Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN TUTORIAL

MODUL INTEGRATIF

‘TEMA 6 : KAKIKU SEMAKIN BESAR

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1

Tutor :
Warda El Maida Rusdi, dr., M.Ked.Trop

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

2020

KELOMPOK PENYUSUN
Muhammad Sultan Nur Mashudi (6130018009)
Dita Eka Octavia (6130018011)
Qhilyatul Musyarofah (6130018012)
Khusnul Khotimah Catur Putri (6130018002)
Kamila Farendityas Isworo (6130018003)
Adela Shafira (6130018004)
Ananda Putri Munfaati (6130018005)
Zalfa Putriliana Duta (6130018006)
Nanda Diah Puspita Sari (6130018007)
Cicik Ardillah (6130018008)
Divaesti Nidia Andarini (6130018010)
LEMBAR PENGESAHAN DAN PENILAIAN

No Materi yang dinilai Prosentase Nilai


1 Ketepatan pemilihan kata kunci dalam peta konsep 25%
2 Kesesuaian hubungan kata kunci dalam peta konsep 25%
3 Kesesuaian jawaban learning objective dengan 25%
kasus skenario
4 Pemilihan daftar pustaka dan sitasi 25%

Dosen Pembimbing

Warda El Maida Rusdi, dr., M.Ked.Trop


Skenario 5

“KAKIKU SEMAKIN BESAR”

Seorang laki-laki berusia 34 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan bengkak pada tungkai
bawah kanan sejak 1 bulan lalu. Bengkak kumat-kumatan, bengkak menghilang apabila
beristirahat dengan kaki ditinggikan. Pasien mengaku sering mengalami demam hilang timbul
sejak 1 tahun lalu, disertai menggigil, nyeri kepala, lemah dan muntah, berlangsung selama
beberapa hari sampai beberapa minggu. Kurang lebih 3 bulan yang lalu juga muncul benjolan
yang teraba nyeri pada selangkangan. Pasien memiliki riwayat menetap di daerah pedesaan di
NTT selama beberapa tahun untuk bekerja, dan baru pulang 3 bulan lalu. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, suhu tubuh 36,7oC, frekuensi denyut nadi 88
kali/menit, frekuensi pernafasan 16 kali/menit, pada daerah inguinal didapatkan benjolan yang
berbatas tegas, dengan diameter ±2 cm, hiperemis dan nyeri tekan, dan terdapat pitting oedem
pada tungkai bawah kanan. Dari pemeriksaan hapusan darah didapatkan..

STEP 1

Kata sulit :

1. Bengkak : Pembesaran abnormal sementara pada tubuh


2. Inguinal : Selangkangan
3. Hiperemis : Kemerahan
4. Pitting Odem : Cekungan kecil akibat tekanan oleh jari pada suatu luka
5. Mikrofilaria : Bagian dari family dari filariade yang kecil

Kata kunci :

1. Laki-laki usia 34 tahun


2. Bengkak tungkai bawah 1 bulan
3. Bengkak kambuh, kumat-kumatan
4. Demam hilang timbul sejak tahun lalu disertai menggigil, nyeri kepala, lemah, muntah
beberapa hari sampai minggu
5. Muncul benjolan dan nyeri selangkangan
6. Vital sign: TD: 120/80 MmHg,S: 36,7oC,N: 88 kali/menit, frek.napas: 16 kali/menit
7. Bengkak hilang karna ditinggikan
8. Benjolan tegas pada inguinal (diameter 2 cm)
9. Menetap di pedesaan NTT
10. Hiperemis dan nyeri tekan
11. Pitting odem pada tungkai bawah kanan
12. Hapusan darah terdapat mikrofilaria

STEP 2

1. Bagaimana bisa terjadi Alergi ?


2. Apa penyebab Alergi tersebut ?
3. Bagaimana proses timbul Gatal pada Kulit ?
4. Bagaimana Alergi dapat menyebabkan Bengkak dan Pingsan ?
5. Apa yang terjadi pada Hipersensitivitas ?
6. Komponen apa yang termasuk Respon Imun Seluler dan Humoral?

STEP 3

Jawaban Rumusan Masalah

1. Apa definisi bengkak ?


Bengkak adalah pembesaran pada tubuh, termasuk tumor, yang merupakan salah satu
dari 5 ciri utama pada peradangan,rasa sakit, panas,warna kemerahan,dan disfungsi
bersifat konginetal,radang,traumatik

2. Apa diagnosis terebut?


Pasien di diagnosi mengalami filariasis karena pada hapusan darah ditemukan
mikrofilaria serta pasien sebelumnya tinggal di NTT yang merupakan daerah endemis
3. Mengapa bengkak hilang ketika kaki ditinggikan?
Cairan yang ada dikaki bengkak turun menjauhi pembengkakan dan sebagian besar
cairan yang menumpuk bersumber dari aliran darah

4. Kenapa demam terjadi saat bengkak?


Adanya penurunan suhu yang di tandai berusaha dengan vasodilatasi pembuluh darah
dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan demam
5. Mikrofilaria apa yang menyebabkan bengkak?
Whuchereria bancrofti karena menyerang limfatik yang dapat menyebabkan malaise,
mual, muntah, hidrocel, lymphodema, elephantiasis
STEP 4

