat kontraspsi dalam rahim
akan mengalami perubahan flora vagina dan perubahan gejala klinis KVV (). Dan
menurut penelitian Chassot et al, 2008 pengguna AKDR memiliki sel ragi secara
signifikan lebih dalam vagina (20%) dibandingkan non pengguna (6%) sehingga
presentase terjadinya kandidasis vaginalis lebih tinggi .
Dikutip dari hasil penelitian penelitian Darmani, 2003 kandidiasis vagina
lebih banyak terjadi pada kelompok akseptor AKDR yaitu sebanyak 24 orang
(80%) sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 6 orang (20%).
12
Hipotesis bahwa AKDR merupakan salah satu faktor pencetus kandidiasis
vaginalis diperkuat oleh Gandevani et al, 2015 yang menuturkan bahwasanya
konsentrasi tinggi dari sel ragi pada segmen AKDR menunjukkan pentingnya
segmen ini dalam pembentukan kolonisasi sel ragi, seperti ekor membuat jembatan
antara lingkungan eksternal, vagina yang terinfeksi oleh sel-sel ragi dan pada
saluran kelamin bagian atas tidak terdapat kolonisasi sel ragi. Penggunaan
berkepanjangan dari AKDR ini akan mempengaruhi flora servikovaginal, dan flora
tersebut akan menurun pada saat pelepasan dari AKDR tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam
Rahim (AKDR) terbukti merupakan salah satu faktor terjadinya kandidiasis
vaginalis, disamping itu selain penggunaan AKDR juga masih ada faktor
prediposisi lainnya yang dapat menyebabkan kandidiasis vaginalis seperti
kurangnya menjaga kebersihan diri maupun pasangan seksual.
Meskipun dapat dilakukan pengobatan dengan memberikan obat
antimikotik, namun penderita juga harus menjaga kebersihan diri utamanya, dan
kebersihan dari pasangan seksual agar tidak terjadi kandidiasis berulang ataupun
infeksi lainnya baik yang disebabkan oleh AKDR ataupun faktor prediposisi
lainnya.
13
DAFTAR PUSTAKA
Anindita, W, Santi Martini. 2006. Faktor Resiko Kejadian Kandidiasis
Vaginalis pada Askeptor KB. The Indonesian Jurnal Of Public Health, Vol 3 No 1
: 24-48
Baris Ikbal Isik dan Karayaka Arman. 2013. Effects of Contraception on
Cervical Cytology: Data from Mardin City. Turkish Journal of Pathology,
Contraception on Cervical Cytology. Vol 29: (117-122)
Bennet JE. 2006. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL,
Lazo JS, Parker KL. Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis
OfTherapeutics. 11th Ed. New York: Mc Graw-Hill.
Cakiroglu Y,Caliskan S, Doger E, Ozcan S, Caliskan E. 2014. Does removal
of CU-IUD in patients with biofilm forming candida really maintain regression of
clinical symptoms?. Journal of Obstetric and Gynaecology. Vol: 1-4
Chassot F, Negri M, Svidzinski A, Donatti L, PeraltaR, Svidzinski T,
Consolaro M. 2008. Can intrauterine contraceptive devices be a Candida albicans
reservoir?. Contraception. 77 : 355-359
Curry SL, Barclay DL. Benign Disorders of The vulva & Vagina. In : De
Cherney AH, Pernoll ML. Current Obstetric & Gynekologic Diagnosis &
Treatment, Connecticut, California , Appleton & Lange Norwalk, 1994 : 689 – 700.
Dagli SS, Demir T, Tulin M. 2015. Comparison of cervico-vaginal
colonization among sexually active women by intrauterine device use. J Infect Dev
Ctries. Vol 9: (930-935)
Darmani, Endang Herliyanti. 2003. Hubungan Antara Pemakaian AKDR
dengan Kandidiasis Vagina di RSUP Dr. Pirngadi Medan
Djajadilaga. 1998. Langkah-langkah Pencegahan Infeksi Saluran
Reproduksi pada Pelayanan Kontrasepsi Pedoman Klinis untuk Petugas KB.
