Anda di halaman 1dari 25

PROPOSAL TERAPI BERMAIN MEWARNAI GAMBAR DENGAN PASIR

WARNA PADA ANAK PRA SEKOLAH DI RUANG MELATI


RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

1. Argiriani P1908073
2. Ceni Maryani P1908075
3. Dina Fitriani P1908082
4. Elana Yenti P1908085
5. Juliyana Selly Utami P1908095
6. Narsih Pantia P1908141
7. Norlinda P1908112
8. Ravy Haryo Widigdo P1908117

PROGRAM PROFESI NERS INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN


DAN SAINS WIYATA HUSADA SAMARINDA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat

rahmat dan kasih -Nyalah sehingga kami dapat menyusun PROPOSAL TERAPI BERMAIN
MEWARNAI GAMBAR DENGAN PASIR WARNA, ini yang telah ditentukan. Proposal terapi

bemain ini diajukan guna memenuhi tugas profesi yang diberikan pada stase
Keperawatan Anak.

Pada kesempatan ini juga kami berterima kasih atas bimbingan dan masukan dari

semua pihak yang telah memberi kami bantuan wawasan untuk dapat menyelesaikan

Proposal Terapi Bermain ini baik itu secara langsung maupun tidak langsung.

Kami menyadari isi ini Proposal Terapi Bermain masih jauh dari kategori sempurna, baik
dari segi kalimat, isi maupun dalam penyusunan.oleh karen itu, kritik dan saran yang

membangun dari dosen mata kuliah yang bersangkutan, sangat kami harapkan demi

kesempurnaan Proposal Terapi Bermain ini.

Samarinda, 17 Februari 2020


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak usia prasekolah merupakan anak yang mempunyai rentang usia 2 hingga

6 tahun (Potter and Perry, 2015). Pada anak usia prasekolah mempunyai kemampuan
motorik kasar dan halus yang lebih matang dari pada usia toddler. Pada saat

pertumbuhan dan perkembangannya anak usia prasekolah sudah lebih aktif, kreatif
dan imajinatif (Supartini, 2012). Pada masa usia prasekolah ini aktifitas anak yang

meningkat menyebabkan anak sering kelelahan sehingga menyebabkan rentan

terserang penyakit akibat daya tahan tubuh yang lemah pula, hingga anak diharuskan

untuk menjalani hospitalisasi. Hospitalisasi pada anak merupakan proses yang

dikarenakan suatu alasan yang berencana ataupun darurat, sehingga mengharuskan


anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan

kembali kerumah. Pada saat proses inilah terkadang anak mengalamai berbagai

pengalaman yang sangat traumatis dan penuh dengan stres.

Hospitalisasi ialah salah satu penyebab stres baik pada anak maupun
keluarganya, terutama disebabkan oleh cemas akibat perpisahan dengan keluarga,

perlukaan tubuh dan rasa sakit (nyeri), serta kehilangan kendali (Nursalam dkk, 2008).

Hospitalisasi merupakan perawatan yang dilakukan dirumah sakit dan dapat

menimbulkan trauma dan stres pada klien yang baru mengalami rawat inap di rumah
sakit. Menurut Wong (2012), hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat

anak sakit dan dirawat di rumah sakit sehingga anak harus beradaptasi dengan

lingkungan rumah sakit. Stress pada anak ini dapat diperlihatkan dengan kecemasan

yang muncul pada sikap anak. Kecemasan tidak dapat diartikan secara langsung
sebagai suatu penyakit, melainkan suatu gejala. Kecemasan dapat terjadi pada waktu-

waktu tertentu dalam kehidupannya. kecemasan muncul sebagai reaksi normal

terhadap situasi yang sangat menekan dan karena itu berlangsung sebentar saja
(Ramaiah, 2013).

Prevalensi untuk kecemasan anak pada saat hospitalisasi mencapai 75%.

Kecemasan merupakan kejadian yang mudah terjadi atau menyebar, namun tidak
mudah diatasi karena faktor penyebabnya yang tidak spesifik (Sari dan Sulisno, 2012).

Perasaan cemas merupakan dampak dari hospitalisasi yang dialami oleh anak karena
menghadapi stressor yang ada dilingkungan rumah sakit. Perasaan tersebut dapat
timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya,
rasa tidak nyaman dan merasakan sesuatu yang menyakitkan (Supartini, 2004).
Kecemasan merupakan perasaan paling umum yang dialami oleh pasien anak

terutama usia prasekolah, baik itu cemas terhadap tindakan medis maupun pada
petugas kesehatan. Kecemasan yang terjadi pada anak tidak dapat dibiarkan, karena

hal ini dapat berdampak buruk pada proses pemulihaan kesehatan anak. Dalam
mengatasi kecemasan ini salah satu hal yang dapat dilakukan ialah melalui terapi

bermain.
Terapi bermain adalah suatu bentuk permainan yang direncanakan untuk

membantu anak mengungkapkan perasaannya dalam menghadapi kecemasan dan

ketakutan terhadap sesuatu yang tidak menyenangkan baginya. Bermain pada masa

pra sekolah adalah kegiatan serius, yang merupakan bagian penting dalam

perkembangan tahun-tahun pertama masa kanak-kanak. Hampir sebagian besar dari


waktu mereka dihabiskan untuk bermain). Dalam bermain di rumah sakit mempunyai

fungsi penting yaitu menghilangkan kecemasan, dimana lingkungan rumah sakit

membangkitkan ketakutan yang tidak dapat dihindarkan (Sacharin, 2013).