Peta Konsep
STEP 5

Learning Objective:

1. Mahasiswa mampu menjelaskan pathogenesis bengkak


2. Mahasiswa mampu menjelaskan Etiologi bengkak
3. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi bengkak
4. Mahasiswa mampu menjelaskan klasifikasi spesies filaria
5. Mahasiswa mampu menjelaskan daur hidup filaria
6. Mahasiswa mampu menjelaskan morfologi filaria
7. Mahasiswa mampu menjelaskan morfologi vector filaria
8. Mahasiswa mampu menjelaskan daur hidup vector filaria
9. Mahasiswa mampu menjelaskan pathogenesis infeksi filaria
10. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnose banding

STEP 6
Belajar mandiri
STEP 7
Pembahasan Learning objective
1. Patogenesis Bengkak
Penurunan curah jantung, apapun penyebabnya, disertai dengan berkurangnya volume
darah arteri efektif dan juga aliran darah renal, konstriksi arteri-arteri renalis, dan
peningkatan fraksi filtrasi. Pada gagal jantung yang berat, terjadi reduksi tingkat
filtrasi glomerulus. Vasokonstriksi tersebut disebabkan oleh aktivasi sistem saraf
simpatis dan sistem renin angiotensin. Agen penghambat -adrenergik dan/atau
penghambat ACE yang meningkatkan aliran darah renal dan menginduksi diuresis
membantu kedua sistem ini dalam meningkatkan resistensi vaskuler dan retensi
garam dan air.

Penurunan curah jantung mengurangi volume darah arteri efektif. Terjadi peningkatan
reabsorpsi tubuler dari filtrasi glomerulus di tubulus proksimal dan distal. volume
arteri efektif berkurang, dan sebagai konsekuensinya terjadi respon fisiologis yang
dirancang untuk mengembalikan volume tersebut kembali normal. Kunci dari respon
ini adalah retensi garam dan air, yang pada prinsipnya dikerjakan oleh tubulus renalis
proksimal. Dalam banyak keadaan, respon ini berhasil memperbaiki volume arteri
efektif, seringkali bahkan tanpa diikuti pembentukan edema. Apabila retensi garam
dan air tidak memadai untuk mengembalikan dan mempertahankan volume darah
arteri efektif, retensi tetap berlanjut, dan akhirnya terbentuk edema.

Perubahan hemodinamik intrarenal tampaknya memegang peranan yang signifikan.


Gagal jantung dan beberapa keadaan lain seperti sindroma nefrotik dan sirosis hepatis
yang mengurangi volume darah efektif arteri, menyebabkan konstriksi arteriol renalis
eferen. Hal ini, selanjutnya akan menurunkan tekanan hidrostatik, sedangkan
peningkatan fraksi filtrasi akan meningkatkan tekanan osmotik koloid di kapiler
peritubulus, akibatnya akan menambah reabsorpis garam dan air di tubulus proksimal
dan pada lengkung henle asenden.

Selain itu, penurunan aliran darah renal merangsang sel-sel jukstaglomerulus


mengirim sinyal untuk meningkatkan pelepasan renin. Mekanisme yang mengatur
pelepasan tersebut meliputi respon baroreseptor, penurunan perfusi renal, dan
berukurangnya regangan dari sel-sel jukstaglomerulus, suatu sinyal yang
menyebabkan peningkatan atau pelepasan renin, atau keduanya. Mekanisme kedua
yang mengatur pelepasan renin melibatkan makula densa; sebagai akibat dari
menurunnya filtrasi glomerulus, natrium klorida yang dapat mencapai tubulus distal
menjadi berkurang. Keadaan ini tercium oleh makula densa, yang akan mengirim
sinyal ke sel-sel jukstaglomerulus yang berdekatan untuk mensekresi renin.
Mekanisme ketiga melibatkan sistem saraf simpatis dan katekolamin dalam sirkulasi.
Aktivasi reseptor -adrenergik pada sel jukstaglomerulus akan merangasang
pelepasan renin. Ketiga mekanisme ini secara umum bekerja simultan.

Angiotensin II yang diproduksi baik di sirkulasi maupun intrarenal mempunyai andil


dalam vasokostriksi renal dan retensi garam dan air. Efek AII terhadap renal ini
diperantarai oleh akivasi reseptor AII tipe I, yang dapat dihambat oleh antagonis
spesifik seperti losartan. AII juga memasuki sirkulasi dan merangsang produksi
aldosteron oleh zona glomerulosa di korteks adrenal.

Edema dapat terjadi akibat kerusakan endotel kapiler, yang menyebabkan


peningkatan permeabilitas sehinga memungkinkan perpindahan protein ke ruang
interstitial. Kerusakan dinding kapiler dapat disebabkan oleh obat-obatan, agen-agen
virus atau bakteri, dan trauma termal maupun mekanis. Peningkatan permeabilitas
dapat juga disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas yang merupakan karakteristik dari
kerusakan sistem imun. Kerusakan endotel kapiler diduga merupakan penyebab
terjadinya edema inflamatorial.

