Anda di halaman 1dari 28

PENDAHULUAN

Salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia adalah Demam Berdarah Dengue (DBD). Demam berdarah dengue muncul
sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) sehingga mengakibatkan kepanikan di masyarakat
karena berisiko meyebabkan kematian serta penyebarannya sangat cepat. Angka kejadian
demam berdarah terus meningkat dari 21.092 (tahun 2015) menjadi 25.336 orang (tahun
2016). 1
Penyakit DBD telah menjadi penyakit yang mematikan sejak tahun 2013. Penyakit
ini telah tersebar di 436 kabupaten/kota pada 33 provinsi di Indonesia. Jumlah kematian
akibat DBD tahun 2015 sebanyak 1.071 orang dengan total penderita yang dilaporkan
sebanyak 129.650 orang. Nilai Incidens Rate (IR) di Indonesia tahun 2015 sebesar 50,75%
dan Case Fatality Rate (CFR) 0,83%. Jumlah kasus tercatat tahun 2014 sebanyak 100.347
orang dengan IR sebesar 39,80% dan CFR sebesar 0,90%. 2

Kelembaban yang tinggi dengan suhu berkisar antara 28-320C membantu nyamuk
Aedes bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama. Pola penyakit di Indonesia sangat
berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Tingginya angka kejadian DBD juga
dapat dipengaruhi oleh kepadatan penduduk. Peningkatan jumlah kasus DBD dapat terjadi
bila kepadatan penduduk meningkat. Semakin banyak manusia maka peluang tergigit oleh
nyamuk Aedes aegypti juga akan lebih tinggi.3

Dengue fever (DF) dan dengue haemorrhagic fever/DHF adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue.Virus dengue termasuk dalam famili Flaviviridae yang
memiliki 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Dari keempat serotipe
tersebut yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah DEN-3. DHF tersebar di wilayah
Asia Tenggara, Pasifik Barat,dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan
sebaran di seluruh wilayah tanah air. 4
DEFINISI

Infeksi dengue merupakan salah satu penyakit infeksi virus yang menjadi masalah
utama kesehatan pada lebih dari 100 negara tropis dan subtropik yang penularannya
melalui perantara nyamuk. Infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatis atau
berkembang menjadi undifferentiated fever, dengue fever(DF), dengue hemorrhagic
fever (DHF), atau dengue shock syndrome(DSS).

DF/DHFadalah penyakit dengan host alami yaitu manusia dan agennya adalah
virus dengue yang ditularkan oleh gigitan nyamuk terutama nyamuk Aedes aegypti
dan Aedes albopticus yang terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia. Penyakit
ini ditandai dengan demam tinggi mendadak disertai manifestasi berupa perdarahan,
pembesaran hati, serta mungkin menimbulkan renjatan dan kematian. 11

EPIDEMIOLOGI

Di Indonesia DHF telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang berbahaya dan
dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat serta menimbulkan wabah. Pada
tahun 1953 DHF pertama kali ditemukan di Manila Filipina dan selanjutnya
menyebar ke berbagai negara. Pada tahun 1968 penyakit ini pertama kali dilaporkan
di Indonesia tepatnya di Surabaya dengan total penderita 58 orang dengan jumlah
kematian 24 orang. Konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak saat itu
DHF terus menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia kecuali TimorTimur. Puncak
incidence rate tejadi pada tahun 1980 yaitu 13,45% per 100.000 penduduk.
Meningkatnya mobilitas penduduk dan hubungan transportasi berkaitan erat dengan
kondisi tersebut.10

Dengue fever dan dengue hemorrhagic fever disebabkan oleh virus dengue yang
ditularkan oleh nyamuk aedes. Di Indonesia dikenal 2 jenis nyamuk Aedes, yaitu:

- Aedes aegypti
- Aedes albopticus

Aedes aegypti adalah nyamuk yang hidup di daerah tropis, terutama hidup dan
berkembang biak di dalam lingkungan rumah atau bangunan, yaitu di tempat
penampungan air jernih atau genangan air hujan. Nyamuk ini dikenal sebagai tiger
mosquito atau black and white mosquito yang sepintas tampak berlurik, berbintik-
bintik putih keperakan di atas dasar warna hitam. Biasanya menggigit pada siang
hari sampai sore hari dengan jarak terbang 100 meter. Hanya nyamuk betina yang
menghisap darah. Aedes albopticus tempat habitatnya di luar lingkungan rumah
atau bangunan yaitu di kebun yang rimbun dengan pepohonan. Perbedaan Aedes
albopticus dengan Aedes aegypti terletak pada garis thorax hanya berupa dua garis
lurus di tengah thorax.4

ETIOLOGI

Penyebab DF/DHF adalah virus dengue, yang merupakan anggota genus Flavivirus,
keluarga Flaviviridae. Terdapat 4 serotipe virus dengue, yaitu dengue-1 (DEN-1),
dengue-2 (DEN-2), dengue-3 (DEN-3), dan dengue4 (DEN-4), yang semuanya dapat
menyebabkan dengue fever atau dengue hemorrhagic fever. Keempat serotipe
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Tempat
berkembangnya vektor nyamuk adalah air, terutama pada penampungan seperti
ember, ban bekas, bak mandi, dan sebagainya. Biasanya nyamuk aedes menggigit
pada siang hari.4

Virus dengue termasuk dalam arbovirus yang dikelompokkan ke dalam genus


Flavivirus di dalam famili Flaviviridae. Awalnya dimasukkan ke dalam famili
togavirus sebagai “arbovirus grup B”, tetapi karena perbedaan dalam pengaturan
genom viral sehingga dimasukkan ke dalam famili tersendiri. Bentuk dari virus ini
yaitu sferis berdiameter 4060nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal. Terdiri
dari tiga polipeptida struktural, dua terglikosilasi. Selubung virus ini mengandung
dua glikoprotein. Replikasi terjadi di sitoplasma dan perakitan di dalam retikulum
endoplasma. Semua virus terkait secara serologi.

Flavivirus sebagian dapat ditularkan diantara vertebrata oleh nyamuk dan


sengkenit, sementara lainnya ditularkan diantara tikus dan kelelawar tanpa vektor
serangga. Sejumlah besar virus ini tersebat di seluruh dunia. Semua Flavivirus terkait
secara antigenic.

KLASIFIKASI

Klafisikasi dari infeksi virus dengue :


Gambar 1. Clinical spectrum of virus dengue infection

Sumber : Anggraeni Melisa, 2015 5

PATOGENESIS

Mekanisme sebenarnya tentang patogenesis, patofisiologi, hemodinamika,

dan perubahan biokimia pada DF atau DHF hingga kini belum diketahui secara pasti.

Terdapat teori patogenesis dan patofisiologi DHF dan DSS yang masih kontroversial

yaitu The Secondary Heterologous Infection Hypothesis dan antibody dependent

enhancement (ADE). Dalam hipotesis infeksi sekunder disebutkan bila seseorang

terinfeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue maka akan terjadi proses

kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang

lama. Tetapi bila terjadi infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya akan

terjadi infeksi yang berat. Hal ini dikarenakan antibody heterologous yang terbentuk

pada infeksi primer akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe

baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi dan cenderung membentuk

kompleks yang infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi dan akan teraktivasi dan

memprodusi IL-1, IL-6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A), dan platelet activating

factor (PAF).
Anak dibawah usia 2 tahun bila lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan telah

terjadi infeksi dari ibu ke anak tersebut maka dalam tubuh anak tersebut terjadi non

neutralizing antibodies akibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya akan

terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag mudah terinfeksi dan

teraktivasi dan mengeluarkan interleukin-1 (IL-1), IL-6, dan tumor necrosis

factoralpha (TNF-A) juga platelet activating factor (PAF), akibatnya terjadi

peningkatan infeksi virus dengue. TNF alpha menyebabkan kebocoran dinding

pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan

kerusakan endotel pembuluh darah.

Teori lain mengenai imunopatogenesis DHF dan DSS yaitu antibody

dependent enhancement (ADE). Pada teori ini disebutkan bila terdapat antibodi

spesifik terhadap jenis virus tertentu akan dapat mencegah penyakit yang

disebabkan oleh virus tersebut, tetapi apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi

virus akan menimbulkan penyakit yang berat.


Secondary heterologous dengue infection

Replikasi Anamnestic antibody


virus respose
Kompleks virus-antibodi

Aktivasi komplemen

Anafilatoksin (c3a, c5a)

Permeabilitas kapiler meningkat

Pembesaran plasma

Hipovolemi

Syok
Asidosis Anoksia

Meninggal

Gambar 2. Patogenesis Terjadinya Syok pada DHF

Sumber: Syafira Ulfa Adlia, 2017 4

Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma,

terjadinya hipotensi, trombositopenia, dan diathesis hemoragik adalah fenomena

patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit. Pada kasus berat renjatan

terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya

plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Pada penderita dengan renjatan
berat, volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30% dan berlangsung 24-

48 jam. Apabila tidak ditanggulangi secara adekuat dapat menimbulkan anoksia

jaringan, asidosis metabolik, dan kematian.

Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DHF. Beberapa

faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X, dan fibrinogen.

Fibrinogen degradation products (FDP) meningkat pada kasus DHF berat dan

terjadi penurunan aktivitas antitrombin III yang tidak sebanyak fibrinogen, dan

faktor VIII. Menurunya faktor koagulasi akan menambah beratnya perdarahan.

Disseminated intravascular coagulation (DIC) secara potensial dapat terjadi pada

DHF tanpa syok. Peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan

plasma pada masa dini DHF, tetapi apabila penyakitnya memburuk sehingga terjadi

syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC perannya akan mencolok.

Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok

irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya

diakhiri kematian. Perdarahan kulit biasanya disebabkan oleh faktor kapiler,

gangguan fungsi trombosit, dan trombositopenia. Perdarahan masif ialah akibat

kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia, gangguan faktor

pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC. Pada kasus dengan

kekurangan antitrombin III, respons pemberian heparin akan berkurang.


MANIFESTASI KLINIS

a. DEMAM
Dengue fever dan dengue hemorrhagic fever didahului dengan demam tinggi
mendadak, terus-menerus selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas dan hampir tidak
ada perbaikan dengan menggunakan antipiretik (hanya turun sedikit, lalu kembali
naik). Peningkatan suhu yang mencapai 400C dan dijumpai kejang demam.
Seringkali demam ini didahului dengan gejala-gejala seperti sakit kepala, lemah,
nafsu makan berkurang, muntah, nyeri pada otot tulang, dan persendian. Akhir
fase ini merupakan fase kritis pada DHF, yaitu fase yang dapat berubah menjadi
kesembuhan ataupun sebaliknya menjadi syok. Bila tidak terjadi syok, maka panas
umumnya akan segera turun dan penderita sembuh sendiri (self limiting).

b. MANIFESTASI PERDARAHAN

Penyebab perdarahan pada pasien penyakit DHF ialah vaskulopati,


trombositopeni, dan gangguan fungsi trombosit, serta koagulasi intravaskular yang
menyeluruh. Vaskulopati dan trombositopeni menyebabkan perdarahan pada fase
awal demam, sedangkan pada fase syok perdarahan disebabkam oleh
trombositopenia, diikuti oleh koagulopati, terutama sebagai akibat koagulasi
intravascular diseminata (KID) dan peningkatan fibrinolysis. Vaskulopati secara
klinis bermanifestasi sebagai petekie, uji bendung positif, perembesan plasma, dan
elektrolit serta protein ke dalam rongga ekstravaskuler. Pelepasan zat anafilatoksin
C3a dan C5a menjadi penyebab utama dari vaskulopati.
Pada fase awal penyakit (hari ke-1 sampai ke-4) penurunan produksi
trombosit merupakan penyebab trombositopenia. Sumsum tulang tampak
hiposeluler ringan dan megakariosit meningkat dalam bentuk fase maturase. Virus
tampaknya secara langsung menyerang myeloid dan megakariosit. Sedangkan
pada hari ke-5 sampai hari ke-8 trombositopenia terjadi dan disebabkan oleh
penghancuran trombosit dalam sirkulasi. Terjadinya kompleks imun yang melekat
pada permukaan trombosit mempermudah penghancuran trombosit oleh sistem
retikuloendotelial dalam hati dan limpa, sehingga menyebabkan trombositopenia.
Penghancuran trombosit ini dapat pula disebabkan oleh kerusakan endotel,
antibodi trombosit spesifik, atau koagulasi intravaskular diseminata.

c. KELUHAN KLINIS
Keluhan klinis berupa sakit kepala, nyeri pada otot, tulang dan sendi,
anoreksia, mual dan muntah, serta batuk-batuk. Sakit kepala dapat menyeluruh
atau berpusat pada daerah supraorbital dan retroorbita. Nyeri di bagian otot
terutama dirasakan bila tendon dan otot-otot perut ditekan. Sekitar mata
mungkin juga ditemukan pembengkakan, injeksi konjungtiva, lakrimasi dam
fotofobia serta rasa pegal di sekitar mata.

d. KEGAGALAN SIRKULASI
Syok ditandai dengan nadi yang lemah dan cepat sampai tak teraba,
takanan nadi menurun sampai 20mmHg atau sampai nol, tekanan darah
menurun menjadi 110/90mmHg atau hipotensi, disertai kulit yang teraba
lembab dan dingin, terutama pada ujung jari tangan, kaki dan hidung, penderita
menjadi lemah, gelisah sampai menurunnya kesadaran dan timbul sianosis
disekitar mulut. Syok merupakan tanda kegawatan yang harus mendapat
perhatian serius, oleh karena bila tidak diatasi sebaik-baiknya dan secepatnya
dapat menyebabkan kematian. Pasien dapat dengan cepat masuk dalam fase
kritis yaitu syok berat, pada saat itu teknan darah dan nadi tidak dapat terukur
lagi. Syok dapat terjadi dalam waktu yang sangat singkat, pasien dapat
meninggal dalam waktu 12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendapat
penggantian cairan yang memadai.4

Demam Dengue Demam Berdarah Dengue


- Tidak terdapat perembesan plasma - Terdapat perembesan plasma
- Tidak disertai syok - Dapat disertai syok hipovolemik
- Perdarahan ringan - Demam tinggi, timbul mendadak, kontinu,
- Setelah suhu mereda, klinis dan nafsu makan kadang bifasik
membaik - Berlangsung antara 2-7 hari.
- Prognosis lebih baik - Muka kemerahan (facial flushing) ,
anoreksi, myalgia dan arthralgia
- Nyeri epigastrik, muntah, nyeria bdomen
difus,
- Kadang disertai sakit tenggorok
- Faring dan konjungtiva yang kemerahan
- Dapat disertai kejang demam.

Tabel 1. Perbedaan Demam dengue dan Demam berdarah dengue


Gambar 3. Derajat demam berdarah dengue menurut WHO-SEARO 2011
Gambar 4. Kategori syok pada demam berdarah dengue

Sumber : Anggraeni Melisa, 20155

DIAGNOSIS

Untuk mendiagnosis demam berdarah dengue dapat dengan menilai klinis dan
laboratorium.

Gejala klinis berikut harus ada, yaitu:

1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama
2-7 hari
2. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
- uji bendung positif
- petekie, ekimosis, purpura
- perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
- hematemesis dan atau melena

3. Pembesaran hati
4. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan nadi
( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, kulit lembab,
capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah.

Laboratorium

1. Trombositopenia (100 000/μl atau kurang)


2. Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan
manifestasi sebagai berikut:
a. Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar
b. Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairan
c. Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia.
3. Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya
peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan Diagnosis Kerja DBD.6

Diagnosis infeksi virus dengue sampai saat ini masih merupakan masalah terutama pada
masa awal infeksi (initial stage). Diagnosis laboratorik jangkitan/ tularan virus dengue dapat
dilakukan melalui pengasingan (isolasi) virus, penemuan (deteksi) antigen atau uji serologis.
Uji serologis didasarkan atas timbulnya antibodi di penderita setelah jangkitan/tularan. Pada
masa awal infeksi, antibody IgG maupun IgM antidengue kadang masih belum timbul,
sedangkan gejala klinik maupun penurunan trombosit juga masih belum jelas. Penentuan
antigen NS1 dengue diharapkan dapat menemukan lebih dini adanya jangkitan/tularan virus
dengue ini. Lengkung baku (Kurva standar) yang menggambarkan kadar antigen NS1 dengue
(absorbans <1,5) tampak segaris (linier) dengan kepekatan (konsentrasi) virus (<100
ng/ml).8

Gambar 5. Serology and virology of dengue virus infection

Sumber : Anggraeni Melisa, 2015


Gambar 6. Warning Sign untuk mendeteksi dini syok
Gambar 7. Alur skrining tersangka infeksi dengue 5

TATALAKSANA

Terapi infeksi dengue hanyalah pengelolaan cairan yang adekuat menurut WHO :
Gambar 8. Terapi infeksi dengue hanyalah pengelolaan cairan yang adekuat.
menurut WHO. Handbook for Clinical Management of Dengue.
Gambar 9. Terapi menurut WHO. 2011. Conprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorraghic Fever.

Inti dari penatalaksanaan DBD adalah terapi cairan yang baik. Terapi supportif ini sesuai
dengan patogenesis DBD yang disebabkan kebocoran plasma. Bila terapi cairan yang
diberikan tidak adekuat, pasien anak akan rentan mengalami syok ataupun expanded dengue
syndrome.
A. Terapi Cairan Demam Berdarah Dengue Pada Pasien Anak
Pasien anak bukanlah pasien dewasa yang berukuran kecil. Ada banyak aspek yang harus
diperhatikan ketika merawat pasien anak. Pasien anak memiliki sistem organ yang sedang
tumbuh, tidak sematang pasien dewasa. Terapi cairan yang terlalu agresif atau tidak adekuat
akan berbahaya bagi pasien anak. Terapi cairan yang proporsional diharapkan akan
memberikan outcome klinis yang baik.
Indikasi pemberian terapi cairan pada pasien DBD adalah:
1. Trombositopenia < 100.000/mm3
2. Peningkatan Hematokrit > 10-20%
3. Pasien tidak dapat makan-minum melalui jalur oral
4. Tanda-tanda syok yang jelas
Jenis cairan yang dapat dipilih adalah cairan kristaloid atau koloid. Jumlah cairan yang
diberikan bergantung fase penyakit dan berat badan pasien. Pada pasien DBD yang
memasuki fase kritis, jumlah cairan yang harus diberikan adalah jumlah cairan rumatan
ditambah deficit 5-8%. Jumlah tersebut setara dengan jumlah cairan yang dibutuhkan pada
kondisi dehidrasi sedang.
Pada pasien dengan berat badan lebih dari 40 kg, total cairan intravena yang diberikan
setara dengan 2 kali jumlah cairan rumatan. Pada pasien obesitas, perhitungan cairan
intravena
berdasar atas berat badan ideal.

B. Pedoman Tetesan Infus pada Demam Berdarah Dengue Anak


Pada kasus DBD non syok, pasien dengan berat badan 15-40 kg diawali dengan tetesan 5
mL/kgBB/jam. Sedangkan pada anak dengan berat badan lebih dari 40 kg, mulai dengan 3-
4 mL/kgBB/jam. Pada kasus DBD derajat 3, mulai dengan tetesan 10 mL/kgBB/jam. Pada
anak dengan DBD derajat 4, cairan selama 10-15 menit sampai tekanan darah dan nadi dapat
diukur. Kemudian setelah nadi dan tensi dapat terukur, turunkan pemberian cairan hingga 10
mL/kgBB/jam.
Setelah masa kritis terlampaui, pasien akan masuk dalam fase penyembuhan. Waspadai
kemungkinan bahaya overload cairan. Pada pasien seperti ini, cairan intravena harus
diberikan minimal agar tidak terjadi kebocoran ke dalam rongga pleura dan abdominal yang
dapat menyebabkan distres nafas dalam perjalanan penyakitnya. Indikator klinis yang perlu
diperhatikan dalam penentuan jumlah cairan yang diberikan meliputi:
1. Kondisi klinis: penampilan umum, pengisian kapiler, nafsu makan
2. Tanda vital: tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nafas
3. Kadar hematokrit
4. Produksi urin

C. Monitoring Syok
Setelah syok teratasi, pantau pasien 1-2 jam. Ulangi pemeriksaan hematokrit bila nadi dan
tensi tidak stabil (tekanan nadi cepat dan lemah) dalam 2 jam pertama. Pemeriksaan tersebut
penting untuk memutuskan apakah perlu digunakan cairan koloid sebagai cairan pengganti.
Apabila hematokrit terbukti naik dan tanda vital tetap tidak stabil, ganti cairan kristaloid
dengan cairan koloid dengan tetesan 10 mL/kgBB/jam. Pada kondisi seperti ini, mulai
persiapkan darah untuk transfusi. Pada pasien DBD derajat 4, apabila kadar hematokrit sejak
awal rendah, pikirkan kemungkinan perdarahan internal. Pantau hematokrit lebih sering.
Berikan transfusi darah segera.

Monitoring dan lakukan koreksi jika ada gangguan metabolit dan atau elektrolit contohnya:
hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia dan asidosis. Setelah 6 jam pemberian cairan
koloid namun hematokrit terus turun dan tanda vital tetap tidak stabil, pertimbangkan untuk
pemberian transfusi darah segera. Indikasi dilakukan transfusi darah pada pasien DBD
derajat 4 adalah bila dapat dibuktikan kehilangan darah yang bermakna secara klinis dan
pasien mengalami perdarahan yang tersembunyi. Apabila pasien mengalami kehilangan
darah bermakna (>10% volume darah total), berikan transfusi darah sesuai kebutuhan. Total
volume darah adalah 80 ml/kgBB. Dianjurkan menggunakan Packed Red Cell (PRC), namun
jika tidak tersedia maka transfusi darah segar dapat menjadi pilihan. Pada pasien dengan
perdarahan tersembunyi, jumlah transfusi yang dianjurkan adalah 10 mL/kgBB/kali (darah
segar) atau 5 mL/kgBB/kali (PRC).

Cairan Koloid Pilihan


Dekstran-40 (10% dekstran dalam normal salin) adalah cairan dengan osmolaritas 3 kali
plasma darah, sehingga diharapkan dapat mengikat air lebih baik. Tetesan dekstran-40 harus
10 mL/kgBB/jam sehingga dapat mempertahankan osmolaritas maksimum ketika diberikan
kepada pasien anak. Dosis maksimumnya adalah 30 mL/kgBB/jam. Pemberian yang
melebihi dosis maksimum dapat menyebabkan gagal ginjal akut iatrogenik. Lama pemberian
yang dianjurkan tidak lebih dari 24-48 jam.7

Tatalaksana DBD dapat pula terbagi atas :

Tatalaksana Demam Berdarah Dengue tanpa syok

Anak dirawat di rumah sakit

1. Berikan anak banyak minum larutan oralit atau jus buah, air tajin, air sirup, susu,
untuk mengganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma, demam, muntah/diare.
2. Berikan parasetamol bila demam. Jangan berikan asetosal atau ibuprofen karena obat-
obatan ini dapat merangsang terjadinya perdarahan.
3. Berikan infus sesuai dengan dehidrasi sedang:
a. Berikan hanya larutan isotonik seperti Ringer laktat/asetat
b. Kebutuhan cairan parenteral
i. Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam
ii. Berat badan 15-40 kg : 5 ml/kgBB/jam
iii. Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam
c. Pantau tanda vital dan diuresis setiap jam, serta periksa laboratorium
(hematokrit, trombosit, leukosit dan hemoglobin) tiap 6 jam
d. Apabila terjadi penurunan hematokrit dan klinis membaik, turunkan jumlah
cairan secara bertahap sampai keadaan stabil. Cairan intravena biasanya
hanya memerlukan waktu 24–48 jam sejak kebocoran pembuluh kapiler
spontan setelah pemberian cairan.
4. Apabila terjadi perburukan klinis berikan tatalaksana sesuai dengan tata laksana syok
terkompensasi (compensated shock).

Tatalaksana Demam Berdarah Dengue dengan Syok

1. Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit secarra nasal.
2. Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti Ringer laktat/asetat secepatnya.
3. Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian kristaloid 20 ml/kgBB
secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian koloid 10-
20ml/kgBB/jam maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.
4. Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin menurun
pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi; berikan transfusi
darah/komponen.
5. Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer mulai membaik,
tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi hingga 10 ml/kgBB/jam dalam 2-4
jam dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi klinis dan
laboratorium.
6. Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam. Ingatlah
banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang terlalu banyak daripada
pemberian yang terlalu sedikit. 6
Gambar 10. Nasihat kepada orang tua sebelum pasien dipulangkan 5

KOMPLIKASI
a. Ensefalopati Dengue

Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan


dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.
Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat
menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat
sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh
darah otak, sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang
menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah otak.
Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati
akut.

Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak danalkalosis, maka bila


syok telah teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03- dan
jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar
dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 1:3. Untuk mengurangi udem otak
diberikan dexametason 0,5 mg/kg BB/kali tiap 8 jam, tetapi bila terdapat
perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat
disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar
gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik),
koreksi asidosis dan elektrolit.

Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi
produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak
memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah)
untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau
komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan tranfusi
tukar. Pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek.

b. Kelainan ginjal

Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari
syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik
walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan
menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah
teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah
dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1
ml / kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik,
sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada
keadaan syok berat sering kali dijumpai akute tubular necrosis, ditandai penurunan
jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
c. Udema paru

Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian
cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima
sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh
karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi
plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan
terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematocrit
tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan,
disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran udem paru
pada foto rontgen dada.

Komplikasi demam berdarah biasanya berasosiasi dengan semakin beratnya


bentuk demam berdarah yang dialami, pendarahan, dan shock syndrome.
Komplikasi paling serius walaupun jarang terjadi adalah sebagai berikut:

a. Dehidrasi

b. Pendarahan

c. Jumlah platelet yang rendah

d. Hipotensi

e. Bradikardi
f. Kerusakan hati9
DAFTAR PUSTAKA

1. Dinkesprov Jawa Timur. (2017). Profil kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun
2016. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Kota Surabaya.
2. Kemenkes RI. 2016. Profil kesehatan Indonesia tahun 2015. Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta.
3. Pongsilurang, C. M., Sapulete, M. R., & Kaunang, W. P. J. 2015. Pemetaan kasus
demam berdarah dengue di Kota Manado. Jurnal Kedokteran Komunitas dan
Tropik, 3(2), 66–72.
4. Syafira Ulfa Adlia, 2017. Perbedaan gejala klinis dan derajat penyakit infeksi
dengue pada anak dan dewasa di rumah sakit umum daerah a. Dadi tjokrodipo
bandar lampung. Fakultas Kedokteran Universitas Bandar Lampung.
5. Anggraeni Melisa, 2015. Klasifikasi Baru Infeksi Virus Dengue. Siloam Hospital
Lippo Cikarang.
6. ICHRC, 2016. Demam berdarah dengue : diagnosis dan tatalaksana. Hospital
care for children.
7. IDAI, 2016. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Virus Dengue Pasien
Anak (4): Terapi Cairan Demam Berdarah Dengue Pasien Anak.
8. Nugraha Jusak, 2018. Peran antigen NS1 dengue terhadap penghitungan
trombosit dan penampakan manifestasi klinis penjangkitan/penularan infeksi
virus dengue. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory
Vol 6 No.3.
9. RA Chandra,2014. Komplikasi demam dengue. Bab II Tinjauan Pustaka.
10. Sukohar, A. 2014. Demam berdarah dengue (DBD). Medula Unila. 2(2): 1-15
11. Wibisono, E. 2014. Kapita Selekta Kedokteran (IV). Jakarta Pusat: Media
Aesculapius.Surakarta. Universitas Sebelas Maret.

Anda mungkin juga menyukai