Anda di halaman 1dari 73

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN OSTEOPOROSIS, KATARAK

DAN ASMA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Laporan Pendahuluan Stase Gerontik

Disusun Oleh:
Kelompok 2-1
Septiani Rudini 4119048
Siti Nurmaida 4119052
Olivia Septyastari Muhtar 4119053
Aisyah Nurfaidah Alifiani 4119054
Anggun Welelma Malindir 4119055
Rini Oktorani 4119056
Risma 4119065
Navila Ichaura 4119071
Nira Naprista 4119072
Iman Permana 4119095
Laode Muhammad Mizwar 4119000

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RAJAWALI
BANDUNG
2019
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN GANGGUAN SISTEM
PERNAPASAN AKIBAT ASMA

A. Konsep Penyakit
1. Definisi Asma
Asma merupakan gangguan radang kronik saluran napas. Saluran napas
yang mengalami radang kronik bersifat hiperresponsif sehingga apabila
terangsang oleh factor risiko tertentu, jalan napas menjadi tersumbat dan
aliran udara terhambat karena konstriksi bronkus, sumbatan mukus, dan
meningkatnya proses radang (Almazini, 2012). Asma adalah suatu keadaan di
mana saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap
rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan, penyempitan ini bersifat
sementara. Asma dapat terjadi pada siapa saja dan dapat timbul disegala usia,
tetapi umumnya asma lebih sering terjadi pada anak-anak usia di bawah 5
tahun dan orang dewasa pada usia sekitar 30 tahunan (Saheb, 2011).
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperresponsivitas saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk terutama malam hari dan
atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran napas
yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan (Boushey, 2005; Bousquet, 2008). Istilah asma berasal dari kata
Yunani yang artinya “terengah-engah” dan berarti serangan nafas pendek
(Price, 1995 cit Purnomo 2008). Nelson (1996) dalam Purnomo (2008)
mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi)
dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik
dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal), musiman,
adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik
secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau
atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah
disingkirkan.
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for
Asthma (GINA) (2006) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik
saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil,
dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam
atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan
nafas yang luas namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik
secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan
dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan. Asma
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh keadaan saluran nafas yang
sangat peka terhadap berbagai rangsangan, baik dari dalam maupun luar
tubuh. Akibat dari kepekaan yang berlebihan ini terjadilah penyempitan
saluran nafas secara menyeluruh (Abidin, 2002).

2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan


a. Anatomi Paru-paru
1) Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang
pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh
sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang
berguna untuk menyaring udara, debu, dan kotoran yang masuk
ke dalam lubang hidung.
2) Faring
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan
pernapasan dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak,
di belakang rongga hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang
leher. Hubungan faring dengan organ-organ lain adalah ke atas
berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang
yang bernama koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut,
tempat hubungan ini bernama istmus fausium, ke bawah terdapat 2
lubang (ke depan lubang laring dan ke belakang lubang esofagus).
3) Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan
bertindak sebagai pembentukan suara, terletak di depan bagian faring
sampai ketinggian vertebra servikal dan masuk ke dalam trakhea di
bawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah
empang tenggorokan yang biasanya disebut epiglotis, yang terdiri
daritulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan
makanan menutupi laring.
4) Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari
laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari
tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda (huruf C)
sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang
disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah luar. Panjang trakea 9
sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan ikat yang dilapisi
oleh otot polos.
5) Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari
trakea, ada 2 buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis
IV dan V, mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi
oleh jenis set yang sama. Bronkus itu berjalan ke bawah dan ke
samping ke arah tampuk paru-paru.Bronkus kanan lebih pendek dan
lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin,
mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping
dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin mempunyai 2
cabang.Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil disebut
bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi, dan
pada ujung bronkioli terdapat gelembung paru atau gelembung
hawa atau alveoli.
6) Paru-paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar
terdiri dari gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembug
alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan
luas permukaannya kurang lebih 90 m². Pada lapisan ini terjadi
pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan
dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih
700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan). Paru-paru dibagi dua
yaitu paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belahan paru), lobus
pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus
tersusun oleh lobulus. Paru-paru kiri, terdiri dari pulmo sinistra
lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari
belahan yang kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai 10
segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, dan 5 buah
segmen pada inferior.
Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen
pada lobus superior, 2 buah segmen pada lobus medialis, dan 3 buah
segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi
menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Di antara lobulus
satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi
pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat
sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-
cabang banyak sekali, cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap
duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara
0,2-0,3 mm. Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap
ke tengah rongga dada atau kavum mediastinum. Pada bagian
tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum
depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang
bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, yang pertama pleura
visceral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang
langsung membungkus paru-paru. Kedua pleura parietal yaitu
selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara keadaan
normal, kavum pleura ini vakum (hampa) sehingga paru-paru dapat
berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang
berguna untuk meminyaki permukaanya (pleura), menghindarkan
gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan
bernapas.
a) Fisiologis Ginjal
Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari
luar yang mengandung oksigen serta menghembuskan udara yang
banyak mengandung karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi
keluar dari tubuh. Penghisapan udara ini disebut inspirasi dan
menghembuskan disebut ekspirasi.
Jadi, dalam paru-paru terjadi pertukaran zat antara oksigen yang
ditarik dan udara masuk kedalam darah dan CO2 dikeluarkan dari
darah secara osmosis. Kemudian CO2 dikeluarkan melalui traktus
respiratorius (jalan pernapasan) dan masuk kedalam tubuh melalui
kapiler-kapiler vena pulmonalis kemudian massuk ke serambi
kiri jantung (atrium sinistra) menuju ke aorta kemudian ke seluruh
tubuh (jaringan-jaringan dan sel- sel), di sini terjadi oksidasi
(pembakaran). Sebagai sisa dari pembakaran adalah CO2 dan
dikeluarkan melalui peredaran darah vena masuk ke jantung
(serambi kanan atau atrium dekstra) menuju ke bilik kanan
(ventrikel dekstra) dan dari sini keluar melalui arteri pulmonalis ke
jaringan paru-paru. Akhirnya dikeluarkan menembus lapisan epitel
dari alveoli. Proses pengeluaran CO2 ini adalah sebagian dari sisa
metabolisme, sedangkan sisa dari metabolisme lainnya akan
dikeluarkan melalui traktus urogenitalis dan kulit.
Setelah udara dari luar diproses, didalam hidung masih terjadi
perjalanan panjang menuju paru-paru (sampai alveoli). Pada laring
terdapat epiglottis yang berguna untuk menutup laring sewaktu
menelan, sehingga makanan tidak masuk ke trachea, sedangkan
waktu bernapas epiglotis terbuka, begitu seterusnya. Jika makanan
masuk ke dalam laring, maka akan mendapat serangan batuk, hal
tersebut untuk mencoba mengeluarkan makanan tersebut dari
laring. Terbagi dalam 2 bagian yaitu inspirasi (menarik napas) dan
ekspirasi (menghembuskan napas). Bernapas berarti melakukan
inpirasi dan eskpirasi secara bergantian, teratur, berirama, dan terus
menerus. Bernapas merupakan gerak refleks yang terjadi pada otot-
otot pernapasan. Refleks bernapas ini diatur oleh pusat pernapasan
yang terletak di dalam sumsum penyambung (medulla oblongata).
Oleh karena seseorang dapat menahan, memperlambat, atau
mempercepat napasnya, ini berarti bahwa refleks bernapas juga
dibawah pengaruh korteks serebri. Pusat pernapasan sangat peka
terhadap kelebihan kadar CO2 dalam darah dan kekurangan dalam
darah. Inspirai terjadi bila muskulus diafragma telah mendapat
rangsangan dari nervus frenikus lalu mengerut datar.
Muskulus interkostalis yang letaknya miring, setelah ,mendapat
rangsangan kemudian mengerut dan tulang iga (kosta) menjadi
datar. Dengan demikian jarak antara sternum (tulang dada) dan
vertebra semakin luas dan melebar. Rongga dada membesar maka
pleura akan tertarik, yang menarik paru-paru sehingga tekanan
udara di dalamnya berkurang dan masuklah udara dari luar.
Ekspirasi pada suatu saat otot-otot akan kendor lagi (diafragma
akan menjadi cekung, muskulus interkostalis miring lagi) dan
dengan demikian rongga dam dengan demikian rongga dada
menjadi kecil kembali, maka udara didorong keluar. Jadi proses
respirasi atau pernapasan ini terjadi karena adanya perbedaan
tekanan antara rongga pleura dan paru-paru. Pernapasan dada, pada
waktu seseorang bernapas, rangka dada terbesar bergerak,
pernapasan ini dinamakan pernapasan dada. Ini terdapat pada
rangka dada yang lunak, yaitu pada orang-orang muda dan pada
perempuan.
Pernapasan perut, jika pada waktu pernapasan diafragma turun
naik, maka ini dinamakan pernapasan perut. Kebanyakan pada
orang tua, karena tulang rawannya tidak begitu lembek dan bingkas
lagi yang disebabkan oleh banyak zat kapur yang mengendap di
dalamnya dan banyak ditemukan pada laki-laki.

3. Etiologi Asma
Sampai saat ini etiologi dari asma belum diketahui. Suatu hal yang yang
menonjol pada penderita asma adalah fenomena hiperaktivitas bronkus.
Bronkus penderita asma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun
non imunologi. Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang sering
menimbulkan Asma adalah: (Smeltzer & Bare, 2002).
a. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen
atau alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu
binatang.
b. Faktor intrinsik (non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen, seperti
common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan
lingkungan dapat mencetuskan serangan.
c. Asma gabungan : bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik
Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi
pencetus asma :
a. Pemicu Asma (Trigger)
Pemicu asma mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran
pernapasan (bronkokonstriksi). Pemicu tidak menyebabkan peradangan.
Trigger dianggap menyebabkan gangguan pernapasan akut, yang belum
berarti asma, tetapi bisa menjurus menjadi asma jenis intrinsik. Gejala-
gejala dan bronkokonstriksi yang diakibatkan oleh pemicu cenderung
timbul seketika, berlangsung dalam waktu pendek dan relatif mudah
diatasi dalam waktu singkat. Namun, saluran pernapasan akan bereaksi
lebih cepat terhadap pemicu, apabila sudah ada, atau sudah terjadi
peradangan. Umumnya pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi
adalah perubahan cuaca, suhu udara, polusi udara, asap rokok, infeksi
saluran pernapasan, gangguan emosi, dan olahraga yang berlebihan.
b. Penyebab Asma (Inducer)
Penyebab asma dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) dan sekaligus
hiperresponsivitas (respon yang berlebihan) dari saluran pernapasan.
Inducer dianggap sebagai penyebab asma yang sesungguhnya atau asma
jenis ekstrinsik. Penyebab asma dapat menimbulkan gejala-gejala yang
umumnya berlangsung lebih lama (kronis), dan lebih sulit diatasi.
Umumnya penyebab asma adalah alergen, yang tampil dalam bentuk
ingestan (alergen yang masuk ke tubuh melalui mulut), inhalan (alergen
yang dihirup masuk tubuh melalui hidung atau mulut), dan alergen yang
didapat melalui kontak dengan kulit ( VitaHealth, 2006).
Sedangkan Lewis et al. (2000) tidak membagi pencetus asma secara spesifik.
Menurut mereka, secara umum pemicu asma adalah:
a. Faktor predisposisi
Genetik : Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita
penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit Asma Bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus.
Selain itu hipersensitivitas saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
1) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu,
bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan (seperti
buah-buahan dan anggur yang mengandung sodium
metabisulfide) dan obat-obatan (seperti aspirin, epinefrin, ACE -
inhibitor, kromolin).
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh :
perhiasan, logam dan jam tangan
Pada beberapa orang yang menderita asma respon terhadap Ig E
jelas merupakan alergen utama yang berasal dari debu, serbuk
tanaman atau bulu binatang. Alergen ini menstimulasi reseptor Ig E
pada sel mast sehingga pemaparan terhadap faktor pencetus alergen
ini dapat mengakibatkan degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast
seperti histamin dan protease sehingga berakibat respon alergen
berupa asma.
2) Olahraga
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Serangan asma
karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai beraktifitas. Asma
dapat diinduksi oleh adanya kegiatan fisik atau latihan yang disebut
sebagai Exercise Induced Asthma (EIA) yang biasanya terjadi beberapa
saat setelah latihan.misalnya: jogging, aerobik, berjalan cepat, ataupun
naik tangga dan dikarakteristikkan oleh adanya bronkospasme, nafas
pendek, batuk dan wheezing. Penderita asma seharusnya melakukan
pemanasan selama 2-3 menit sebelum latihan.
a) Infeksi bakteri pada saluran napas
Infeksi bakteri pada saluran napas kecuali sinusitis mengakibatkan
eksaserbasi pada asma. Infeksi ini menyebabkan perubahan inflamasi
pada sistem trakeo bronkial dan mengubah mekanisme mukosilia.
Oleh karena itu terjadi peningkatan hiperresponsif pada sistem
bronkial.
b) Stres
Stres / gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
Penderita diberikan motivasi untuk mengatasi masalah pribadinya,
karena jika stresnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa
diobati.
c) Gangguan pada sinus
Hampir 30% kasus asma disebabkan oleh gangguan pada sinus,
misalnya rhinitis alergik dan polip pada hidung. Kedua gangguan ini
menyebabkan inflamasi membran mukus.
d) Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi Asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan Asma. Kadangkadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau.