Patogenesis Urtikaria
Urtikaria terjadi karena adanya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler
sehingga terjadi transudasi cairan setempat yang secara klinis tampak edema lokal
disertai eritema. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator seperti histamin, leukotrien, sitokin dan kemokin yang
juga mengakibatkan peningkatan regulasi endothelial adhesion molecules (ELAMs)
dan vascular adhesion molecules (VCAMs) disertai migrasi sel transendotelial dan
kemotaksis. Pelepasan mediator tersebut terjadi karena adanya degranulasi sel mast
akibat rangsangan atau paparan dari alergen. Ada beberapa agen yang dapat
mengaktivasi sel mast untuk melepaskan histamin antara lain substansi P, Vasoactive
intestinal polypeptide (VIP), latex, surfaktan, dextran, morfin dan codein.

Patogenesis angioedema
Penyebab terjadinya angioedema antara lain adalah adanya defisiensi C1 esterase
inhibitor (C1INH) yang berfungsi menghambat pembentukan kinin, aktivasi
komplemen yang menghasilkan vasoactive kinin-like peptides dan pembentukan
bradikinin. Kinin adalah peptida dengan berat molekul rendah yang ikut berperan
dalam proses inflamasi dengan mengaktivasi sel endotelial dan menyebabkan
terjadinya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. Angioedema yang
rekuren dengan C1INH normal biasanya bersifat idiopatik, namun bisa juga
disebabkan oleh induksi obatobatan seperti penghambat angiotensinconverting
enzyme (ACE), aspirin dan antiinflamasi nonsteroid (AINS).

2. Etiologi Bengkak

a) Obstruksi Drainase Vena (dan Limfatik) pada Ekstremitas

Pada keadaan obstruksi, tekanan hidrostatik dalam anyaman kapiler bagian hulu
dari obstruksi meningkat, sehingga cairan dalam jumlah abnormal berpindah dari
vaskuler ke ruang interstitial. Karena rute alternatif (yaitu limfatik) dapat juga
mengalami obstruksi, maka terjadi peningkatan volume cairan interstital di
ekstremitas (terdapat cairan terjebak dalam ekstremitas) yang menyebabkan edema
lokal. Keadaan tersebut akan mengurangi volume darah efektif arteri.

Apabila obstruksi vena dan limfatik terjadi pada sebelah ekstremitas, cairan akan
terakumulasi dalam interstitial, sehingga mengurangi volume plasma. Volume plasma
yang berkurang akan merangsang retensi garam dan air sampai defisist volume
plasma terkoreksi. Pada ekstremitas yang terkena akan terjadi regangan jaringan
sampai keseimbangan hukum Starling dapat dicapai, di mana tidak terjadi lagi
akumulasi cairan. Efek yang terjadi adalah peningkatan volume cairan interstitial
lokal. Keadaan yang sama terjadi pada asites dan hidrotoraks, di mana cairan terjebak
atau terakumulasi di dalam kavitas, mengurangi volume intravaskuler, dan
menyebabkan retensi garam dan air sekunder.

a. Gagal Jantung Kongestif

Pada kelainan ini, gangguan pengosongan pada saat sistolik dan/atau


gangguan relaksasi ventrikel menyebabkan akumulasi darah dalam jantung dan
sirkulasi vena, sehingga menurunkan volume arteri, dan mencetuskan berbagai
keadaan yang telah disebutkan di atas. Pada gagal jantung ringan, sedikit
peningkatan volume darah total dapat memperbaiki defisit volume arteri dan
membentuk keadaan yang stabil. Melalui kerja hukum Starling di jantung,
peningkatan volume darah dalam ruang jantung menyebabkan kontraksi jantung
yang lebih kuat dengan demikian dapat meningkatkan curah jantung. Namun,
apabila gangguan jantung yang terjadi lebih berat, retensi cairan tidak dapat
memperbaiki defisit volume darah arteri. Volume darah akan terakumulasi di
sirkulasi vena, dan peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler dan limfatik
menyebabkan pembentukan edema. Pada gagal jantung, reduksi terjadi akibat
penghambatan pusat vasomotor yang diperantarai oleh barorefleks. Hal ini akan
menyebabkan aktivasi saraf vasokonstriktor ginjal dan sistem RAA sehingga
terjadi retensi natrium dan air.

Pengosongan ventrikel yang tidak komplit (gagal jantung sistolik)


dan/atau relaksasi ventrikel yang tidak adekuat (gagal jantung diastolik),
keduanya akan menyebabkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel. Jika
gangguan jantung melibatkan ventrikel kanan, tekanan dalam vena sistemik dan
kapiler dapat meningkat, akibatnya akan mendorong transudasi cairan ke dalam
ruang interstitial dan memperburuk edema perifer. Peningkatan tekanan vena
sistemik diteruskan ke duktus torasikus dengan konsekuensi terjadinya penurunan
drainase limfatik dan akhirnya meningkatkan akumulasi edema.
Apabila gangguan fungsi jantung melibatkan ventrikel kiri, maka tekanan
vena pulmonalis dan kapiler meningkat, begitu juga dengan tekanan arteri
pulmonalis. Keadan ini selanjutnya akan mempengaruhi diastolik ventrikel kanan dan
tekanan vena sentral serta sistemik, sehingga menyebabkan pembentukan edema
perifer. Edema paru-paru mengganggu pertukaran gas sehingga dapat menginduksi
hipoksia yang akan memperburuk fungsi jantung lebih jauh lagi.