Bermain dapat digunakan sebagai media psiko terapi atau pengobatan


terhadap anak yang dikenal dengan sebutan Terapi Bermain (Tedjasaputra, 2017).

Adapun tujuan bermain bagi anak di rumah sakit yaitu, mengurangi perasaan takut,

cemas, sedih, tegang dan nyeri (Supartini, 2014). Pasir merupakan bahan alam yang

sangat mudah dijumpai, selain itu bermain pasir merupakan hal yang sangat menarik
bagi anak, karena dengan pasir anak dapat bermain menuang, mengisi, mencetak,

menabur, dan membuat bangunan. Menurut Anggani Sudono (2015) anak-anak suka

bereksplorasi dengan dengan tanah, lumpur, dan pasir, dan kekayaan bereksperimen

dengan pasir tidak ternilai harganya.


Warna merupakan unsur desain pertama yang dapat menarik perhatian dan

minat seseorang. Dalam seni rupa, warna berarti pantulan dari cahaya yang

dipengaruhi oleh pigmen yang terdapat di permukaan benda. Perpaduan dari


beberapa warna akan menjadi lebih menarik bila kita lihat, misal saat kita melihat

perpaduan warna-warni pelangi pasti jauh lebih indah daripada kita hanya melihat

satu warna saja tanpa perpaduan warna lain. Secara psikologi warna memiliki karakter
atau sifat yang berbeda-beda. Sejak jaman dahulu warna diketahui mempunyai

pengaruh terhadap manusia. Warna biasanya mempengaruhi karakter dan kejiwaan


seseorang. Selain itu warna juga merupakan ekspresi dari imajinasi seseorang.
Warna memiliki pengaruh yang besar terhadap kinerja sekolah dan kemampuan
belajar anak. Penggunaan media pasir berwarna dapat menjadi salah satu alternatif
media pembelajaran. Media pasir berwarna dapat dengan mudah kita dapatkan,

dengan cara membuat sendiri dari pasir pantai putih yang diwarnai dengan pewarna
makanan, pemilihan warna dapat disesuaikan dengan kebutuhan atau warna-warna

cerah yang disukai oleh anak, seperti warna merah, biru, kuning atau hijau. Media ini
juga termasuk dalam media yang educative, karena dapat mengembangkan beberapa

aspek perkembangan dalam diri anak. Aspek perkembangan yang dapat


dikembangkan melalui pasir berwarna yaitu aspek perkembangan motorik halus dan

kognitif anak serta dapat menurunkan kecemasaan pada anak (Supartini, 2014).

Menggambar atau mewarnai merupakan salah satu permainan yang

memberikan kesempatan anak untuk bebas berekspresi (Sujono & Sukarmi, 2013).

Aktivitas mewarnai memiliki banyak manfaat diantaranya sebagai media berekspresi,


membantu mengenal perbedaan warna, warna merupakan media terapi, melatih anak

menggenggam pensil, melatih kemampuan koordinasi, mengembangkan kemampuan

motorik, mewarnai meningkatkan konsentrasi, mewarnai melatih anak mengenal garis

batas bidang, mewarnai melatih anak membuat target.


Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pengaruh terapi mewarnai gambar

dengan pasir warna terhadap penurunan tingkat kecemasan pada anak usia

prasekolah 3-5 tahun, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat kecemasan sebelum

diberikan terapi yang paling tinggi yaitu kecemasan sedang dengan presentase 53,3%
dan setelah diberikan terapi tingkat kecemasan berada pada tingkat kecemasan ringan

dengan presentase 76,6%. Hasil p value = 0,000 (< 0,05), sehingga dapat disimpulkan

bahwa terdapat pengaruh terapi mewarnai gambar dengan pasir warna terhadap

tingkat kecemasan anak prasekolah 3-5 tahun di ruang Tulip II A RSUD Ulin
Banjarmasin.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum

Meminimalkan dampak hospitalisasi pada anak

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengurangi kejenuhan anak pada saat menjalani perawatan.

b. Untuk mengurangi kecemasan anak pada saat menjalani perawatan


c. Untuk meningkatkan adaptasi efektif pada anak terhadap stress karena
penyakit dan dirawat
d. Untuk meningkatkan kemampuan daya tangkap atau konsentrasi anak.

e. Untuk meningkatkan koping yang efektif untuk mempercepat penyembuhan.


f. Untuk menambah pengetahuan kreatifitas

g. Untuk mengembangkan imajinasi pada anak


BAB II
LAMPIRAN TEORI

A. Pengertian Anak Usia Pra Sekolah


Anak pra sekolah adalah mereka yang berusia antara tiga sampai enam tahun

(Patmonodewo, 2010). Anak prasekolah adalah pribadi yang mempunyai berbagai


macam potensi. Potensi-potensi itu dirangsang dan dikembangkan agar pribadi anak

tersebut berkembang secara optimal. Masa pra sekolah menurut Munandar (2001),
merupakan masa-masa untuk bermain dan mulai memasuki taman kanak-kanak.

Waktu bermain merupakan sarana untuk tumbuh dalam lingkungan dan kesiapannya

dalam belajar formal (Gunarsa, 2004). Pada tahap perkembangan anak usia pra

sekolah ini, anak mulai menguasai berbagai keterampilan fisik, bahasa, dan anak pun

mulai memiliki rasa percaya diri untuk mengeksplorasi kemandiriannya (Hurlock,


2007).

Menurut Hurlock (2007), ciri-ciri anak usia pra sekolah meliputi fisik, motorik,

intelektual, dan sosial. Ciri fisik anak pra sekolah yaitu otot-otot lebih kuat dan

pertumbuhan tulang menjadi besar dan keras. Anak prasekolah mempergunakan


gerak dasar seperti berlari, berjalan, memanjat, dan melompat sebagai bagian dari

permainan mereka. Kemudian secara motorik anak mampu memanipulasi obyek

kecil menggunakan lilin berbagai ukuran dan bentuk. Selain itu juga anak

mempunyai rasa ingin tahu, rasa emosi, iri, dan cemburu. Hal ini timbul karena anak
tidak memiliki hal-hal yang dimiliki oleh teman sebayanya. Sedangkan secara sosial

anak mampu menjalani kontak sosial dengan orang-orang yang ada diluar rumah,

sehingga anak mempunyai minat yang lebih untuk bermain pada temannya, orang-

orang dewasa ,aupun saudara kandung didalam keluarganya.

B. Hospitalisasi Pada Anak Usia Pra Sekolah

Bagi anak usia prasekolah, sakit adalah sesuatu yang menakutkan. Selain itu,
perawatan di rumah sakit dapat menimbulkan cemas karena anak merasa kehilangan

lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan. Anak

juga harus meninggalkan lingkungan rumah, permainan, dan teman bermainannya


(Supartini, 2014). Hal tersebut membuat anak menjadi stress atau tertekan. Sebagai

akibatnya, anak merasa gugup dan tidak tenang, bahkan pada saat menjelang tidur.
Anak yang mengalami kecemasan akan memunculkan respon fisologis, seperti
perubahan pada sistem kardiovaskuler, perubahan pola nafas yang semakin cepat
atau terengah-engah. Selain itu, dapat pula terjadi perubahan pada sistem

pencernaan dan neuromuscular seperti nafsu makan menurun, gugup, tremor,


hingga pusing dan insomnia. Kulit mengeluarkan keringat dingin dan wajah menjadi

kemerahan. Selain respon fisiologis, biasanya anak juga akan menampakkan respon
perilaku, seperti gelisah, ketegangan fisik, tremor atau gemetar, reaksi kaget, bicara

cepat, menghindar, hingga menarik diri dari hubungan interpersonal. Respon


kognitif yang mungkin muncul adalah perhatian terganggu, pelupa, salah dalam

memberikan penilaian, hambatan berpikir, tidak mampu berkonsentrasi, dan

ketakutan. Sedangkan respon afektif yang biasa muncul adalah tidak sabar, tegang,

dan waspada (Stuart & Sundeen, 2016).

Stressor atau pemicu timbulnya stress pada anak yang dirawat di rumah sakit
dapat berupa perubahan yang bersifat fisik, psiko-sosial, spiritual maupun perubahan

fisiologis yang tampak melalui tanda dan gejala yang dialami anak saat sakit. Adanya

perlukaan dan rasa nyeri membuat anak terganggu. Perubahan lingkungan fisik

ruangan seperti fasilitas tempat tidur yang sempit dan kurang nyaman, tingkat
kebersihan kurang, dan pencahayaan yang terlalu terang atau terlalu redup. Selain

itu suara yang gaduh dapat membuat anak merasa terganggu atau bahkan menjadi

ketakutan. Keadaan dan warna dinding maupun tirai dapat membuat anak marasa

kurang nyaman. Perubahan lingkungan fisik selama dirawat di rumah sakit dapat
membuat anak merasa asing. Hal tersebut akan menjadikan anak merasa tidak aman

dan tidak nyaman (Keliat, 2015).

Perubahan lingkungan psiko-sosial. Sebagai akibatnya, anak akan merasakan

tekanan dan mengalami kecemasan, baik kecemasan yang bersifat ringan, sedang,
berat, hingga panik. Pada saat anak menjalani masa perawatan, anak harus berpisah

dari lingkungannya serta orang-orang yang terdekat dengannya. Anak biasanya

memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ibunya, akibatnya perpisahan dengan
ibu akan meninggalkan rasa kehilangan pada anak, sehingga pada akhirnya akan

menimbulkan perasaan tidak aman dan rasa cemas (Nursalam, 2015).

Kecemasan yang timbul baik akibat perubahan fisik maupun psiko-sosial pada
anak yang dirawat di rumah sakit membuat anak merasa tidak nyaman dan tertekan.

Kondisi tersebut akan menimbulkan stress pada anak selama masa perawatan di
rumah sakit dan sering dikenal dengan stress hospitalisasi.
C. Dampak Hospitalisasi pada Anak Usia Pra Sekolah
Anak yang dirawat di rumah sakit memiliki dampak hospitalisasi yang
berbeda-beda, pada anak usia prasekolah dampak hospitalisasi yang terjadi yaitu

stress, gangguan gaya hidup, cemas, takut, rasa bersalah, perasaan kehilangan,
kehilangan control dan adanya trauma. Perasaan tersebut dapat timbul karena anak

menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak
aman dan nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialaminya dan sesuatu

yang dirasakan menyakitkan (Supartini, 2004). Sehingga dari dampak tersebut akan
mengakibatkan krisis pada anak.

Krisis utama yang tampak pada anak pada saat dirawat di rumah sakit yaitu

karena anak stress akibat perubahan baik pada status kesehatannya maupun

lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari, dan anak mempunyai sejumlah

keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian-


kejadian yang bersifat menekan (Nursalam, 2015). Akibat dari hospitalisasi akan

berbeda-beda pada anak, ada yang bersifat individual dan sangat tergantung pada

tahapan perkembangan anak.

Akibat perpisahan anak akan memberikan respon berupa perubahan perilaku.


Respon perilaku anak akibat perpisahan di bagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap

protes (phase of protest), tahap putus asa (phase of despair), dan tahap menolak

(phase of denial) (Nursalam, 2015). Pada tahap protes, reaksi anak dimanifestasikan

dengan menangis kuat-kuat, menjerit, memanggil orang tuanya atau menggunakan


tingkah laku agresif agar orang lain tahu bahwa ia tidak ingin ditinggalkan orang

tuanya serta menolak perhatian orang asing atau orang lain.

Tahap putus asa menampilkan perilaku anak yang cenderung tampak tenang,

tidak aktif, menarik diri, menangis berkurang, kurang minat untuk bermain, tidak
nafsu makan, sedih, dan apatis. Tahap berikutnya adalah tahap menolak dimana anak

samar-samar menerima perpisahan, membina hubungan dangkal dengan orang lain

serta terlihat menyukai lingkungan. Anak mulai kelihatan gembira. Fase ini biasanya
terjadi setelah anak berpisah lama dengan orang tua.

D. Kecemasan
Cemas adalah keadaan emosi yang berkaitan dengan ketidakpastian dan

ketidakberdayaan. Keadaan emosi ini tidak memiliki subyek yang spesifik, kondisi
dialami secara subyektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal (Stuart
& Sundeen, 2016). Cemas adalah suatu keadaan patologik yang ditandai oleh
perasaan ketakutan disertai tanda somatic pertanda system saraf otonom yang
hiperaktif. Dibedakan dari rasa takut yang merupakan respon terhadap suatu

penyebab yang jelas (Kaplan & Saddock, 2010).


Menurut Stuart & Sundeen (2016) faktor predisposisi kecemasan timbul

karena adanya perasaan takut dan tidak adanya penerimaan terhadap kondisi yang
ada, kecemasan muncul karena ketidakmampuan dari seseorang mencapai

keinginan. Teori yang menjelaskan mengenai penyebab dari kecemasan diantaranya


adalah: pandangan interpersonal menjelaskan bahwa cemas timbul dari perasaan

takut terhadap penolakan dan ketidaksetujuan interpersonal, pandangan perilaku

menjelaskan bahwa cemas merupakan hasil dari frustasi, pandangan psikoanalitis

menjelaskan bahwa cemas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen

kepribadian, yaitu id dan superego (Stuart, 2016).


Stressor pencetus kecemasan dapat berasal dari sumber internal atau

eksternal. Stressor pencetus dapat dikelompokan dalam dua kategori yaitu: (1)

ancaman terhadap integritas fisik meliputi ketidakmampuan fisisologis yang akan

terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan seharihari,


dan (2) ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan identitas, harga diri, dan

fungsi sosial yang terintegrasi pada individu (Stuart, 2016).

Menurut Kaplan & Sadock (2010), pengalaman kecemasan memiliki dua

komponen yaitu kesadaran adanya sensasi fisiologis, seperti berdebar-debar dan


berkeringat, dan kesadaran sedang gugup atau ketakutan. Menurut Dalami et al

(2009) kecemasan digambarkan dengan keadaan khawatir, gelisah, takut dan merasa

tidak tentram yang disertai dengan adanya berbagai keluhan fisik. Reaksi kecemasan

yaitu gejala somatic dan gejala psikologis. Gejala somatik yang ditunjukan berupa
sesak nafas, pegal-pegal, dan keringat dingin. Gejala psikologis ditandai dengan

ketidakmampuan berperilaku santai, dan bicara cepat dan terputus-putus (Maramis,

2009).
Seseorang yang mengalami kecemasan memiliki rentang respon dan tingkatan

yang berbeda-beda. Menurut Stuart & Sundeen (2016), ada empat tingkat

kecemasan yang dialami individu, yaitu kecemasan ringan, kecemasan sedang,


kecemasan berat, serta panik. Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan

dan waspada. Manisfestasi yang muncul pada ansietas ringan, antara lain: Respon
fisiologis, meliputi sesekali nafas pendek, mampu menerima rangsang yang pendek,
muka berkerut dan bibir bergetar. Respon kognitif, meliputi koping persepsi luas,
mampu menerima rangsang yang kompleks, konsentrasi pada masalah, dan
menyelesaikan masalah. Respon perilaku dan emosi, meliputi tidak dapat duduk

tenang, tremor halus pada lengan, dan suara kadang meninggi (Suliswati, 2015).
Ansietas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang

penting dengan mengesampingkan yang lain perhatian selektif dan mampu


melakukan sesuatu yang lebih terarah. Manifestasi yang muncul pada kecemasan

sedang antara lain: Respon fisiologis yaitu sering napas pendek, nadi dan tekanan
darah naik, mulut kering, diare atau konstipasi, tidak nafsu makan, mual, dan

berkeringat setempat. Respon kognitif yaitu respon pandang menyempit,

rangsangan luas mampu diterima, berfokus pada apa yang menjadi perhatian dan

bingung. Respon perilaku dan emosi yaitu bicara banyak, lebih cepat, susah tidur dan

tidak aman (Suliswati, 2015).


Ansietas berat, seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang

terinci dan spesifik dan tidak dapat berfikir tantang hal lain. Orang tersebut

memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.

Manifestasi yang muncul pada kecemasan berat antara lain: Respon fisiologis yaitu,
napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala,

penglihatan kabur, dan ketegangan. Respon kognitif yaitu lapang persepsi sangat

sempit, dan tidak mampu menyelesaikan masalah. Respon perilaku dan emosi yaitu

perasaan terancam meningkat, verbalisasi cepat, dan menarik diri dari hubungan
interpersonal (Suliswati, 2015).

Panik, tingkat panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan terror.

Panik melibatkan disorganisasi kepribadian, terjadi peningkatan aktivitas motorik,

menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang


menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional. Manifestasi yang muncul

terdiri dari: Respon fisiologis yaitu napas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit

dada, pucat, hipotensi, dan koordinasi motorik rendah. Lapang kognitif yaitu lapang
persepsi sangat sempit, dan tidak dapat berfikir logis. Respon perilaku dan emosi

yaitu mengamuk-amuk dan marah-marah, ketakutan, berteriak-teriak, menarik diri

dari hubungan interpersonal, kehilangan kendali atau kontrol diri dan persepsi kacau.
Rentang respon kecemasan dapat dikonseptualisasikan dalam rentang respon

adaptif sampai maladaptif. Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat konstruktif dan
destruktif. Konstruktif adalah motivasi seseorang untuk belajar memahami terhadap
perubahan-perubahan terutama perubahan terhadap perasaan tidak nyaman dan
berfokus pada kelangsungan hidup. Sedangkan reaksi destruktif 20 adalah reaksi
yang dapat menimbulkan tingkah laku maladaptif serta disfungsi yang menyangkut

kecemasan berat atau panik (Suliswati, 2015).

E. Bermain
Bermain merupakan suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau

mempraktekkan ketrampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi


kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa (Aziz , 2015).

Terapi bermain adalah bagian perawatan pada anak yang merupakan salah satu

intervensi yang efektif bagi anak untuk menurunkan atau mencegah kecemasan
sebelum dan sesudah tindakan operatif . Dengan demikian dapat dipahami bahwa

didalam perawatan pasien anak, terapi bermain merupakan suatu kegiatan didalam

melakukan asuhan keperawatan yang sangat penting untuk mengurangi efek


hospitalisasi bagi pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya ( Nursalam,

2015). Terapi bermain ini bertujun untuk mempraktekkan keterampilan, memberikan


ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif dan merupakan suatu aktifitas yang

memberikan stimulasi dalam kemampuan keterampilan kognitif dan afektif

F. Ciri-Ciri Bermain

1. Selalu bermain dengan sesuatu atau benda

2. Selalu ada timbal balik interaksi

3. Selalu dinamis
4. Ada aturan tertentu

5. Menuntut ruangan tertentu

G. Klasifikasi Bermain Menurut Karakteristik Sosial


1. Solitary play

Jenis permainan dimana anak bermain sendiri walaupun ada beberapa orang lain
yang bermain disekitarnya. Biasa dilakukan oleh anak balita Toddler.
2. Paralel play

Permainan sejenis dilakukan oleh suatu kelompok anak masing-masing

mempunyai mainan yang sama tetapi yang satu dengan yang lainnya tidak ada
interaksi dan tidak saling tergantung, biasanya dilakukan oleh anak pre school.
Contoh: bermain balok
3. Asosiatif play

Permainan dimana anak bermain dalam keluarga dengan aktivitas yang sama
tetapi belum terorganisasi dengan baik, belum ada pembagian tugas, anak

bermain sesukanya.
4. Kooperatif play

Anak bermain bersama dengan sejenisnya permainan yang terorganisasi dan


terencana dan ada aturan tertentu. Biasanya dilakukan oleh anak usia sekolah

Adolesen.

H. Fungsi Bermain

Anak dapat melangsungkan perkembangannya


1. Perkembangan Sensorik Motorik

Membantu perkembangan gerak dengan memainkan obyek tertentu, misalnya

meraih pensil.

2. Perkembangan Kognitif
Membantu mengenal benda sekitar (warna, bentuk kegunaan).

3. Kreatifitas

Mengembangkan kreatifitas menoba ide baru misalnya menyusun balok.

4. Perkembangan Sosial
Diperoleh dengan belajar berinteraksi dengan orang lain dan mempelajari belajar

dalam kelompok.

5. Kesadaran Diri (Self Awareness)

Bermain belajar memahami kemampuan diri, kelemahan, dan tingkah laku


terhadap orang lain. Perkembangan Moral

Interaksi dengan orang lain, bertingkah laku sesuai harapan teman, menyesuaikan

dengan aturan kelompok. Contoh : dapat menerapkan kejujuran


6. Terapi

Bermain merupakan kesempatan pada anak untuk mengekspresikan perasaan

yang tidak enak, misalnya : marah, takut, benci.


7. Komunikasi

Bermain sebagai alat komunikasi terutama bagi anak yang belum dapat
mengatakan secara verbal, misalnya : melukis, menggambar, bermain peran.
I. Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Bermain
1. Tahap perkembangan, tiap tahap mempunyai potensi/keterbatasan
2. Status kesehatan, anak sakit  perkembangan psikomotor kognitif terganggu

3. Jenis kelamin
4. Lingkungan  lokasi, negara, kultur

5. Alat permainan  senang dapat menggunakan


6. Intelegensia dan status sosial ekonomi

J. Bermain di Rumah Sakit

1. Tujuan

a. Melanjutkan tugas kembang selama perawatan

b. Mengembangkan kreativitas melalui pengalaman permainan yang tepat

c. Beradaptasi lebih efektif terhadap stress karena sakit atau dirawat


2. Prinsip

a. Tidak banyak energi, singkat dan sederhana

b. Mempertimbangkan keamanan dan infeksi silang

c. Kelompok umur sama


d. Melibatkan keluarga/orangtua

3. Upaya Perawatan Dalam Pelaksanaan Bermain

a. Lakukan saat tindakan keperawatan

b. Sengaja mencari kesempatan khusus


4. Beberapa Hal Yang Perlu Diperhatikan

a. Alat bermain

b. Tempat bermain

5. Pelaksanaan Bermain Di Rs Dipengaruhi Oleh


a. Faktor pendukung

Pengetahuan perawat, fasilitas kebijakan RS, kerjasama Tim dan keluarga.

b. Faktor penghambat
Tidak semua RS mempunyai fasilitas bermain

K. Tujuan Permainan
1. Untuk melanjutkan tumbuh kembang yang mormal pada saat sakit. Pada saat

sakit anak mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangannya


2. Mengekspresikan perasaan, keinginan dan fantasi serta ide-idenya. Permainan
adalah media yang sangat efektif untuk mengekspresikan berbagai perasaan
yang tidak menyenangkan.

3. Mengembangkan kreativitas dan permainan akan menstimulasi daya pikir,


imajinasi dan fantasinya untuk menciptakan sesuatu seperti yang ada dalam

pikirannya.
4. Dapat beradaptasi secara efektif terhadap stress karena sakit dan di rawat di rs

5. Mengurangi tingkat kecemasan atau ketakutan yang dirasakan oleh anak-anak


akibat hospitalisasi

L. Mewarnai Gambar dengan Pasir warna

1. Definisi

Warna adalah sebuah spektrum tertentu yang terdapat di dalam cahaya


yang sempurna/putih. Dalam dunia desain, warna merupakan pantulan tertentu

dari cahaya yang dipengaruhi oleh pigmen yang terdapat di permukaan benda.

Misalnya pencampuran pigmen magenta dan cyan dengan proporsi tepat dan

disinari cahaya putih sempurna akan menghasilkan sensasi mirip warna merah.
Warna pertama yang digunakan manusia adalah warna kuning dan

merah, yang ditemukan di gua Altamira & Lascaux, Perancis Selatan dan Spanyol.

Pada masa ini, pewarnaan dilakukan dengan menggunakan biji buah, tanah, atau

darah binatang. Pada masa Yunani kuno, Aristoteles membedakan warna


menjadi dua golongan yaitu warna yang berasal dari cahaya terang dan warna

yang berasal dari kegelapan. Sedangkan menurut Leonardo da Vinci semua

warna adalah putih.

Teori warna menurut Sir Isaac Newton, yaitu warna dapat terjadi apabila
terjadi perpecahan spektrum sinar matahari, dan akan terbentuk beraneka ragam

warna yang terdiri dari dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu. Warna-

warna tersebut dapat kita lihat pada warna pelangi.


Berdasarkan teori Brewster warna dikelompokkan menjadi 4 yaitu:

1. Warna primer, yang merupakan warna dasar, yang tidak merupakan

campuran dari warna-warna lain. Warna yang termasuk dalam golongan


warna primer adalah merah, biru, kuning.

2. Warna sekunder, yang merupakan hasil percampuran dari warna-warna


primer, dengan perbandingan 1:1. Misalnya, warna merah dicampur
dengan warna kuning akan menjadi warna jingga, warna biru dan warna
kuning jika dicampurkan akan menjadi warna hijau.
3. Warna tersier, yang merupakan campuran salah satu warna primer dengan

salah satu warna sekunder. Misalkan, warna kuning dan jingga, jika
dicampurkan akan menjadi warna jingga kekuningan.

4. Warna netral, merupakan hasil campuran ketiga warna dasar dalam


perbandingan 1:1:1. Warna ini sering muncul sebagai penyeimbang warna-

warna kontras di alam. Biasanya hasil campuran yang tepat akan mendekati
warna hitam. Teori Brewster disebut dengan lingkaran warna yang banyak

digunakan dalam dunia seni rupa.

Teori warna menurut Faber Biren, warna dibagi menjadi tiga golongan,

Yaitu:

1. Lingkaran warna pigmen: merah, kuning, biru.


2. Lingkaran warna cahaya: merah, hijau biru.

3. Lingkaran warna berdasarkan visi: merah, kuning, hijau, biru.

Sedangkan menurut Munsell, warna pokok terdiri dari warna merah,


kuning, hijau dan jingga. Sementara warna sekunder terdiri dari warna jingga,

hijau muda, biru tua dan nila. Dewey Sadka mengungkapkan warna memiliki

pengaruh yang besar terhadap kinerja sekolah dan kemampuan belajar anak.

Menurut Femi Olivia (2008:68) berdasarkan riset terbaru mengungkapkan bahwa


anak-anak dapat mempertahankan pesan sekitar 40% lebih baik jika ditampilkan

dalam warna.

Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa warna memiliki

pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seseorang. Secara psikologis


warna juga mempengaruhi sifat dan karakteristik seseorang.

Pasir berwarna merupakan suatu media pembelajaran yang masih sangat

jarang digunakan. Padahal pasir berwarna adalah salah satu media pembelajaran
yang dapat dimanipulasi, dan dapat diterapkan ke dalam beberapa kegiatan

pembelajaran dan memiliki banyak warna yang sangat menarik untuk anak.

Menurut Seefelt, Galper, & Denton dalam Carol & Barbara (2008:262) warna-
warna merupakan hal yang menarik bagi anak.
Pasir berwarna dapat dimanfaatkan sebagai kolase, permainan tuang-
menuang, ataupun cetak-mencetak. Pasir yang digunakan bisa pasir pantai putih
yang diberi pewarna makanan ataupun dari campuran tepung dan pewarna

makanan, ataupun garam yang diberi pewarna makanan.


Mewarnai gambar merupakan terapi permainan yang kreatif untuk

mengurangi stress dan kecemasan serta meningkatkan komunikasi pada anak.


Menggambar atau mewarnai suatu permainan yang memberikan kesempatan

anak untuk bebas berekspresi dan sebagai permainan penyembuh.


Mengekspresikan perasaan dengan menggambar atau mewarnai gambar berarti

memberikan pada anak suatu cara untuk berkomunikasi (Whalley & Wong,

2018).

Menurut Carol Seefelt & Barbara (2018) bermain pasir menawarkan

banyak pengetahuan, karena pasir dapat dituang, mengisi sesuatu dan menjadi
bahan bangunan. Peralatan untuk bermain pasir berwarna dapat disesuaikan

dengan kebutuhan, jadi kita dapat memanfaatkan peralatan yang kita miliki

untuk menggunakan pasir warna sebagai media pembelajaran, misal dengan

kertas, sendok, plastik, botol, wadah, air, ataupun cetakan.


Bermain pasir merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi anak. Selain

menyenangkan, banyak aspek yang bisa dikembangkan dari permainan pasir

salah satunya yaitu aspek perkembangan kognitif anak. Selain itu, dengan

adanya media pasir warna anak akan lebih antusias dalam bermain, dan pasir
berwarna dapat dijadikan salah satu media untuk mengembangkan aspek

kognitif anak misalnya, pengenalan warna, pengenalan huruf dan angka, serta

pengenalan bentuk.

Menurut Montolalu B.E.F dalam jurnal Nenee Rufaida (2013), Permainan


pasir sangat bermanfaat bagi perkembangan fisik, kognitif, sosial dan emosional

anak. Menurut Dodge dalam jurnal Nenee Rufaida, cara anak-anak bermain

dengan pasir tidak selalu sama. Seorang anak mungkin lebih berpengalaman
bermain pasir, ini dikarenakan pengalaman sebelumnya dan kemajuan

perkembangan setiap anak. Menurut Dogde, tahapan bermain pasir yaitu:

1. Tahap pertama, yaitu eksplorasi sensori-motor yang berhubungan dengan


panca indera. Pada tahap ini, anak mulai mengenali sifat-sifat pasir. Mereka

juga mengalami perasaan yang aneh ketika pasir melalui sela-sela jarinya,
atau mengotori tangannya.
2. Tahap kedua, anak-anak menggunakan pengalaman belajar mereka untuk
suatu tujuan. Bermain merupakan aktivitas anak-anak dengan perencanaan,
percobaan, kegiatan-kegiatan dengan pasir atau air.

3. Tahap ketiga, anak-anak menyempurnakan hasil dari tahap sebelumnya.


Pada tahap ini pengalaman anak ditunjukkan dalam keruwetan kegiatan

yang mereka rencanak sendiri.


Menurut Anggani Sudono (2000:115) anak-anak suka bereksplorasi

dengan tanah, lumpur dan pasir, dan kekayaan bereksperimen dengan pasir
tidak ternilai harganya.

2. Manfaat

a. Melatih kemampuan sensorik.

Salah satu cara anak mengenal sesuatu adalah melalui sentuhan, dengan
pasir anak belajar tentang tekstur dan cara menciptakan sesuatu.

b. Mengembangkan kemampuan berfikir.

Mewarnai gambar dengan pasir bisa mengasah kemampuan berfikir anak.

c. Berguna meningkatkan Self esteem.


Bermain pasir warna merupakan bermain tanpa aturan sehingga berguna

untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas anak, sekaligus

mengajarkan tentang pemecahan masalah.

d. Mengasah kemampuan berbahasa.


Beraneka warna : merah, hijau, biru, kuning, dll. adalah beberapa kata yang

sering didengar anak saat bermain mewarnai gambar dengan pasir warna.

e. Memupuk kemampuan sosial. Hal ini karena dengan bermain bersama

memberi kesempatan berinteraksi yang akrab, dan bisa belajar bahwa


bermain bersama sangat menyenangkan.

3. Indikasi dan Kontraindikasi


a. Indikasi

1) Anak yang menajalani perawaran di rumah sakit yang masih mampu

untuk melakukan aktivitas motorik dengan pengawasan dari orangtua


atau petugas kesehatan.

b. Kontraindikasi
1) Status kesehatan, perkembangan psikomotor kognitif anak yang
terganggu
2) Anak dengan fraktur tulang ekstermitas atas

3) Anak dengan penurunan kesadaran


PREPLANING PROGRAM BERMAIN PADA ANAK USIA 3 - 6 TAHUN
DI RUANG MELATI RSUD AWS

1. Judul : Terapi bermain “Mewarnai gambar dengan pasir warna”


Alasan : Terapi bermain “Mewarnai gambar dengan pasir warna” judul ini dipilih

kelompok untuk menambah kreatifitas dan mengembangkan imajinasi pada anak.


2. Karakteristik permainan : Anak dibimbing untuk mewarnai sebuah gambar yang

disediakan dengan warna pilihannya sendiri.


3. Sasaran

Anak-anak yang berada di Ruang Melati instalasi keperawatan anak RSUD

Abdul Wahab Sjahranie Samarinda usia sekolah. Peserta yang mengikuti terapi

bermain ini adalah anak usia pra sekolah (3-6 tahun) yang sedang menjalani

perawatan di bangsal anak dengan kesadaran composmentis, dan keadaan umum


baik.

4. Pengorganisasian

a. Waktu dan Tempat :

Hari/Tanggal : Rabu, 19 Februari 2020


Tempat : Ruang Melati RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda

Sasaran : Anak usia pra sekolah di ruang melati RSUD Abdul

Wahab Sjahranie Samarinda

Tema : Mewarnai gambar dengan pasir warna.


Jumlah anak : 5 – 6 orang

b. Tim Pelaksana.

1) Leader : Argiriani
Tugas

− Menyampaikan tujuan dan peraturan kegiatan terapi bermain sebelum

kegiatan dimulai.
− Menjelaskan Kegiatan, mampu memotivasi anggota untuk aktif dalam

proses kegiatan bermain. Mampu memimpin terapi bermain dengan baik

dan tertib, serta menetralisir bila ada masalah yang timbul dalam
kelompok.
2) Co. Leader : Ravy Haryo Widigdo
Tugas
− Menyampaikan informasi dari fasilitator ke leader tentang aktivitas anak

dan mengingatkan leader jika kegiatan menyimpang.

3) Fasilitator : Dina Fitriani, Julliyana Selly Utami, Narsih Pantia dan Norlinda.
Tugas

− Menyediakan fasilitas selama kegiatan berlangsung, memotivasi anak yang


kurang aktif, membantu leader memfasilitasi peserta untuk berperan aktif

dan memfasilitasi peserta.

4) Observer
Tugas : Ceni Maryani dan Elana Yenti

- Mengobservasi jalannya proses kegiatan, mencatat perilaku verbal dan non

verbal anak selama kegiatan berlangsung

5) Media (Alat dan Bahan)


Alat bermain

− Gambar − Daftar hadir

− Pasir Warna Warni

5. Proses Pelaksanaan

NO WAKTU KEGIATAN PESERTA

1. 5 menit Pembukaan :

1. Membuka kegiatan dengan 1. Menjawab salam


mengucapkan salam. 2. Mendengarkan

2. Memperkenalkan diri 3. Memperhatikan


3. Menjelaskan tujuan dari terapi bermain

4. Kontrak waktu anak dan orang tua 4. Memperhatikan


2. 30 menit Pelaksanaan :
1. Menjelaskan tata cara pelaksanaan terapi 1. Memperhatikan
mewarnai gambar dengan pasir warna 2. Bertanya

kepada anak 3. Antusias saat


2. Memberikan kesempatan kepada anak menerima peralatan

untuk bertanya jika belum jelas 4. Memulai untuk


3. Membagikan gambar dan pasir warna membentuk lilin

4. Fasilitator mendampingi anak dan 5. Menjawab


memberikan motivasi kepada anak pertanyaan

5. Menanyakan kepada anak apakah telah 6. Mendengarkan

selesai 7. Memperhatikan
6. Memberitahu anak bahwa waktu yang
diberikan telah selesai

7. Memberikan pujian terhadap anak yang

mampu mewarnai gambar dengan pasir

warna dengan baik sampai selesai

Evaluasi :
Menceritakan dan
1. Memotivasi anak untuk menyebutkan
Gembira
apa yang dibentuk

2. Mengumumkan nama anak yang dapat


mewarnai gambar dengan baik

3. Membagikan reward kepada seluruh


peserta

3. 5 menit Terminasi:

1. Memberikan motivasi dan pujian kepada 1. Memperhatikan


seluruh anak yang telah mengikuti

program terapi bermain 2. Gembira

2. Mengucapkan terima kasih kepada anak

dan orang tua 3. Menjawab salam

3. Mengucapkan salam penutup


6. Evaluasi
a. Evalusi Struktur
1) Anak hadir di ruangan minimal 4 orang.

2) Penyelenggaraan terapi bermain dilakukan di ruang melati


3) Pengorganisasian penyelenggaraan terapi dilakukan sesuai dengan tugas

masing-masing

b. Evaluasi Proses
1) Anak antusias dalam kegiatan bermain mewarnai gambar dengan pasir warna

2) Anak mengikuti terapi bermain dari awal sampai akhir

3) Tidak terdapat anak yang rewel atau malas untuk mewarnai gambar dengan

pasir warna

c. Evaluasi Hasil

1) Anak terlihat senang dan gembira

2) Kecemasan akibat dampak hospitalisasi anak berkurang

3) Mewarnai gambar sesuai dengan contoh


4) Anak mampu menyebutkan warna yang dipakai

Setting Tempat

Fasilitator = = Pembimbing
= Co Leader dan Leader = Pasien

= Orang tua
DAFTAR PUSTAKA

Hurlock, Elizabeth B. 1998. Perkembangan Anak jilid 1. Jakarta: Erlangga.


Soetjiningsih. 2008. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC

Suryanti,Sodikun, Mustiah. 2011 Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai Dan rigami Terhadap
Tingkat Kecemasan Sebagai Efek Hospitalisasi Pada Anak Usia Pra Sekolah Di Rsud

Dr. R. Goetheng Tarunadibrata Purbalingga.


Wong, Donna L. 2009. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai