Anda di halaman 1dari 20

Makalah Pendidikan Anti Korupsi

“ Sejarah Korupsi dan Faktor Penyebab korupsi dalam perspektif teori


’’

Di susun oleh :

1. Azazi Oktaviana
2. Bahid Abdillah

3. Desy Haslinda A.S

4. Dini Nur Ramayanti

5. Juliana Selly Utami

6. Lidya The Vega

7. Maria Kristiana A

8. Mila Marta Dinata

9. Nia afini

10. Norlinda

11. Sinta Febriani


12. Vera Melida

S1 KEPERAWATAN STIKES WIYATA HUSADA

2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Sejarah Korupsi dan faktor
penyebab korupsi dalam perspektif teori “.

Tidak dapat dipungkiri lagi, hambatan demi hambatan selalu kami temui dalam hal
nya penyusunan setiap makalah. Tapi dengan kerja sama kerja keras serta tekad yang kuat
maka akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kekurangan demi kekurangan selalu ada, karna kami hanyalah manusia biasa. Oleh
sebab itu, kritik serta saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang.

Samarinda,23 Maret 2016


Penyusun i

DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………….i

Daftar Isi…………………………………………………………………….ii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………..3

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Korupsi……………………………………………………..4
B. Faktor Penyebab korupsi dalam perspektif teori……………………6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………16
B. Saran………………………………………………………………...16

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………17
ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi adalah suatu tindak pidana yang merugikan banyak pihak. Penyebab
adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan tetapi,
secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau orang lain secara tidak sah.

Permasalahan korupsi yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang
tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh
media seolah-olah merepresentasikan jati diri bangsa yang dapat dilihat dari budaya
korupsi yang telah menjadi hal yang biasa bagi semua kalangan, mulai dari bawah
hingga kaum elite.

Banyak kasus korupsi yang sampai sekarang tidak diketahui ujung pangkalnya
Korupsi tidak akan pernah bisa kita pisahkan dari apa yang dinamakan kekuasaan. Di
mana ada kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini telah menjadi kodrat dari kekuasaan
itu sendiri, yang menjadi “pintu masuk” bagi terjadinya tindakan korupsi. Kekuasaan
dan korupsi yang selalu berdampingan, layaknya dua sisi mata uang, merupakan
hakikat dari pernyataan yang disampaikan oleh Lord Acton, dari Universitas
Cambridge, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.

Terdapat sebuah postulat yang mengatakan bahwa korupsi selalu mengikuti


watak kekuasaan. Dalam artian bahwa korupsi itu ada baik di pemerintahan yang
sentralistik maupun desentralistik. Jika pemerintahan suatu negara adalah sentralistik,
korupsi juga akan bersifat sentralistik. Semakin kuat kekuasaan itu tersentral,
semakin besar pula terjadi kasus korupsi di kekuasaan pusat tersebut. Di Indonesia,
hal ini terjadi pada masa Orde Baru.

Sebaliknya, jika pemerintahan suatu negara adalah desentralistik, misalnya


dengan Otonomi Daerah, tindakan korupsi akan tersebar pula mengikuti pola
pemerintahan desentralistik tersebut. Dengan kata lain, praktek korupsi juga terjadi di
pemerintahan tingkat daerah. Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan
ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, korupsi pun mengikutinya berpindah dari
satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Situasi seperti ini terjadi pada
masa sekarang di Indonesia (Lihat Agus Suradika, 2009: 1)