Population Council. Jakarta.
Faraji Reza, Ali Harimi Mehr, Assarehzadegan Mojdeh. 2012. Prevalence
of Vaginal Candidiasis infection in women referred to Kermanshah hygienic
centers, Iran in 2010. Life Science Journal. Vol 9:(4)
14
Gandevani S, Imani S, Banaem L, Mohammadi S. 2015. Can intrauterine
contraceptive devices lead to VulvoVaginal Candidiasis (VVC) andanemia in
Iranian new users?. Sexual and Reproductive Healthcare. Vol 6: (40-43)
Gandhi TN, Patel MG, Jain MR. 2015. Prospective Study of Vaginal
Discharge and Prevalence of Vulvovaginal Candidiasis in a Tertiary Care Hospital.
IJCRR. Vol 7:(34-38)
Gupta AK. 2002. Systemic antifungal agents. In: Wolverton ES, editor.
Comprehensive dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B. Saunders
Company; Pp75-99.
Hartanto H. 2004. Keluarga berencana dan kontrasepsi. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Kandera, Wayan I, dan IG Putu Surya. 1993. Hubungan antara Pemakaian
IUD dengan Infeksi Genitalia (PID) pada Wanita yang Menderita Keputihan (Fluor
Albus) di Beberapa Fasilitas Pelayanan KB Kabupaten Badung, Propinsi Bali.
Denpasar: Pusat Biomedis BKKBN dan Kelompok Studi Reproduksi Manusia
(KSRM) FK UNUD Denpasar.
Kasdu, D, 2008. Solusi Problem Wanita Dewasa. Jakarta: Puspa Swara,
Anggoru IKAPI, hal:9-12
Mulyati, Syarifuddin PK. Sumber Infeksi Kandidiasis Vagina. Majalah
Kedokteran Indonesia. 1994 : 44 : 251 -255.
Murtiastutik D. Kandidiasis Vulvovaginalis. Dalam : Barakbah J,
Lumintang H, Martodihardjo S, editor. Infeksi Menular Seksual. Surabaya:
Airlangga University Press;2008. h.56-64.
Onyewu C, Heitman J. 2007. Unique Aplications of Novel Antifungal Drug
Combinations. Anti-Infective Agents in Medicinal Chemistry; 6: 3-15.
Qomariyah, ST, Amaliah L, dan Rokhmawati S. 2001. Infeksi Saluran
Reproduksi (ISR) pada Perempuan Indonesia: Sebuah Telaah Literatur. Pusat
Komunikasi Kesehatan Berspektif Jender bekerja sama dengan Ford Foundation.
Jakarta.
Retnowati, Fina Dwi. 2010. Perbedaan Kenyamanan Seksual Pada Akseptor
Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (Akdr) Di Puskesmas Sragen.
15
Saifuddin A. 2006. Buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Sobel DJ. Vulvovaginal Candidiasis: Epidemiologic, Diagnostic and
Therapeutic Considerations. Am J Obstet Gynecol 1999; 178(2) : 203-11.
Suprihatin SD. Kandida dan Kandidiasis pada manusia. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1982. p. 3-19.
Teeraganok T, Manonai J, Chongtrakool P. 2012. Vaginal Health in Copper
Intrauterine Device Users and Non-users. Thai Journal of Obstetrics and
Gynaecology. Vol 20 : (48-53)
Wahid, MH, Rosana Y, Ikaningsih, dan Isjah L. 1999. Isolasi Candida sp.
dari Perempuan Pekerja Seksual di Kramat Tunggak, Jakarta. Majalah Kedokteran
Indonesia, Vol. 49, No. 8, Agustus 1999
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/miconazole?mtype=generic
diakses 10/12/19
16