4. Patofisiologi
Tiga unsur yang ikut serta pada obstruksi jalan udara penderita asma
adalah spasme otot polos, edema dan inflamasi membran mukosa jalan
udara, dan eksudasi mucus intraliminal, sel-sel radang dan debris selular.
Obstruksi menyebabkan pertambahan resistensi jalan udara yang
merendahkan volume ekspresi paksa dan kecepatan aliran, penutupan
prematur jalan udara, hiperinflasi paru, bertambahnya kerja pernafasan,
perubahan sifat elastik dan frekuensi pernafasan. Walaupun jalan udara
bersifat difus, obstruksi menyebabkan perbedaaan satu bagian dengan bagian
lain, ini berakibat perfusi bagian paru tidak cukup mendapat ventilasi dan
menyebabkan kelainan gas-gas darah terutama penurunan pCO2 akibat
hiperventilasi.
Pada respon alergi di saluran nafas, antibodi IgE berikatan dengan
alergen menyebabkan degranulasi sel mast. Akibat degranulasi tersebut,
histamin dilepaskan. Histamin menyebabkan konstriksi otot polos
bronkiolus. Apabila respon histamin berlebihan, maka dapat timbul spasme
asmatik. Karena histamin juga merangsang pembentukan mukkus dan
meningkatkan permiabilitas kapiler, maka juga akan terjadi kongesti dan
pembengkakan ruang iterstisium paru. Individu yang mengalami asma
mungkin memiliki respon IgE yang sensitif berlebihan terhadap sesuatu
alergen atau sel-sel mast-nya terlalu mudah mengalami degranulasi. Di
manapun letak hipersensitivitas respon peradangan tersebut, hasil akhirnya
adalah bronkospasme, pembentukan mukus, edema dan obstruksi aliran
udara.

5. Komplikasi
a. Mengancam pada gangguan keseimbangan asam basa dan gagal
nafas
b. Chronic persisten bronchitis
c. Bronchitis
d. Pneumonia
e. Emphysema
f. Meskipun serangan asma jarang ada yang fatal, kadang terjadi reaksi
kontinu yang lebih berat, yang disebut “status asmatikus”, kondisi ini
mengancam hidup (Smeltzer & Bare, 2002).

6. Manifestasi Klinis Asma


Gambaran klasik penderita asma berupa sesak nafas, batuk-batuk dan
mengi (whezzing) telah dikenal oleh umum dan tidak sulit untuk diketahui.
Batuk-batuk kronis dapat merupakan satu-satunya gejala asma dan demikian
pula rasa sesak dan berat didada. Tetapi untuk melihat tanda dan gejala asma
sendiri dapat digolongkan menjadi :
a. Asma tingkat I
Yaitu penderita asma yang secara klinis normal tanpa tanda dan gejala
asma atau keluhan khusus baik dalam pemeriksaan fisik maupun fungsi
paru. Asma akan muncul bila penderita terpapar faktor pencetus atau saat
dilakukan tes provokasi bronchial di laboratorium.
b. Asma tingkat II
Yaitu penderita asma yang secara klinis maupun pemeriksaan fisik tidak
ada kelainan, tetapi dengan tes fungsi paru nampak adanya obstruksi
saluran pernafasan. Biasanya terjadi setelah sembuh dari serangan asma.
c. Asma tingkat III
Yaitu penderita asma yang tidak memiliki keluhan tetapi pada
pemeriksaan fisik dan tes fungsi paru memiliki tanda-tanda obstruksi.
Biasanya penderita merasa tidak sakit tetapi bila pengobatan dihentikan
asma akan kambuh.
d. Asma tingkat IV
Yaitu penderita asma yang sering kita jumpai di klinik atau rumah sakit
yaitu dengan keluhan sesak nafas, batuk atau nafas berbunyi. Pada
serangan asma ini dapat dilihat yang berat dengan gejala-gejala yang
makin banyak antara lain :
1) Kontraksi otot-otot bantu pernafasan, terutama sternokliedo
mastoideus
2) Sianosis
3) Silent Chest
4) Gangguan kesadaran
5) Tampak lelah
6) Hiperinflasi thoraks dan takhikardi
e. Asma tingkat V
Yaitu status asmatikus yang merupakan suatu keadaan darurat medis
beberapa serangan asma yang berat bersifat refrakter sementara terhadap
pengobatan yang lazim dipakai. Karena pada dasarnya asma bersifat
reversible maka dalam kondisi apapun diusahakan untuk mengembalikan
nafas ke kondisi normal

7. Patofisiologi
Tiga unsur yang ikut serta pada obstruksi jalan udara penderita asma
adalah spasme otot polos, edema dan inflamasi membran mukosa jalan
udara, dan eksudasi mucus intraliminal, sel-sel radang dan debris selular.
Obstruksi menyebabkan pertambahan resistensi jalan udara yang
merendahkan volume ekspresi paksa dan kecepatan aliran, penutupan
prematur jalan udara, hiperinflasi paru, bertambahnya kerja pernafasan,
perubahan sifat elastik dan frekuensi pernafasan. Walaupun jalan udara
bersifat difus, obstruksi menyebabkan perbedaaan satu bagian dengan bagian
lain, ini berakibat perfusi bagian paru tidak cukup mendapat ventilasi dan
menyebabkan kelainan gas-gas darah terutama penurunan pCO2 akibat
hiperventilasi.
Pada respon alergi di saluran nafas, antibodi IgE berikatan dengan
alergen menyebabkan degranulasi sel mast. Akibat degranulasi tersebut,
histamin dilepaskan. Histamin menyebabkan konstriksi otot polos
bronkiolus. Apabila respon histamin berlebihan, maka dapat timbul spasme
asmatik. Karena histamin juga merangsang pembentukan mukkus dan
meningkatkan permiabilitas kapiler, maka juga akan terjadi kongesti dan
pembengkakan ruang iterstisium paru. Individu yang mengalami asma
mungkin memiliki respon IgE yang sensitif berlebihan terhadap sesuatu
alergen atau sel-sel mast-nya terlalu mudah mengalami degranulasi. Di
manapun letak hipersensitivitas respon peradangan tersebut, hasil akhirnya
adalah bronkospasme, pembentukan mukus, edema dan obstruksi aliran
udara.

8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan sputum
Pada pemeriksaan sputum ditemukan :
1) Kristal –kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari
kristal eosinofil.
2) Terdapatnya Spiral Curschman, yakni spiral yang merupakan
silinder sel-sel cabang-cabang bronkus
3) Terdapatnya Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus
4) Terdapatnya neutrofil eosinofil
b. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah yang rutin diharapkan eosinofil meninggi,
sedangkan leukosit dapat meninggi atau normal, walaupun terdapat
komplikasi asma :
1) Gas analisa darah
Terdapat hasil aliran darah yang variabel, akan tetapi bila terdapat
peninggian PaCO2 maupun penurunan pH menunjukkan
prognosis yang buruk
2) Kadang –kadang pada darah terdapat SGOT dan LDH yang
meninggi
3) Hiponatremi 15.000/mm3 menandakan terdapat infeksi
4) Pada pemeriksaan faktor alergi terdapat IgE yang meninggi pada
waktu seranggan, dan menurun pada waktu penderita bebas dari
serangan.
5) Pemeriksaan tes kulit untuk mencari faktor alergi dengan berbagai
alergennya dapat menimbulkan reaksi yang positif pada tipe asma
atopik.
c. Foto rontgen
Pada umumnya, pemeriksaan foto rontgen pada asma normal. Pada
serangan asma, gambaran ini menunjukkan hiperinflasi paru berupa
rradiolusen yang bertambah, dan pelebaran rongga interkostal serta
diagfragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi,
kelainan yang terjadi adalah :
1) Bila disertai dengan bronkhitis, bercakan hilus akan bertambah
2) Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD) menimbulkan
gambaran yang bertambah.
3) Bila terdapat komplikasi pneumonia maka terdapat gambaran
infiltrat pada paru.
d. Pemeriksaan faal paru
1) Bila FEV1 lebih kecil dari 40%, 2/3 penderita menujukkan
penurunan tekanan sistolenya dan bila lebih rendah dari 20%,
seluruh pasien menunjukkan penurunan tekanan sistolik.
2) Terjadi penambahan volume paru yang meliputi RV hampi terjadi
pada seluruh asma, FRC selalu menurun, sedangan penurunan
TRC sering terjadi pada asma yang berat.
e. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi selama terjadi serangan asma dapat
dibagi atas tiga bagian dan disesuaikan dengan gambaran emfisema
paru, yakni:
1) Perubahan aksis jantung pada umumnya terjadi deviasi aksis ke
kanan dan rotasi searah jarum jam
2) Terdapatnya tanda-tanda hipertrofi jantung, yakni tedapat RBBB
3) Tanda-tanda hipoksemia yakni terdapat sinus takikardi, SVES,
dan VES atau terjadinya relatif ST depresi.

9. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan asma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non
farmakologik dan pengobatan farmakologik.
a. Pengobatan non farmakologik
1) Penyuluhan
Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien
tentang penyakit asthma sehinggan klien secara sadar menghindari
faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat secara benar dan
berkonsoltasi pada tim kesehatan.
2) Menghindari faktor pencetus
Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma
yang ada pada lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari
dan mengurangi faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan yang
cukup bagi klien.
3) Fisioterapi
Fisioterapi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran
mukus. Ini dapat dilakukan dengan drainage postural, perkusi dan
fibrasi dada.
b. Pengobatan farmakologik
1) Agonis beta
Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan
jarak antara semprotan pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang
termasuk obat ini adalah metaproterenol (Alupent, metrapel).
2) Metil Xantin
Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini
diberikan bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg empatkali
sehari.
3) Kortikosteroid
Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang
baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol
(beclometason dipropinate) dengan disis 800 empat kali semprot
tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek
samping maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi
dengan ketat.
4) Kromolin
Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anak-anak
Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.
5) Ketotifen
Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg perhari.
Keuntunganya dapat diberikan secara oral.
6) Iprutropioum bromide (Atroven)
Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan
bersifat bronkodilator.
c. Pengobatan selama serangan status asthmatikus
1) Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
2) Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul
3) Aminophilin bolus 5 mg / kg bb diberikan pelan-pelan selama
20 menit dilanjutka drip Rlatau D5 mentenence (20
tetes/menit) dengan dosis 20 mg/kg bb/24 jam
4) Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara sub kutan.
5) Dexametason 10-20 mg/6jam secara intra vena.
6) Antibiotik spektrum luas.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
b. Identitas diri
c. Riwayat kesehatan
1) Sekarang
2) Masa lalu
3) Saat dikaji
d. Riwayat kesehatan dahulu
e. Pengkajian
 Pengkajian Primer Asma
f. Airway
 Peningkatan sekresi pernafasan
 Bunyi nafas krekles, ronchi, weezing
g. Breathing
 Distress pernafasan : pernafasan cuping hidung, takipneu/bradipneu,
retraksi.
 Menggunakan otot aksesoris pernafasan
 Kesulitan bernafas : diaforesis, sianosis
h. Circulation
 Penurunan curah jantung : gelisah, latergi, takikardi
 Sakit kepala
 Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah
 Papiledema
 Urin output meurun
i. Dissability
Mengetahui kondisi umum dengan pemeriksaan cepat status umum dan
neurologi dengan memeriksa atau cek kesadaran, reaksi pupil.
j. Pengkajian Sekunder Asma
1) Anamnesis
Anamnesis pada penderita asma sangat penting, berguna untuk
mengumpulkan berbagai informasi yang diperlukan untuk menyusun
strategi pengobatan. Gejala asma sangat bervariasi baik antar individu
maupun pada diri individu itu sendiri (pada saat berbeda), dari tidak ada
gejala sama sekali sampai kepada sesak yang hebat yang disertai
gangguan kesadaran.
Keluhan dan gejala tergantung berat ringannya pada waktu serangan.
Pada serangan asma bronkial yang ringan dan tanpa adanya komplikasi,
keluhan dan gejala tak ada yang khas. Keluhan yang paling umum ialah :
Napas berbunyi, Sesak, Batuk, yang timbul secara tiba-tiba dan dapat
hilang segera dengan spontan atau dengan pengobatan, meskipun ada
yang berlangsung terus untuk waktu yang lama.
2) Pemeriksaan Fisik
Berguna selain untuk menemukan tanda-tanda fisik yang mendukung
diagnosis asma dan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain, juga
berguna untuk mengetahui penyakit yang mungkin menyertai asma,
meliputi pemeriksaan :
 Status kesehatan umum
Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan, gelisah,
kelemahan suara bicara, tekanan darah nadi, frekuensi pernapasan
yang meningkatan, penggunaan otot-otot pembantu pernapasan
sianosis batuk dengan lendir dan posisi istirahat klien.
 Integumen
Dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan
pigmentasi, turgor kulit, kelembapan, mengelupas atau bersisik,
perdarahan, pruritus, ensim, serta adanya bekas atau tanda urtikaria
atau dermatitis pada rambut di kaji warna rambut, kelembaban dan
kusam.
3) Thorak
 Inspeksi
Dada di inspeksi terutama postur bentuk dan kesemetrisan
adanya peningkatan diameter anteroposterior, retraksi otot-otot
Interkostalis, sifat dan irama pernafasan serta frekwensi
peranfasan.
- Palpasi
Pada palpasi di kaji tentang kesimetrisan, ekspansi dan
taktil fremitus.
- Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor
sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah.
- Auskultasi
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan
expirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari 3x inspirasi,
dengan bunyi pernafasan dan Wheezing.
4) Sistem Pernafasan
a) Batuk mula-mula kering tidak produktif kemudian makin keras
dan seterusnya menjadi produktif yang mula-mula encer
kemudian menjadi kental. Warna dahak jernih atau putih tetapi
juga bisa kekuningan atau kehijauan terutama kalau terjadi
infeksi sekunder.
b) Frekuensipernapasanmeningkat
c) Otot-otot bantu pernapasan hipertrofi.
d) Bunyi pernapasan mungkin melemah dengan ekspirasi yang
memanjang disertai ronchi kering dan wheezing.
e) Ekspirasi lebih daripada 4 detik atau 3x lebih panjang daripada
inspirasi bahkan mungkin lebih.
f) Pada pasien yang sesaknya hebat mungkin ditemukan:
- Hiperinflasi paru yang terlihat dengan peningkatan diameter
anteroposterior rongga dada yang pada perkusi terdengar
hipersonor.
- Pernapasan makin cepat dan susah, ditandai dengan
pengaktifan otot-otot bantu napas (antar iga,
sternokleidomastoideus), sehingga tampak retraksi
suprasternal, supraclavikula dan sela iga serta pernapasan
cuping hidung.
g) Pada keadaan yang lebih berat dapat ditemukan pernapasan
cepat dan dangkal dengan bunyi pernapasan dan wheezing tidak
terdengar(silent chest), sianosis.
5) Sistem Kardiovaskuler
a) Tekanan darah meningkat, nadi juga meningkat.
b) Pada pasien yang sesaknya hebat mungkin ditemukan:
- Takhikardi makin hebat disertai dehidrasi.
- Timbul Pulsus paradoksusdimana terjadi penurunan tekanan
darah sistolik lebih dari 10 mmHg pada waktu inspirasi.
Normal tidak lebih daripada 5 mmHg, pada asma yang berat
bisa sampai 10 mmHg atau lebih, ada keadaan yang lebih
berat tekanan darah menurun, gangguan irama jantung.
C. Pathways

Spasme otot bronkus Inflamasi dinding bronchus Edema Sumbatan mukus

Bersihan jalan Obstruksi saluran nafas Alveoli tertutup


nafas tidak efektif
(bronkhospasme)

Kurang Hipoksemia
pengetahuan Pola nafas
Penyempitan jalan nafas tidak
efektif
Asidosis
Intoleransi metabolik
Peningkatan kerja pernafasan
aktivitas

Peningkatan kebutuhan Penurunan masukan oral


oksigen

Hiperventilasi Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan
Retensi CO2

Asidosis respiratorik
D. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan tachipnea,
peningkatan produksi mukus, kekentalan sekresi dan
bronchospasme.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
kapiler – alveolar.
3. Pola Nafas tidak efektif berhubungan dengan penyempitan bronkus
4. Nyeri akut; ulu hati berhubungan dengan proses penyakit.
5. Cemas berhubungan dengan kesulitan bernafas dan rasa takut
sufokasi.
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan faktor psikologis dan biologis yang mengurangi
pemasukan makanan.
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan faktor-faktor pencetus
asma.
8. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan batuk persisten dan
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan tubuh.
9. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.

E. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
No
(NANDA) (NOC) (NIC)
1. Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan Airway
efektif berhubungan dengan tindakan keperawatan Management
tachipnea, peningkatan selama 3 x 24 jam,  Buka jalan nafas,
produksi mukus, kekentalan diharapkan pasien guanakan teknik
sekresi dan bronchospasme mampu : chin lift atau jaw
 Respiratory status : thrust bila perlu
ventilation  Posisikan pasien
 Respiratory status : untuk
airway patency memaksimalkan
 Aspiration control. ventilasi
Dengan kriteria hasil :  Identifikasi
 Mendemonstrasikan pasien perlunya
batuk efektif dan pemasangan alat
suara nafas yang jalan nafas
bersih, tidak ada buatan
sianosis dan dyspneu  Pasang mayo bila
(mampu perlu
mengeluarkan  Lakukan
sputum, mampu fisioterapi dada
bernafas dengan jika perlu
mudah, tidak ada  Keluarkan sekret
pursed lips) dengan batuk
 Menunjukkan jalan atau suction
nafas yang paten  Auskultasi suara
(klien tidak merasa nafas, catat
tercekik, irama nafas, adanya suara
frekuensi pernafasan tambahan
dalam rentang  Lakukan suction
normal, tidak ada pada mayo
suara nafas abnormal)  Berikan
 Mampu bronkodilator bila
mengidentifikasikan perlu
dan mencegah factor  Berikan
yang dapat pelembab udara
menghambat jalan Kassa basah
nafas NaCl Lembab
 Atur intake untuk
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
 Monitor respirasi
dan status O2
Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan Airway
berhubungan dengan tindakan keperawatan Management
perubahan membran kapiler selama 3 x 24 jam,  Buka jalan nafas,
– alveolar diharapkan pasien gunakan teknik
mampu : chin lift atau jaw
 Respiratory Status : thrust bila perlu
Gas exchange  Posisikan pasien
 Respiratory Status : untuk
ventilation memaksimalkan
 Vital Sign Status ventilasi
Dengan kriteria hasil :  Identifikasi
 Mendemonstrasikan pasien perlunya
peningkatan ventilasi pemasangan alat
2.
dan oksigenasi yang jalan nafas
adekuat buatan
 Memelihara  Pasang mayo bila
kebersihan paru paru perlu
dan bebas dari tanda  Lakukan
tanda distress fisioterapi dada
pernafasan jika perlu
 Mendemonstrasikan  Keluarkan sekret
batuk efektif dan dengan batuk
suara nafas yang atau suction
bersih, tidak ada  Auskultasi suara
sianosis dan dyspneu nafas, catat
(mampu adanya suara
mengeluarkan tambahan
sputum, mampu  Lakukan suction
bernafas dengan pada mayo
mudah, tidak ada  Berikan
pursed lips) bronkodilator bial
 Tanda tanda vital perlu
dalam rentang  Berikan
normal pelembab udara
 Atur intake untuk
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
 Monitor respirasi
dan status O2.

Respiratory
Monitoring
 Monitor rata –
rata, kedalaman,
irama dan usaha
respirasi
 Catat pergerakan
dada,amati
kesimetrisan,
penggunaan otot
tambahan,
retraksi otot
supraclavicular
dan intercostal
 Monitor suara
nafas, seperti
dengkur
 Monitor pola
nafas : bradipena,
takipenia,
kussmaul,
hiperventilasi
 Catat lokasi
trakea
 Monitor
kelelahan otot
diagfragma
(gerakan
paradoksis)
 Auskultasi suara
nafas, catat area
penurunan / tidak
adanya ventilasi
dan suara
tambahan
 Tentukan
kebutuhan
suction dengan
mengauskultasi
crakles dan
ronkhi pada jalan
napas utama
 Auskultasi suara
paru setelah
tindakan untuk
mengetahui
hasilnya
Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan Airway
berhubungan dengan tindakan keperawatan Management
penyempitan bronkus selama 3 x 24 jam,  Buka jalan nafas,
diharapkan pasien guanakan teknik
mampu : chin lift atau jaw
 Respiratory status : thrust bila perlu
Ventilation  Posisikan pasien
 Respiratory status : untuk
Airway patency memaksimalkan
 Vital sign Status ventilasi
Dengan Kriteria Hasil :  Identifikasi
 Mendemonstrasikan pasien perlunya
batuk efektif dan pemasangan alat
3. suara nafas yang jalan nafas
bersih, tidak ada buatan
sianosis dan dyspneu  Pasang mayo bila
(mampu perlu
mengeluarkan  Lakukan
sputum, mampu fisioterapi dada
bernafas dengan jika perlu
mudah, tidak ada  Keluarkan sekret
pursed lips) dengan batuk
 Menunjukkan jalan atau suction
nafas yang paten  Auskultasi suara
(klien tidak merasa nafas, catat
tercekik, irama nafas, adanya suara
frekuensi pernafasan tambahan
dalam rentang  Lakukan suction
normal, tidak ada pada mayo
suara nafas abnormal)  Berikan
 Tanda Tanda vital bronkodilator bila
dalam rentang normal perlu
(tekanan darah, nadi,  Berikan
pernafasan) pelembab udara
Kassa basah
NaCl Lembab
 Atur intake untuk
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
 Monitor respirasi
dan status O2
Terapi Oksigen
 Bersihkan mulut,
hidung dan secret
trakea
 Pertahankan jalan
nafas yang paten
 Atur peralatan
oksigenasi
 Monitor aliran
oksigen
 Pertahankan
posisi pasien
 Observasi adanya
tanda tanda
hipoventilasi
 Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap
oksigenasi.
Vital sign
Monitoring
 Monitor TD,
nadi, suhu, dan
RR
 Catat adanya
fluktuasi tekanan
darah
 Monitor VS saat
pasien berbaring,
duduk, atau
berdiri
 Auskultasi TD
pada kedua
lengan dan
bandingkan
 Monitor TD,
nadi, RR,
sebelum, selama,
dan setelah
aktivitas
 Monitor kualitas
dari nadi
 Monitor
frekuensi dan
irama pernapasan
 Monitor suara
paru
 Monitor pola
pernapasan
abnormal
 Monitor suhu,
warna, dan
kelembaban kulit
 Monitor sianosis
perifer
 Monitor adanya
cushing triad
(tekanan nadi
yang melebar,
bradikardi,
peningkatan
sistolik)
 Identifikasi
penyebab dari
perubahan vital
sign
DAFTAR PUSTAKA

Almazini, P. 2012. Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru untuk Asma