b. Sindroma Nefrotik dan Keadaan Hipoalbuminemia lainnya

Perubahan primer pada kelainan ini adalah menurunya tekanan onkotik


koloid yang disebabkan oleh hilangnya protein secara masif melalui urin. Hal ini
mendorong perpindahan cairan ke dalam interstitial, menyebabkan hipovolemia, dan
mencetuskan pembentukan edema sebagai konsekuensi dari berbagai peristiwa di
atas, termasuk aktivasi sistem RAA. Dengan adanya hipoalbuminemia berat dan
penurunan tekanan onkotik koloid, maka retensi garam dan air dalam kompartemen
vaskuler tidak dapat dipertahankan, akibatnya terjadi penurunan colume darah arteri
total dan efektif, sehingga stimulus untuk terjadinya retensi garam dan air tidak dapat
dikurangi. Peristiwa serupa terjadi pada keadaan lain yang menyebabkan
hipoalbuminemia berat, termasuk defisiensi nutrisi berat, enteropati yang disertai
kehilangan protein, hipoalbuminemia kongenital, dan penyakit hati kronis yang berat.
Namun, pada sindroma nefrotik, yang berperan dalam pembentukan edema adalah
gangguan ekskresi natrium di ginjal, walaupun tidak terjadi hipoalbuminemia berat.

c. Sirosis Hepatik

Kelaianan ini ditandai dengan adanya hambatan aliran vena hepatik, yang
selanjutnya menyebabkan ekspansi volume darah splanknik dan meningkatkan
pembentukan limf hepatik. Hipertensi intrahepatik yang terjadi bekerja sebagai
stimulus poten terhadap retensi natrium dalam ginjal dan mungkin terhadap
vasodilatasi sistemik serta penurunan volume darah arteri efektif. Perubahan-
perubahan ini seringkali disertai komplikasi berupa hipoalbuminemia sekunder untuk
mengurangi sintesis di hepar, yang akan menurunakan volumedarah arteri efektif
lebih jauh lagi. Akibatnya terjadiaktivasi sistem RAA oleh saraf simpatis renal dan
mekanisme retensi garam dan air lainnya. Konsentrasi aldosteron dalam sirkulasi
meningkat akibat kegagalan fungsi hati dalam metabolisme hormon ini. Pada
mulanya, kelebihan cairan interstitial terlokalisir di bagian hulu dari kongesti sistem
vena porta dan sumbatan limfatik hati, yaitu di rongga peritoneum. Pada tingkat
lanjut, khususnya jika telah terjadi hipoalbuminemia berat, dapat terbentuk edema
perifer. Produksi prostaglandin yang berlebihan pada sirosis akan mengurangi retensi
natrium. Apabila sintesis prostaglandin tersebut dihambat oleh agen antiinflamasi
nonsteroid, akan terjadi penurunan fungsi ginjal sehingga retensi natrium akan
meningkat.

d. Edema akibat Induksi Obat

Sejumlah besar obat-obatan yang selama ini telah dikonsumsi secara luas
dapat menyebabkan edema. Mekanisme terbentuknya edema meliputi
vasokonstriksi renal (agen antiinflamasi nonsteroid dan siklosporin), dilatasi
arteriol (vasodilator), peningkatan reabsorpsi natrium ginjal (hormon steroid) dan
kerusakan kapiler (interleukin-2).

Tabel 2. Obat-obatan yang Menyebabkan Edema

Obat antiinflamasi nonsteroid

Obat antihipertensi

 Vasodilator arteri/arteriol direk

 Minoksidil

 Hidralazin

 Kklonidin

 Metildopa

 Guanetidin

 Antagonis Kalsium
 Antagonis  adrenergik

Hormon steroid

 Glukokortikoid

 Steroid anabolik

 Estrogen

 Progestin

Siklosporin

Growth hormone

Imunoterapi

 Interleukin-2

 OKT3 atibodi monoklonal

b) Edema Idiopatik

Sindroma ini sebagian besar timbul pada wanita, ditandai dengan episode edema
periodik (tidak berhubungan dengan siklus haid), seringkali disertai dengan distensi
abdomen. Perubahan berat badan diurnal terjadi akibat retensi ortostatik garam dan
air, sehingga berat badan penderita bertambah beberapa gram setelah berada dalam
posisi tegak selama beberapa jam. Adanya perubahan berat diurnal yang besar pada
berat badan diduga akibat peningakatan permeabilitas kapiler yang tampaknya
berfluktuasi dalam derajat dan diperberat dengan cuaca panas. Terdapat beberapa
bukti yang menunjukkan bahwa terjadi reduksi volume plasma pada kondisi ini
disertai dengan aktivasi sekunder sistem RAA dan gagalnya supresi pelepasan AVP.
Edema idiopatik harus dibedakan dari edema siklikal atau premenstrual, di mana
retensi garam dan air yang terjadi mungkin sekunder akibat stimulasi estrogen
berlebihan. Terdapat juga beberapa kasus di mana edema yang terjadi tampaknya
diinduksi oleh diuretik. Konsumsi diuretik secara kronis akan sedikit menurunkan
volume darah sehingga menyebabkan hiperreninemia dan hiperplasia
jukstaglomerulus. Sedangkan efek langsung dari diuretik adalah kompensasi
berlebihan dari mekanisme retensi garam, sehingga bila konsumsi diuretik dihentikan
tiba-tiba, kekuatan untuk melawan retensi garam akah hilang, terjadi retensi cairan,
akhirnya terbentuk edema. Telah dilaporkan terjadinya penurunan aktivitas dopamin
dan kalikrein urin, serta eksresi kinin dalam kondisi tersebut, dan mungkin berperan
penting dalam patogenesis. (Soedoyo,2010)

