DAN ASMA
Disusun Oleh:
Kelompok 2-1
Septiani Rudini 4119048
Siti Nurmaida 4119052
Olivia Septyastari Muhtar 4119053
Aisyah Nurfaidah Alifiani 4119054
Anggun Welelma Malindir 4119055
Rini Oktorani 4119056
Risma 4119065
Navila Ichaura 4119071
Nira Naprista 4119072
Iman Permana 4119095
Laode Muhammad Mizwar 4119000
A. Konsep Penyakit
1. Definisi Asma
Asma merupakan gangguan radang kronik saluran napas. Saluran napas
yang mengalami radang kronik bersifat hiperresponsif sehingga apabila
terangsang oleh factor risiko tertentu, jalan napas menjadi tersumbat dan
aliran udara terhambat karena konstriksi bronkus, sumbatan mukus, dan
meningkatnya proses radang (Almazini, 2012). Asma adalah suatu keadaan di
mana saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap
rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan, penyempitan ini bersifat
sementara. Asma dapat terjadi pada siapa saja dan dapat timbul disegala usia,
tetapi umumnya asma lebih sering terjadi pada anak-anak usia di bawah 5
tahun dan orang dewasa pada usia sekitar 30 tahunan (Saheb, 2011).
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperresponsivitas saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk terutama malam hari dan
atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran napas
yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan (Boushey, 2005; Bousquet, 2008). Istilah asma berasal dari kata
Yunani yang artinya “terengah-engah” dan berarti serangan nafas pendek
(Price, 1995 cit Purnomo 2008). Nelson (1996) dalam Purnomo (2008)
mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi)
dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik
dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal), musiman,
adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik
secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau
atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah
disingkirkan.
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for
Asthma (GINA) (2006) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik
saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil,
dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam
atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan
nafas yang luas namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik
secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan
dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan. Asma
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh keadaan saluran nafas yang
sangat peka terhadap berbagai rangsangan, baik dari dalam maupun luar
tubuh. Akibat dari kepekaan yang berlebihan ini terjadilah penyempitan
saluran nafas secara menyeluruh (Abidin, 2002).
3. Etiologi Asma
Sampai saat ini etiologi dari asma belum diketahui. Suatu hal yang yang
menonjol pada penderita asma adalah fenomena hiperaktivitas bronkus.
Bronkus penderita asma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun
non imunologi. Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang sering
menimbulkan Asma adalah: (Smeltzer & Bare, 2002).
a. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen
atau alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu
binatang.
b. Faktor intrinsik (non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen, seperti
common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan
lingkungan dapat mencetuskan serangan.
c. Asma gabungan : bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik
Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi
pencetus asma :
a. Pemicu Asma (Trigger)
Pemicu asma mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran
pernapasan (bronkokonstriksi). Pemicu tidak menyebabkan peradangan.
Trigger dianggap menyebabkan gangguan pernapasan akut, yang belum
berarti asma, tetapi bisa menjurus menjadi asma jenis intrinsik. Gejala-
gejala dan bronkokonstriksi yang diakibatkan oleh pemicu cenderung
timbul seketika, berlangsung dalam waktu pendek dan relatif mudah
diatasi dalam waktu singkat. Namun, saluran pernapasan akan bereaksi
lebih cepat terhadap pemicu, apabila sudah ada, atau sudah terjadi
peradangan. Umumnya pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi
adalah perubahan cuaca, suhu udara, polusi udara, asap rokok, infeksi
saluran pernapasan, gangguan emosi, dan olahraga yang berlebihan.
b. Penyebab Asma (Inducer)
Penyebab asma dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) dan sekaligus
hiperresponsivitas (respon yang berlebihan) dari saluran pernapasan.
Inducer dianggap sebagai penyebab asma yang sesungguhnya atau asma
jenis ekstrinsik. Penyebab asma dapat menimbulkan gejala-gejala yang
umumnya berlangsung lebih lama (kronis), dan lebih sulit diatasi.
Umumnya penyebab asma adalah alergen, yang tampil dalam bentuk
ingestan (alergen yang masuk ke tubuh melalui mulut), inhalan (alergen
yang dihirup masuk tubuh melalui hidung atau mulut), dan alergen yang
didapat melalui kontak dengan kulit ( VitaHealth, 2006).
Sedangkan Lewis et al. (2000) tidak membagi pencetus asma secara spesifik.
Menurut mereka, secara umum pemicu asma adalah:
a. Faktor predisposisi
Genetik : Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita
penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit Asma Bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus.
Selain itu hipersensitivitas saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
1) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu,
bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan (seperti
buah-buahan dan anggur yang mengandung sodium
metabisulfide) dan obat-obatan (seperti aspirin, epinefrin, ACE -
inhibitor, kromolin).
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh :
perhiasan, logam dan jam tangan
Pada beberapa orang yang menderita asma respon terhadap Ig E
jelas merupakan alergen utama yang berasal dari debu, serbuk
tanaman atau bulu binatang. Alergen ini menstimulasi reseptor Ig E
pada sel mast sehingga pemaparan terhadap faktor pencetus alergen
ini dapat mengakibatkan degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast
seperti histamin dan protease sehingga berakibat respon alergen
berupa asma.
2) Olahraga
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Serangan asma
karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai beraktifitas. Asma
dapat diinduksi oleh adanya kegiatan fisik atau latihan yang disebut
sebagai Exercise Induced Asthma (EIA) yang biasanya terjadi beberapa
saat setelah latihan.misalnya: jogging, aerobik, berjalan cepat, ataupun
naik tangga dan dikarakteristikkan oleh adanya bronkospasme, nafas
pendek, batuk dan wheezing. Penderita asma seharusnya melakukan
pemanasan selama 2-3 menit sebelum latihan.
a) Infeksi bakteri pada saluran napas
Infeksi bakteri pada saluran napas kecuali sinusitis mengakibatkan
eksaserbasi pada asma. Infeksi ini menyebabkan perubahan inflamasi
pada sistem trakeo bronkial dan mengubah mekanisme mukosilia.
Oleh karena itu terjadi peningkatan hiperresponsif pada sistem
bronkial.
b) Stres
Stres / gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
Penderita diberikan motivasi untuk mengatasi masalah pribadinya,
karena jika stresnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa
diobati.
c) Gangguan pada sinus
Hampir 30% kasus asma disebabkan oleh gangguan pada sinus,
misalnya rhinitis alergik dan polip pada hidung. Kedua gangguan ini
menyebabkan inflamasi membran mukus.
d) Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi Asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan Asma. Kadangkadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau.
4. Patofisiologi
Tiga unsur yang ikut serta pada obstruksi jalan udara penderita asma
adalah spasme otot polos, edema dan inflamasi membran mukosa jalan
udara, dan eksudasi mucus intraliminal, sel-sel radang dan debris selular.
Obstruksi menyebabkan pertambahan resistensi jalan udara yang
merendahkan volume ekspresi paksa dan kecepatan aliran, penutupan
prematur jalan udara, hiperinflasi paru, bertambahnya kerja pernafasan,
perubahan sifat elastik dan frekuensi pernafasan. Walaupun jalan udara
bersifat difus, obstruksi menyebabkan perbedaaan satu bagian dengan bagian
lain, ini berakibat perfusi bagian paru tidak cukup mendapat ventilasi dan
menyebabkan kelainan gas-gas darah terutama penurunan pCO2 akibat
hiperventilasi.
Pada respon alergi di saluran nafas, antibodi IgE berikatan dengan
alergen menyebabkan degranulasi sel mast. Akibat degranulasi tersebut,
histamin dilepaskan. Histamin menyebabkan konstriksi otot polos
bronkiolus. Apabila respon histamin berlebihan, maka dapat timbul spasme
asmatik. Karena histamin juga merangsang pembentukan mukkus dan
meningkatkan permiabilitas kapiler, maka juga akan terjadi kongesti dan
pembengkakan ruang iterstisium paru. Individu yang mengalami asma
mungkin memiliki respon IgE yang sensitif berlebihan terhadap sesuatu
alergen atau sel-sel mast-nya terlalu mudah mengalami degranulasi. Di
manapun letak hipersensitivitas respon peradangan tersebut, hasil akhirnya
adalah bronkospasme, pembentukan mukus, edema dan obstruksi aliran
udara.
5. Komplikasi
a. Mengancam pada gangguan keseimbangan asam basa dan gagal
nafas
b. Chronic persisten bronchitis
c. Bronchitis
d. Pneumonia
e. Emphysema
f. Meskipun serangan asma jarang ada yang fatal, kadang terjadi reaksi
kontinu yang lebih berat, yang disebut “status asmatikus”, kondisi ini
mengancam hidup (Smeltzer & Bare, 2002).
7. Patofisiologi
Tiga unsur yang ikut serta pada obstruksi jalan udara penderita asma
adalah spasme otot polos, edema dan inflamasi membran mukosa jalan
udara, dan eksudasi mucus intraliminal, sel-sel radang dan debris selular.
Obstruksi menyebabkan pertambahan resistensi jalan udara yang
merendahkan volume ekspresi paksa dan kecepatan aliran, penutupan
prematur jalan udara, hiperinflasi paru, bertambahnya kerja pernafasan,
perubahan sifat elastik dan frekuensi pernafasan. Walaupun jalan udara
bersifat difus, obstruksi menyebabkan perbedaaan satu bagian dengan bagian
lain, ini berakibat perfusi bagian paru tidak cukup mendapat ventilasi dan
menyebabkan kelainan gas-gas darah terutama penurunan pCO2 akibat
hiperventilasi.
Pada respon alergi di saluran nafas, antibodi IgE berikatan dengan
alergen menyebabkan degranulasi sel mast. Akibat degranulasi tersebut,
histamin dilepaskan. Histamin menyebabkan konstriksi otot polos
bronkiolus. Apabila respon histamin berlebihan, maka dapat timbul spasme
asmatik. Karena histamin juga merangsang pembentukan mukkus dan
meningkatkan permiabilitas kapiler, maka juga akan terjadi kongesti dan
pembengkakan ruang iterstisium paru. Individu yang mengalami asma
mungkin memiliki respon IgE yang sensitif berlebihan terhadap sesuatu
alergen atau sel-sel mast-nya terlalu mudah mengalami degranulasi. Di
manapun letak hipersensitivitas respon peradangan tersebut, hasil akhirnya
adalah bronkospasme, pembentukan mukus, edema dan obstruksi aliran
udara.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan sputum
Pada pemeriksaan sputum ditemukan :
1) Kristal –kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari
kristal eosinofil.
2) Terdapatnya Spiral Curschman, yakni spiral yang merupakan
silinder sel-sel cabang-cabang bronkus
3) Terdapatnya Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus
4) Terdapatnya neutrofil eosinofil
b. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah yang rutin diharapkan eosinofil meninggi,
sedangkan leukosit dapat meninggi atau normal, walaupun terdapat
komplikasi asma :
1) Gas analisa darah
Terdapat hasil aliran darah yang variabel, akan tetapi bila terdapat
peninggian PaCO2 maupun penurunan pH menunjukkan
prognosis yang buruk
2) Kadang –kadang pada darah terdapat SGOT dan LDH yang
meninggi
3) Hiponatremi 15.000/mm3 menandakan terdapat infeksi
4) Pada pemeriksaan faktor alergi terdapat IgE yang meninggi pada
waktu seranggan, dan menurun pada waktu penderita bebas dari
serangan.
5) Pemeriksaan tes kulit untuk mencari faktor alergi dengan berbagai
alergennya dapat menimbulkan reaksi yang positif pada tipe asma
atopik.
c. Foto rontgen
Pada umumnya, pemeriksaan foto rontgen pada asma normal. Pada
serangan asma, gambaran ini menunjukkan hiperinflasi paru berupa
rradiolusen yang bertambah, dan pelebaran rongga interkostal serta
diagfragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi,
kelainan yang terjadi adalah :
1) Bila disertai dengan bronkhitis, bercakan hilus akan bertambah
2) Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD) menimbulkan
gambaran yang bertambah.
3) Bila terdapat komplikasi pneumonia maka terdapat gambaran
infiltrat pada paru.
d. Pemeriksaan faal paru
1) Bila FEV1 lebih kecil dari 40%, 2/3 penderita menujukkan
penurunan tekanan sistolenya dan bila lebih rendah dari 20%,
seluruh pasien menunjukkan penurunan tekanan sistolik.
2) Terjadi penambahan volume paru yang meliputi RV hampi terjadi
pada seluruh asma, FRC selalu menurun, sedangan penurunan
TRC sering terjadi pada asma yang berat.
e. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi selama terjadi serangan asma dapat
dibagi atas tiga bagian dan disesuaikan dengan gambaran emfisema
paru, yakni:
1) Perubahan aksis jantung pada umumnya terjadi deviasi aksis ke
kanan dan rotasi searah jarum jam
2) Terdapatnya tanda-tanda hipertrofi jantung, yakni tedapat RBBB
3) Tanda-tanda hipoksemia yakni terdapat sinus takikardi, SVES,
dan VES atau terjadinya relatif ST depresi.
9. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan asma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non
farmakologik dan pengobatan farmakologik.
a. Pengobatan non farmakologik
1) Penyuluhan
Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien
tentang penyakit asthma sehinggan klien secara sadar menghindari
faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat secara benar dan
berkonsoltasi pada tim kesehatan.
2) Menghindari faktor pencetus
Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma
yang ada pada lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari
dan mengurangi faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan yang
cukup bagi klien.
3) Fisioterapi
Fisioterapi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran
mukus. Ini dapat dilakukan dengan drainage postural, perkusi dan
fibrasi dada.
b. Pengobatan farmakologik
1) Agonis beta
Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan
jarak antara semprotan pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang
termasuk obat ini adalah metaproterenol (Alupent, metrapel).
2) Metil Xantin
Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini
diberikan bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg empatkali
sehari.
3) Kortikosteroid
Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang
baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol
(beclometason dipropinate) dengan disis 800 empat kali semprot
tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek
samping maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi
dengan ketat.
4) Kromolin
Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anak-anak
Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.
5) Ketotifen
Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg perhari.
Keuntunganya dapat diberikan secara oral.
6) Iprutropioum bromide (Atroven)
Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan
bersifat bronkodilator.
c. Pengobatan selama serangan status asthmatikus
1) Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
2) Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul
3) Aminophilin bolus 5 mg / kg bb diberikan pelan-pelan selama
20 menit dilanjutka drip Rlatau D5 mentenence (20
tetes/menit) dengan dosis 20 mg/kg bb/24 jam
4) Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara sub kutan.
5) Dexametason 10-20 mg/6jam secara intra vena.
6) Antibiotik spektrum luas.
Kurang Hipoksemia
pengetahuan Pola nafas
Penyempitan jalan nafas tidak
efektif
Asidosis
Intoleransi metabolik
Peningkatan kerja pernafasan
aktivitas
Hiperventilasi Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan
Retensi CO2
Asidosis respiratorik
D. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan tachipnea,
peningkatan produksi mukus, kekentalan sekresi dan
bronchospasme.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
kapiler – alveolar.
3. Pola Nafas tidak efektif berhubungan dengan penyempitan bronkus
4. Nyeri akut; ulu hati berhubungan dengan proses penyakit.
5. Cemas berhubungan dengan kesulitan bernafas dan rasa takut
sufokasi.
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan faktor psikologis dan biologis yang mengurangi
pemasukan makanan.
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan faktor-faktor pencetus
asma.
8. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan batuk persisten dan
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan tubuh.
9. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.
E. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
No
(NANDA) (NOC) (NIC)
1. Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan Airway
efektif berhubungan dengan tindakan keperawatan Management
tachipnea, peningkatan selama 3 x 24 jam, Buka jalan nafas,
produksi mukus, kekentalan diharapkan pasien guanakan teknik
sekresi dan bronchospasme mampu : chin lift atau jaw
Respiratory status : thrust bila perlu
ventilation Posisikan pasien
Respiratory status : untuk
airway patency memaksimalkan
Aspiration control. ventilasi
Dengan kriteria hasil : Identifikasi
Mendemonstrasikan pasien perlunya
batuk efektif dan pemasangan alat
suara nafas yang jalan nafas
bersih, tidak ada buatan
sianosis dan dyspneu Pasang mayo bila
(mampu perlu
mengeluarkan Lakukan
sputum, mampu fisioterapi dada
bernafas dengan jika perlu
mudah, tidak ada Keluarkan sekret
pursed lips) dengan batuk
Menunjukkan jalan atau suction
nafas yang paten Auskultasi suara
(klien tidak merasa nafas, catat
tercekik, irama nafas, adanya suara
frekuensi pernafasan tambahan
dalam rentang Lakukan suction
normal, tidak ada pada mayo
suara nafas abnormal) Berikan
Mampu bronkodilator bila
mengidentifikasikan perlu
dan mencegah factor Berikan
yang dapat pelembab udara
menghambat jalan Kassa basah
nafas NaCl Lembab
Atur intake untuk
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
Monitor respirasi
dan status O2
Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan Airway
berhubungan dengan tindakan keperawatan Management
perubahan membran kapiler selama 3 x 24 jam, Buka jalan nafas,
– alveolar diharapkan pasien gunakan teknik
mampu : chin lift atau jaw
Respiratory Status : thrust bila perlu
Gas exchange Posisikan pasien
Respiratory Status : untuk
ventilation memaksimalkan
Vital Sign Status ventilasi
Dengan kriteria hasil : Identifikasi
Mendemonstrasikan pasien perlunya
peningkatan ventilasi pemasangan alat
2.
dan oksigenasi yang jalan nafas
adekuat buatan
Memelihara Pasang mayo bila
kebersihan paru paru perlu
dan bebas dari tanda Lakukan
tanda distress fisioterapi dada
pernafasan jika perlu
Mendemonstrasikan Keluarkan sekret
batuk efektif dan dengan batuk
suara nafas yang atau suction
bersih, tidak ada Auskultasi suara
sianosis dan dyspneu nafas, catat
(mampu adanya suara
mengeluarkan tambahan
sputum, mampu Lakukan suction
bernafas dengan pada mayo
mudah, tidak ada Berikan
pursed lips) bronkodilator bial
Tanda tanda vital perlu
dalam rentang Berikan
normal pelembab udara
Atur intake untuk
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
Monitor respirasi
dan status O2.