Sesuai dengan definisinya, korupsi sebagai prilaku yang menyimpang


merupakan suatu tindakan yang melanggar aturan etis formal yang dilakukan oleh
seseorang dalam posisi otoritas publik (penguasa). Korupsi cenderung dilakukan oleh
orang yang memiliki kuasa atau wewenang terhadap sesuatu. Apabila seseorang
tersebut tidak memiliki kuasa, kecil kemungkinan bagi dirinya untuk melakukan
korupsi. Namun, merupakan suatu kemustahilan bagi manusia yang tidak memiliki
sebuah ‘kekuasaan’. Selain itu, ciri paling utama dari korupsi adalah tindakan
tersebut dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi semata dan merugikan
pihak lain di luar dirinya. Contoh paling mudah adalah seorang mahasiswa yang
bolos kuliah dan meminta temannya untuk mengisi buku hadir. Sejatinya, ia telah
melakukan korupsi karena ia memiliki kuasa terhadap kehadiran dan ketidakhadiran
dirinya di dalam kelas. Dia melakukan tindakan tersebut untuk kepentingannya
sendiri.

Melihat konteks kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, korupsi kelas


kakap, merupakan korupsi serius yang merugikan negara dan masyarakat banyak.
Korupsi yang dimaksud ini juga tidak lepas dari masalah kekuasaan. Para pejabat
publik telah dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan
tindakan melanggar hukum untuk kepentingan pribadi. Seorang pejabat publik yang
memegang kekuasaan (memiliki wewenang) secara otomatis memiliki daya untuk
mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan.

Sesuai dengan sifat dari kekuasan (kekuasaan politik) itu, yaitu mengendalikan
tingkah laku manusia (masyarakat) secara koersif (memaksa) agar supaya
masyarakat bersedia tunduk kepada negara (pemerintah). Dalam hal ini, setiap
kebijaksanaan yang diberlakukan sejatinya merupakan sebuah ketentuan atau aturan
yang sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Dari sini lah peluang
untuk terjadinya tindakan korupsi besar sekali.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan dari latar belakang di atas, maka timbul pertanyaan
sebagai berikut :
1. Apa sajakah penyebab korupsi dalam perspektif teori...?
2. Bagaimana penyebab korupsi dalam faktor internal dan eksternal...?
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Korupsi di Indonesia

Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah


mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang
yang menganggap korupsi sebagai sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat candu,
korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang jika tidak dilakukan, maka akan
membuat “stress” para penikmatnya.

Korupsi berawal dari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan


berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat
Negara. Tak urung kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa
terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor di Negara kita. Jika
dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi
ini muncul dan berkembang?. Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan
mengenai asal-asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada
sejak dulu ketika daerah daerah di Nusantara masih mengenal system pemerintah
feodal (Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapat dikatakan, pemerintahan disaat
daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang
dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dll).

Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu
3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman
modern seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase
tersebut.

Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya,


dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan.
Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan
kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll,
mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk
memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama
kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan
Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling
membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu
Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama
juga terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali
konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain.
Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita
kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada.

Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir


dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji
merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso.
Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya watak
opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan
dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi
kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja
atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang
pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam
tatanan pemerintahan kita dikmudian hari.
Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah
mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya
korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama
350 tahun.

Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan
badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal
demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat
lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk
menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan
dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan
oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan
rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung,
Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat.

B. Faktor penyebab korupsi dalam perspektif teori


Korupsi Secara etimologi, kata korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu
corruptus yang merupakan kata sifat dari kata kerja corrumpere yang bermakna
menghancurkan corupsio memiliki arti intensif atau keseungguh-sungguhan,
sedangkan rumpere memiliki arti merusak atau menghancurkan. Dengan gabungan
kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti secara harfiah bahwa korupsi adalah suatu
tindakan menghancurkan yang dilakukan secara intensif.

Menurut Arya Maheka, Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya Korupsi


adalah :
1. Penegakan hukum tidak konsisten :
penegakan huku hanya sebagai meke-up politik, bersifat sementara dan
sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan. Penyalahgunaan kekuasaan dan
wewenang karena takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan kesempatan.

2. Langkahnya lingkungan yang antikorup :


sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas
formalitas.Rendahnya pendapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan yang
diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara,

6
mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan
pelayanan terbaik bagi masyarakat.

3. Kemiskinan, keserakahan :
masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi.
Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak
pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
Budaya member upeti, imbalan jasa dan hadiah.

4. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi :


saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau
setidaknya diringankan hukumannya. Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian
bila tertangkap.

5. Budaya permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu :


menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak perduli
orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.

6. Gagalnya pendidikan agama dan etika :


ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal
menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku
masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap
agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga
agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz,
sebenarnya agama bisa memainkan peran yang besar dibandingkan insttusi
lainnya. Karena adanya ikatan emosional antara agama dan pemeluk agama
tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat
memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya maupun orang lain.

7
Sejatinya, ada begitu banyak pengertian dari korupsi yang disampaikan oleh para
ahli. Huntington (1968) memberikan pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat publik
yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku
menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum. Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan
dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai
perilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. “Mempertahankan jarak” ini
maksudnya adalah dalam mengambil sebuah keputusan, baik di bidang ekonomi, politik,
dan sebagainya, permasalahan dan kepentingan pribadi atau keluarga tidak memainkan
peran
Nye, J.S. (1967) dalam “Corruption and political development” mendefiniskan
korupsi sebagai prilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut
tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif
pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status.

Amin Rais, dalam sebuah makalah berjudul “Suksesi sebagai suatu Keharusan”,
tahun 1993, membagi jenis korupsi menjadi empat tipe. Pertama, korupsi ekstortif
(extortive corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada situasi di mana seseorang
terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak
dan kebutuhannya. Misalnya, seorang pengusaha dengan sengaja memberikan sogokan
pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap usaha sang
penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah. Kedua, korupsi
manipulatif (manipulative corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada usaha kotor
seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam
rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Misalnya pemberian uang kepada
bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat
menguntungkan pihak tertentu yang memberikan uang tersebut Peraturan ini umumnya
dapat merugikan masyarakat banyak.
8
Ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic corruption), yaitu perlakuan istimewa yang
diberikan pada keluarga: anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam
setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa itu para anak, menantu, keponakan dan istri
sang pejabat juga mendapatkan keuntungan. Keempat, korupsi subversif (subversive
cossuption), yaitu berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh para
pejabat negara dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya.

Mengutip teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE
Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
1. Greeds (keserakahan) :
berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam
diri setiap orang.
2. Opportunities (kesempatan) :
berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang
sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan
kecurangan.
3. Needs (kebutuhan) :
berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk
menunjang hidupnya yang wajar.
4. Exposures (pengungkapan) :
berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku
kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.

Faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) korupsi,
yaitu individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun di luar organisasi yang
melakukan korupsi yang merugikan pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities
dan Exposures berkaitan dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi,
instansi, masyarakat yang kepentingannya dirugikan.

9
Begitu parahnya perilaku Korupsi di negeri ini, sampai-sampai muncul anekdot
bahwa di negeri ini jika kita melakukan hal yang benar malah dianggap salah. Banyak
faktor penyebab korupsi. Secara umum faktor penyebab korupsi dapat dibagi menjadi
Dua yaitu Faktor Internal dan Faktor Eksternal. m.arifin membagi dua faktor peyebab
orang melakukan korupsi.faktor tersebut yaitu internal dan eksternal .yang di maksud
faktor internal dan eksternal.