Berat. Jakrta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi
6. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
GINA (Global Initiative for Asthma) 2006.; Pocket Guide for Asthma
Management and Prevension In Children. www. Dimuat dalam
www.Ginaasthma.org Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes
Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Linda Jual Carpenito, 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta:
EGC
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Purnomo. 2008. Faktor Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Asma Bronkial Pada Anak. Semarang: Universitas Diponegoro
Ruhyanudin, F. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Kardio Vaskuler. Malang : Hak Terbit UMM Press
Saheb, A. 2011. Penyakit Asma. Bandung: CV medika
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.
Jakarta: Prima Medika
Sundaru H. 2006 Apa yang Diketahui Tentang Asma, JakartaDepartemen Ilmu
Penyakit Dalam, FKUI/RSCM
Suriadi. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I. Jakarta: Sagung Seto
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN GANGGUAN SISTEM
MUSKULOSKELETAL AKIBAT OSTEOPOROSIS

A. Konsep Penyakit
a. Definisi Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu keadaan dimana terdapat pengurangan
jaringan tulangper unit volume, sehingga tidak mampu melindungi atau
mencegah terjadinya fraktur terhadap trauma minimal (Noer, Sjaifoellah.
1996).
Osteoporosis adalah suatu keadaan berkurangnya masa tulang
sedemikian sehingga dengan trauma minimal tulang akan patah. WHO
memberikan definisi terakhir sebagai berikut : adalah penurunan masa tulang
> 2,5 kali standard deviasi (simpangan) massa tulang rata-rata dari populasi
usia muda disertai perubahan pada mikro-arsitektur tulang, yang
menyebabkannya menjadi lebih mudah patah.
Tulang secara progresif menjadi potus, rapuh dan mudah patah; tulang
mudah fraktur dengan stres yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada
tulang normal. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur kompresi vertebra
torakalos dan lumbalis, fraktur daerah kolum femoris dan daerah trokharter,
dan patah tulang colles pada pergelangan tangan. Fraktur kompresi ganda
vertebra mengakibatkan deformtas skelet. Pengurangan massa tulang tersebut
tidak disertai dengan adanya perubahan perbandingan antara substansi
mineral dan organik tulang. Secara histopatologis osteoporosis ditandai oleh
berkurangnya ketebalan korteks disertai dengan berkurangnya jumlah
maupun ukuran trabekula tulang. Dengan demikian dari luar nampaknya
ukuran anatomis tulang tersebut dalam batas normal. Kifosis. Kolaps bertahap
tulangvertebra mungkin tidak menimbulkan gejala; hanya trelihat sebagai
kifosis (“dowager’ hump”), terjadi pengurangan tinggi badan. Beberapa
wanita pasca menopouse dapat kehilangan tinggi 2,5–15 cm (1-6 inci) akibat
kolaps vetebrata. Perubahan postural mengakibatkan relaksasi otot abnominal
dan akibatnya perut menonjol. Deformitas ini juga dapat mengakibatkan
insufisiensi paru. Kebanyakan pasien ini mengeluh kelelahan.
Kehilangan massa tulang merupakan fenomena universal yang berkaitan
dengan usia. Kalsitonin yang menghambat resorpsi tulang dan merangsang
pembentukan tulang mengalami penurunan. Estrogen yang menghambat
pemecahan tulang, juga bertambahnya usia. Hormon paratiroid, di sisi lain,
meningkat bersama bertambahnya usia dan peningkatan responsi tulang.
Konsekuensi perubahan ini adalah pengeroposan tulang seiring berjalannya
waktu. Wanita lebih sering mengalami osteoporosis dan lebih ekstensif dari
pada pria karena puncak massa tulang lebih rendah dan efek kehilangan
estrogen selama menopouse. Lebih setengah dari semua wanita di atas usia 45
memperlihatkan bukti pada sinar-X adanya osteoporosis.
Identifikasi awal wanita usia belasan dan dewasa muda yang mempunyai
risiko tinggi dan pendidikan untuk meningkatkan asupan kalsium,
berpartisipasi dalam latihan pembebanan berat badan teratur, dan mengubah
gaya hidup (misalnya : mengurangi penggunaan kafein, sigaret dan alkohol)
akan menurunkan risiko terjadinya osteoporosis, fraktur tulang, dan kecacatan
yang diakibatkannya pada usia lanjut. (MN, 2013)

b. Anatomi dan Fisiologi


Susunan kerangka terdiri dari susunan berbagai macam tulang-tulang
yang banyaknya kira-kira 206 buah tulang yang satu sama lainnya saling
berhubungan yang terdiri dari tulang kepala yang berbentuk tengkorak (8
buah), tulang wajah (14 buah), tulang telinga dalam (6 buah), tulang lidah (1
buah), tulang yang membentuk kerangka dada (25 buah), tulang yang
membentuk tulang belakang dan gelang pinggul (26 buah), tulang anggota
yang membentuk lengan (anggota gerak atas) (64 buah), tulang yang
membentuk kaki (anggota gerak bawah) (62 buah).
Bagian-bagian yang sering terdapat pada tulang :
a. Foramen, suatu lubang tempat pembuluh darah, saraf, dan
ligamentum (misalnya pada tulang kepala belakang yang disebut
foramen oksipital).
b. Fosa, suatu lekukan didalam atau pada permukaan tulang (misalnya
pada skapula yang disebut fosa supraskapula).
c. Prosesus, suatu tonjolan atau taju (misalnya terdapat pada ruas tulang
belakang yang disebut prosesus spinosus).
d. Kondilus taju yang bentuknya bundar merupakan benjolan.
e. Tuberkulum : tonjolan kecil.
f. Tuberositas : tonjolan besar.
g. Trokanter : tonjolan besar, pada umumnya tonjolan ini pada tulang
paha (femur).
h. Krista pinggir atau tepi tulang (misalnya pada tulang ilium yang
disebut krista iliaka.
i. Spina tonjolan tulang yang bentuknya agak runcing (misalnya pada
tulang ilium yang disebut spina iliaka).
j. Kaput (kepala tulang) bagian ujung yang bentuknya bundar
(misalnya pada tulang paha yang disebut kaput femoris).

 Skema Tulang
Susunan Kerangka :
a. Tulang Kepala
1) Tengkorang otak 8 buah
2) Tengkorak wajah 14 buah
3) Tulang telinga 6 buah
4) Tulang lidah 1 buah
b. Kerangka dada 25 buah
c. Tulang belakang dan pinggul 26 buah
d. Tulang anggota gerak atas 64 buah
e. Tulang anggota gerak bawah 62 buah
Bagian-bagian tulang :
- Foramen (lubang pada tulang)
- Fosa (lekuk tulang)
- Prosesus (taju/tonjolan tulang)
- Kondilus (taju bundar)
- Tuberkel (tonjolan kecil)
- Tuberositas (tonjolan besar)
- Trokanter (tonjolan besar tilang paha)
- Krista (tepi tulang usus)
- Spina (tonjolan pada tulang usus)
- Kaput (kepala tulang)

 Fungsi Tulang
Fungsi tulang terbagi 2 yaitu umum dan khusus
a. Fungsi tulang secara umum
1) Formasi kerangka: tulang – tulang membentuk rangka tubuh
untuk menentukan bentuk dan ukuran tubuh, tulang – tulang
menyokong struktur tubuh yang lain.
2) Formasi sendi: tulang – tulang membentuk persendian yang
bergerak dan tidak bergerak tergantung dari kebutuhan
fungsional, sendi yang bergerak menghasilkan bermacam –
macam pergerakan.
3) Perlengketan otot: tulang – tulang menyediakan permukaan
untuk tempat melekatnya otot, tendo dan ligamentum untuk
melaksanakan pekerjaannya.
4) Sebagai pengungkit: untuk bermacam – macam aktivitas
selama pergerakan.
5) Menyokong berat badan: memelihara sikap tegak tubuh
manusia dan menahan gaya tarikan dan gaya tekanan yang
terjadi pada tulang, dapat menjadi kaku dan menjadi lentur.
6) Proteksi: tulang membentuk rongga yang mengandung dan
melindungi struktur yang halus seperti otak, medula spinalis,
jantung, paru – paru, alat – alat dalam perut dan panggul.
7) Hemopoiesis: sumsum tulang tempat pembentukan sel – sel
darah, terjadinya pembentukan sel – sel darah sebagian besar
pada sumsum tulang merah.
8) Fungsi imunologi: limfosit “B” dan makrofag di bentuk dalam
sistem retikuloendotel sumsum tulang. Limfosit B diubah
menjadi sel- sel plasma membentuk antibody guna keperluan
kekebalan kimiawi, sedangkan makrofag merupakan
fagositotik.
9) Penyimpanan kalsium: tulang mengandung 97% kalsium yang
terdapat dalam tubuh baik dalam bentuk anorganik maupun
garam – garam terutama kalsium fosfat. Sebagian besar fosfor
di simpan dalam tulang dan kalsium di lepas dalam darah bila
di butuhkan.
b. Fungsi tulang secara khusus
1) Sinus–sinus paranasalis dapat menimbulkan nada khusus pada
suara.
2) Email gigi di khususkan untuk memotong, menggigit dan
menggilas makanan, email merupakan struktur yang terkuat
dari tubuh manusia.
3) Tulang–tulang kecil telinga dalam mengonduksi gelombang
suara untuk fungsi pendengaran (all, 2004).
c. Etiologi
Imobilisasi Defisiensi Vitamin D Tiritoksikosis
Menopouse Defisiensi Vitamin C Gastrektomi
Berhubungan dengan Defisiensi florida Alkoholisme
usia (senilis) Kelebihan steroid Merokok
Tubuh pendek (endogen/eksogen)
Bertulang kecil
Defisiensi Kalsium Artritis rematoid Penyakit hati lanjut
Defisiensi protein Hiperparatiroidisme Diabetes mellitus,
pengobatan dengan
heparin

d. Klasifikasi
1) Osteoporosis primer
 Tipe 1 adalah tipe yang terjadi pada wanita pascamenopause
 Tipe 2 adalah tipe yang terjadi pada orang usia lanjut baik pria
maupun wanita
b. Osteoporosis sekunder
Osteoporosis sekunder terutama disebabkan oleh penyakit-penyakit
tulang erosif misalnya mieloma multiple, hipertirodisme,
hiperparatiroidisme dan akibat obat-obatan yang toksik untuk tulang
(misalnya ; glukokortikoid). Jenis ini ditemukan pada kurang lebih 2-3
juta klien.
c. Osteoporosis Idiopatik
Osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya dan ditemukan pada :
- Usia kanak-kanak (juvenile)
- Usia remaja (adolesen)
- Wanita pra-menopause
- Pria usia pertengahan
(Nurarif, 2015)

5. Patofisiologi
Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah
dan aktivitas sel osteoklas melebihi (sel pembentuk dari jumlah dan aktivitas
sel osteoblas (sel tulang). Keadaan ini mengakikatkan penurunan massa
tulang. Sel yang bertanggung jawab untuk pembentukan tulang disebut
osteoblas (osteoblast), sedangkan osteoklas (osteoclast) bertanggung jawab
untuk penyerapan tulang. Pembentukan tulang terutama terjadi pada masa
pertumbuhan. Pembentukan dan penyerapan tulang berada dalam
keseimbangan pada individu berusia sekitar 30 – 40 tahun. Keseimbangan ini
mulai terganggu dan lebih berat ke arah penyerapan tulang ketika wanita
mencapai menopause dan pria mencapai usia 60 tahun. Pada osteoporosis
akan terjadi abnormalitas bone turn- over, yaitu terjadinya proses penyerapan
tulang (bone resorption) lebih banyak dari pada proses pembentukan tulang
(bone formation). Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh
karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi (sel pembentuk dari
jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel tulang). Keadaan ini mengakikatkan
penurunan massa tulang. (Corwin, 2009)
6. Pathway (Nurarif, 2015)

Usia Lanjur (menopause)

Defisiensi Vitamin D, Sekresi esterogen


Aktifitas Fisik
aktivitas 1-
idroksilase,resistensi
vitamin D Bonne marrow stroma cell &
sel mononuclear (IL-1,IL-
6,dam TNF-a), sekresi GH dan
Pe reabsorsi kalsium
IGF1
di ginjal

Pe absorpsi kalsium di
usus
Gangguan fungsi osteoblast
Hipokalsemi

PTH (Pararoid
hormone)

Hiperparatiroidisme
sekunder

Resorpsi tulang

Osteoporosis

Fraktur Kurang informasi Gangguan


Keseimbangan,
Pergeseran Frakmen tulang dan kekuatan otot
Defisit Pengetahuan
Ansietas
Resiko Jatuh

