TINJAUAN PUSTAKA
2. Etiologi
Seperti halnya leukemia jenis ALL (Acute Lymphoid Leukemia), etiologi
AML sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, diduga karena virus (virus
onkogenik). Faktor lain yang turut berperan adalah :
a. Faktor endogen
Faktor konstitusi seperti kelainan kromosom (resiko terkena AML
meningkat pada pasien yang terkena Down Sindrom), herediter (kadang-
kadang dijumpai kasus leukemia pada kakak beradik atau kembar satu telur).
b. Faktor eksogen
Seperti sinar X, sinar radioaktif, hormon, bahan kimia (Benzol, Arsen,
preparat Sulfat), infeksi (virus, bakteri). (Browne, 2016).
4
5
5. PATOFISIOLOGI
Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat cepat.
Normalnya, produksi sel darah tertentu dari prekusor sel stem diatur sesuai
kebutuhan tubuh. Apabila mekanisme yang mengatur produksi sel tersebut
terganggu, sel akan membelah diri sampai ke tingkat sel yang membahayakan
(proliferasi neoplastik). Proliferasi neoplastik dapat terjadi karena kerusakan
sumsum tulang akibat radiasi, virus onkogenik, maupun herediter (Donher, 2010).
Sel polimorfonuklear dan monosit normalnya dibentuk hanya dalam sumsum
tulang. Sedangkan limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam berbagai organ
limfogen (kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil). Beberapa sel darah putih yang
dibentuk dalam sumsum tulang, khususnya granulosit, disimpan dalam sumsum
tulang sampai mereka dibutuhkan dalam sirkulasi. Bila terjadi kerusakan sumsum
tulang, misalnya akibat radiasi atau bahan kimia, maka akan terjadi proliferasi sel-
sel darah putih yang berlebihan dan imatur. Pada kasus AML, dimulai dengan
pembentukan kanker pada sel mielogen muda (bentuk dini neutrofil, monosit, atau
lainnya) dalam sumsum tulang dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh sehingga
sel-sel darah putih dibentuk pada banyak organ ekstra medulla (Saygin, 2017).
Sedangkan secara imunologik, patogenesis leukemia dapat diterangkan
sebagai berikut. Bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus onkogenik yang
mempunyai struktur antigen tertentu), maka virus tersebut dengan mudah akan
masuk ke dalam tubuh manusia dan merusak mekanisme proliferasi. Seandainya
struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia tersebut, maka virus
mudah masuk. Bila struktur antigen individu tidak sama dengan struktur antigen
virus, maka virus tersebut akan ditolaknya. Struktur antigen ini terbentuk dari
6
struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput lendir yang
terletak di permukaan tubuh atau HL-A (Human Leucocyte Locus A). Sistem HL-A
diturunkan menurut hukum genetik, sehingga etiologi leukemia sangat erat
kaitannya dengan faktor herediter (Browne, 2016).
Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen darah
yang lain tertekan karena terjadi kompetisi nutrisi untuk proses metabolisme (terjadi
granulositopenia, trombositopenia). Sel-sel leukemia juga menginvasi tulang di
sekelilingnya yang menyebabkan nyeri tulang dan cenderung mudah patah tulang.
Proliferasi sel leukemia dalam organ mengakibatkan gejala tambahan : nyeri akibat
pembesaran limpa atau hati, masalah kelenjar limfa; sakit kepala atau muntah akibat
leukemia meningeal (Kurnianda, 2015).
6. KOMPLIKASI
a. Gagal sumsum tulang
b. Infeksi
c. Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID/DIC)
d. Splenomegali
e. Hepatomegali (Permono, 2012).
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Hitung darah lengkap (CBC). Pasien dengan CBC kurang dari 10.000/mm3 saat
didiagnosis, memiliki prognosis paling baik. Jumlah leukosit lebih dari
50.000/mm3 adalah tanda prognosis kurang baik pada pasien sembarang umur.
b. Pungsi lumbal, untuk mengkaji keterlibatan SSP.
c. Foto thoraks, untuk mendeteksi keterlibatan mediastinum
d. Aspirasi sumsum tulang, ditemuakannya 25% sel blast memperkuat diagnosis.
e. Pemindaian tulang atau survei kerangka, mengkaji keterlibatan tulang.
f. Pemindaian ginjal, hati, dan limpa, mengkaji infiltrat leukemik
g. Jumlah trombosit, menunjukkan kapasitas pembekuan. (Donher, 2010).