Respiratory
Monitoring
Monitor rata –
rata, kedalaman,
irama dan usaha
respirasi
Catat pergerakan
dada,amati
kesimetrisan,
penggunaan otot
tambahan,
retraksi otot
supraclavicular
dan intercostal
Monitor suara
nafas, seperti
dengkur
Monitor pola
nafas : bradipena,
takipenia,
kussmaul,
hiperventilasi
Catat lokasi
trakea
Monitor
kelelahan otot
diagfragma
(gerakan
paradoksis)
Auskultasi suara
nafas, catat area
penurunan / tidak
adanya ventilasi
dan suara
tambahan
Tentukan
kebutuhan
suction dengan
mengauskultasi
crakles dan
ronkhi pada jalan
napas utama
Auskultasi suara
paru setelah
tindakan untuk
mengetahui
hasilnya
Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan Airway
berhubungan dengan tindakan keperawatan Management
penyempitan bronkus selama 3 x 24 jam, Buka jalan nafas,
diharapkan pasien guanakan teknik
mampu : chin lift atau jaw
Respiratory status : thrust bila perlu
Ventilation Posisikan pasien
Respiratory status : untuk
Airway patency memaksimalkan
Vital sign Status ventilasi
Dengan Kriteria Hasil : Identifikasi
Mendemonstrasikan pasien perlunya
batuk efektif dan pemasangan alat
3. suara nafas yang jalan nafas
bersih, tidak ada buatan
sianosis dan dyspneu Pasang mayo bila
(mampu perlu
mengeluarkan Lakukan
sputum, mampu fisioterapi dada
bernafas dengan jika perlu
mudah, tidak ada Keluarkan sekret
pursed lips) dengan batuk
Menunjukkan jalan atau suction
nafas yang paten Auskultasi suara
(klien tidak merasa nafas, catat
tercekik, irama nafas, adanya suara
frekuensi pernafasan tambahan
dalam rentang Lakukan suction
normal, tidak ada pada mayo
suara nafas abnormal) Berikan
Tanda Tanda vital bronkodilator bila
dalam rentang normal perlu
(tekanan darah, nadi, Berikan
pernafasan) pelembab udara
Kassa basah
NaCl Lembab
Atur intake untuk
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
Monitor respirasi
dan status O2
Terapi Oksigen
Bersihkan mulut,
hidung dan secret
trakea
Pertahankan jalan
nafas yang paten
Atur peralatan
oksigenasi
Monitor aliran
oksigen
Pertahankan
posisi pasien
Observasi adanya
tanda tanda
hipoventilasi
Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap
oksigenasi.
Vital sign
Monitoring
Monitor TD,
nadi, suhu, dan
RR
Catat adanya
fluktuasi tekanan
darah
Monitor VS saat
pasien berbaring,
duduk, atau
berdiri
Auskultasi TD
pada kedua
lengan dan
bandingkan
Monitor TD,
nadi, RR,
sebelum, selama,
dan setelah
aktivitas
Monitor kualitas
dari nadi
Monitor
frekuensi dan
irama pernapasan
Monitor suara
paru
Monitor pola
pernapasan
abnormal
Monitor suhu,
warna, dan
kelembaban kulit
Monitor sianosis
perifer
Monitor adanya
cushing triad
(tekanan nadi
yang melebar,
bradikardi,
peningkatan
sistolik)
Identifikasi
penyebab dari
perubahan vital
sign
DAFTAR PUSTAKA
A. Konsep Penyakit
a. Definisi Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu keadaan dimana terdapat pengurangan
jaringan tulangper unit volume, sehingga tidak mampu melindungi atau
mencegah terjadinya fraktur terhadap trauma minimal (Noer, Sjaifoellah.
1996).
Osteoporosis adalah suatu keadaan berkurangnya masa tulang
sedemikian sehingga dengan trauma minimal tulang akan patah. WHO
memberikan definisi terakhir sebagai berikut : adalah penurunan masa tulang
> 2,5 kali standard deviasi (simpangan) massa tulang rata-rata dari populasi
usia muda disertai perubahan pada mikro-arsitektur tulang, yang
menyebabkannya menjadi lebih mudah patah.
Tulang secara progresif menjadi potus, rapuh dan mudah patah; tulang
mudah fraktur dengan stres yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada
tulang normal. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur kompresi vertebra
torakalos dan lumbalis, fraktur daerah kolum femoris dan daerah trokharter,
dan patah tulang colles pada pergelangan tangan. Fraktur kompresi ganda
vertebra mengakibatkan deformtas skelet. Pengurangan massa tulang tersebut
tidak disertai dengan adanya perubahan perbandingan antara substansi
mineral dan organik tulang. Secara histopatologis osteoporosis ditandai oleh
berkurangnya ketebalan korteks disertai dengan berkurangnya jumlah
maupun ukuran trabekula tulang. Dengan demikian dari luar nampaknya
ukuran anatomis tulang tersebut dalam batas normal. Kifosis. Kolaps bertahap
tulangvertebra mungkin tidak menimbulkan gejala; hanya trelihat sebagai
kifosis (“dowager’ hump”), terjadi pengurangan tinggi badan. Beberapa
wanita pasca menopouse dapat kehilangan tinggi 2,5–15 cm (1-6 inci) akibat
kolaps vetebrata. Perubahan postural mengakibatkan relaksasi otot abnominal
dan akibatnya perut menonjol. Deformitas ini juga dapat mengakibatkan
insufisiensi paru. Kebanyakan pasien ini mengeluh kelelahan.
Kehilangan massa tulang merupakan fenomena universal yang berkaitan
dengan usia. Kalsitonin yang menghambat resorpsi tulang dan merangsang
pembentukan tulang mengalami penurunan. Estrogen yang menghambat
pemecahan tulang, juga bertambahnya usia. Hormon paratiroid, di sisi lain,
meningkat bersama bertambahnya usia dan peningkatan responsi tulang.
Konsekuensi perubahan ini adalah pengeroposan tulang seiring berjalannya
waktu. Wanita lebih sering mengalami osteoporosis dan lebih ekstensif dari
pada pria karena puncak massa tulang lebih rendah dan efek kehilangan
estrogen selama menopouse. Lebih setengah dari semua wanita di atas usia 45
memperlihatkan bukti pada sinar-X adanya osteoporosis.
Identifikasi awal wanita usia belasan dan dewasa muda yang mempunyai
risiko tinggi dan pendidikan untuk meningkatkan asupan kalsium,
berpartisipasi dalam latihan pembebanan berat badan teratur, dan mengubah
gaya hidup (misalnya : mengurangi penggunaan kafein, sigaret dan alkohol)
akan menurunkan risiko terjadinya osteoporosis, fraktur tulang, dan kecacatan
yang diakibatkannya pada usia lanjut. (MN, 2013)
Skema Tulang
Susunan Kerangka :
a. Tulang Kepala
1) Tengkorang otak 8 buah
2) Tengkorak wajah 14 buah
3) Tulang telinga 6 buah
4) Tulang lidah 1 buah
b. Kerangka dada 25 buah
c. Tulang belakang dan pinggul 26 buah
d. Tulang anggota gerak atas 64 buah
e. Tulang anggota gerak bawah 62 buah
Bagian-bagian tulang :
- Foramen (lubang pada tulang)
- Fosa (lekuk tulang)
- Prosesus (taju/tonjolan tulang)
- Kondilus (taju bundar)
- Tuberkel (tonjolan kecil)
- Tuberositas (tonjolan besar)
- Trokanter (tonjolan besar tilang paha)
- Krista (tepi tulang usus)
- Spina (tonjolan pada tulang usus)
- Kaput (kepala tulang)
Fungsi Tulang
Fungsi tulang terbagi 2 yaitu umum dan khusus
a. Fungsi tulang secara umum
1) Formasi kerangka: tulang – tulang membentuk rangka tubuh
untuk menentukan bentuk dan ukuran tubuh, tulang – tulang
menyokong struktur tubuh yang lain.
2) Formasi sendi: tulang – tulang membentuk persendian yang
bergerak dan tidak bergerak tergantung dari kebutuhan
fungsional, sendi yang bergerak menghasilkan bermacam –
macam pergerakan.
3) Perlengketan otot: tulang – tulang menyediakan permukaan
untuk tempat melekatnya otot, tendo dan ligamentum untuk
melaksanakan pekerjaannya.
4) Sebagai pengungkit: untuk bermacam – macam aktivitas
selama pergerakan.
5) Menyokong berat badan: memelihara sikap tegak tubuh
manusia dan menahan gaya tarikan dan gaya tekanan yang
terjadi pada tulang, dapat menjadi kaku dan menjadi lentur.
6) Proteksi: tulang membentuk rongga yang mengandung dan
melindungi struktur yang halus seperti otak, medula spinalis,
jantung, paru – paru, alat – alat dalam perut dan panggul.
7) Hemopoiesis: sumsum tulang tempat pembentukan sel – sel
darah, terjadinya pembentukan sel – sel darah sebagian besar
pada sumsum tulang merah.
8) Fungsi imunologi: limfosit “B” dan makrofag di bentuk dalam
sistem retikuloendotel sumsum tulang. Limfosit B diubah
menjadi sel- sel plasma membentuk antibody guna keperluan
kekebalan kimiawi, sedangkan makrofag merupakan
fagositotik.
9) Penyimpanan kalsium: tulang mengandung 97% kalsium yang
terdapat dalam tubuh baik dalam bentuk anorganik maupun
garam – garam terutama kalsium fosfat. Sebagian besar fosfor
di simpan dalam tulang dan kalsium di lepas dalam darah bila
di butuhkan.
b. Fungsi tulang secara khusus
1) Sinus–sinus paranasalis dapat menimbulkan nada khusus pada
suara.
2) Email gigi di khususkan untuk memotong, menggigit dan
menggilas makanan, email merupakan struktur yang terkuat
dari tubuh manusia.
3) Tulang–tulang kecil telinga dalam mengonduksi gelombang
suara untuk fungsi pendengaran (all, 2004).
c. Etiologi
Imobilisasi Defisiensi Vitamin D Tiritoksikosis
Menopouse Defisiensi Vitamin C Gastrektomi
Berhubungan dengan Defisiensi florida Alkoholisme
usia (senilis) Kelebihan steroid Merokok
Tubuh pendek (endogen/eksogen)
Bertulang kecil
Defisiensi Kalsium Artritis rematoid Penyakit hati lanjut
Defisiensi protein Hiperparatiroidisme Diabetes mellitus,
pengobatan dengan
heparin
d. Klasifikasi
1) Osteoporosis primer
Tipe 1 adalah tipe yang terjadi pada wanita pascamenopause
Tipe 2 adalah tipe yang terjadi pada orang usia lanjut baik pria
maupun wanita
b. Osteoporosis sekunder
Osteoporosis sekunder terutama disebabkan oleh penyakit-penyakit
tulang erosif misalnya mieloma multiple, hipertirodisme,
hiperparatiroidisme dan akibat obat-obatan yang toksik untuk tulang
(misalnya ; glukokortikoid). Jenis ini ditemukan pada kurang lebih 2-3
juta klien.
c. Osteoporosis Idiopatik
Osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya dan ditemukan pada :
- Usia kanak-kanak (juvenile)
- Usia remaja (adolesen)
- Wanita pra-menopause
- Pria usia pertengahan
(Nurarif, 2015)
5. Patofisiologi
Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah
dan aktivitas sel osteoklas melebihi (sel pembentuk dari jumlah dan aktivitas
sel osteoblas (sel tulang). Keadaan ini mengakikatkan penurunan massa
tulang. Sel yang bertanggung jawab untuk pembentukan tulang disebut
osteoblas (osteoblast), sedangkan osteoklas (osteoclast) bertanggung jawab
untuk penyerapan tulang. Pembentukan tulang terutama terjadi pada masa
pertumbuhan. Pembentukan dan penyerapan tulang berada dalam
keseimbangan pada individu berusia sekitar 30 – 40 tahun. Keseimbangan ini
mulai terganggu dan lebih berat ke arah penyerapan tulang ketika wanita
mencapai menopause dan pria mencapai usia 60 tahun. Pada osteoporosis
akan terjadi abnormalitas bone turn- over, yaitu terjadinya proses penyerapan
tulang (bone resorption) lebih banyak dari pada proses pembentukan tulang
(bone formation). Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh
karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi (sel pembentuk dari
jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel tulang). Keadaan ini mengakikatkan
penurunan massa tulang. (Corwin, 2009)
6. Pathway (Nurarif, 2015)
Pe absorpsi kalsium di
usus
Gangguan fungsi osteoblast
Hipokalsemi
PTH (Pararoid
hormone)
Hiperparatiroidisme
sekunder
Resorpsi tulang
Osteoporosis
Gang.Fungsi ekstremitas
Hambatan Mobilitas
fisik Deficit pereawatan
diri
7. Manifestasi Klinis
Keluhan yang dapat dijumpai pada pasien osteoporosis adalah nyeri dengan
atau tanpa adanya fraktur nyata. Rasa sakit oleh karena adanya fraktur pada
anggota gerak pasien osteoporosis sama dengan pada pasien bukan osteoporosis.
Rasa sakit oleh karena adanya fraktur pada vertebra pada umunya mempunyai
ciri-ciri yang khas yaitu nyeri timbul secara mendadak, sakitnya hebat dan
terlokalisasi pada daerah vetebra yang terserang, rasa sakit akan berkurang secara
pelan-pelan apabila pasien istirahat di tempat tidur dan akhirnya nyeri akan
sangat minimal. Kadang-kadang nyeri dirasakan ringan pada pagi hari (bangun
tidur) dan akan bertambah oleh karena melakukan pekerjaan sehari-hari atau
karena suatu pergerakan yang salah. Untuk selanjutnya, rasa sakit ini berperan
pula dalam proses timbulnya osteoporosis, yaitu dengan adanya rasa sakit pasien
akan sangat mengurangi mobilitas. Mobilitas yang sangat berkurang akan
mengakibatkan terjadinya\ resorpsi tulang yang berlebihan dan hal ini akan
memperhebat osteoporosis yang telah ada. Fraktur pada pasien osteoporosis
sering kali terjadi baik secara spontan ataupun oleh karena adanya trauma
minimal. Bagian-bagian tubuh yang sering fraktur adalh pergelangan tangan,
panggul dan vetebra. Fraktur vetebra sering teradi pada Vertebra Th. 11-12 dan
akan mengakibatkan berkurangnya tinggi badan pasien. Adanya riwayat fraktur
pada daerah tersebut mengarah ke kecurigaan adanya osteoporosis, apalagi kalau
disertai dengan riwayat keluarga dengan osteoporosis.
Gejala klinis lain yang sering ditemukan adalah menurunnya tinggi badan.
Hal ini terjadi oleh karena adanya kompresi fraktur yang asimtomatis pada
vetebra.
Faktor yang mempengaruhi Pengurangan masa Tulang :
a. Determinan massa tulang
Massa tulang maksimal pada usia dewasa di tentukan oleh berbagai faktor
antara lain: Genetik, mekanis dan nutrisi / hormonal.
1) Faktor genetic
Perbedaan genetik mempunyai pengaruh terhadap derajat kepadatan
tulang. Beberapa orang mempunyai tulang yang cukup besar dan yang lain
kecil. Sebagai contoh, orang kulit hitam pada umumnya mempunyai struktur
tulang lebih kuat/berat dan pada bangsa kaukasia. Jadi seseorang yang
mempunyai tulang kuat (terutama kulit Hitam Afrika), relatif imun terhadap
fraktur karena osteoporosis.
2) Faktor mekanis
Beban mekanis berpengaruh terhadap massa tulang di samping faktor
genetik. Bertambahnya beban akan menambah massa tulang dan
berkurangnya beban akan mengakibatkan berkurangnya massa tulang.
Dengan perkataan lain dapat di sebutkan bahwa ada hubungan langsung dan
nyata antara massa otot dan massa tulang. Kedua hal tersebut menunjukan
respons terhadap kerja mekanik. Beban mekanik yang berat akan
mengakibatkan massa otot besar dan juga massa tulang yang besar. Sebagai
contoh adalah pemain tenis atau pengayuh becak akan dijumpai adanya
hipertrofi baik pada otot maupun tulangnya terutama pada lengan atau
tungkainya, sebaliknya atrofi baik pada otot maupun tulangnya dijumpai
pada pasien yang harus istirahat di tempat tidur dalam waktu yang lama,
poliomielitis atau pada penerbangan luar angkasa. Walaupun demikian
belum diketahui dengn pasti beberapa besar beban mekanis yang diperlukan
dan beberapa lama untuk meningkatkan massa tulang di samping faktor
genetik.
3) Faktor makanan dan hormone
Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang cukup
(protein dan mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai maksimal sesuai
dengan pengaruh genetik yang bersangkutan. Pemberian makanan yang
berlebih (misalnya kalsium) diatas kebutuhan maksimal selama masa
pertumbuhan, di sangsikan dapat menghasilkan tulang yang melebihi
kemampuan pertumbuhan tulang yang bersangkutan sesuai dengan
kemampuan genetiknya. Jadi massa seluruh atau sebagian tertentu kerangka
ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut secara berurutan :
- Genetik
- Beban mekanis
- Nutrisi / hormone
b. Detrminan pengurangan massa tulang (bone loss)
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penurunan massa tulang pada
lanjut usia yang dapat mengakibatkan fraktur osteoporotik, pada dasarnya semua
seperti pada faktor-faktor yang mempengaruhi massa tulang yaitu genetik,
mekanis, dan nutrisi / hormonal.
1) Faktor genetik
Faktor genetik berpengaruh terhadap resiko terjadinya fraktur. Pada
seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat resiko
fraktur daripada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai saat ini tidak
ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang normal.
Setiap individu mempunyai ketentuan normal sesuai dengan sifat genetiknya
serta beban mekanis dan besar badannya. Apabila individu dengan tulang
yang besar, kemudian terjadi proses penurunan massa tulang (osteoporosis)
sehubungan dengan lanjutnya usia, maka individu tersebut relatif masih
mempunyai tulang lebih banyak daripada individu yang mempunyai tulang
kecil pada usia yang sama.
2) Faktor mekanis
Di lain pihak, faktor mekanis mungkin merupakan faktor yang
terpenting dalam proses penurunan massa tulang sehubungan dengan
lanjutnya usia. Walaupun demikian telah terbukti bahwa ada interaksi
penting antara faktor mekanis dengan faktor nutrisi / hormonal. Pada
umumnya aktivitas fisik akan menurun dengan bertambahnya usia dan
karena massa tulang merupakan fungsi beban mekanis, massa tulang tersebut
pasti akan menurun dengan bertambahnya usia.
3) Kalsium
Faktor makanan ternyata memegang peranan penting dalam proses
penurunan massa tulang sehubungan dengan bertambahnya usia, terutama
pada wanita post menopouse. Kalsium, merupakan nutrisi yang sangat
penting. Wanita-wanita pada massa peri menopouse, dengan masukan
kalsiumnya rendah dan absorbsinya tidak baik, akan mengakibatkan
keseimbangan kalsiumnya menjadi negatif, sedang meraka yang asupan
kalsiumnya baik dan absorbsinya juga baik, menunjukan keseimbangan
kalsium positif. Dari keadaan ini jelas, bahwa pada wanita masa menopouse
ada hubungan yang erat antara masukan kalsium dengan keseimbangan
kalsium di dalam tubuhnya. Pada wanita dalam masa menopouse
keseimbangan kalsiumnya akan terganggu akibat masukan serta absorbsinya
kurang serta ekskresi melalui urine yang bertambah.
Hasil akhir kekurangan / kehilangan ekstrogen pada masa menopouse
adalah pergeseran keseimbangan kalsium yang negatif, sejumlah 25mg
kalsium sehari.
4) Protein
Protein juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi
penurunan massa tulang. Makanan yang kaya protein akan mengakibatkan
ekskresi asam amino yang mengandung sulfat melalui urine ,hal ini akan
mengakibatkan ekskresi kalsium.
Pada umumnya protein tidak dimakan secara tersendiri, tetapi bersama
makanan lain. Apabila makanan tersebut mengandung fosfor, maka fostor
tersebut akan mengurangi ekskresi kalsium melalui urin. Sayangnya fosfor
tersebut akan mengubah pengeluaran kalsium melalui tinja. Hasil akhir dari
makanan yang mengandung protein berlebihan akan mengakibatkan
kecenderungan untuk terjadi keseimbangan kalsium yang negatif.
5) Esterogen
Berkurangnya/hilangnya esterogen dari dalam tubuh akan
mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan kalsium. Hal ini
disebabkan oleh karena menurunya efisiensi absorbsi kalsium dari makanan
dan juga menurunnya konservasi kalsium di ginjal.
6) Rokok dan kopi
Merokok dan minum kopi dalam jumlah banyak cenderung akan
mengakibatkan penurunan massa tulang, lebih-lebih bila disertai masukan
kalsium yang rendah. Mekanisme pengaruh merokok terhadap penurunan
massa tulang tidak diketahui, akan tetapi kafein dapat memperbanyak
ekskresi kalsium melalui urin maupun tinja.
7) Alkohol
Alkoholisme akhir-akhir ini merupakan masalah yang sering ditemukan.
Individu dengan alkoholisme mempunyai kecenderungan masukan kalsium
rendah, disertai dengan ekskresi lewat urin yang meningkat. Mekanisme
yang jelas belum di ketahui dengan pasti (MN, 2013).
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan radiologi
Untuk mengukur ketebalan colum femaris dan komponen-komponen
yang berkolerasi cukup tepat dengan adanya osteoporosis. Namun, hasil
pengukuran ini masih sangat lemah untuk mendiagnostis adanya
osteoporosis. Pada pemeriksaan radiologic sehingga osteoporosis baru akan
terlihat apabila massa tulang sudah berkurang hingga 30% atau lebih.
b. Pemeriksaan radioisotope
Pemeriksaan ini menggunakan sinar foton radionuklida yang dapat
mendeteksi densitas tulang dan ketebalan korteks tulang. Ada dua jenis
pemeriksaan yaitu single photon absorptiometry dan dual photon
absorptiomentry.
c. Single photon absorptiometry (SPA)
Sinar photon bersumber dari 1-125 dengan dosis 200 mci. Yang
diperiksa adalah tulang-tulang perifer radius dan kalcaneus.
d. Dual photon absorptiomentry.
Sinar photon bersumber dari nuklida GA-135 sebanyak 1,5 CI yang
mempunyai energy (44 kev dan 100 kev). Pemeriksaan ini digunakan untuk
mengukur vertebrata dan kolum femoris.
e. Pemeriksaan Quantitative computerized tomography (QCT)
Merupakan salah saru cara yang dipakai untuk mengukur mineral tulang
karena dapat menilai secara volumetric trabekulasi tulang radius, tibia, dan
vertebrata. Keuntungan QCT adalah tidak dipengaruhi oleh korteks dan
artefak kalsifikasi osteosit dan kalsifikasi aorta, serta tidak perlu
diperhitungkan dengan berat badan dan tinggi badan. Kerugiannya adalah
paparan radiasinya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis
pemeriksaan lainnya.
f. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan ini mahal dan membutuhkan sarana yang banyak
g. Quantitative Ultra Sound (QUS)
Cara ini menggunakan kecepatan gelombang suara ultra yang
menembus tulang , kemudian dinilai atenuasi kekuatan dan daya tembus
melalui tulang yang dinyatakan sebagai pita lebar ultrasonic dan kekakuan.
h. Densitometer (X-ray)
Pengukuran ini tidak menimbulkan rasa sakit, mudah dilakukan, hasil
pemeriksaan diperoleh dalam waktu singkat, dan relative aman. Walaupun
menggunakan sinar-X, tingkat radiasinya sangat kecil, seringkali lebih kecil
dari radiasi alamiah. Oleh karenanya, pengukuran dapat dilakukan pada
anak-anak dan ibu hamil, serta dapat pula diulang bila diperlukan.
i. Tes darah dan urine
Kedua tes ini masih mungkin dilakukan untuk mengetahui dan melihat
kondisi lain yang terkait dengan hilangnya massa tulang, seperti kelenjar
tiroid yang terlalu aktif, penyakit hati, atau myeloma (kanker sumsum
tulang) (Wirakusumah).
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita yang hanya dengan osteoporosis tanpa disertai
patah tulang lebih sederhana di banding bila penderita sudah datang dengan
fraktur. Penderita lanjut usia dengan fraktur osteoporosis terutama bila akibat
jatuh, memerlukan asesmen bertingkat, antara lain :
a. Asesmen, mengenai sebab jatuh, apa yang menyebabkannya apakah akibat
faktor lingkungan, gangguan intra atau ekstraserebral dan lain sebagainya.
Perlu di adakan tindak pencegahan dan atau pengobatan agar lain kali tidak
jatuh lagi.
b. Asesmen mengenai osteoporosisnya, primer atau sekunder, manifestasi
ditempat lain.
c. Asesmen mengenai frakturnya. Operabel (dapat dioperasi) atau tidak, kalau
operabel harus dilakukan pendekatan pada dokter bedah. Setelah operasi,
tindakan rehabilitasi, yang baik disertai pemberian obat untuk upaya
perbaikan osteoporosis bisa dikerjakan.
Tindakan dietetik : diet tinggi kalsium (sayur hijau, dll). Terapi ini lebih
bermanfaat sebagai tindakan pencegahan. Pada usia lanjut harus diberikan
bersama jenis terapi yang lain.
Olahraga. Yang terbaik adalah yang bersifat mendukung beban (weight
bearing) misalnya joging, berjalan cepat, dll. Lebih baik dilakukan dibawah sinar
matahari pagi karena membantu pembuatan vitamin D.
Obat-obatan. Yang membantu pembentukan tulang (steroid anabolik,
flourida). Yang mengurangi perusakan tulang (estrogen, kalsium, difofonat,
kalsitonin). (MN, 2013)
10. Komplikasi
Akan timbul kardiovaskular, disertai aterosklerosis dan kardiomiopati yang
timbul cepat, yang merupakan penyebab kematian yang paling sering.
(Wirakusumah)
Konsep Proses Pengkajian
- Pengkajian
Identitas klien (nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,
pendidikan).
- Riwayat Penyakit
Keluhan utama : klien mengatakan nyeri tulang, mengalami penyakit
yang sama tulang belakang bungkuk klien menggunakan penyangga
tulang belakang.
Riwayat penyakit keluarga : tidak ada keluarga yang menderita penyakit
yang sama
Riwayat hubungan social : hubungan klien dengan keluarga baik.
- Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik menggunakan metode 6 B (Breathing, blood,
brain, bladder, bowel dan bone) untuk mengkaji apakah di temukan
ketidaksimetrisan rongga dada, apakah pasien pusing, berkeringat dingin dan
gelisah. Apakah juga ditemukan nyeri punggung yang disertai pembatasan
gerak dan apakah ada penurunan tinggi badan, perubahan gaya berjalan, serta
adakah deformitas tulang.
- B1(breathing)
Inspeksi : ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang belakang
Palpasi : traktil fremitus seimbang kanan dan kiri
Perkusi : cuaca resonan pada seluruh lapang paru
Auskultasi : pada usia lanjut biasanya didapatkan suara ronki.
- B2 (blood)
Pengisian kapiler kurang dari 1 detik sering terjadi keringat dingin dan
pusing, adanya pulsus perifer memberi makna terjadi gangguan pembuluh
darah atau edema yang berkaitan dengan efek obat.
- B3(brain)
Kesadaran biasanya kompos mentis, pada kasus yang lebih parah klien
dapat mengeluh pusing dan gelisah.
- B4(Bladder)
Produksi urine dalam batas normal dan tidak ada keluhan padasistem
perkemihan.
- B5(bowel)
Untuk kasus osteoporosis tidak ada gangguan eleminasi namun perlu
dikaji juga frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses.
- B6(Bone)
Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis, klien osteoporosis
sering menunjukkan kifosis atau gibbus (dowager’s hump) dan penurunan
tinggi badan. Ada perubahan gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length
inequality dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang terjadi adalah antara
vertebra torakalis 8 dan lumbalis
pasif/aktif decubitus,
ekstremitas atelectasis
yang sakit
2 Defisit Setelah dilakukan - kaji - untuk mengetahui
perawatan asuhan kemampuan tingkat
diri keperawatan klien dalam kemampuan/
selama 3x24 jam memenuhi ketergantungan
di harapakan perawatan klien dalam
defisit perawatan diri. merawat diri
diri dapat teratsi - bantu klien sehingga dapat
dengan kriteria dalam membantu klien
hasil : memenuhi dalam memenuhi
-mampu untuk kebutuhan kebutuhan
melkukan aktivitas sehari-hari. hygenenya.
perawatan diri - anjurkan klien - kebutuhan klien
secara mandiri untuk terpenuhi tanpa
atau dengan alat melakukan membuat klien
bantu aktivitas ketergantungan
-mampu untuk sesuai pada perawat.
mempertahankan kemampuanny - pelaksanaan
kebersihan dan a aktivitas dapat
penampilan yang - anjurkan membantu klien
rapi secara mandiri keluarga klien untuk
dengan atau tanpa untuk selalu mengembalikan
alat bantu berada di kekuatannya secara
-mampu dekat klien bertahap dan
mempertahankan dan membantu menambah
mobilitas yang memenuhi kemandirian dalm
diperlukan untuk kebutuhan memenuhi
ke kamar mandi klien kebutuhannya.
dan menyediakan - membantu
perlengkapan memenuhi
mandi kebutuhan klien
yang tidak
terpenuhi secara
mandiri
4 Resiko Setelah dilakukan - identifikasi - penggunaan alat
jatuh asuhan perilaku dan bantu jalan
keperawatan faktor yang membantu
selama 3x24 jam mempengaruhi meningkatkan
resiko jatuh tidak resiko jatuh. keseimbangan
terjadi dengan - sarankan kerja otot.
kriteria hasil : perubahan
-Gerakan dalam gaya
terkoordinasi: berjalan
kemampuan otot kepada pasien
untuk bekerja - mendorong
sama secara pasien untuk
volunter untuk menggunakan
melakukan tongkat atau
gerakan yang alat pembantu
bertujuan berjalan.
-Tidak ada - ajarkan pasien
kejadian jatuh bagaimana
-pengendalian jatuh untuk
resiko meminimalkan
cedera
DAFTAR PUSTAKA
Rosdahl CB, Kowalski MT. Buku Ajar Keperawatan Dasar. 10th ed. Jakarta: EGC;
2015.
Potter PA, Perry AG. Fundamentals of Nursing Buku 1. 7th ed. Singapore: Elsevier;
2010.
Nursalam. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis. 4th ed.
Jakarta: Salemba Medika; 2016.
Robinson JM, Saputra L. Visual Nursing (Medikal-Bedah). Tanggerang Selatan:
Binarupa Aksara; 2014.
Sholeh SN. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta: Diva Press;
2014.
Hurst M. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC; 2015.
Suryo J. Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernapasan. Yogyakarta: B First;
2010.
LeMone P, Burke KM, Bauldoff G. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan
Respirasi. Jakarta: EGC; 2015.
Notoatmodjo S. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Revisi ed. Jakarta: Rineka
Cipta; 2014.
Wawan A, Dewi M. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku
Manusia Dilengkapi Contoh Kuesioner. Yogyakarta: Nuha Medika; 2010.
Budiman, Riyanto A. Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan dan Sikap dalam
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika; 2014.
Fitriani S. Promosis Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2011.
Hasibuan, Moedjiono. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya; 2012.
Tabrizi A, Pourfeizi HH, Aslani H. Effect of Small Group Discussion in Residency
Education Versus Conventional Education. 2016.
Resnayati Y. Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan. Jakarta: EGC; 2012.
Kosasih E. Strategi Belajar Dan Pembelajaran Implementasi Kurikulum 2013.
Bandung: Yrama Widya; 2015.
Hamdayana J. Metodologi Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara; 2016.
Nursalam, Efendi F. Pendidikan dalam Keperawatan. Salemba Medika; 2008.
Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2014.
Sastroasmoro S, Sofyan I. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. 5th ed. Jakarta:
Sagung Seto; 2014.
Dharma KS. Metodologi Penelitian Keperawatan Panduan Melaksanakan dan
Menerapkan Hasil Penelitian. Revisi ed. Jakarta: Trans Info Media; 2011.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed
Methods). Bandung: Penerbit Alfabeta; 2017.
Dahlan MP. Besar Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. 4th ed. 2016.
Hidayat AAA. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. 1st ed.
Jakarta: Salemba Medika; 2014.
GLOBAL TUBERCULOSIS REPORT 2017. [Online]. [Cited 2017 Oct 30];
Available From: URL:
https://www.who.int/tb/publications/global_report/gtbr2017_main_text.pdf
Marlina I. InfoDatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. [Online].
2018; Available From URL:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin%20
tuberkulosis%202018.pdf
Peduli TBC, Indonesia Sehat. [Online]. [Cited 21 Maret 2018]; Available From:
URL: http://www.depkes.go.id/article/view/18032100002/peduli-tbc-
indonesia-sehat.html
Khatimah H. Diprediksi 124.000 Warga Jabar Derita Tuberkulosis. [Online]. [Cited
22 Maret 2018]; Available From URL:
https://www.ayobandung.com/read/2018/03/22/30504/diprediksi-124000-
warga-jabar-derita-tuberkulosis.
Chindo IB, Lekhraj R, Munn S. Effectiveness Of Health Education Intervention In
Improving Knowledge, Attitude, Andpractices Regarding Tuberculosis
Among HIV Patients In General Hospital Minna, Nigeria–A Randomized
Control Trial [Serial online] [Cited February 22, 2018]. Available From:
URL:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5823396/pdf/pone.0192276.p
df
Satyanarayana GK, Cheryl AM, Purushottam AG. Knowledge, Attitude And
Practices Regarding Tuberculosis Among New Pulmonary Tuberculosis
Patients In A New Urban Township In India [Serial online] [Cited November
13, 2015]. Available From: URL:
https://www.ejmanager.com/mnstemps/67/67-1447226548.pdf?t=1553789836
Yuwana HU. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Tuberkulosis Terhadap
Peningkatan Pengetahuan Dan Sikap Penderita Dalam Pencegahan Penularan
Tuberkulosis Di Puskesmas Simo [Serial online] [Cited 2016]. Available
From: URL:
http://eprints.ums.ac.id/43324/1/NASKAH%20PUBLIKASI%20NEW.pdf
Asri A. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Dengan Metode Small Group Discussion
(SGD) Terhadap Pengetahuan Tentang Tuberculosis Multidrug Resistant
Tuberculosis Pada Klien TB Paru Dipuskesmas Cipadung Kota Bandung
Tahun 2016 [Serial online] [Cited 2016]. Available From: URL:
http://ejurnal.stikesbhaktikencana.ac.id/file.php?file=preview_mahasiswa&id
=552&cd=0b2173ff6ad6a6fb09c95f6d50001df6&name=JURNAL%20ASRI
%202016.pdf
IndonesiaBaikID. (2018, Maret 5). Hati-Hati! TBC Menular [Berkas Video].
Diperoleh dari https://www.youtube.com/watch?v=odPHyH0gkjc
Prihatmawati. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Melalui Small Group Discussion
Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Ibu Usia 30-50 Tahun Tentang Asam Urat
Di Susun Jatisari Saawahan Ponjong Gunungkidul Tahun 2013 [Serial online]
[Cited 2013]. Available From: URL: http://digilib.unisayogya.ac.id/675/
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN GANGGUAN SISTEM
PERSARAFAN AKIBAT KATARAK
A. Konsep Penyakit
1. Definisi katarak
Katarak adalah opasitas lensa kristalina yang normalnya jernih. Biasanya
terjadi akibat proses penuaan tapi dapat timbul pada saat kelahiran (katarak
congenital ). Dapat juga berhubungan karena trauma mata tajam maupun tumpul,
penggunaan kortikosteroid jangka panjang, penyakit sistemis, seperti diabetes
miletus atau hipopara tiroidisme, pemajanan radiasi, pemajanan sinar matahari
(ultraviolet ) yang lama, atau kelainan mata lain seperti uveitis anterior.
2. Etiologi
Penyebab pertama katarak adalah proses penuaan. Anak dapat mengalami
katarak yang biasanya merupakan penyakit yang diturunkan, peradangan didalam
kehamilan, keadaan ini disebut sebagai katarak congenital. Penyakit infeksi
tertentu dan penyakit seperti diabetes mellitus dapat menyebabkan katarak
komplikata. Katarak dapat disebabkan oleh beberapa faktor :
Fisik
Dengan keadaan fisik seseorang semakin tua (lemah) maka akan
mempengaruhi keadaan lensa.
Kimia
Apabila mata terkena cahaya yang mengandung bahan kimia atau akibat
paparan ultraviolet matahari pada lensa mata dapat menyebabkan katarak.
Usia
Dengan bertambahnya usia seseorang, maka fungsi lensa juga akan menurun
dan mengakibatkan katarak.
Infeksi virus masa pertumbuhan janin
Jika ibu pada saat mengandung terkena atau terserang penyakit yang
disebabkan oleh virus. Virus tersebut akan mempengaruhi tahap
pertumbuhan janin. Misal ibu yang sedang mengandung menderita rubella.
Penyakit
Meliputi penyakit diabetes dan trauma mata seperti uveitis (Andra 2013,
hal: 64).
3. Klasifikasi
Berdasarkan pada usia, katarak dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Katarak congenital, Katarak yang sudah terlihat pada usia kurang dari 1
tahun.
b. Katarak juvenile, Katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun.
c. Katarak senile, katarak setelah usia 50 tahun.
Berdasarkan penyebabnya, katarak dapat dibedakan menjadi :
a. Katarak traumatika
Katarak terjadi akibat rudapaksa atau trauma baik karena trauma tumpul
maupun tajam. Rudapaksa ini dapat mengakibatkan katarak pada satu
mata (katarak monokular).
b. Katarak toksika
Katarak yang terjadi akibat adanya pajanan dengan bahan kimia tertentu.
c. Katarak komplikata
Katarak terjadi akibat gangguan sistemik seperti diabetes melitus,
hipoparatiroidisme, atau akibat kelainan lokal seperti uveitis, glaukoma,
proses degenerasi pada satu mata lainnya.
Berdasarkan stadium, katarak senil dapat dibedakan menjadi :
- Katarak insipient
Pada stadium ini, proses degenerasi belum menyerap cairan sehingga
bilik mata depan memiliki kedalaman proses.
d. Katarak imatur
Lensa mulai menyerap cairan sehingga lensa agak cembung,
menyebabkan terjadinya miopia, dan iris terdorong ke depan serta bilik
mata depan menjadi dangakal.
e. Katarak matur
Proses degenerasi lanjut lensa. Pada stadium ini, terjadi kekeruhan
lensa.
f. Katarak hipermatur
Pada stadium ini, terjadi proses degenerasi lanjut lensa dan korteks
lensa dapat mencair sehingga nukleus lensa tenggelam didalam koteks
lensa (Anas 2011,hh.56-58).
4. Anatomi Fisiologi
8. Stadium Katarak
a. Stadium insipient
Kekaburan dimulai pada bagian perifer lensa, lambat laun mengarah
pada bagian inti lensa mata sehingga menyerupai terali besi (roda
sepeda). Pada keadaan ini biasanya katarak stasioner.
b. Stadium intumesen (imatur)
Terjadi perubahan pada lensa, dimana lensa menjadi bengkak dan
menarik cairan dari jaringan sekitar. Kelainan yang nampak pada
keadaan ini adalah myopia, astigmatisme, bayangan iris pada lensa
terlihat.
1. Stadium maturesen (matur)
Kekaburan lensa lebih padat dan lebih mudah dipisahkan dari
kapsulnya, ini merupakan stadium yang tepat untuk dilakukan operasi.
2. Stadium hipermatur
Biasanya akan ditemukan beberapa perubahan, katarak menjadi lembek,
mencair atau menjadi seperti susu.
9. Pemeriksaan Diagnostik
a. Kartu mata snellen/mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan
kerusakan kornea, lensa, akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi,
penyakit sistem saraf/penglihatan ke retina/jalan optik.
b. Lapang Penglihatan : penurunan mungkin disebabkan oleh cairan
cerebro vaskuler, massa tumor pada hipofisis otak, karotis, glukoma.
c. Pengukuran Tonografi : TIO (12 – 25 mmHg).
d. Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, mencatat atrofi
lempeng optik, papiledema, perdarahan retina, dan mikroaneurisma,
dilatasi dan pemeriksaan berlahap-lampu memastikan diagnosis katarak.
e. Darah lengkap, laju sedimentasi LED : menunjukkan anemi
sistemik/infeksi.
f. EKG, kolesterol serum, lipid.
g. Tes toleransi glukosa : kontrol DM (Andra 2013, h.66).
h. Retinometri : Tes yang dilakukan untuk mengetahui apakah penglihatan
yang turun itu disebabkan katarak atau tidak.
i. Keratometri.
j. Pemeeriksaan lampu slit.
k. A-Scan ultrasound (Echography ) Penghitungan sel endotel penting
untuk fakoemulsifikasi dan implantasi.
10. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi obat untuk katarak, dan tak dapat diambil dengan laser.
Pembedahan diindikasikan bagi mereka yang memerlukan penglihatan akut untuk
bekerja ataupun keamanan. Biasanya diindikasikan bila koreksi tajam penglihatan
yang terbaik dicapai 20/50 atau lebih buruk lagi. Pembedahan katarak paling
sering dilakukan pada orang berusia lebih dari 65 tahun. Dengan menggunakan
anestesi lokal. Ada dua macam teknik pembedahan untuk pengangkatan katarak :
a. Ekstraksi Katarak Intrakapsuler
Intra catarax exstraction (ICCE) mengeluarkan lensa secara utuh.
b. Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsuler
Extra capsular catarax extraction (ECCE) : mengeluarkan lensa dengan
merobek kapsul bagian anterior dan meninggalkan kapsul bagian posterior
(Andra 2013, h.66).
11. Komplikasi
a. Glaukoma
Kelainan yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan intra okuler
didalam bola mata, sehingga lapang pandang mengalami gangguan dan
visus mata menurun.
b. Kerusakan retina
Kerusakan retina ini terjadi terjadi setelah pascah bedah, akibat ada
robekan pada retina, cairan masuk ke belakang dan mendorong retina
atau terjadi penimbunan eksudat dibawah retina sehingga terangkat.
c. Infeksi
Ini bisa terjadi setelah pasca bedah karena kurangnya perawatan yang
tidak edekuat (Andra 2013, hal: 67).
Diagnosa 1
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam klien melaporkan atau
memeragakan kemampuan yang lebih baik untuk proses rangsang penglihatan dan
mengkomunikasikan perubahan visual.
Kriteria hasil :
Klien dapat mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi
penglihatan.
Klien dapat mengidentifikasi dan menunjukan pola-pola alternative untuk
meningkatkan penerimaan rangsang penglihatan. (Tidak memberikan cahaya
yang terlalu terang saat memberikan rangsangan.
Intervensi Rasional
1. Kaji dan dokumentasikan ketajaman 1. Menentukan seberapa bagus visus klien
penglihatan (visus) dasar
2. Dapatkan deskripsi fungsi tentang apa 2. Memberikan data dasar tentang
yang bisa dan tidak bisa dilihat oleh pandangan akurat klien dan bagaimana
klien hal tersebut memengaruhi perawatan
3. Adaptasikan lingkungan dengan 3. Memfasilitasi kebebasan bergerak
kebutuhan visual klien dengan cara dengan aman
orientasikan klien padalingkungan
4. Letakkan alat-alat yang sering 4. Mengemambangkan tindakan
digunakan dalam pandangan klien indevenden dan meningkatkan
(seperti, tv control, teko, tisu) keamanan
5. Berikan pencahayaan yang paling 5. Meningkatkan penglihatan klien lokasi
sesuai dengan klien katarak akan memengaruhi apakah
6. Cegah glare (sinar yang menyilaukan) cahaya gelap atau terang yang lebih
7. Tentukan ketajaman penglihatan, catat baik
apakah satu atau kedua mata terlibat 6. Mencegah distres. Katarak akan
8. Ingatkan pasien menggunakan memecah sinar lampu yang akan
kacamata katarak yang tujuannya menyebabkan distres
memperbesar kurang lebih 25%, 7. Kehilangan pengihatan terjadi lambat
penglihatan ferifer hilang. Dan buta dan progresif, tiap mata dapat berlanjut
titik mungkin ada dengan laju yang berbeda, tetapi
biasanya hanya satu mata yang
diperbaiki per prosedur.
8. Perubahan ketajaman penglihatan dan
kedalaman persepsi dapat
menyebabkan bingung penglihatan/
meningkatkan resiko cedera sampai
pasien belajar untuk mengkompensasi
Diagnosa 2
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam nyeri
berkurang, hilang dan terkontrol.
Kriteria hasil : Klien dapat mendemonstrasikan tehnik penurunan nyeri.
Klien dapat melaporkan nyeri berkurang atau hilang dari skala 6 ke skala 3
Intervensi Rasional
Kaji derajat nyeri setiap hari Normalnya nyeri terjadi dalam waktu
kurang dari lima hari setelah operasi dan
berangsur menghilang.
Ajarkan klien teknik relaksasi dan Menurunkan ketegangan, mengurangi
distraksi nyeri
Lakukan tindakan kolaboratif untuk Mengurangi nyeri dengan meningkatkan
pemberian analgesic topical atau sistemik ambang nyeri.
Diagnosa 3
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24jam faktor resiko infeksi
tidak terjadi
Kriteria hasil :
Klien dapat melakukan pencegahan infeksi
Tidak adanya tanda tanda infeksi ( rubor, dolor, color, tumor, fungtiolaesa)
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Diskusikan pentingnya mencuci 1. Menurunkan jumlah bakteri pada
tangan sebelum menyentuh/mengobati tangan, mencegah area kontaminasi
mata area operasi
2. Gunakan/tunjukkan teknik yang tepat 2. Teknik aseptic menurunkan resiko
untuk membersihkan mata dari dalam penyebaran bakteri dan kontaminasi
ke luar dengan kassa untuk tiap silang.
usapan, ganti balutan, dan masukkan 3. Mencegah kontaminasi dan kerusakan
lensa kontak bila menggunakan. sisi operasi Infeksi mata terjadi 2-3 hari
3. Tekankan pentingnya tidak setelah prosedur dan memerlikan upaya
menyentuh/menggaruk mata yang intervensi.
dioperasi. 4. Infeksi mata terjadi 2-3 hari setelah
4. Observasi tanda terjadinya infeksi prosedur dan memerlikan upaya
contoh kemerahan, kelopak bengkak, intervensi.
drainase purulen. Identifikasi tindakan
kewaspadaan bila terjadi ISK.
dioperasi.
Kolaborasi
1. Berikan obat sesuai indikasi: 1. Topikal digunakan secara profilaksis,
Antibiotik (topical, parenteral, atau dimana terapi lebih agresif diperlukan
subkonjungtival) bila terjadi infeksi.
2. Steroid 2. Digunakan untuk menurunkan
inflamasi.
Diagnosa 4
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam tidak
terjadi kecemasan.
Kriteria hasil :
Klien mengungkapkan kecemasan hilang atau minimal.
Klien berpartisipasi dalam persiapan operasi.
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat ansietas derajat
Faktor ini mempengaruhi persepsi pasien
pengalaman nyeri/timbulnya secara terhadap ancaman diri, potensial siklus
tiba-tiba dan pengetahuan kondisi ansietas
saat ini.
2. Dorong pasien untuk mengukur Memberikan kesempatan untuk pasien
masalah dan mengekspresikan menerima situasi nyata mengklasifikasi
perasaan salah satu konsepsi dan pemecahan
masalah
3. Identifikasi sumber orang yang dapat Memberikan keyakinan bahwa pasien
mendorong semangat klien tidak sendiri dalam menghadapi masalah
Diagnosa 5
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam tidak terjadi
cedera mata akibat katarak
Kriteria hasil :
Klien dapat menyebutkan faktor yang menyebabkan cedera.
Klien tidak melakukan aktivitas yang meningkatkan resiko cedera
Intervensi Rasional
1. Bantu pasien ketika mampu 1. Menurunkan resiko jatuh atau cedera
melakukan ambulasi secara mandiri. ketika langkah sempoyongan atau
2. Bantu pasien menata lingkungan. ketika melihat cahaya yang terlalu
Jangan mengubah penataaan meja- terang
kursi tanpa pasien diorentasi terlebih 2. Memfasilitasi kemandirian dan
dahulu. menurunkan resiko cedera.
3. Orintasikan pasien pada ruangan. 3. Meningkatkan keamanan mobilitas
4. Jangan memberikan tekanan pada dalam lingkungan.
mata yang terkena trauma. 4. Tekanan pada mata dapat
5. Gunakan prosedur yang memadai mengakibatkan kerusakan serius lebih
ketika memberikan obat mata. lanjut.
5. Cedera dapat terjadi bila wadah obat
menyentuh mata.
DAFTAR PUSTAKA
http://fitrihiperemesis.blogspot.com/2011/03/asuhan-keperawatan-dengan-
pasien.html diunduh 12 september 2013
http://hanyasekedarblogg.blogspot.com/2013/07/pathway-katarak.html diunduh 12
september 2013 pukul 17.56
http://id.wikipedia.org/wiki/Katarak 1 diunduh pada 3 sept 21.33.
http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35543-
Kep%20Sensori%20dan%20Persepsi-Askep%20Katarak.html Diunduh pada
13 sept 2013 22.15.
lyas Sidarta, 2004 , Ilmu Perawatan Mata, Jakarta: CV. Sagung Seto 2009 , Ilmu
Penyakit Mata, Jakarta : FKUI
Nanda, Buku Saku Diagnosa Keperawatan definisi keperawatan dan klasifikasi 2012-
2014, jakarta: EGC
Tamsuri, Anas, 2011 , Klien Gangguan Mata Dan Penglihatan : Keperawatan
Medikal-Bedah. Jakarta : EGC
Wijaya, Saferi A, 2013 , Keperawatan Medikal Bedah keperawatan dewasa teori dan
contoh askep cetakan pertama,Jakarta: Nuha Medika
Wilkinson, Judith M. 2011, Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9 Diagnosa
NANDA Intervensi NIC Kriteria hasil NOC, Jakarta : EGC.