Nyeri akut Deformitas

Gang.Fungsi ekstremitas

Hambatan Mobilitas
fisik Deficit pereawatan
diri
7. Manifestasi Klinis
Keluhan yang dapat dijumpai pada pasien osteoporosis adalah nyeri dengan
atau tanpa adanya fraktur nyata. Rasa sakit oleh karena adanya fraktur pada
anggota gerak pasien osteoporosis sama dengan pada pasien bukan osteoporosis.
Rasa sakit oleh karena adanya fraktur pada vertebra pada umunya mempunyai
ciri-ciri yang khas yaitu nyeri timbul secara mendadak, sakitnya hebat dan
terlokalisasi pada daerah vetebra yang terserang, rasa sakit akan berkurang secara
pelan-pelan apabila pasien istirahat di tempat tidur dan akhirnya nyeri akan
sangat minimal. Kadang-kadang nyeri dirasakan ringan pada pagi hari (bangun
tidur) dan akan bertambah oleh karena melakukan pekerjaan sehari-hari atau
karena suatu pergerakan yang salah. Untuk selanjutnya, rasa sakit ini berperan
pula dalam proses timbulnya osteoporosis, yaitu dengan adanya rasa sakit pasien
akan sangat mengurangi mobilitas. Mobilitas yang sangat berkurang akan
mengakibatkan terjadinya\ resorpsi tulang yang berlebihan dan hal ini akan
memperhebat osteoporosis yang telah ada. Fraktur pada pasien osteoporosis
sering kali terjadi baik secara spontan ataupun oleh karena adanya trauma
minimal. Bagian-bagian tubuh yang sering fraktur adalh pergelangan tangan,
panggul dan vetebra. Fraktur vetebra sering teradi pada Vertebra Th. 11-12 dan
akan mengakibatkan berkurangnya tinggi badan pasien. Adanya riwayat fraktur
pada daerah tersebut mengarah ke kecurigaan adanya osteoporosis, apalagi kalau
disertai dengan riwayat keluarga dengan osteoporosis.
Gejala klinis lain yang sering ditemukan adalah menurunnya tinggi badan.
Hal ini terjadi oleh karena adanya kompresi fraktur yang asimtomatis pada
vetebra.
Faktor yang mempengaruhi Pengurangan masa Tulang :
a. Determinan massa tulang
Massa tulang maksimal pada usia dewasa di tentukan oleh berbagai faktor
antara lain: Genetik, mekanis dan nutrisi / hormonal.
1) Faktor genetic
Perbedaan genetik mempunyai pengaruh terhadap derajat kepadatan
tulang. Beberapa orang mempunyai tulang yang cukup besar dan yang lain
kecil. Sebagai contoh, orang kulit hitam pada umumnya mempunyai struktur
tulang lebih kuat/berat dan pada bangsa kaukasia. Jadi seseorang yang
mempunyai tulang kuat (terutama kulit Hitam Afrika), relatif imun terhadap
fraktur karena osteoporosis.
2) Faktor mekanis
Beban mekanis berpengaruh terhadap massa tulang di samping faktor
genetik. Bertambahnya beban akan menambah massa tulang dan
berkurangnya beban akan mengakibatkan berkurangnya massa tulang.
Dengan perkataan lain dapat di sebutkan bahwa ada hubungan langsung dan
nyata antara massa otot dan massa tulang. Kedua hal tersebut menunjukan
respons terhadap kerja mekanik. Beban mekanik yang berat akan
mengakibatkan massa otot besar dan juga massa tulang yang besar. Sebagai
contoh adalah pemain tenis atau pengayuh becak akan dijumpai adanya
hipertrofi baik pada otot maupun tulangnya terutama pada lengan atau
tungkainya, sebaliknya atrofi baik pada otot maupun tulangnya dijumpai
pada pasien yang harus istirahat di tempat tidur dalam waktu yang lama,
poliomielitis atau pada penerbangan luar angkasa. Walaupun demikian
belum diketahui dengn pasti beberapa besar beban mekanis yang diperlukan
dan beberapa lama untuk meningkatkan massa tulang di samping faktor
genetik.
3) Faktor makanan dan hormone
Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang cukup
(protein dan mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai maksimal sesuai
dengan pengaruh genetik yang bersangkutan. Pemberian makanan yang
berlebih (misalnya kalsium) diatas kebutuhan maksimal selama masa
pertumbuhan, di sangsikan dapat menghasilkan tulang yang melebihi
kemampuan pertumbuhan tulang yang bersangkutan sesuai dengan
kemampuan genetiknya. Jadi massa seluruh atau sebagian tertentu kerangka
ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut secara berurutan :
- Genetik
- Beban mekanis
- Nutrisi / hormone
b. Detrminan pengurangan massa tulang (bone loss)
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penurunan massa tulang pada
lanjut usia yang dapat mengakibatkan fraktur osteoporotik, pada dasarnya semua
seperti pada faktor-faktor yang mempengaruhi massa tulang yaitu genetik,
mekanis, dan nutrisi / hormonal.
1) Faktor genetik
Faktor genetik berpengaruh terhadap resiko terjadinya fraktur. Pada
seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat resiko
fraktur daripada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai saat ini tidak
ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang normal.
Setiap individu mempunyai ketentuan normal sesuai dengan sifat genetiknya
serta beban mekanis dan besar badannya. Apabila individu dengan tulang
yang besar, kemudian terjadi proses penurunan massa tulang (osteoporosis)
sehubungan dengan lanjutnya usia, maka individu tersebut relatif masih
mempunyai tulang lebih banyak daripada individu yang mempunyai tulang
kecil pada usia yang sama.
2) Faktor mekanis
Di lain pihak, faktor mekanis mungkin merupakan faktor yang
terpenting dalam proses penurunan massa tulang sehubungan dengan
lanjutnya usia. Walaupun demikian telah terbukti bahwa ada interaksi
penting antara faktor mekanis dengan faktor nutrisi / hormonal. Pada
umumnya aktivitas fisik akan menurun dengan bertambahnya usia dan
karena massa tulang merupakan fungsi beban mekanis, massa tulang tersebut
pasti akan menurun dengan bertambahnya usia.
3) Kalsium
Faktor makanan ternyata memegang peranan penting dalam proses
penurunan massa tulang sehubungan dengan bertambahnya usia, terutama
pada wanita post menopouse. Kalsium, merupakan nutrisi yang sangat
penting. Wanita-wanita pada massa peri menopouse, dengan masukan
kalsiumnya rendah dan absorbsinya tidak baik, akan mengakibatkan
keseimbangan kalsiumnya menjadi negatif, sedang meraka yang asupan
kalsiumnya baik dan absorbsinya juga baik, menunjukan keseimbangan
kalsium positif. Dari keadaan ini jelas, bahwa pada wanita masa menopouse
ada hubungan yang erat antara masukan kalsium dengan keseimbangan
kalsium di dalam tubuhnya. Pada wanita dalam masa menopouse
keseimbangan kalsiumnya akan terganggu akibat masukan serta absorbsinya
kurang serta ekskresi melalui urine yang bertambah.
Hasil akhir kekurangan / kehilangan ekstrogen pada masa menopouse
adalah pergeseran keseimbangan kalsium yang negatif, sejumlah 25mg
kalsium sehari.
4) Protein
Protein juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi
penurunan massa tulang. Makanan yang kaya protein akan mengakibatkan
ekskresi asam amino yang mengandung sulfat melalui urine ,hal ini akan
mengakibatkan ekskresi kalsium.
Pada umumnya protein tidak dimakan secara tersendiri, tetapi bersama
makanan lain. Apabila makanan tersebut mengandung fosfor, maka fostor
tersebut akan mengurangi ekskresi kalsium melalui urin. Sayangnya fosfor
tersebut akan mengubah pengeluaran kalsium melalui tinja. Hasil akhir dari
makanan yang mengandung protein berlebihan akan mengakibatkan
kecenderungan untuk terjadi keseimbangan kalsium yang negatif.
5) Esterogen
Berkurangnya/hilangnya esterogen dari dalam tubuh akan
mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan kalsium. Hal ini
disebabkan oleh karena menurunya efisiensi absorbsi kalsium dari makanan
dan juga menurunnya konservasi kalsium di ginjal.
6) Rokok dan kopi
Merokok dan minum kopi dalam jumlah banyak cenderung akan
mengakibatkan penurunan massa tulang, lebih-lebih bila disertai masukan
kalsium yang rendah. Mekanisme pengaruh merokok terhadap penurunan
massa tulang tidak diketahui, akan tetapi kafein dapat memperbanyak
ekskresi kalsium melalui urin maupun tinja.
7) Alkohol
Alkoholisme akhir-akhir ini merupakan masalah yang sering ditemukan.
Individu dengan alkoholisme mempunyai kecenderungan masukan kalsium
rendah, disertai dengan ekskresi lewat urin yang meningkat. Mekanisme
yang jelas belum di ketahui dengan pasti (MN, 2013).

8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan radiologi
Untuk mengukur ketebalan colum femaris dan komponen-komponen
yang berkolerasi cukup tepat dengan adanya osteoporosis. Namun, hasil
pengukuran ini masih sangat lemah untuk mendiagnostis adanya
osteoporosis. Pada pemeriksaan radiologic sehingga osteoporosis baru akan
terlihat apabila massa tulang sudah berkurang hingga 30% atau lebih.
b. Pemeriksaan radioisotope
Pemeriksaan ini menggunakan sinar foton radionuklida yang dapat
mendeteksi densitas tulang dan ketebalan korteks tulang. Ada dua jenis
pemeriksaan yaitu single photon absorptiometry dan dual photon
absorptiomentry.
c. Single photon absorptiometry (SPA)
Sinar photon bersumber dari 1-125 dengan dosis 200 mci. Yang
diperiksa adalah tulang-tulang perifer radius dan kalcaneus.
d. Dual photon absorptiomentry.
Sinar photon bersumber dari nuklida GA-135 sebanyak 1,5 CI yang
mempunyai energy (44 kev dan 100 kev). Pemeriksaan ini digunakan untuk
mengukur vertebrata dan kolum femoris.
e. Pemeriksaan Quantitative computerized tomography (QCT)
Merupakan salah saru cara yang dipakai untuk mengukur mineral tulang
karena dapat menilai secara volumetric trabekulasi tulang radius, tibia, dan
vertebrata. Keuntungan QCT adalah tidak dipengaruhi oleh korteks dan
artefak kalsifikasi osteosit dan kalsifikasi aorta, serta tidak perlu
diperhitungkan dengan berat badan dan tinggi badan. Kerugiannya adalah
paparan radiasinya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis
pemeriksaan lainnya.
f. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan ini mahal dan membutuhkan sarana yang banyak
g. Quantitative Ultra Sound (QUS)
Cara ini menggunakan kecepatan gelombang suara ultra yang
menembus tulang , kemudian dinilai atenuasi kekuatan dan daya tembus
melalui tulang yang dinyatakan sebagai pita lebar ultrasonic dan kekakuan.
h. Densitometer (X-ray)
Pengukuran ini tidak menimbulkan rasa sakit, mudah dilakukan, hasil
pemeriksaan diperoleh dalam waktu singkat, dan relative aman. Walaupun
menggunakan sinar-X, tingkat radiasinya sangat kecil, seringkali lebih kecil
dari radiasi alamiah. Oleh karenanya, pengukuran dapat dilakukan pada
anak-anak dan ibu hamil, serta dapat pula diulang bila diperlukan.
i. Tes darah dan urine
Kedua tes ini masih mungkin dilakukan untuk mengetahui dan melihat
kondisi lain yang terkait dengan hilangnya massa tulang, seperti kelenjar
tiroid yang terlalu aktif, penyakit hati, atau myeloma (kanker sumsum
tulang) (Wirakusumah).