3. Patofisiologi Bengkak

Edema terjadi pada kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan hidrostatik


kapiler, peningkatan permeabilitas kapiler atau peningkatan tekanan osmotic
interstisial atau penurunan tekanan osmotik plasma. Ginjal mempunyai peranan
sentral dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh dengan kontrol volume
cairan ekstraselular melalui pengaturan eksresi natrium dan air. Hormon antidiuretik
disekresikan sebagai respon terhadap perubahan dalam volume darah, tonisitas dan
tekanan darah untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Konsep volume
darah arteri efektif (VDAE) didefiniskan sebagai volume darah arteri yang adekuat
untuk mengisi keseluruhan kapasitas pembuluh darah arteri. VDAE yang normal
terjadi pada kondisi dimana rasio curah jantung terhadap resistensi pembuluh darah
perifer seimbang. VDAE dapat berkurang pada kondisi terjadi pengulangan volume
darah arteri (perdarahan, dehidrasi), penurunan curah jantung (gagal jantung), atau
peningkatan kapasitansi pembuluh darah arteri (sepsis, sirosis hepatis) sehingga
VDAE dapat berkurang dalam keadaan volume darah aktual rendah, normal atau
tinggi. Jika VDAE berkurang maka ginjal akan memicu retensi natrium dan air,
mekanisme ini melibatkan :

a. Penurunan aliran darah ginjal


Penurunan VDAE akan mengaktivasi reseptor volume pada pembuluh darah
besar, termasuk low preasure baroreceptor, intrarenal receptors sehingga
terjadi peningkatan tonus simpatis yang akan menurunkan aliran darah ginjal.
Jika aliran darah ginjal berkurang akan dikompensasi oleh ginjal dengan
menahan natrium dan air melalui mekanisme :
1) Peningkatan reabsorpsi garam dan air ditubulus Proksimalis
2) Peningkatan reabsorpsi natrium dan air tubulus distalis

b. Sekresi hormon Antidiuretik ( ADH )


Penurunan VDAE akan merangsang reseptor volume pada pembuluh arteri
besar dan hipotalamus aktivasi reseptor ini akan merangsang pelepasan ADH
yang kemudian mengaikbatkan ginjal menahan air.

Penyebab Umum Edema


Penyebab umum edema adalah :

a. Penurunan tekanan osmotik :


1) Sindrom nefrotik
2) Sirosis hepatis
3) Malnutrisi

b. Peningkatan permeabilitas vaskular terhadap protein :


1) Angioneurotik edema

c. Peningkatan tekanan hidrostatik :


1) Gagal jantung kongestif
2) Sirosis hepatis

d. Obstruksi aliran limfe :


1) Gagal jantung kongestif

e. Retensi air dan natrium :


1) Gagal ginjal
2) Sindrom nefrotik

4. Klasifikasi Spesies Filaria


Cacing filaria mempunyai spesies 200 lebih dan hanya beberapa yang
terdapat pada manusia. Spesies filarial yang sering menginfeksi manusia adalah
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori (di Indonesia), dan
Onchocherca volvulus. Cacing dewasa hidup dalam sistem limfatik, subkutan dan
jaringan ikat dalam. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria (prelarva) yang
masih mempunyai selaput telur (sarung) atau 4 5 selaput terlepas (tidak
bersarung). Mikrofilaria ini sangat aktif, bentuknya seperti benang dan ditemukan
dalam darah perifer atau jaringan kulit. (Onggowaluyo,2002)

Klasifikasi Filaria :

Philum : Nemathelminthes

Class : Nemathoda

Ordo : Spirurida

Super Family : filarioidea

Genus : - Wuchereria

- Brugia

- Onchocerca

- Loa-loa

- Dipetanolema

- Mansonela

- Dilofilaria (Spielman,2001)

5. Daur Hidup Filaria


Seseorang dapat tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang tersebut
digigit nyamuk yang sudah terinfeksi, yaitu yang didalam tubuhnya mengandung
larva (L3). Nyamuk sendiri mendapat mikrofilarial karena menghisap darah
penderitanya atau dari hewan yang mengandung mikrofilaria. Nyamuk sebagai
vektor menghisap darah penderita (mikrofilaremia), Mikrofilaremia masuk
kedalam lambung nyamuk lalu berkembang dalam otot nyamuk selama 3 minggu.
Dalam tubuh nyamuk mikrofilaria tidak berkembang biak tetapi hanya berubah
bentuk dalam beberapa hari dari larva 1 sampai menjadi larva 3. Pada stadium 3
larva mulai bergerak aktif dan bergerak ke alat tusuk nyamuk. Nyamuk pembawa
mikrofilaria menggigit manusia dan memindahkan larva infektif tersebut.
Bersama aliran darah larva 3 menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh
menjadi cacing dewasa jantan atau betina serta berkembang biak. (http//harun
yahya.com) Cacing filarial dalam tubuh manusia terdeteksi pada malam hari,
selebihnya bersembunyi di organ dalam tubuh manusia. Diagnosis dapat
dilakukan dengan pemeriksaan darah tepi. Mikrofilaria dapat ditemukan dalam
darah pada malam hari dan siang hari, tetapi ditemukan dalam jumlah besar pada
malam hari dan banyak ditemukan dalam kapiler dan pembuluh darah paru-paru.
(Onggowaluyo,2001) 8 Gejala filariasis dapat berupa demam berulang-ulang
selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan timbul lagi setelah bekerja
berat. Pembengkakan kalenjar getah bening (tanpa luka) dapat terjadi didaerah
lipatan paha, ketiak yang tampak kemerahan panas dan sakit. Abses filarial terjadi
akibat seringnya pembengkakan kalenjar getah bening yang dapat pecah dan
mengeluarkan darah serta nanah. Gejala klinis yang kronis berupa pembesaran
yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, buah dada dan alat kelamin.
(Gandahusada,1990)
6. Morfologi Filaria

Ada tiga spesies yang menjadi penyebab filariasis diantaranya Wuchereria


bancrofti, Brugia malayi , dan Brugia timori. Cacing ini menyerupai benang dan
hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kalenjar getah bening manusia selama
4-6 tahun. Dalam tubuh manusia cacing dewasa menghasilkan jutaan anak cacing
(mikroflaria) yang beredar dalam darah terutama pada malam hari. Di Indonesia
jenis cacing filarial yang menginfeksi adalah Wuchereria bancrofti

a. Wuchereria bancrofti
Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran kalenjar limfe,
bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina
berukuran 65 – 100 mm x 0,25 mm dan cacing jantan 40 mm x 0,1 mm.
Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran 250
– 300 mikron x 7 - 8 mikron. Mikrofilaria ini hidup didalam darah dan
terdapat di aliran darah tepi pada waktu tertentu saja, jadi mempunyai
periodisitas. Pada umumnya, mikrofilaria W. bancrofti bersifat periodisitas
nokturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam tepi pada waktu malam.
Pada siang hari, mikrofilaria terdapat di kapiler alat dalam (paru-paru,
jantung, ginjal). (Gandahusada,2001)
b. Brugia malayi dan Brugia timori
Cacing dewasa berbentuk silindrik seperti benang, berwarna putih
kekuningan. Pada ujung anteriornya terdapat mulut tanpa bibir dan dilengkapi
baris papila 2 buah , baris luar 4 buah dan baris dalam 10 buah. Cacing betina
berukuran 55x0,16 mm dengan ekor lurus, vulva mempunyai alur tranfersal dan
langsung berhubungan dengan vagina membentuk saluran panjang. Cacing jantan
berukuran 23x0,09 mm, ekor melingkar dan bagian ujugnya terdapat papila 3-4
buah, dan dibelakang anus terdapat sepotong papila. Pada ujung ekor terdapat 4-6
papila kecil dan spikula yang panjangnya tidak sama. (Onggowaluyo, 2002) 7
Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria bersarung, panjangnya 177 - 230
mikron, lekuk tubuh kaku, panjang ruang kepala dua kali lebarnya, inti tubuh
tidak teratur dan ekornya mempunyai 1-2 inti tambahan. Mikrofilaria ini terdapat
dalam darah tepi. Periodisias B malayi ada yang nokturna, subperiodik nokturna,
dan non periodik. (Onggowaluyo,2002)

7. Morfologi Vektor Filaria


Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vektor filariasis,
tergantung pada jenis cacing filarianya. W.bancrofti yang terdapat di daerah
perkotaan di tularkan oleh Cx.quinquefasciatur yang tempat perindukannyaair
kotor dan tercemar. W.bancrofti di daerah pedesaan dapat dituiarkan
olehbermacamspesies nyamuk. Di Irian Jaya W.bancrofti dituiarkan terutama oleh
An.farauti yang dapat menggunakan bekas jejak kaki binatang untuk tempat
perindukannya. Selain itu ditemukan juga sebagai vektor : An.Koliensis,
An.punctulatus, Cx.annulirostris dan Ae.Kochi, W.bancrofti didaerah lain dapat
dituiarkan oleh spesies lain, seperti An.subpictus di daerah pantai NTT. Selain
nyamuk Culex, Aides pernah juga ditemukansebagai vektor.
B.malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya dituiarkan oleh
berbagai spesies mansonia seperti Ma.uniformis, Ma.bonneae, Ma.dives dan lain-
lain, yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatra, Kalimantan, Maluku dan
lain-lain. B.malayi yang periodik dituiarkan oleh An.Barbirostris yang memakai
sawah sebagai tempat perindukannya, seperti di daerah Sulawesi. B.timori,
spesies yang ditemukan di Indonesia sejak 1965 hingga sekarang hanya
ditemukan di daerah NTT dan Timor-Timor, dituiarkan oleh An.barbirostris yang
berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di darah
pedalarnan.

1. Culex

a.Telur

Telur biasanya diletakkan di atas permukaan air dalam bentuk kelompok


(raft). Dalam satu kelompok bisa terdapat puluhan atau ratusan butir telur
nyamuk, biasanya telur tersebut akan menetas 2-3 hari sesudah diletakkan.

b.Larva

Telur menetas menjadi larva atau sering juga disebut jentik. Larva nyamuk
memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas.
Larva dari kebanyakan nyamuk menggantungkan dirinya pada permukaan air.
Untuk mendapatkan oksigen dari udara, Jentik nyamuk culex biasanya
menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus pada permukaan air. Larva biasanya
melakukan pergantian kulit empat kali dan berpupasi sesudah sekitar 7 (tujuh)
hari.

c. Pupa

Sesudah melewati pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa


berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air
terutama bila diganggu. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke
permukaan air. Bila perkembangan pupa sudah sempurna yaitu sesudah dua atau
tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang.

d. Nyamuk dewasa

Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak di atas
permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya dan
sesudah mampu mengembangkan sayapnya, nyamuk dewasa terbang mencari
makan. Dalam keadaan istirahat bentuk dewasa dari culex hinggap dalam keadaan
sejajar dengan permukaan.

2. Anopheles

a. Telur

Telur nyamuk Anopheles berbentuk oval panjang, kedua ujungnya lancip


dan mempunyai pelampung, meletakkan telur di atas permukaan air satu per satu
terpisah. biasanya telur tersebut akan menetas 2-3 hari sesudah diletakkan.

b. Larva

Larva atau sering juga disebut jentik dari kebanyakan nyamuk


menggantungkan dirinya pada permukaan air pada Anopheles biasanya secara
horizontal atau sejajar dengan permukaan air yang berguna untuk mendapatkan
oksigen dari udara. Larva biasanya akan berpupasi sesudah sekitar 7(tujuh) hari.
Larva berbentuk siphon yang pendek sekali atau siphon spiracle berbentuk seperti
cincin pada ruas ke delapan abdomen. Pada ruas abdomen terdapat palmate hair.
c. Pupa atau jentik

Sesudah melewati pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa


berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air
terutama bila diganggu. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke
permukaan air. Bila perkembangan pupa sudah sempurna yaitu sesudah dua atau
tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang.

d. Nyamuk dewasa

Setelah melewati masa pertumbuhan dari pupa selanjutnya berkembang


menjadi nyamuk dewasa, nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti
sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-
sayapnya dan sesudah mampu mengembangkan sayapnya nyamuk dewasa
terbang mencari makan dan dalam keadaan istirahat Anopheles hinggap agak
tegak lurus dengan permukaan.

3. Aedes

a. Telur

Telur biasanya diletakkan di atas permukaan air dalam bentuk satu


persatu. Dalam satu kelompok bisa terdapat puluhan atau ratusan butir telur
nyamuk, biasanya telur tersebut akan menetas 2-3 hari sesudah diletakkan.

b. Larva

Telur menetas menjadi larva atau sering juga disebut jentik. Larva nyamuk
memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas.
Larva dari kebanyakan nyamuk menggantungkan dirinya pada permukaan air.
Untuk mendapatkan oksigen dari udara, Jentik nyamuk Aedes biasanya
menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus pada permukaan air. Larva biasanya
melakukan pergantian kulit empat kali dan berpupasi sesudah sekitar 7 (tujuh)
hari.

c. Pupa
Sesudah melewati pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa
berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air
terutama bila diganggu. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke
permukaan air. Bila perkembangan pupa sudah sempurna yaitu sesudah dua atau
tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang.

d. Nyamuk dewasa

Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak di atas
permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya
dansesudah mampu mengembangkan sayapnya, nyamuk dewasa terbang mencari
makan. Dalam keadaan istirahat bentuk dewasa dari culex hinggap dalam keadaan
sejajar dengan permukaan.

4.Mansonia

Morfologi nyamuk mansonia


1. Telur mansonia saling berlekatan,berbentuk telur lancip seperti duri
2. Biasanya terletak dibalik dibalik permukaan tumbuhan air
3. Siphon berujung lancip dan berpigmen gelap (fase larva)
4. Corong pernafasan seperti duri (fase pupa)
5. Sisik sayap lebar dan asimetris.
Adapun ciri-ciri Nyamuk mansonia sebagai berikut:
a. Ciri-ciri jentik nyamuk Mansonia
1) Bentuk siphon seperti tanduk
2) Jentik nyamuk mansonia menempel pada akar tumbuhan air.
3) Pada bagian toraks terdapat stoot spine.
b. Ciri-ciri nyamuk Mansonia
1) Pada saat hinggap tidak membentuk sudut 90º
2) Bentuk tubuh besar dan panjang
3) Bentuk sayap asimetris.
4) Menyebabkan penyakit filariasis
5) Penularan penyakit dengan cara membesarkan tubuhnya.

8. Daur Hidup Vektor Filaria

Fase perkembangan nyamuk dari telur hingga menjadi dewasa. Setelah menemukan
tempat yang cocok nyamuk mulai bertelur. Telur-telur tersebut panjangnya kurang
dari 1 mm, tersusun dalam satu baris secara berkelompok atau satu-satu. Beberapa
spesies nyamuk meletakkan telurnya saling bergabung membentuk suatu rakit yang
bisa terdiri dari 300 telur.

Setelah masa inkubasi, (musim dingin) larva mulai keluar dari telur secara hampir
bersamaan. Larva yang terus menerus makan, tumbuh dengan cepat. Sambil
bergantung di dalam air, larva bernafas melalui pipa udara yang mirip “snorkel” yang
digunakan para penyelam. Tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang mencegah
masuknya air ke lubang yang digunakan untuk bernafas. Jika tidak memiliki pipa
udara, ia tidak akan mampu bertahan hidup.

Pada tahap ini larva memasuki tahap pendewasaan yaitu tahap kepompong.
Kepompong menjadi sangat sempit sehingga saatnya larva kelur dari kepompong.
Selama tahap terakhir larva menghadapi bahaya terputusnya pernafasan, sebab lubang
pernafasannya yang mencapai permukaan air melalui pipa air akan tertutup. Sejak
tahap ini pernafasan tidak lagi menggunakan lubang melainkan melalui dua pipa yang
baru saja muncul pada bagian depan tubuhnya. Nyamuk dalam kepompong menjadi
dewasa. Siap terbang lengkap dengan semua organ dan organelnya, seperti antena,
tubuh, kaki, dada, sayap, perut, dan matanya.

Waktu yang diperlukan nyamuk untuk pertumbuhan dari telur sampai menjadi
dewasa lebih pendek (1 - 2 minggu) tempat perindukan nyamuk dapat di air jernih
dan air keruh. Ada beberapa nyamuk yang mempunyai kebiasaan menggigit pada
malam hari saja (Culex) ada yang pada siang dan malam hari (Mansonia) dan ada
yang hanya pada siang hari (Aedes). Umur nyamuk dapat bertahan selama lebih dari
dua minggu

9. Patogenesis Infeksi Filaria Berdasarkan Daur Hidupnya

Seseorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan


nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva
stadium 3-L3). Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia maka larva
L3 akan keluar dari proboscis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan
nyamuk, pada saat nyamuk menarik probosisnya larva L3 akan masuk
melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe.
Cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis
dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat
dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang
tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali.
Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa
dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria
bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan.

Disamping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya


kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap
darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas. Nyamuk yang
menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi
jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah
mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan.
Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap
penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur
nyamuk. sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak
cukup waktunya untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi
ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi untuk ekstrinsik untuk Wuchereria
bancrofti antara 10-14 hari sedangkan Brugia malayi dan Brugia timori
antara 8-10 hari.
Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh
terhadap resiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna
(mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam)
memiliki vektor yang aktif mencari darah pada waktu malam, sehingga
penularan juga terjadi pada malam hari. Di daerah dengan mikrofilaria sub
periodik nokturna dan non periodik penularan dapat terjadi siang dan
malam hari. (Sutanto dkk, 2016).

10. Diagnosis Banding


Pada filariasis limfatik dengan gejala limfedema akut, diagnosis banding
adalah penyebab limfedema lainnya, misalnya infeksi bakterial, tromboflebitis,
selulitis, dan trauma. Untuk kasus limfedema kronik, diagnosis banding yang
dapat adalah keganasan, edema setelah operasi, malformasi kongenital, gangguan
pada ginjal dan jantung, atau limfostasis herediter (penyakit Milroy). Limfedema
pada filariasis biasanya hanya terjadi pada salah satu ekstremtas

KESIMPULAN

Pada skenario 6 dapat disimpulkan bahwa pasien di diagnosis mengalami filariasis karena
pada hapusan darah ditemukan mikrofilaria serta pasien sebelumnya tinggal di NTT yang
merupakan daerah endemis dan dikuatkan dengan keluhan bengkak pada tungkai bawah kanan
yang sesuai ciri-ciri filiariasis. Sebagai langkah preventif dapat dilakukan dengan melakukan
fogging secara rutin, menguras air menggenang, menggunakan bednets curtains, menggunakan
Indoor Residual Seprei secara teratur.
DAFTAR PUSTAKA

Tim Editor Fakultas Kedokteran UI.2009. Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat.


Jalarta: Balai Penerbit FK UI.

Depkes RI. Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis. DitjenPP&PL. Jakarta ;2005.

Braunwald E. Edema In: Braunwald, Fauci, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, editors.
Harrison’s principles of internal medicine. 16th edition. New York: Mc Graw-Hill companies:
2004. P. 217-22

Effendi, Ian dkk. 2016. Edema Patofisiologi dan Penanganan. Jakarta: PT Alex Media
Komputindo

Soedoyo. Edema. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo WH, Setiyohadi B,
Alwi I, et al. Interna Publishing. Edisi ke-5. 2010: hal. 946-951.

Kurniawan Liliana. Filariasis – aspek klinis, diagnosis, pengobatan dan


pemberantasannya. Jakarta: Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI

Eknoyan G. A history of edema and its management. Kidney Int Suppl. 1997; 59: S1 18-26.

Anda mungkin juga menyukai