A. FAKTOR INTERNAL
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri seseorang.
Persepsi terhadap korupsi. Pemahaman seseorang mengenai korupsi tentu
berbeda-beda. Menurut Pope (2003/2007), salah satu penyebab masih
bertahannya sikap primitif terhadap korupsi karena belum jelas mengenai
batasan bagi istilah korupsi, sehingga terjadi ambiguitas dalam melihat korupsi.
Kualitas moral dan integritas individu. Adanya sifat serakah dalam diri
manusia dan himpitan ekonomi serta self esteem yang rendah juga dapat membuat
seseorang melakukan korupsi.
Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi
adalah sebagai berikut:
a. peninggalan pemerintahan kolonial.
b. kemiskinan dan ketidaksamaan.
c. gaji yang rendah.
d. persepsi yang popular.
e. pengaturan yang bertele-tele.
f. pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Menurut bidang psikologi ada dua teori yang menyebabkan terjadinya
korupsi, yaitu teori medan dan teori big five personality. Menurut Lewin (dikutip
dalam Sarwono, 2008) teori medan adalah perilaku manusia merupakan hasil dari
interaksi antara faktor kepribadian (personality) dan lingkungan (environment)
atau dengan kata lain lapangan kehidupan seseorang terdiri dari orang itu sendiri
dan lingkungan
10
khususnya lingkungan kejiwaan (psikologis) yang ada padanya. Melalui teori
ini, jelas bahwa perilaku korupsi diapat dianalisis maupun diprediksi memiliki dua
opsi motif yakni dari sisi lingkungan atau kepribadian individu terkait.
Teori yang kedua adalah teori big five personality. Menurut Costa dan
McCrae (dikutip dalam Feist & Feist, 2008), big five personality merupakan
konsep yang mengemukakan bahwa kepribadian seseorang terdiri dari lima
faktor kepribadian, yaitu extraversion, agreeableness, neuroticism, openness, dan
conscientiousness.

Selain faktor-faktor internal di atas, terdapat faktor-faktor internal


lainnya.faktor tersebut yaitu :
a. Aspek Perilaku Individu:
1. Sifat Tamak/Rakus Manusia
Korupsi yang dilakukan bukan karena kebutuhan primer, yaitu
kebutuhan pangan. Pelakunya adalah orang yang berkecukupan, tetapi
memiliki sifat tamak, rakus, mempunyai hasrat memperkaya diri
sendiri. Unsur penyebab tindak korupsi berasal dari dalam diri sendiri
yaitu sifat tamak/rakus. Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib
hukumnya.
2. Moral yang kurang kuat
Orang yang moralnya kurang kuat mudah tergoda untuk melakukan
tindak korupsi. Godaan bisa datang dari berbagai pengaruh di
sekelilingnya, seperti atasan, rekan kerja, bawahan, atau pihak lain yang
memberi kesempatan.
3. Gaya hidup yang konsumtif
Gaya hidup di kota besar mendorong seseorang untuk berperilaku
konsumptif. Perilaku konsumtif yang tidak diimbangi dengan
pendapatan yang sesuai, menciptakan peluang bagi seseorang untuk
melakukan tindak korupsi.