9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita yang hanya dengan osteoporosis tanpa disertai
patah tulang lebih sederhana di banding bila penderita sudah datang dengan
fraktur. Penderita lanjut usia dengan fraktur osteoporosis terutama bila akibat
jatuh, memerlukan asesmen bertingkat, antara lain :
a. Asesmen, mengenai sebab jatuh, apa yang menyebabkannya apakah akibat
faktor lingkungan, gangguan intra atau ekstraserebral dan lain sebagainya.
Perlu di adakan tindak pencegahan dan atau pengobatan agar lain kali tidak
jatuh lagi.
b. Asesmen mengenai osteoporosisnya, primer atau sekunder, manifestasi
ditempat lain.
c. Asesmen mengenai frakturnya. Operabel (dapat dioperasi) atau tidak, kalau
operabel harus dilakukan pendekatan pada dokter bedah. Setelah operasi,
tindakan rehabilitasi, yang baik disertai pemberian obat untuk upaya
perbaikan osteoporosis bisa dikerjakan.
Tindakan dietetik : diet tinggi kalsium (sayur hijau, dll). Terapi ini lebih
bermanfaat sebagai tindakan pencegahan. Pada usia lanjut harus diberikan
bersama jenis terapi yang lain.
Olahraga. Yang terbaik adalah yang bersifat mendukung beban (weight
bearing) misalnya joging, berjalan cepat, dll. Lebih baik dilakukan dibawah sinar
matahari pagi karena membantu pembuatan vitamin D.
Obat-obatan. Yang membantu pembentukan tulang (steroid anabolik,
flourida). Yang mengurangi perusakan tulang (estrogen, kalsium, difofonat,
kalsitonin). (MN, 2013)

10. Komplikasi
Akan timbul kardiovaskular, disertai aterosklerosis dan kardiomiopati yang
timbul cepat, yang merupakan penyebab kematian yang paling sering.
(Wirakusumah)
 Konsep Proses Pengkajian
- Pengkajian
Identitas klien (nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,
pendidikan).
- Riwayat Penyakit
Keluhan utama : klien mengatakan nyeri tulang, mengalami penyakit
yang sama tulang belakang bungkuk klien menggunakan penyangga
tulang belakang.
Riwayat penyakit keluarga : tidak ada keluarga yang menderita penyakit
yang sama
Riwayat hubungan social : hubungan klien dengan keluarga baik.
- Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik menggunakan metode 6 B (Breathing, blood,
brain, bladder, bowel dan bone) untuk mengkaji apakah di temukan
ketidaksimetrisan rongga dada, apakah pasien pusing, berkeringat dingin dan
gelisah. Apakah juga ditemukan nyeri punggung yang disertai pembatasan
gerak dan apakah ada penurunan tinggi badan, perubahan gaya berjalan, serta
adakah deformitas tulang.
- B1(breathing)
Inspeksi : ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang belakang
Palpasi : traktil fremitus seimbang kanan dan kiri
Perkusi : cuaca resonan pada seluruh lapang paru
Auskultasi : pada usia lanjut biasanya didapatkan suara ronki.
- B2 (blood)
Pengisian kapiler kurang dari 1 detik sering terjadi keringat dingin dan
pusing, adanya pulsus perifer memberi makna terjadi gangguan pembuluh
darah atau edema yang berkaitan dengan efek obat.
- B3(brain)
Kesadaran biasanya kompos mentis, pada kasus yang lebih parah klien
dapat mengeluh pusing dan gelisah.
- B4(Bladder)
Produksi urine dalam batas normal dan tidak ada keluhan padasistem
perkemihan.
- B5(bowel)
Untuk kasus osteoporosis tidak ada gangguan eleminasi namun perlu
dikaji juga frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses.
- B6(Bone)
Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis, klien osteoporosis
sering menunjukkan kifosis atau gibbus (dowager’s hump) dan penurunan
tinggi badan. Ada perubahan gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length
inequality dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang terjadi adalah antara
vertebra torakalis 8 dan lumbalis

11. Diagnosa Keperawatan


a. Nyeri akut b.d Pergeseran frakmen tulang
b. Defisit perawatan diri b.d Gangguan fungsi ekstremitas
c. Hambatan Mobilitas b.d Kerusakan rangka neuromuscular
d. Resiko jatuh b.d Gangguan keseimbangan, penurunan aktivitas dan
kekuatan otot
12. Intervensi keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional


hasil
1 Nyeri Setelah dilakukan - lakukan - membantu
akut asuhan pengkajian mengevaluasi
keperawatan nyeri secara derajat
selama 3x24 jam komprehensif ketidaknyamanan
diharapkan nyeri termasuk dan terjadinya
dapat berkurang lokasi, komplikasi.
atau teratasi denga karakteristik,
kriteria hasil: durasi,
-klien mampu frekuensi,
mengontrol nyeri kualitas, dan
(tahu penyebab faktor
nyeri, mampu presipitas.
menggunakan - observasi - respon non verbal
teknik reaksi membatu
nonfarmakologi nonverbal dari mengevaluasi
untuk mengurangi ketidaknyama derajat nyeri dan
nyeri, mencari nan perubahannya
bantuan) - gunakan - menurunkan rasa
-melaporkan teknik takut yang dapat
bahwa nyeri komunikasi meningkatkan
berkurang terapeutik relaksasi atau
menggunakan untuk kenyamanan.
menejemen nyeri mengetahui
-mampu pengalaman
mengenali nyeri nyeri pasien
(skala, intensitas, - kontrol - lingkungan bisa
frekuensi dan lingkungan menjadi pemicu
tanda nyeri) yang dapat meningkatnya
-menyatakan rasa mempengaruh derajat nyeri
nyaman setelh i nyeri
nyeri berkurang - berikan - diharapkan dengan
analgetik memberikan obat
untuk analgetik dapat
mengurangi menekan reseptor
nyeri nyeri sehingga
nyeri tidak
dipresepsikan
3 Hambatan Setelah dilakukan - Kaji derajat - klien mungkin
Mobilitas tindakan imobilitas dibatasi oleh
keperawatan yang persepsi tentang
selama 3x24 jam dihasilkan keterbatasan fisik
klien diharapkan oleh cidera memerlukan
meningkatkan untuk latijan informasi/interven
kekuatan untuk rentang gerak si untuk
melakukan pasief/ aktif meningkatkan
pergerakan pada kemajuan
ekstremitas kesehatan.
yang sakit
- Ubah Posisi - Meningkatkan
Secara aliran darah ke
periodic serta otot dan tulang
dorong untuk untuk
latihan batuk meningkatkan
dan nafas tonus otot
dalam
- instrusikan - Mencegah

klien untuk komplikasi

latihan pernafasan/ kulit,

rentang gerak misalnya

pasif/aktif decubitus,

pada pneumonia, dan

ekstremitas atelectasis

yang sakit
2 Defisit Setelah dilakukan - kaji - untuk mengetahui
perawatan asuhan kemampuan tingkat
diri keperawatan klien dalam kemampuan/
selama 3x24 jam memenuhi ketergantungan
di harapakan perawatan klien dalam
defisit perawatan diri. merawat diri
diri dapat teratsi - bantu klien sehingga dapat
dengan kriteria dalam membantu klien
hasil : memenuhi dalam memenuhi
-mampu untuk kebutuhan kebutuhan
melkukan aktivitas sehari-hari. hygenenya.
perawatan diri - anjurkan klien - kebutuhan klien
secara mandiri untuk terpenuhi tanpa
atau dengan alat melakukan membuat klien
bantu aktivitas ketergantungan
-mampu untuk sesuai pada perawat.
mempertahankan kemampuanny - pelaksanaan
kebersihan dan a aktivitas dapat
penampilan yang - anjurkan membantu klien
rapi secara mandiri keluarga klien untuk
dengan atau tanpa untuk selalu mengembalikan
alat bantu berada di kekuatannya secara
-mampu dekat klien bertahap dan
mempertahankan dan membantu menambah
mobilitas yang memenuhi kemandirian dalm
diperlukan untuk kebutuhan memenuhi
ke kamar mandi klien kebutuhannya.
dan menyediakan - membantu
perlengkapan memenuhi
mandi kebutuhan klien
yang tidak
terpenuhi secara
mandiri
4 Resiko Setelah dilakukan - identifikasi - penggunaan alat
jatuh asuhan perilaku dan bantu jalan
keperawatan faktor yang membantu
selama 3x24 jam mempengaruhi meningkatkan
resiko jatuh tidak resiko jatuh. keseimbangan
terjadi dengan - sarankan kerja otot.
kriteria hasil : perubahan
-Gerakan dalam gaya
terkoordinasi: berjalan
kemampuan otot kepada pasien
untuk bekerja - mendorong
sama secara pasien untuk
volunter untuk menggunakan
melakukan tongkat atau
gerakan yang alat pembantu
bertujuan berjalan.
-Tidak ada - ajarkan pasien
kejadian jatuh bagaimana
-pengendalian jatuh untuk
resiko meminimalkan
cedera
DAFTAR PUSTAKA

Rosdahl CB, Kowalski MT. Buku Ajar Keperawatan Dasar. 10th ed. Jakarta: EGC;
2015.
Potter PA, Perry AG. Fundamentals of Nursing Buku 1. 7th ed. Singapore: Elsevier;
2010.
Nursalam. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis. 4th ed.
Jakarta: Salemba Medika; 2016.
Robinson JM, Saputra L. Visual Nursing (Medikal-Bedah). Tanggerang Selatan:
Binarupa Aksara; 2014.
Sholeh SN. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta: Diva Press;
2014.
Hurst M. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC; 2015.
Suryo J. Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernapasan. Yogyakarta: B First;
2010.
LeMone P, Burke KM, Bauldoff G. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan
Respirasi. Jakarta: EGC; 2015.
Notoatmodjo S. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Revisi ed. Jakarta: Rineka
Cipta; 2014.
Wawan A, Dewi M. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku
Manusia Dilengkapi Contoh Kuesioner. Yogyakarta: Nuha Medika; 2010.
Budiman, Riyanto A. Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan dan Sikap dalam
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika; 2014.
Fitriani S. Promosis Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2011.
Hasibuan, Moedjiono. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya; 2012.
Tabrizi A, Pourfeizi HH, Aslani H. Effect of Small Group Discussion in Residency
Education Versus Conventional Education. 2016.
Resnayati Y. Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan. Jakarta: EGC; 2012.
Kosasih E. Strategi Belajar Dan Pembelajaran Implementasi Kurikulum 2013.
Bandung: Yrama Widya; 2015.
Hamdayana J. Metodologi Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara; 2016.
Nursalam, Efendi F. Pendidikan dalam Keperawatan. Salemba Medika; 2008.
Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2014.
Sastroasmoro S, Sofyan I. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. 5th ed. Jakarta:
Sagung Seto; 2014.
Dharma KS. Metodologi Penelitian Keperawatan Panduan Melaksanakan dan
Menerapkan Hasil Penelitian. Revisi ed. Jakarta: Trans Info Media; 2011.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed
Methods). Bandung: Penerbit Alfabeta; 2017.
Dahlan MP. Besar Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. 4th ed. 2016.
Hidayat AAA. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. 1st ed.
Jakarta: Salemba Medika; 2014.
GLOBAL TUBERCULOSIS REPORT 2017. [Online]. [Cited 2017 Oct 30];
Available From: URL:
https://www.who.int/tb/publications/global_report/gtbr2017_main_text.pdf
Marlina I. InfoDatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. [Online].
2018; Available From URL:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin%20
tuberkulosis%202018.pdf
Peduli TBC, Indonesia Sehat. [Online]. [Cited 21 Maret 2018]; Available From:
URL: http://www.depkes.go.id/article/view/18032100002/peduli-tbc-
indonesia-sehat.html
Khatimah H. Diprediksi 124.000 Warga Jabar Derita Tuberkulosis. [Online]. [Cited
22 Maret 2018]; Available From URL:
https://www.ayobandung.com/read/2018/03/22/30504/diprediksi-124000-
warga-jabar-derita-tuberkulosis.
Chindo IB, Lekhraj R, Munn S. Effectiveness Of Health Education Intervention In
Improving Knowledge, Attitude, Andpractices Regarding Tuberculosis
Among HIV Patients In General Hospital Minna, Nigeria–A Randomized
Control Trial [Serial online] [Cited February 22, 2018]. Available From:
URL:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5823396/pdf/pone.0192276.p
df
Satyanarayana GK, Cheryl AM, Purushottam AG. Knowledge, Attitude And
Practices Regarding Tuberculosis Among New Pulmonary Tuberculosis
Patients In A New Urban Township In India [Serial online] [Cited November
13, 2015]. Available From: URL:
https://www.ejmanager.com/mnstemps/67/67-1447226548.pdf?t=1553789836
Yuwana HU. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Tuberkulosis Terhadap
Peningkatan Pengetahuan Dan Sikap Penderita Dalam Pencegahan Penularan
Tuberkulosis Di Puskesmas Simo [Serial online] [Cited 2016]. Available
From: URL:
http://eprints.ums.ac.id/43324/1/NASKAH%20PUBLIKASI%20NEW.pdf
Asri A. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Dengan Metode Small Group Discussion
(SGD) Terhadap Pengetahuan Tentang Tuberculosis Multidrug Resistant
Tuberculosis Pada Klien TB Paru Dipuskesmas Cipadung Kota Bandung
Tahun 2016 [Serial online] [Cited 2016]. Available From: URL:
http://ejurnal.stikesbhaktikencana.ac.id/file.php?file=preview_mahasiswa&id
=552&cd=0b2173ff6ad6a6fb09c95f6d50001df6&name=JURNAL%20ASRI
%202016.pdf
IndonesiaBaikID. (2018, Maret 5). Hati-Hati! TBC Menular [Berkas Video].
Diperoleh dari https://www.youtube.com/watch?v=odPHyH0gkjc
Prihatmawati. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Melalui Small Group Discussion
Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Ibu Usia 30-50 Tahun Tentang Asam Urat
Di Susun Jatisari Saawahan Ponjong Gunungkidul Tahun 2013 [Serial online]
[Cited 2013]. Available From: URL: http://digilib.unisayogya.ac.id/675/
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN GANGGUAN SISTEM
PERSARAFAN AKIBAT KATARAK