8. PENATALAKSANAAN
Protokol pengobatan bervariasi sesuai jenis leukemia dan jenis obat yang
diberikan pada pasien. Proses remisi induksi pada pasien terdiri dari tiga fase :
7
2. Manfaat Aromaterapi
Aromaterapi merupakan terapi komplementer dalam praktek keperawatan
dan menggunakan minyak esensial dari bau harum tumbuhan untuk mengurangi
masalah kesehatan dan memperbaiki kualitas hidup. Sharma (2016) mengatakan
bahwa bau berpengaruh secara langsung terhadap otak seperti obat analgesik. Salah
satunya adalah minyak esensial peppermint memberikan efek mengurangi sumbatan
pada jalan napas paru dan mengencerkan dahak.
3. Sejarah Aromaterapi
Aromaterapi telah digunakan sejak zaman Mesir kuno yang memang
terkenal dengan ilmu pengetahuan yang tinggi. Merekalah yang menciptakan dan
meramaikan dunia pengobatan, farmasi, parfum serta kosmetik. Dari Mesir,
aromaterapi dibawa ke Yunani, Cina, India serta Timur Tengah sebelum masuk ke
Eropa di abad pertengahan. Pada abad ke 19 dimana ilmu kedokteran mulai terkenal,
beberapa dokter pada zaman itu tetap memakai minyak esensial dalam praktek
sehari-hari mereka. Pada zaman aromaterapi modern, aromaterapi digali oleh Robert
Tisserand yang meniulis buku The Art of aromatherapy (Poerwadi, 2016).
4. Minyak Esensial
Poerwadi (2016) mengatakan bahwa tanaman teraupetik yang beraroma
mengandung minyak esensial di tubuhnya. Struktur minyak esensial sangatlah
rumit, terdiri dari berbagai unsure senyawa kimia yang masing-masing mempunyai
khasiat teraupetik serta unsure aroma tersendiri dari setiap tanaman. Berdasarkan
pengalamanlah, para ahli aromaterapi menentukan secara tepat bagian tanaman yang
terbaik. Cara aman menggunakan aromaterapi sepertinya tidak berbahaya, massage
dengan minyak esensial atau menghirup wanginya. Tapi minyak esensial memiliki
efek yang kuat pada tubuh, sehingga harus digunakan dengan hati-hati karena
bersifat pekat. Aplikasi Minyak Esensial Agar Diserap Oleh Tubuh Menurut
Poerwadi (2016) aroma dan kelembutan minyak esensial dapat mengatasi keluhan
fisik dan psikis. Minyak esensial diserap oleh tubuh melalui 2 cara yaitu :
9
C. ISPA
1. Definisi
Infeksi sluran pernapasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernapasan akut
yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih
14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit
ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulant atau berurutan.
(Nurrijal, 2009).
2. Etiologi
Penyebab Depkes (2004) menyatakan penyakit ispa dapat disebabkan oleh
berbagaipenyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lainnya. Ispa
bagian atas umumnya disebabkan oleh virus, sedangkan ispa bagian bawah dapat
disebabkan oleh bakteri, umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat
sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya Bakteri penyebab
ispa antara lain adalah genus streptococcus, stapilococus, pneumococus,
haemophyllus, bordetella dan corynobacterium.
Virus penyebab ispa antara lain golongan paramykovirus (termasuk
didalamnya virus influenza, virus parainfluenza dan virus campak), adenovirus,
coronavirus, picornavirus, herpesvirus, dan lain-lain. Di Negara- 27 negara
berkembang umumnya kuman penyebab ispa adalah streptococcus pneumonia dan
haemopylus influenza.
3. Patofisiologi
Perjalanan klinis penyakit ispa dimulai dengan berinteraksinya virus dengan
tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernapasan menyebabkan silia
yang terdapat pada permukaan saluran napas bergerak keatas mendorong virus
kearah faring atau dengan suatu tangkapan reflex spasmus oleh laring. Jika reflex
tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran
pernapasan Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk
kering. Kerusakan struktur lapisan dinding saluran pernapasan menyebabkan
kenaikan aktfitas kelenjar mucus yang banyak terdapat pada dinding saluran napas,
sehingga terjadipengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal (Afifah, 2013).
11
4. Manifestasi Klinik
Manifestasi Klinik Ispa merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap
bagian saluran pernapasan atas maupun bawah, yang meli[uti infiltrate peradangan
12
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dapat berupa kompres
hangat, perbanyak minum air putih, irigasi nasal, dan terapi medikamentosa (Afifah,
2013).
13
a. Terapi Non-farmakologis
Penyebab ISPA umumnya adalah virus, sehingga terapi biasanya hanya
bersifat suportif saja.
1) Memperbanyak Minum
Memperbanyak minum sebanyak 8 gelas atau lebih dapat menurunkan sekresi
mukosa dan menggantikan kehilangan cairan. Selain itu, minum air putih serta
jus dilaporkan dapat meningkatkan sistem imun.
2) Kompres Hangat
Lakukan kompres hangat pada daerah wajah untuk membuat pernapasan lebih
nyaman, mengurangi kongesti, dan membuat drainase lebih baik pada
rhinosinusitis. Gunakan lap hangat atau botol berisi air hangat yang diletakkan
di atas wajah dan pipi selama 5-10 menit sebanyak 3-4 kali dalam sehari jika
diperlukan.
3) Irigasi Nasal
Irigasi nasal dengan salin dapat meningkatkan kemampuan mukosa nasal
untuk melawan agen infeksius, dan berbagai iritan. Irigasi nasal dapat
meningkatkan fungsi mukosiliar dengan meningkatkan frekuensi gerakan
siliar. Irigasi nasal dapat dilakukan dengan menggunakan larutan salin isotonik
(NaCl 0,9%) via spuit ataupun spray dengan frekuensi 2 kali dalam sehari.
4) Inhalasi Oromatepi
Aromaterapi inhalasi merupakan minyak esensial yang dihirupkan sampai pada
paru, dimana memberikan manfaat baik secara psikologis dan fisik. Minyak
esensial peppermint memberikan efek mengurangi sumbatan pada jalan napas
paru dan mengencerkan dahak.
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis umumnya bersifat suportif untuk meringankan gejala.
Antibiotik dan antiviral tidak selalu diperlukan pada pasien ISPA.
1) Terapi Simptomatik
a) Dekongestan oral atau topikal dapat membantu mengurangi keluhan pada
pasien dengan rhinorrhea. Sebaiknya dekongestan diberikan pada anak di
atas 2 tahun karena efek sampingnya seperti gelisah, palpitasi, dan
takikardia. Dekongestan topikal seperti fenilepinefrin atau oxymetazoline
14
2) Antiviral
Pada pasien ISPA, antiviral biasanya tidak diperlukan. Antiviral bisa
dipakai pada pasien influenza yang terkonfirmasi atau jika
terjadi outbreak influenzae dimana manfaat lebih banyak dibandingkan
risiko. Antiviral diberikan pada pasien yang berisiko tinggi mengalami
perburukan gejala. Misalnya pada pasien yang sedang hamil, bayi usia < 6
bulan, pasien usia > 65 tahun, pasien immunocompromised, dan pasien
dengan morbid obesitas. Regimen yang bisa digunakan adalah oseltamivir 2
x 75 mg hingga maksimal 10 hari.
3) Terapi Antibiotik
Kebanyakan kasus ISPA disebabkan oleh virus, sehingga penggunaan
antibiotik tidak efektif dan hanya boleh digunakan jika terdapat kecurigaan
atau konfirmasi adanya infeksi bakteri (Haniek, 2015).