11
b. Aspek Sosial
Keluarga dapat menjadi pendorong seseorang untuk berperilaku
koruptif. Menurut kaum bahviouris, lingkungan keluarga justru dapat
menjadi pendorong seseorang bertindak korupsi, mengalahkan sifat baik
yang sebenarnya telah menjadi karakter pribadinya. Lingkungan justru
memberi dorongan bukan hukuman atas tindakan koruptif seseorang.
B. FAKTOR EKSTERNAL
Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri seseorang.
Hukum. Sistem hukum di Indonesia untuk memberantas korupsi masih sangat
lemah. Menurut Pope (2003/2007), hukum tidak dijalankan sesuai prosedur yang
benar, aparat mudah disogok sehingga pelanggaran sangat mudah dilakukan oleh
masyarakat.Politik Monopoli kekuasaan merupakan sumber korupsi, karena
tidak adanya kontrol oleh lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat.
Budaya Menurut Pope (2003/2007), KKN yang masih sangat tinggi dan
tidak adanya sistem kontrol yang baik menyebabkan masyarakat menganggap
bahwa korupsi merupakan suatu hal yang sudah biasa terjadi.
Sosial Lingkungan sosial juga dapat mempengaruhi seseorang untuk
melakukan korupsi. Korupsi merupakan budaya dari pejabat lokal dan adanya
tradisi memberi yang disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab.
Ada aspek-aspek yang membuat orang-orang melakukan korupsi. Aspek
tersebut meliputi :
a. Aspek Sikap Masyarakat terhadap Korupsi
Dalam sebuah organisasi, kesalahan individu sering ditutupi demi
menjaga nama baik organisasi. Demikian pula tindak korupsi dalam sebuah
organisasi sering kali ditutup-tutupi. Akibat sikap tertutup ini, tindak korupsi
seakan mendapat pembenaran, bahkan berkembang dalam berbagai bentuk.
Sikap masyarakat yang berpotensi memberi peluang perilaku korupsi antara
lain:
12
1. Nilai-nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung untuk terjadinya
korupsi.
Misalnya masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang
dimilikinya. Akibatnya masyarakat menjadi tidak kritis terhadap
kondisi, seperti dari mana kekayaan itu berasal.
2. Masyarakat menganggap bahwa korban yang mengalami kerugian
akibat tindak korupsi adalah Negara. Padahal justru pada akhirnya
kerugian terbesar dialami oleh masyarakat sendiri. Contohnya akibat
korupsi anggaran pembangunan menjadi berkuran, pembangunan
transportasi umum menjadi terbatas misalnya.
3. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat dalam perilaku
korupsi. Setiap tindakan korupsi pasti melibatkan masyarakat, namun
masyarakat justru terbiasa terlibat dalam tindak korupsi sehari-hari dengan
cara-cara terbuka namun tidak disadari.
4. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan
diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan
pemberantasan korupsi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa
pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab pemerintah.

b. Aspek Ekonomi
Aspek Ekonomi sering membuka peluang bagi seseorang untuk korupsi.
Pendapatan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan atau saat sedang terdesak
masalah ekonomi membuka ruang bagi seseorang untuk melakukan jalan pintas,
dan salah satunya adalah korupsi.
c. Aspek Politis
Politik uang (money politics) pada Pemilihan Umum adalah contoh tindak
korupsi, yaitu seseorang atau golongan yang membeli suatu atau menyuap para
pemilih/anggota partai agar dapat memenangkan pemilu. Perilaku korup seperti
penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi.

13
Terkait hal itu Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa politik
uang sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political
influence (menggunakan uang dan keuntungan material untuk memperoleh
pengaruh politik). Penyimpangan pemberian kredit atau penarikan pajak pada
pengusaha, kongsi antara penguasa dan pengusaha, kasus-kasus pejabat Bank
Indonesia dan Menteri di bidang ekonomi pada rezim lalu dan pemberian cek
melancong yang sering dibicarakan merupakan sederet kasus yang
menggambarkan aspek politik yang dapat menyebabkan kasus korupsi
(Handoyo: 2009).

d. Aspek Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk
sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi
korban korupsi atau di mana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya
korupsi karena membuka peluang atau kesempatan terjadinya korupsi (Tunggal,
2000). Aspek-aspek penyebab korupsi dalam sudut pandang organisasi meliputi:
1. Kurang adanya sikap keteladanan Pemimpin
Pemimpin adalah panutan bagi bawahannya. Apa yang dilakukan oleh
pemimpin merupakan contoh bagi bawahannya. Apabila pemimpin
memberikan contoh keteladanan melakukan tindak korupsi, maka
bawahannya juga akan mengambil kesempatan yang sama dengan
atasannya.
2. Tidak Adanya Kultur/Budaya Organisasi yang Benar
Organisasi harus memiliki Tujuan Organisasi yang fokus dan jelas.
Tujuan organisasi ini menjadi pedoman dan memberikan arah bagi anggota
organisasi dalam melaksanakan kegiatan sesuati tugas dan fungsinya.
Tujuan organisasi menghubungkan anggotanya dengan berbagai tat-cara
dalam kelompok; juga berfungsi untuk membantu anggotanya menentukan
cara terbaik dalam melaksanakan tugas dan melakukan suatu tindakan.
Tatacara pencapaian tujuan dan pedoman tindakan inilah kemudian menjadi
kultur/budaya organisasi.
14
Kultur organisasi harus dikelola dengan benar, mengikuti standar-
standar yang jelas tentang perilaku yang boleh dan yang tidak boleh.
Kekuatan pemimpin menjadi penentu karena memberikan teladan bagi
anggota organisasi dalam mebentuk budaya organisasi. Peluang terjadinya
korupsi apabila dalam budaya organisasi tidak ditetapkan nilai-nilai
kebenaran, atau bahkan nilai dan norma-norma justru berkebalikan dengan
norma-norma yang berlaku secara umum (norma bahwa tindak korupsi
adalah tindakan yang salah).
3. Kurang Memadainya Sistem Akuntabilitas
Dalam sebuah organisasi perlu ditetapkan visi dan misi yang
diembannya, yang dijabarkan dalam rencana kerja dan target pencapaiannya.
Dengan cara ini penilaian terhadap kinerja organisasi dapat dengan mudah
dilaksanakan. Apabila organisasi tidak merumuskan tujuan, sasaran, dan
target kerjanya dengan jelas, maka akan sulit dilakukan penilaian dan
pengukuran kinerja. Hal ini membuka peluang tindak korupsi dalam
organisasi.
4. Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak
pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah
pengendalian manajemen sebuah organisasi semakin terbuka peluang tindak
korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
5. Pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal
(pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pemimpin) dan
pengawasan yang bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dalam hal ini
antara lain KPKP, Bawasda, dll dan masyarakat). Pengawasan ini kurang
berfungsi secara efektif karena beberapa faktor seperti tumpang tindihnya
pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesional pengawas serta
kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintah oleh pengawas
itu sendiri.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Korupsi adalah kejahatan atau penyimpangan berupa pelanggaran hukum yang
dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya demi
kepentingan pribadi, di mana tindakan tersebut menimbulkan kerugian yang besar bagi
negara dan masyarakat.
Korupsi pada dasarnya dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, menyentuh
semua kalangan di dalam masyarakat. Korupsi muncul bukan tanpa sebab. Korupsi
merupakan akibat dari sebuah situasi kondisi di mana seseorang membutuhkan
penghasilan lebih, atau merasa kurang terhadap apa yang dia peroleh jika menjalankan
usaha dengan cara-cara yang sah. Korupsi merupakan tindakan yang tidak lepas dari
pengaruh kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh individu maupun kelompok, dan
dilaksanakan baik sebagai kejahatan individu (professional) maupun sebagai bentuk dari
kejahatan korporasi (dilakukan denga kerjasama antara berbagai pihak yang ingin
mendapatkan keuntungan sehingga membentuk suatu struktur organisasi yang saling
melindungi dan menutupi keburukan masing-masing). Korupsi merupakan cerminan dari
krisis kebijakan dan representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.

B. Saran
Semua faktor-faktor itu sangat mempengaruhi diri individu untuk melakukan
kejahatan: korupsi. Hal ini disebabkan kurangnya rasa kesadaran akan pentingnya
tanggung jawab moral bagi mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan. Oleh karena
itu, meskipun terkesan sebagai mimpi dan harapan yang muluk, memperbaiki kesadaran
seseorang dan mengembalikan rasa tanggung jawab moralnya adalah salah satu cara yang
paling ampuh untuk mencegah dan menghentikan korupsi di negeri ini.
Pendidikan agama dan aksi memperkuat iman adalah metode yang mesti
ditingkatkan demi mendapatkan orang-orang yang memiliki hati nurani bersih dan mau
bekerja demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
16
DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ke dua puluh tujuh. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2005

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika. 2005

Ilham Gunawan, Postur Korupsi di Indonesia: Tinjauan Yuridis, sosiologi, budaya, dan
politis, Bandung: 1990

Mustofa, Muhammad. kleptokrasi: Persengkongkolan Birokrat-Korporat sebagai Pola


White-Collar Crime di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.
17

Anda mungkin juga menyukai