A. Konsep Penyakit
1. Definisi katarak
Katarak adalah opasitas lensa kristalina yang normalnya jernih. Biasanya
terjadi akibat proses penuaan tapi dapat timbul pada saat kelahiran (katarak
congenital ). Dapat juga berhubungan karena trauma mata tajam maupun tumpul,
penggunaan kortikosteroid jangka panjang, penyakit sistemis, seperti diabetes
miletus atau hipopara tiroidisme, pemajanan radiasi, pemajanan sinar matahari
(ultraviolet ) yang lama, atau kelainan mata lain seperti uveitis anterior.

2. Etiologi
Penyebab pertama katarak adalah proses penuaan. Anak dapat mengalami
katarak yang biasanya merupakan penyakit yang diturunkan, peradangan didalam
kehamilan, keadaan ini disebut sebagai katarak congenital. Penyakit infeksi
tertentu dan penyakit seperti diabetes mellitus dapat menyebabkan katarak
komplikata. Katarak dapat disebabkan oleh beberapa faktor :
 Fisik
Dengan keadaan fisik seseorang semakin tua (lemah) maka akan
mempengaruhi keadaan lensa.
 Kimia
Apabila mata terkena cahaya yang mengandung bahan kimia atau akibat
paparan ultraviolet matahari pada lensa mata dapat menyebabkan katarak.
 Usia
Dengan bertambahnya usia seseorang, maka fungsi lensa juga akan menurun
dan mengakibatkan katarak.
 Infeksi virus masa pertumbuhan janin
Jika ibu pada saat mengandung terkena atau terserang penyakit yang
disebabkan oleh virus. Virus tersebut akan mempengaruhi tahap
pertumbuhan janin. Misal ibu yang sedang mengandung menderita rubella.
 Penyakit
Meliputi penyakit diabetes dan trauma mata seperti uveitis (Andra 2013,
hal: 64).

3. Klasifikasi
Berdasarkan pada usia, katarak dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Katarak congenital, Katarak yang sudah terlihat pada usia kurang dari 1
tahun.
b. Katarak juvenile, Katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun.
c. Katarak senile, katarak setelah usia 50 tahun.
Berdasarkan penyebabnya, katarak dapat dibedakan menjadi :
a. Katarak traumatika
Katarak terjadi akibat rudapaksa atau trauma baik karena trauma tumpul
maupun tajam. Rudapaksa ini dapat mengakibatkan katarak pada satu
mata (katarak monokular).
b. Katarak toksika
Katarak yang terjadi akibat adanya pajanan dengan bahan kimia tertentu.
c. Katarak komplikata
Katarak terjadi akibat gangguan sistemik seperti diabetes melitus,
hipoparatiroidisme, atau akibat kelainan lokal seperti uveitis, glaukoma,
proses degenerasi pada satu mata lainnya.
Berdasarkan stadium, katarak senil dapat dibedakan menjadi :
- Katarak insipient
Pada stadium ini, proses degenerasi belum menyerap cairan sehingga
bilik mata depan memiliki kedalaman proses.
d. Katarak imatur
Lensa mulai menyerap cairan sehingga lensa agak cembung,
menyebabkan terjadinya miopia, dan iris terdorong ke depan serta bilik
mata depan menjadi dangakal.
e. Katarak matur
Proses degenerasi lanjut lensa. Pada stadium ini, terjadi kekeruhan
lensa.
f. Katarak hipermatur
Pada stadium ini, terjadi proses degenerasi lanjut lensa dan korteks
lensa dapat mencair sehingga nukleus lensa tenggelam didalam koteks
lensa (Anas 2011,hh.56-58).

4. Anatomi Fisiologi

Lensa adalah struktur sirkuler, lunak dan bikonveks, avaskular, tidak


berwarna dan hampir transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameter 9
mm, terletak di belakang iris, di depan badan vitreus. Titik pusat permukaan anterior
dan posterior disebut polus anterior dan polus posterior, dan garis yang melewati
kedua polus tersebut disebut aksis. Lensa tetap berada di tempatnya karena dari depan
ditekan oleh akueos humor, dari belakang ditekan oleh vitreus humor dan digantung
zonula atau ligamen suspensorium. Zonula adalah membran tipis yang menutupi
permukaan dalam badan silier, prosessus siliaris dan lensa. Permukaan posterior lensa
lebih cembung dibandingkan permukaan anterior dan lensa ini menempati fossa
hialoidea badan vitreus.
Lensa terdiri atas 3 lapisan yaitu kapsul pada bagian luar, korteks dan
nukleus pada bagian dalam. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Sesuai
dengan bertambahnya usia, serat-serat lamellar subepitel terus diproduksi sehingga
lama kelamaan menjadi lebih besar dan kurang elastik. Nucleus dan korteks terbentuk
dari lamella konsentris yang panjang dari serabut-serabut yang tepinya dihubungkan
oleh bahan yang menyerupai perekat yang tertutup di dalam suatu kapsul tipis.
Kapsul lensa adalah suatu membran yang semipermeabel yang akan memperbolehkan
air dan elektrolit masuk. Kapsul ini merupakan membrane bening yang menutup
lensa secara erat dan lebih tebal pada permukaan anterior.
Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Untuk
memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi, menegangkan
serat zonula dan memperkecil diameter anteroposterior lensa sampai ukurannya yang
terkecil, daya refraksi lensa diperkecil sehingga berkas cahaya paralel atau terfokus
ke retina. Untuk memfokuskan cahaya dari benda dekat, otot siliaris berkontraksi
sehingga tegangan zonula berkurang. Kapsul lensa yang elastik kemudian
mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis diiringi oleh peningkatan daya biasnya.
Kerjasama fisiologik tersebut antara korpus siliaris, zonula, dan lensa untuk
memfokuskan benda dekat ke retina dikenal sebagai akomodasi. Seiring dengan
pertambahan usia, kemampuan refraksi lensa perlahan-lahan berkurang. Selain itu
juga terdapat fungsi refraksi, yang mana sebagai bagian optik bola mata untuk
memfokuskan sinar ke bintik kuning, lensa menyumbang +18.0- Dioptri.
6. Pathway
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan,
berbentuk seperti kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa
mengandung 3 komponen anatomis. Pada zona sentral terdapat nukleus, di perifer
adakorteks, dan yang mengelilingi keduanya adalah kapsul anterior dan posterior.
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transportasi,
perubahan pada searabut halus multiple (zunula) yang memanjang dari badan
selier ke sekitar daerah diluar lensa misalnya dapat menyebabkan koagulasi,
sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat jalan cahaya ke retina.
Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi disertai
influks air kedalam lensa.
Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi
sinar. Katarak biasanya terjadi bilateral, namun mempunyai kecepatan yang
berbeda, dapat disebabkan oleh kejadian trauma maupun sistemis, seperti DM,
namun sebenarnya merupakan konsekuensi dari proses penuaan yang normal.
Katarak dapat bersifat kongenital dan dapat diidentifikasi awal, karena bila tidak
dapat didiagnosa dapat menyebabkan ambliopia dan kehilangan penglihatan
permanen. Faktor yang paling sering yang berperan dalam terjadinya katarak
meliputi sinar ultraviolet B, obat-obatan, alkohol, merokok, diabetes, dan asupan
vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka waktu yang lama (Andra 2013,
hh.64-65)
7. Manifestasi Klinis
a. Rasa silau karena terjadi pembiasan tidak teratur oleh lensa yang keruh.
b. Pengeliatan akan berkurang secara perlahan.
c. Pada pupil terdapat bercak putih.
d. Bertambah tebal nukleus dengan perkembangnya lapisan korteks lensa.
e. Pengelihatan kabur.
f. Rasa nyeri pada mata (Andra 2013 h.65).

8. Stadium Katarak
a. Stadium insipient
Kekaburan dimulai pada bagian perifer lensa, lambat laun mengarah
pada bagian inti lensa mata sehingga menyerupai terali besi (roda
sepeda). Pada keadaan ini biasanya katarak stasioner.
b. Stadium intumesen (imatur)
Terjadi perubahan pada lensa, dimana lensa menjadi bengkak dan
menarik cairan dari jaringan sekitar. Kelainan yang nampak pada
keadaan ini adalah myopia, astigmatisme, bayangan iris pada lensa
terlihat.
1. Stadium maturesen (matur)
Kekaburan lensa lebih padat dan lebih mudah dipisahkan dari
kapsulnya, ini merupakan stadium yang tepat untuk dilakukan operasi.
2. Stadium hipermatur
Biasanya akan ditemukan beberapa perubahan, katarak menjadi lembek,
mencair atau menjadi seperti susu.

9. Pemeriksaan Diagnostik
a. Kartu mata snellen/mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan
kerusakan kornea, lensa, akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi,
penyakit sistem saraf/penglihatan ke retina/jalan optik.
b. Lapang Penglihatan : penurunan mungkin disebabkan oleh cairan
cerebro vaskuler, massa tumor pada hipofisis otak, karotis, glukoma.
c. Pengukuran Tonografi : TIO (12 – 25 mmHg).
d. Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, mencatat atrofi
lempeng optik, papiledema, perdarahan retina, dan mikroaneurisma,
dilatasi dan pemeriksaan berlahap-lampu memastikan diagnosis katarak.
e. Darah lengkap, laju sedimentasi LED : menunjukkan anemi
sistemik/infeksi.
f. EKG, kolesterol serum, lipid.
g. Tes toleransi glukosa : kontrol DM (Andra 2013, h.66).
h. Retinometri : Tes yang dilakukan untuk mengetahui apakah penglihatan
yang turun itu disebabkan katarak atau tidak.
i. Keratometri.
j. Pemeeriksaan lampu slit.
k. A-Scan ultrasound (Echography ) Penghitungan sel endotel penting
untuk fakoemulsifikasi dan implantasi.

10. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi obat untuk katarak, dan tak dapat diambil dengan laser.
Pembedahan diindikasikan bagi mereka yang memerlukan penglihatan akut untuk
bekerja ataupun keamanan. Biasanya diindikasikan bila koreksi tajam penglihatan
yang terbaik dicapai 20/50 atau lebih buruk lagi. Pembedahan katarak paling
sering dilakukan pada orang berusia lebih dari 65 tahun. Dengan menggunakan
anestesi lokal. Ada dua macam teknik pembedahan untuk pengangkatan katarak :
a. Ekstraksi Katarak Intrakapsuler
Intra catarax exstraction (ICCE) mengeluarkan lensa secara utuh.
b. Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsuler
Extra capsular catarax extraction (ECCE) : mengeluarkan lensa dengan
merobek kapsul bagian anterior dan meninggalkan kapsul bagian posterior
(Andra 2013, h.66).

11. Komplikasi
a. Glaukoma
Kelainan yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan intra okuler
didalam bola mata, sehingga lapang pandang mengalami gangguan dan
visus mata menurun.
b. Kerusakan retina
Kerusakan retina ini terjadi terjadi setelah pascah bedah, akibat ada
robekan pada retina, cairan masuk ke belakang dan mendorong retina
atau terjadi penimbunan eksudat dibawah retina sehingga terangkat.
c. Infeksi
Ini bisa terjadi setelah pasca bedah karena kurangnya perawatan yang
tidak edekuat (Andra 2013, hal: 67).

12. Diagnosa Keperawatan


a. Gangguan persepsi sensori visual / penglihatan berhubungan dengan
perubahan resepsi, transmisi dan / atau integrasi sensori.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik.
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (extraksi
katarak).
d. Ansietas berhubungan dengan Perubahan pada status kesehatan.
e. Resiko tinggi terhadap cidera brhubungan dengan Keterbatasan
penglihatan
13. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
b. Riwayat
Riwayat penyakit : trauma mata, penggunaan obat kortikosteroid,
penyakit diabetes melitus, hipotiroid, uveitis, glaukoma.
Riwayat keluhan gangguan : stadium katarak.
Riwayat penyakit keluarga.
Psikososial : kemampuan aktivitas, gangguan membaca, resiko jatuh,
berkendaraan.
c. Pengkajian umum
 Riwayat Pola Persepsi Kesehatan dan Manajemen Kesehatan
Klien mengalami bahwa ketajaman penglihatannya menurun, silau dan
sering menabrak perabotan dan benda di sekitar rumah pada malam hari.
Selain itu klien juga merasa bahwa pandangannya kabur dan tidak melihat
perbedaan tinggi lantai.
 Pola Nutrisi Metabolik
Kaji bagaimana pola nutrisi klien, makanan dan cairan apa yang
disukai klien ataupun pantangan klien. Apakah klien merasa mual atau
muntah. Dan bagaimana klien dengan pola nutrisinya sewaktu sebelum
sakit dan sekarang.
 Pola Eliminasi-Defekasi
Kaji bagaimana pola eliminasi dan defekasi klien. Tanyakan
bagaimana warna, jumlah, bau, konsistensi eliminasi dan defekasi klien.
Apakah mengalami perubahan karena penyakit yanh diderita klien atau
tidak. Apakah klien mengalami diare atau wasir.
 Pola Aktivitas dan Latihan
Klien mengatakan bahwa ketajaman penglihatannya menurun, silau
dan sering menabrak perabotan dan benda di sekitar rumah pada malam
hari. Selain itu klien juga merasa bahwa pandangannya kabur dan tidak
melihat perbedaan tinggi lantai. Kaji bagaimana pola aktivitas dan latihan
klien, apakah mengalami gangguan atau tidak. Kaji apakah klien dapat
melakukan aktivitasnya sendiri atau dibantu keluarga.
 Pola Tidur dan Istirahat
Kaji bagaimana pola istirahat dan tidur klien selama sakit dan
bandingkan dengan pola tidur klien sebelum sakit, apakah terjadi
perubahan atau tidak. Kaji kepuasan klien terhadap istirahat dan tidur
klien tersebut.
 Pola Kognitif-perseptual
Klien mengalami penurunan ketajaman penglihatan, klien sering
merasa silau dalam melihat sesuatu hal dan mengakibatkan klien sering
menabrak perabotan dan benda disekitar rumah pada malam hari. Klien
juga mengatakan bahwa penglihatannya kabur dan susah melihat
perbedaan tinggi lantai.
 Pola Persepsi Konsep Diri
Klien mengalami kecemasan setelah berkonsultasi dengan dokter.
Klien mengatakan bahwa dia mendengar bahwa proses pengobatan yang
disarankan dokter terjadi juga pada tetangga klien dan hasilnya matanya
semakin mengalami keparahan.
 Pola Peran dan Hubungan
Kaji bagaimana peran klien dalam keluarga dan lingkungannya. Dan
kaji bagaimana hubungan klien dengan anggota keluarga dan lingkungan
disekitar temapat tinggal klien tersebut.
 Pola Seksualitas dan Reproduksi
Biasanya terjadi penurunan seksualitas karena kondisi klien yang
lemah dan nyeri yang dirasakan.
 Pola Koping dan Toleransi Stress
Kaji bagaimana klien menghadapi stres yang dialaminya dan siapa saja
yang biasa membantu klien dalam menghadapi stres yang klien rasakan.
 Pola Nilai dan Kepercayaan
Aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan aktivtas.
 Rencana keperawatan

Diagnosa 1
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam klien melaporkan atau
memeragakan kemampuan yang lebih baik untuk proses rangsang penglihatan dan
mengkomunikasikan perubahan visual.
Kriteria hasil :
 Klien dapat mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi
penglihatan.
 Klien dapat mengidentifikasi dan menunjukan pola-pola alternative untuk
meningkatkan penerimaan rangsang penglihatan. (Tidak memberikan cahaya
yang terlalu terang saat memberikan rangsangan.
Intervensi Rasional
1. Kaji dan dokumentasikan ketajaman 1. Menentukan seberapa bagus visus klien
penglihatan (visus) dasar
2. Dapatkan deskripsi fungsi tentang apa 2. Memberikan data dasar tentang
yang bisa dan tidak bisa dilihat oleh pandangan akurat klien dan bagaimana
klien hal tersebut memengaruhi perawatan
3. Adaptasikan lingkungan dengan 3. Memfasilitasi kebebasan bergerak
kebutuhan visual klien dengan cara dengan aman
orientasikan klien padalingkungan
4. Letakkan alat-alat yang sering 4. Mengemambangkan tindakan
digunakan dalam pandangan klien indevenden dan meningkatkan
(seperti, tv control, teko, tisu) keamanan
5. Berikan pencahayaan yang paling 5. Meningkatkan penglihatan klien lokasi
sesuai dengan klien katarak akan memengaruhi apakah
6. Cegah glare (sinar yang menyilaukan) cahaya gelap atau terang yang lebih
7. Tentukan ketajaman penglihatan, catat baik
apakah satu atau kedua mata terlibat 6. Mencegah distres. Katarak akan
8. Ingatkan pasien menggunakan memecah sinar lampu yang akan
kacamata katarak yang tujuannya menyebabkan distres
memperbesar kurang lebih 25%, 7. Kehilangan pengihatan terjadi lambat
penglihatan ferifer hilang. Dan buta dan progresif, tiap mata dapat berlanjut
titik mungkin ada dengan laju yang berbeda, tetapi
biasanya hanya satu mata yang
diperbaiki per prosedur.
8. Perubahan ketajaman penglihatan dan
kedalaman persepsi dapat
menyebabkan bingung penglihatan/
meningkatkan resiko cedera sampai
pasien belajar untuk mengkompensasi

Diagnosa 2
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam nyeri
berkurang, hilang dan terkontrol.
 Kriteria hasil : Klien dapat mendemonstrasikan tehnik penurunan nyeri.
 Klien dapat melaporkan nyeri berkurang atau hilang dari skala 6 ke skala 3
Intervensi Rasional

Kaji derajat nyeri setiap hari Normalnya nyeri terjadi dalam waktu
kurang dari lima hari setelah operasi dan
berangsur menghilang.
Ajarkan klien teknik relaksasi dan Menurunkan ketegangan, mengurangi
distraksi nyeri
Lakukan tindakan kolaboratif untuk Mengurangi nyeri dengan meningkatkan
pemberian analgesic topical atau sistemik ambang nyeri.

Diagnosa 3
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24jam faktor resiko infeksi
tidak terjadi
Kriteria hasil :
Klien dapat melakukan pencegahan infeksi
Tidak adanya tanda tanda infeksi ( rubor, dolor, color, tumor, fungtiolaesa)
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Diskusikan pentingnya mencuci 1. Menurunkan jumlah bakteri pada
tangan sebelum menyentuh/mengobati tangan, mencegah area kontaminasi
mata area operasi
2. Gunakan/tunjukkan teknik yang tepat 2. Teknik aseptic menurunkan resiko
untuk membersihkan mata dari dalam penyebaran bakteri dan kontaminasi
ke luar dengan kassa untuk tiap silang.
usapan, ganti balutan, dan masukkan 3. Mencegah kontaminasi dan kerusakan
lensa kontak bila menggunakan. sisi operasi Infeksi mata terjadi 2-3 hari
3. Tekankan pentingnya tidak setelah prosedur dan memerlikan upaya
menyentuh/menggaruk mata yang intervensi.
dioperasi. 4. Infeksi mata terjadi 2-3 hari setelah
4. Observasi tanda terjadinya infeksi prosedur dan memerlikan upaya
contoh kemerahan, kelopak bengkak, intervensi.
drainase purulen. Identifikasi tindakan
kewaspadaan bila terjadi ISK.
dioperasi.
Kolaborasi
1. Berikan obat sesuai indikasi: 1. Topikal digunakan secara profilaksis,
Antibiotik (topical, parenteral, atau dimana terapi lebih agresif diperlukan
subkonjungtival) bila terjadi infeksi.
2. Steroid 2. Digunakan untuk menurunkan
inflamasi.

Diagnosa 4
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam tidak
terjadi kecemasan.
Kriteria hasil :
 Klien mengungkapkan kecemasan hilang atau minimal.
 Klien berpartisipasi dalam persiapan operasi.
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat ansietas derajat
Faktor ini mempengaruhi persepsi pasien
pengalaman nyeri/timbulnya secara terhadap ancaman diri, potensial siklus
tiba-tiba dan pengetahuan kondisi ansietas
saat ini.
2. Dorong pasien untuk mengukur Memberikan kesempatan untuk pasien
masalah dan mengekspresikan menerima situasi nyata mengklasifikasi
perasaan salah satu konsepsi dan pemecahan
masalah
3. Identifikasi sumber orang yang dapat Memberikan keyakinan bahwa pasien
mendorong semangat klien tidak sendiri dalam menghadapi masalah

Diagnosa 5
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam tidak terjadi
cedera mata akibat katarak
Kriteria hasil :
 Klien dapat menyebutkan faktor yang menyebabkan cedera.
 Klien tidak melakukan aktivitas yang meningkatkan resiko cedera
Intervensi Rasional
1. Bantu pasien ketika mampu 1. Menurunkan resiko jatuh atau cedera
melakukan ambulasi secara mandiri. ketika langkah sempoyongan atau
2. Bantu pasien menata lingkungan. ketika melihat cahaya yang terlalu
Jangan mengubah penataaan meja- terang
kursi tanpa pasien diorentasi terlebih 2. Memfasilitasi kemandirian dan
dahulu. menurunkan resiko cedera.
3. Orintasikan pasien pada ruangan. 3. Meningkatkan keamanan mobilitas
4. Jangan memberikan tekanan pada dalam lingkungan.
mata yang terkena trauma. 4. Tekanan pada mata dapat
5. Gunakan prosedur yang memadai mengakibatkan kerusakan serius lebih
ketika memberikan obat mata. lanjut.
5. Cedera dapat terjadi bila wadah obat
menyentuh mata.
DAFTAR PUSTAKA

http://fitrihiperemesis.blogspot.com/2011/03/asuhan-keperawatan-dengan-
pasien.html diunduh 12 september 2013
http://hanyasekedarblogg.blogspot.com/2013/07/pathway-katarak.html diunduh 12
september 2013 pukul 17.56
http://id.wikipedia.org/wiki/Katarak 1 diunduh pada 3 sept 21.33.
http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35543-
Kep%20Sensori%20dan%20Persepsi-Askep%20Katarak.html Diunduh pada
13 sept 2013 22.15.
lyas Sidarta, 2004 , Ilmu Perawatan Mata, Jakarta: CV. Sagung Seto 2009 , Ilmu
Penyakit Mata, Jakarta : FKUI
Nanda, Buku Saku Diagnosa Keperawatan definisi keperawatan dan klasifikasi 2012-
2014, jakarta: EGC
Tamsuri, Anas, 2011 , Klien Gangguan Mata Dan Penglihatan : Keperawatan
Medikal-Bedah. Jakarta : EGC
Wijaya, Saferi A, 2013 , Keperawatan Medikal Bedah keperawatan dewasa teori dan
contoh askep cetakan pertama,Jakarta: Nuha Medika
Wilkinson, Judith M. 2011, Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9 Diagnosa
NANDA Intervensi NIC Kriteria hasil NOC, Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai