Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

CT-Scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-x, komputer

dan televisi sehingga mampu menmpilkan gambar anatomis tubuh dalam

manusia dalam bentuk irisan atau slice. Prinsip kerja CT-Scan

menggunakan sinar-x sebagai sumber radiasi. Sinar-x berasal dari tabung

yang terletak berhadapan dengan sejumlah detektor, dimana keduanya

bergerak secara sinkron memutari pasien sebagai objek yang ditempatkan

diantaranya.(Rasad, 2000)

Kecanggihan CT-Scan ini diantaranya dimanfaatkan untuk

mendiagnosa sinusitis karena kelebihannya dalam menampakkan

penebalan mukosa, keadaan dinding sinus, air-fluid level, perselubungan

homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, dan

penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik) yang

tidak dapat dinilai dari foto polos biasa. (Amstrong, 1989)

Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis ingin mengkaji lebih lanjut

mengenai teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus

pansinusitis di Divisi Radiologi Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang dan

mengangkatnya sebagai laporan kasus yang berjudul “ TEKNIK

PEMERIKSAAN CT-SCAN SINUS PARANASAL PADA KASUS

PANSINUSITIS DI DIVISI RADIOLOGI RUMAH SAKIT DOKTER KARIADI

SEMARANG ”.
2

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan

masalah sebagai berikut :

Bagaimana prosedur pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus

pansinusitis di Divisi Radiologi RSDK Semarang ?

1.3 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui prosedur pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal

dengan kasus pansinusitis di Divisi Radiologi RSDK Semarang.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diperoleh dari pembuatan laporan kasus ini

antara lain:

1.4.1 Bagi Penulis

Penulis dapat menambah pengalaman dan dapat mengetahui lebih

lanjut tentang teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan

kasus pansinusitis di Divisi Radiologi RSDK Semarang.

1.4.2 Bagi Pembaca

Pembaca dapat memperoleh informasi dan pengetahuan tentang

teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus

pansinusitis di Divisi Radiologi RSDK Semarang.

1.4.3 Bagi Rumah Sakit

Dapat memberikan dorongan dalam meningkatkan pelayanan

diagnostik, khususnya pada pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal

dengan kasus pansinusitis.


3

1.4.4 Bagi Akademi

Sebagai bahan masukan bagi penulusan laporan kasus dengan

kasus yang sama.

1.5 Sistematika Penulis

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan laporan

ini adalah :

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,

manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisi anatomi sinus paranasal, patologi sinusitis, dasar-dasar

CT-Scan, dan teknik pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal.

BAB III : HASIL DAN PEMBAHASAN

Berisi tentang paparan kasus dan pembahasan.

BAB IV : PENUTUP

Berisi kesimpulan dan saran.


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan rongga yang berisi udara yang dilapisi

oleh membran mukosa yang berada disekitar rongga hidung. Rongga udara

yang mengisi sinus paranasal biasanya disebut dengan accessory nasal

sinus. ( Bontrager, 2001)

Sinus paranasal dibagi menjadi 4 kelompok menurut letak tulang,

yaitu sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidalis dan sinus

sphenoidalis. Sinus maksilaris termasuk bagian dari tulang wajah

sedangkan frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis dimasukkan ke dalam

golongan tulang cranium.(Kelley dan Petersen, 1997)

Sinus paranasal mulai mengalami perkembangan pada fetus, tetapi

hanya sinus maksilaris yang memperlihatkan suatu rongga yang

perkembangannya begitu terbatas. Sinus frontalis dan sinus sphenoidalis

mulai tampak pada gambaran Radiografi pada umur 6 – 7 tahun. Sinus

ethnoidalis adalah sinus yang mengalami perkembangan paling terakhir

dibandingkan yang lainnya. Semua sinus paranasal mengalami

perkembangan secara maksimal pada akhir masa remaja. Masing-masing

bagian sinus akan dipelajari, dimulai dari sinus yang paling besar, yaitu

sinus maksilaris.

4
5

2.1.1 Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar. Dulu

istilah yang digunakan untuk sinus maksilaris adalah “antrum”

singkatan dari “Antrum of High More”. Masing-masing sinus

maksilaris memiliki bentuk yang menyerupai suatu pyramid bila

dilihat dari anterior, bila dilihat secara lateral sinus maksilaris lebih

nampak seperti kubus.

Sinus maksilaris memiliki dinding tulang yang sangat tipis

bagian bawah dari sinus maksilaris superposisi dengan bagian

bawah tulang nasal. Bila dilihat pada bagian bawah sinus maksilaris

adalah terlihat beberapa coni celekations berhubungan dengan gigi

molar 1 dan 2 bagaian atas. Ada kalanya batas bawah sinus

maksilaris mengalami perforasi atau mengalami perlobangan dan

mengakibatkan terjadinya infeksi pada gigi, mempengaruhi bagian

molar dan premolar dan merambat naik ke sinus maksilaris.

Semua rongga sinus paranassal saling berhubungan dengan

lainnya dan berhubungan juga dengan rongga hidung, yang mana

dibagi menjadi dua ruangan yang sama atau disebut dengan fossa.

Pada kasus sinus maksilaris lokasi penghubung antara nasal dan

maksilari merupakan permukaan masuknya ke muiddle nasal

meatus dan kemudian diteruskan ke superior medial aspek dari

rongga sinus itu sendiri.

2.1.2 Sinus Frontalis

Sinus frontal berada diantara bagian dalam dan luar os

frontal, ke posterior membentuk glabela dan jarang berbentuk


6

sebelum umur 6 tahun. Sinus frontalis pada umumnya dipisahkan

oleh septum yang menyimpang dari satu sisi dengan sisi yang

lainnya, dan menghasilkan satu rongga tunggal. Bagaimanapun

rongga yang ada memiliki bermacam-macam ukuran dan bentuk.

Biasanya pada laki-laki ukuranya lebih besar dari wanita.

(Bontrager, 2001)

2.1.3 Sinus Ethmoidalis

Sinus ethmoidalis adalah termasuk didalam masses lateral

atau labirin dari tulang ethmoid. Rongga udara sinus ethmoidalis

dikelompokkan menjadi anterior, middle dan posterior collections,

tetapi semua yang ada diatas tidak saling berhubungan. (Bontrager,

2001)

2.1.4 Sinus Sphenoidalis

Sinus sphenoidalis berada didalam bodi tulang sphenoid

yang berada dibawah sela tursika. Bodi dari tulang sphenoid terdiri

dari sinus yang berbentuk kubus dan dibagi oleh suatu sekat tipis

untuk membentuk dua rongga. Septum dan sphenoid mungkin tidak

sempurna dan menghasilkan hanya satu rongga karena sinus

sphenoid sangat dekat dengan dasar cranium, kadang-kadang

proses pathologi dari cranium mengakibatkan efek pada sinus

tersebut. Suatu contoh adalah demonstrasi dari suatu air fluid level

di dalam sinus sphenoid yang kemudian mengakibatkan trauma

tulang tengkorak. Ini mungkin membuktikan bahwa pasien

mempunyai suatu fraktur dasar kepala yang disebut dengan

“sphenoid effusion”.
7

Frontal
sinus

Ethmoid
Sphenoid sinuses
sinus

Maxilari
sinus

Gambar 2.1 Posisi Anterior Sinus Paranasal

( Kelley dan Peterson, 1997 )

Gambar 2.2 Posisi Lateral Sinus Paranasal

( Kelley dan Peterson, 1997 )

2.2 Patologi Sinusitis

2.2.1 Pengertian Sinusitis

Sinusitis merupakan radang mukosa pada sinus paranasal.

Sinusitis yang sering terjadi pada sinus maksilaris. Karena sinus

maksilaris merupakan sinus terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi


8

dari dasar, sehingga sekret (drainase) dari sinus maksila hanya

tergantung pada gerakan silia dan dasar dari sinus maksila adalah

dasar akar gigi (prosesus olveolaris) sehingga infeksi dapat

menyebabkan sinusitis maksila. (Soepardi, 2001)

2.2.2 Pengertian Pansinusitis

Pansinusitis yaitu suatu keadaan dimana terdapat

perselubungan pada seluruh sinus-sinus, biasanya sering terjadi

pada kasus-kasus sinusitis. (Rasad, 1992)

2.2.3 Jenis Sinusitis

a. Sinusitis Akut

Sinusitis akut adalah peradangan akut mukosa pada

sebagian atau seluruh sinus paranasal. Sinusitis akut dapat

terjadi akibat suatu trauma misalnya pada fraktur tulang maksila

dan tulang frontal, benda asing dalam hidung atau sepsis gigi

(Pracy. R, 1989)

Gambaran umum dan sinusitis akut adalah penderita

mula-mula mengeluh pilek, sumbatan hidung bertambah berat

dan penciuman terganggu (Pracy. R, 1989)

b. Sinusitis Kronik

Sinusitis kronik adalah proses peradangan kronis pada

mukosa dan dinding tulang sinus paranasal. Faktor penyebab

sinusitis kronik diantaranya adalah Pneumatisasi sinus yang

tidak memadai, lingkungan kotor dan sepsis gigi (Pracy. R,

1989)
9

2.3 Dasar-dasar CT-Scan

CT-Scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-X, komputer

dan televisi. Prinsip kerjanya yaitu berkas sinar-X yang terkolimasi dan

adanya detektor. Di dalam komputer terjadi proses pengolahan dan

perekonstruksian gambar dengan penerapan prinsip matematika atau yang

lebih dikenal dengan rekonstruksi algorithma. Setelah proses pengolahan

selesai, maka data yang telah diperoleh berupa data digital yang

selanjutnya diubah menjadi data analog untuk ditampilkan ke layar monitor.

Gambar yang ditampilkan dalam layar monitor selanjutnya diubah menjadi

data analog untuk ditampilkan ke layar monitor. Gambar yang ditampilkan

dalam layar monitor berupa informasi anatomis irisan tubuh.

Pada CT-Scan prinsip kerjanya hanya dapat menggambarkan tubuh

dengan irisan melintang tubuh. Namun dengan memanfaatkan teknologi

komputer maka gambaran aksial yang telah didapatkan dapat direformat

kembali sehingga sehingga didapatkan gambaran coronal, sagital, oblik.

diagonal bahkan bentuk 3 dimensi dari objek tersebut. (Rasad, 2000).

2.3.1 Perkembangan CT-Scan (Rasad, 2000)

Setelah Godfrey Hounsfield dari EMI Limited London dan

James Ambrosse dari Atkinson Morley ‘s Hospital mulai

memperkenalkan CT-Scan pada tahun 1970 di London Inggris,

maka CT-Scan mengalami perkembangan yang cukup pesat. CT-

Scan pada masa tersebut hanya dapat menggambarkan kepala

dengan waktu pemeriksaan yang cukup lama. Pada periode-

periode selanjutnya CT-Scan mengalami berbagai pembaharuan,


10

dimulai dari CT-Scan generasi II hingga CT-Scan generasi ke IV.

Pada prinsipnya pembaharuan tersebut terletak pada fungsi

pemeriksaan dan waktu pemeriksaan yang semakin singkat.

Pada tahun 1990, CT-Scan mengalami kemajuan yang

cukup penting, yaitu mulai diperkenalkannya CT Helical atau CT-

Spiral. Keunggulan dari alat ini waktu eksposi yang semakin singkat.

CT Helical menggunakan metode Slip ring yang pada prinsipnya

menggantikan kabel-kabel tegangan tinggi yang terpasang pada

tabung sinar-X di dalam gantry yang disertai dengan pergerakan

meja. Dengan metode ini, tabung sinar-X dapat berotasi secara

terus menerus sambil mengeksposi pasien yang bergerak secara

sinkron. Prinsip itulah yang dikenal dengan spiral. Di dalam CT

Helical dikenal prinsip single slice. Perbedaan utama dari kedua

prinsip ini terletak pada jumlah jalur detektor yang berpengaruh

pada lamanya pemeriksaan dan resolusi gambar yang dihasilkan.

2.3.2 Komponen-komponen CT-Scan Generasi Ke II (Tortorici, 1995 )

a. Gantry

Di dalam CT-Scan, pasien berada di atas meja pemeriksaan dan

meja tersebut dapat bergerak menuju gantry. Gantry ini terdiri

dari beberapa perangkat keras yang keberadaannya sangat

diperlukan untuk menghasilkan suatu gambaran. Perangkat

keras tersebut antara lain tabung sinar-X, kolimator, dan

detektor.
11

b. Tabung Sinar-X

Berdasarkan strukturnya tabung sinar-X sangat mirip dengan

tabung sinar-X konvensional, namun perbedaannya terletak

pada kemampuannya untuk menahan panas dan output yang

tinggi. Panas yang cukup tinggi dengan elektron-elektron yang

menumbuknya. Ukuran fokal spot yang cukup kecil (kurang dari

1 mm) sangat dibutuhkan untuk menghasilkan resolusi yang

tinggi.

c.Kolimator

Kolimator berfungsi untuk mengurangi radiasi hambur,

membatasi jumlah sinar-X yang sampai ke tubuh pasien serta

untuk meningkatkan kualitas gambar, tidak seperti pada

pesawat radiografi konvensional. CT-Scan menggunakan 2 buah

kolimator. Kolimator pertama diletakkan pada rumah tabung

sinar-X yang disebut pre pasien kolimator dan kolimator yang

kedua diletakkan antara pasien dan detektor yang disebut per

detektor kolimator atau post pasien kolimator.

d. Detektor

Selama eksposi, berkas sinar-X (foton) menembus pasien dan

mengalami perlemahan (attenuasi). Sisa-sisa foton yang telah

terattenuasi kemudian ditangkap oleh detektor. Ketika detektor

menerima sisa-sisa foton tersebut, foton berinteraksi dengan

detektor dan memproduksi sinyal dengan arus yang kecil yang

disebut sinar output analog. Sinyal ini besarnya sebanding

dengan intensitas radiasi yang diterima. Kemampuan


12

penyerapan detektor yang tinggi akan berakibat kualitas

gambar yang dihasilkan menjadi lebih optimal. Detektor memiliki

2 tipe yaitu detektor solid stete dan detektor irisan gas.

e. Meja Pemeriksaan (Couch)

Meja pemeriksaan merupakan tempat untuk memposisikan

pasien. Meja ini biasanya terbuat dari fiber karbon. Dengan

adanya bahan ini maka sinar-x yang menembus pasien tidak

terhalangi jalannya untuk menuju detektor. Meja ini harus kuat

dan kokoh mengingat fungsinya untuk menopang tubuh pasien

selama meja bergerak ke dalam gantry.

f. Sistem Konsul

Konsul tersedia dalam berbagai variasi. CT-Scan generasi awal

masih menggunakan 2 sistem konsul yaitu untuk pengoperasian

CT-Scan sendiri dan untuk perekaman dan pencetakan gambar.

Model yang terbaru sudah memiliki banyak kelebihan dan

banyak fungsi.

Bagian dari sistem konsul ini yaitu :

1. Sistem Kontrol

Pada bagian ini petugas dapat mengontrol parameter-

parameter yang berhubungan dengan beroperasinya CT-

Scan seperti pengaturan kV, mA dan waktu scanning,

ketebalan irisan (Slice thickness), dan lain-lain. Juga

dilengkapi dengan keyboard untuk memasukkan data pasien

dan pengontrol fungsi tertentu dalam komputer.


13

2. Sistem Pencetakan Gambar

Setelah gambar CT-Scan diperoleh, gambaran tersebut

dipindahkan dalam bentuk film. Pemindahan ini

menggunakan kamera multi format. Cara kerjanya yaitu

kamera merekam gambaran di monitor dan

memindahkannya ke dalam film. Tampilan gambaran di film

dapat mencapai 2-24 gambar tergantung ukuran film

(biasanya 8 x 10 inchi atau 14 x 17 inchi).

3. Sistem Perekaman Gambar

Merupakan bagian penting yang lain dari CT-Scan.

Data pasien yang telah ada disimpan dan dapat dipanggil

kembali dengan cepat. Biasanya sistem perekaman ini

berupa disket optik dengan kemampuan penyimpanan

sampai ribuan gambar. Ada pula yang menggunakan

magnetic tape dengan kemampuan penyimpanan data

hanya sampai 200 gambar.

1 2

Gambar 2.3 Komponen CT-Scan

(Bontrager, 2001)
14

Keterangan :

1. Gantry dan couch (meja pemeriksaan)

2. Komputer dan console

2.3.3 Parameter CT-Scan

Gambaran pada CT-Scan dapat terjadi sebagai hasil dari

berkas-berkas sinar-X yang mengalami perlemahan serta

menembus objek, ditangkap detektor, dan dilakukan pengolahan di

dalam komputer. Penampilan gambar yang baik tergantung dari

kualitas gambar yang dihasilkan sehingga aspek klinis dari gambar

tersebut dapat dimanfaatkan dalam rangka untuk menegakkan

diagnosa. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam CT-Scan

dikenal beberapa parameter untuk pengontrolan eksposi dan output

gambar yang optimal.

a. Slice Thickness

Slice thickness adalah tebalnya irisan atau potongan dari

objek yang diperiksa. Nilainya dapat dipilih antara 1 - 10 mm

sesuai dengan keperluan klinis. Pada umumnya ukuran yang

tebal akan menghasilkan gambaran dengan detail yang rendah,

sebaliknya yang tipis akan menghasilkan gambaran dengan

detail yang tinggi.

b. Range

Range atau rentang adalah perpaduan atau kombinasi

dari beberapa slice thickness. Sebagai contoh untuk CT-Scan

thorax, range yang digunakan adalah sama yaitu 5-10 mm mulai


15

dari apeks paru sampai diafragma. Pemanfaatan dari range

adalah untuk mendapatkan ketebalan irisan yang sama pada

satu lapangan pemeriksaan.

c.Faktor Eksposi

Faktor eksposi adalah faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap eksposi meliputi tegangan tabung (kV), arus tabung

(mA) dan waktu eksposi (s). Besarnya tegangan tabung dapat

dipilih secara otomatis pada tiap-tiap pemeriksaan. Namun

kadang-kadang pengaturan tegangan tabung diatur ulang untuk

menyesuaikan ketebalan objek yang akan diperiksa (rentangnya

antara 80 – 140 kV). Tegangan tabung yang tinggi biasanya

dimanfaatkan untuk pemeriksaan paru dan struktur tulang

seperti pelvis dan vertebra. Tujuannya adalah untuk

mendapatkan resolusi gambar yang tinggi sehubungan dengan

letak dan struktur penyusunnya.

d. Field of View (FoV)

Field of View adalah maksimal dari gambaran yang akan

direkonstruksi. Besarnya bervariasi dan biasanya berada pada

rentang 12-50 cm. FoV yang kecil maka akan mereduksi ukuran

pixel (picture element), sehingga dalam proses rekonstruksi

matriks gambarannya akan menjadi lebih teliti. Namun, jika

ukuran FoV terlalu kecil maka area yang mungkin dibutuhkan

untuk keperluan klinis menjadi sulit untuk dideteksi.


16

e. Gantry tilt

Gantry tilting adalah sudut yang dibentuk antara bidang

vertikal dengan gantry (tabung sinar-x dan detektor). Rentang

penyudutan –250 sampai + 250. Penyudutan dari gantry

bertujuan untuk keperluan diagnosa dari masing-masing kasus

yang harus dihadapi. Di samping itu, bertujuan untuk mereduksi

dosis radiasi terhadap organ-organ yang sensitif seperti mata.

f. Rekonstruksi Matriks

Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom

pada picture element (pixel) dalam proses perekonstruksian

gambar. Pada umumnya matriks yang digunakan berukuran 512

x 512 (5122) yaitu 512 baris dan 512 kolom. Rekonstruksi

matriks ini berpengaruh terhadap resolusi gambar yang akan

dihasilkan. Semakin tinggi matriks yang dipakai maka semakin

tinggi resolusi yang akan dihasilkan.

g. Rekonstruksi Algorithma

Rekonstruksi algorithma adalah prosedur matematis

(algorithma) yang digunakan dalam merekonstruksi gambar.

Hasil dan karakteristik dari gambar CT-Scan tergantung pada

kuatnya algorithma yang dipilih. Sebagian besar CT-Scan sudah

memiliki standar algorithma tertentu untuk pemeriksaan kepala,

abdomen, dan lain-lain. Semakin tinggi resolusi algorithma yang

dipilih, maka semakin tinggi pula resolusi gambar yang akan

dihasilkan. Dengan adanya metode ini maka gambaran seperti


17

tulang, soft tissue, dan jaringan-jaringan lain dapat dibedakan

dengan jelas pada layar monitor.

h. Window Width

Window Width adalah rentang nilai computed

tomography yang akan dikonversi menjadi gray levels untuk

ditampilkan dalam TV monitor.

Setelah komputer menyelesaikan pengolahan gambar melalui

rekonstruksi matriks dan algorithma maka hasilnya akan

dikonversi menjadi skala numerik yang dikenal dengan nama

nilai computed tomography. Nilai ini mempunyai satuan HU

(Hounsfield Unit) yang diambil dari nama penemu CT-Scan

kepala pertama kali yaitu Godfrey Hounsfield.

Berikut ini tabel nilai CT pada jaringan yang berbeda

penampakannya pada layar monitor (Bontrager, 2001)

Tipe jaringan Nilai CT (HU) Penampakan


Tulang +1000 Putih

Otot +50 Abu-abu

Materi putih +45 Abu-abu menyala

Materi abu-abu +40 Abu-abu

Darah +20 Abu-abu

CSF +15 Abu-abu

Air 0

Lemak -100 Abu-abu gelap ke hitam

Paru -200 Abu-abu gelap ke hitam

Udara -1000 Hitam


18

Dasar pemberian nilai ini adalah air dengan nilai 0 HU.

Untuk tulang mempunyai nilai +1000 HU kadang sampai + 3000

HU. Sedangkan untuk kondisi udara nilai ini adalah air dengan

yang dimiliki – 1000 HU. Diantara rentang tersebut merupakan

jaringan atau substansi lain dengan nilai berbeda-beda pula

tergantung pada tingkat perlemahannya. Dengan demikian

penampakan tulang dalam monitor menjadi putih dan

penampakan udara hitam. Jaringan dan substansi lain akan

dikonversi menjadi warna abu-abu yang bertingkat yang disebut

Gray Scale. Khusus untuk darah yang semula dalam

penampakannya berwarna abu-abu dapat menjadi putih jika

diberi media kontras Iodine.

i. Window Level

Window level adalah nilai tengah dari window yang

digunakan untuk penampakan gambar. Nilainya dapat dipilih

tergantung pada karakteristik perlemahan dari struktur objek

yang diperiksa. Window level ini menentukan densitas gambar

yang akan dihasilkan.

2.4 Teknik Pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal

2.4.1 Pengertian

Teknik pemeriksaan CT-Scan SPN merupakan pemeriksaan

radiologi untuk mendapatkan gambaran irisan dari sinus paranasal

baik secara aksial maupun coronal. CT-Scan SPN memberiakan

pandangan yang memuaskan atas sinus dan dapt menilai opasitas,


19

penyebab, dan jenis kelainan dari sinus. CT-Scan SPN baik dalam

memperlihatkan dekstruksi tulang dan mempunyai peranan penting

dalam perencanaan terapi serta menilai respon terhadap

radioterapi. Hal-hal tersebut merupakan kelebihan CT-Scan SPN

dibandingkan dengan foto polos SPN biasa.(Amstrong, 1989)

2.4.2 Indikasi Pemeriksaan

a. Sinusitis

Pada kasus sinusitis, CT-Scan akan menampakkan

penebalan mukosa, air-fluid level, perselubungan homogen atau

tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, dan

penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus

kronik).

b. Infeksi atau alergi

Udara dalam sinus digantikan oleh cairan/ mukosa yang

menebal hebat atau kombinasi keduanya.

c. Mukokel

Merupakan sinus yang mengalami obstruksi. CT-Scan

SPN jelas memperlihatkan ukuran dan luas mukokel.

d. Karsinoma sinus atau rongga hidung

CT-Scan SPN baik dalam menampakkan dekstruksi tulang

akibat tumor, luas dan invasi tumor.

(Amstrong, 1989)

2.4.3 Prosedur Pemeriksaan


20

a. Persiapan Pasien ( Seeram, 2001 )

Persiapan pasien untuk pemeriksaan CT-Scan SPN adalah

sebagai berikut :

1. Semua benda metalik harus disingkirkan dari daerah yang

diperiksa, termasuk anting, kalung, dan jepit rambut.

2. Pasien harus diinstruksikan agar mengosongkan vesika

urinarianya sebelum pemeriksaan dilakukan, karena jika

menggunakan media kontras intra vena menyebabkan

vesika urinaria cepat terisi penuh sehingga pemeriksaan

tidak akan terganggu oleh jeda waktu ke kamar kecil.

3. Jika menggunakan media kontras, alasan penggunaannya

harus dijelaskan kepada pasien.

4. Komunikasikan kepada pasien tentang prosedur

pemeriksaan sejelas-jelasnya (inform consern) agar pasien

nyaman dan mengurangi pergerakan sehingga dihasilkan

kualitas gambar yang baik.

b. Persiapan Alat dan Bahan

Alat dan bahan untuk pemeriksaan CT-Scan SPN dengan

kasus sinusitis diantaranya :

1. Pesawat CT-Scan

2. Alat-alat fiksasi kepala

Biasanya pemeriksaan CT-Scan SPN dengan kasus sinusitis

dilakukan tanpa menggunakan media kontras. (Ballinger, 1995)

c. Teknik Pemeriksaan
21

Pemeriksaan CT-Scan SPN dengan kasus sinusitis

menggunakan dua jenis potongan , yaitu potongan aksial dan

potongan coronal. ( Ballinger, 1995 )

1. Potongan Aksial

a) Posisi pasien : pasien berbaring supine di atas meja

pemeriksaan. Kedua lengan di

samping tubuh, kaki lurus ke bawah

dan kepala berada di atas headrest

(bantalan kepala ). Posisi pasien diatur

senyaman mungkin.

b) Posisi objek : kepala diletakkan tepat di terowongan

gantry, mid sagital plane segaris

tengah meja. Mid aksial kepala tepat

pada sumber terowongan gantry.

(Weisberg, 1984)

Gambar 2.4 Posisi Pasien Potongan Aksial

(Amstrong, 1989)

2. Potongan Coronal
22

Potongan coronal merupakan teknik khusus.

a) Posisi pasien : pasien berbaring prone di atas meja

pemeriksaan dengan bahu diganjal

bantal. Kepala digerakkan ke belakang

(hiperekstensi) sebisa mungkin

dengan membidik menuju vertikal.

Gantry sejajar dengan tulang-tulang

wajah.

b) Posisi objek : kepala tegak atau digerakkan ke

belakang (hiperekstensi) sebisa

mungkin dan diberi alat fiksasi agar

tidak bergerak. (Lowge, 1989)

Gambar 2.5 Posisi Pasien Potongan Coronal

(Amstrong, 1989)

d. Scan Parameter

Scanogram : cranium lateral

Slice thickness

aksial : 5 mm

coronal : 3 mm ( Seeram, 2001 )

Range
23

aksial : 5 mm di bawah sinus maksilaris sampai sinus

frontalis

coronal : 5 mm posterior sinus sphenoideus sampai sinus

frontalis ( Ballinger, 1995 )

Standar algoritma

aksial : algoritma tulang

coronal : algoritma standar

kV : 130

mAs : 60 ( Seeram, 2001)

Gambar yang dihasilkan dalam pemeriksaan CT-Scan Sinus

Paranasal adalah sebagai berikut : ( Kelley dan Petersen, 1997 )

Gambar 2.6 Potongan aksial I

Keterangan :

iNC (inferior nasal conchae) ,M (maksila) , MS ( Maksilari Sinus ),

NaS (Nasal septum), Z (Zygoma)


24

SpS

Gambar 2.7 Potongan aksial II

Keterangan :

E (Ethmoid Bone), L (Lacrimal bone), sOF (superior orbital fissure),

SpS (Sphenoid Sinus), Z (Zygoma)

EtS

Gambar 2.8 Potongan aksial III

Keterangan :

aCL (anterior clinoid process), DS (dorsum sella), EtS (Ethmoid

Sinuses), OpC (optic canal), Z (Zygoma)


25

FrS

Gambar 2.9 Potongan aksial IV

Keterangan :

FrS (Frontal Sinus)

Gambar 2.10 Potongan coronal I

Keterangan :

aCL (anterior clinoid process), FR (foramen rotundum), mNC

(middle nasal conchae), sOF (superior orbital fissure), SpS

(Sphenoid Sinus)
26

EtS

MS

Gambar 2.11 Potongan coronal II

Keterangan :

EtB (Ethmoid Bone), EtS (Ethmoid Sinuses), Inf (Infundibulum),

mME (middle meatus), MS (Maksilari Sinus)

Gambar 2.12 Potongan coronal III

Keterangan :

EtS (Ethmoid Sinuses), MS (Maksilari Sinus)


27

Gambar 2.13 Potongan coronal IV

Keterangan :

FrS (Frontal Sinus), N (nasal bone), Per (perpendicular plate of

ethmoid), S (septum)
28

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Paparan Kasus

Untuk memberikan gambaran yang jelas dari hasil pengamatan

penulis selama praktek di Divisi Radiologi Rumah Sakit Dokter Kariadi

Semarang, maka penulis akan menyertakan hasil observasi tentang

identitas pasien, riwayat penyakit, serta pelaksaan pemeriksaan CT-Scan

Sinus Paranasal pada penderita dengan diagnosa awal pansinusitis.

3.1.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. C

Umur : 43 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Semarang

No. Registrasi : CT-64453/ 385063

Tanggal pemeriksaan: 1 Desember 2006

Unit : Rawat Jalan

Diagnosa : Sinusitis frontalis dan maksilaris

3.1.2 Riwayat Penyakit

Pasien mengeluh pusing di daerah kening sejak beberapa

bulan terakhir. Dan selama satu bulan terakhir, pasien mengalami

pilek yang tak kunjung sembuh. Pada tanggal 29 November 2006,

pasien berobat ke dokter THT. Atas permintaan dokter dilakukan

pemeriksaan CT-Scan. Sehingga pada tanggal 1 Desember 2006


29

pasien menjalani CT-Scan Sinus Paranasal dengan diagnosa awal

sinusitis frontalis dan maksilaris.

3.1.3 Jenis Tindakan

Jenis tindakan yang dilakukan pada pemeriksaan CT-Scan

Sinus Paranasal pada kasus sinusitis di Divisi Radiologi Rumah

Sakit Dokter Kariadi Semarang adalah dengan menggunakan

potongan aksial dan coronal.

3.1.4 Prosedur Pemeriksaan

a. Persiapan Pasien

1. Pasien dan atau keluarganya diberikan penerangan

mengenai tujuan dan prosedur pemeriksaan sampai dapat

memahami manfaat dan resiko pemeriksaan sehingga

memberikan persetujuan tentang pemeriksaan yang akan

dilakukan.

2. Sebelum pemeriksaan dilakukan, semua material penyebab

artefak di daerah kepala pasien (bila ada) dilepas terlebih

dahulu.

3. Pasien tidak perlu melakukan persiapan puasa sebelum

pemeriksaan karena pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal

dengan diagnosa sinusitis tidak menggunakan media

kontras.
30

b. Persiapan Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan CT-Scan

Sinus Paranasal di Divisi Radiologi Rumah Sakit Dokter Kariadi

Semarang diantaranya :

1. Pesawat CT-Scan generasi III, yang mempunyai spesifikasi :

Merk : Siemens

Tipe : Somatom Emotion Single

Slice

No. Tabung : Art 3804890

s 46017

kV maks : 130 kV

mA maks : 245 mA

Tahun pemasangan : 2003

2. Alat fiksasi ( head clam dan body clam)

3. Selimut

4. Film CT-Scan (Dry View 8100 ) ukuran 35x43 cm

c. Teknik Pemeriksaan

Pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus

pansinusitis di Divisi Radiologi Rumah Sakit Dokter Kariadi

Semarang menggunakan dua jenis potongan , yaitu potongan

aksial dan potongan coronal. Pelaksanaan pemeriksaannya

adalah sebagai berikut :


31

1. Potongan Aksial

a) Posisi pasien

Pasien posisi tidur terlentang pada meja

pemeriksaan. Kepala diatur sedemikian rupa hingga

simetris dan berada di tengah gantry dengan tinggi meja

kurang dari 160. Kepala difiksasi untuk mencegah

pergerakan.

b) Posisi objek

Mengatur mid sagital plane kapala segaris tengah

meja. Sebisa mungkin dasar palatum diatur sejajar

dengan bidang vertikal atau sejajar gantry.

Mengatur meja pemeriksaan sehingga lampu

kolimator jatuh pada verteks.

Mengatur kedua tangan pasien berada di samping

tubuh. Untuk kenyamanan pasien, petugas menyelimuti

pasien untuk mencegah hipotermi dan memfiksasi lutut

pasien dengan menggunakan body clam.

c) Proses pemeriksaan

Proses pemeriksaan dimulai dengan memasukkan

data-data pasien yang diperlukan, kemudian memilih

protokol pemeriksaan SPN rutin (sinus seq). Setelah itu,

memasukkan posisi pasien sesuai kondisi pasien (head

first, supine) pada registrasi pasien di komputer.

Baru kemudian dilanjutkan dengan membuat

topogram cranium lateral untuk merencanakan dan


32

menentukan daerah irisan (daerah sinus) yaitu dari

dasar palatum hingga sinus frontalis. Lalu gantry

disudutkan hingga sejajar dengan dasar palatum diikuti

dengan menekan tombol load.

Selanjutnya dilakukan scanning pada daerah yang

telah diplanning pada topogram.

d) Scan Parameter

Scan parameter potongan aksial pemeriksaan CT-

Scan Sinus Paranasal di Divisi Radiologi Instalasi

Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang adalah sebagai

berikut :

Scanogram/topogram : cranium lateral

Jumlah image : 15

Slice thickness : 5 mm

Range : dasar palatum hingga

superior sinus frontalis

Gantry tilt : sejajar dengan palatum

kV : 130 auto kV

mAs : 60 auto mA

Window width : 3000

Window level : 150


33

2. Potongan Coronal

a) Posisi pasien

Pasien berbaring prone di atas meja pemeriksaan

dengan dagu diletakkan di bantal pengganjal. Kepala

diposisikan hiperekstensi sebisa mungkin.

b) Posisi objek

Kepala tegak dan hiperekstensi sebisa mungkin.

Utamakan kenyamanan pasien dengan memberi alat

fiksasi agar pergerakan pasien dapat dihindari. Kepala

diatur simetris terhadap lampu kolimator yang berhimpit

dengan MSP tubuh.

Mengatur meja pemeriksaan dengan batas anterior

yaitu satu jari di depan frontal.

c) Proses pemeriksaan

Proses pemeriksaan dimulai dengan memasukkan

data-data pasien yang diperlukan, kemudian memilih

protokol pemeriksaan SPN rutin (sinus seq). Setelah itu,

memasukkan posisi pasien sesuai kondisi pasien (head

first, prone) pada registrasi pasien di komputer.

Baru kemudian melanjutkan dengan membuat

topogram cranium lateral untuk merencanakan dan

menentukan daerah irisan (daerah sinus) yaitu daerah

sinus frontalis hingga sphenoidalis. Lalu gantry

disudutkan hingga sejajar dengan tulang-tulang wajah

diikuti dengan menekan tombol load.


34

Selanjutnya dilakukan scanning pada daerah yang

telah diplanning pada topogram.

d) Scan parameter

Scanogram/topogram : cranium lateral

Jumlah image : 23

Slice thickness : 3 mm

Range : sinus frontalis hingga sinus

sphenoidalis

Gantry tilt : sejajar dengan tulang-

tulang wajah

kV : 130 auto kV

mAs : 60 auto mA

Window width : 3000

Window level : 150

b. Proses Pencetakan Gambar

Setelah scanning selesai dan gambar telah sesuai dengan

yang diinginkan, maka gambar siap dicetak dalam Dry View

8100 dengan film CT-Scan ukuran 35 x 43 cm sebanyak 2

lembar.

c. Hasil Pembacaan CT-Scan

Setelah dilakukan pemeriksaan, diperoleh hasil bacaan

sebagai berikut :
35

Tampak kesuraman pada sinus frontalis kanan dan kiri, sinus

ethmoidalis dan sphenoidalis.

Tampak kesuraman homogen pada sinus maksilaris kiri, dan

tampak air fluid level pada sinus maksilaris kanan.

Osteomeatal kompleks kanan dan kiri tamapk obliterasi.

Tampak deviasi septum nasi ke kiri (ringan).

Tak tampak penebalan konka nasalis.

Duktus nasolakrimalis dekstra sinistra obliterasi.

Kesan :

1. Pansinusitis

2. Deviasi septum nasi ke kiri (ringan)

Gambar 3.1 Hasil CT-Scan Potongan Aksial


36

Gambar 3.2 Hasil CT-Scan Potongan Coronal

3.2 Pembahasan

Teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal di Divisi Radiologi

Dokter Kariadi Semarang diawali dengan persiapan pasien yaitu dengan

melepaskan benda-benda penyebab artefak yang ada di daerah kepala.

Lalu dilanjutkan dengan memposisikan pasien sesuai dengan jenis

potongan yang akan dibuat.

Pemeriksaan dengan kasus ini, dibuat dengan dua jenis potongan

yaitu aksial dan coronal. Pada potongan aksial, pasien diposisikan

telentang pada meja pemeriksaan dengan MSP tubuh dan kepala segaris

dengan tengah meja. Kemudian dilakukan pengaturan parameter CT-Scan

Sinus Paranasal yaitu dengan range sinus frontalis hingga sinus maksilaris,

slice thickness sebesar 5 mm dan merotasikan gantry hingga sejajar

dengan dasar palatum.


37

Pada potongan coronal, pasien diposisikan prone di meja

pemeriksaan dengan kepala tegak dan hiperekstensi sebisa mungkin.

Kemudian dilakukan pengaturan parameter CT-Scan Sinus Paranasal yaitu

dengan range posterior sinus sphenoidalis hingga sinus maksilaris, slice

thickness sebesar 3 mm dan merotasikan gantry hingga sejajar tulang-

tulang wajah. Potongan coronal dibuat dengan tujuan agar air-fluid level

tampak lebih jelas dan menampakkan osteomeatal kompleks sebagai

panduan operasi sinus. Sedangkan slice thickness sebesar 3 mm dibuat

agar semua potongan tiap-tiap sinus dapat tampak dan tidak terlewatkan.

Dari hasil pengamatan penulis selama praktik, pemeriksaan CT-

Scan Sinus Paranasal pada kasus pansinusitis di Divisi Radiologi Rumah

Sakit Dokter Kariadi Semarang pada dasarnya telah sesuai dengan teori

karena pada kasus ini telah menggunakan dua jenis potongan yaitu aksial

dan coronal, serta dalam tata laksana pemeriksaan CT-Scan Sinus

Paranasal, petugas telah berpedoman pada prosedur tetap pemeriksaan

CT-Scan Sinus Paranasal yang sesuai dengan teori.


38

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal

dengan kasus pansinusitis di Divisi Radiologi Dokter Kariadi Semarang,

penulis menarik kesimpulan bahwa pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal

pada kasus pansinusitis di Divisi Radiologi Rumah Sakit Dokter Kariadi

Semarang selalu menggunakan protocol pemeriksaan SPN rutin, yaitu

dengan membuat potongan aksial setebal 5 mm tiap potongan dan

potongan coronal setebal 3 mm tiap potongan. Hal ini dengan tujuan agar

semua sinus beserta detail dan penyebab kelainannya dapat terlihat jelas

guna menegakkan diagnosa.

4.2 Saran

Sebaiknya petugas menjelaskan prosedur pemeriksaan yang

akan dilakukan kepada pasien secara lebih jelas, agar pasien dapat

bekerjasama, sehingga akan memperlancar jalannya pemeriksaan.


39

DAFTAR PUSTAKA

Amstrong, Peter. 1989. Diagnostic Imaging. Second Edition. EGC. Jakarta.

Balllinger, P. W. 1995. Merill’s Atlas of Radiographic Positioning and Radiologic


Prosedur. Volume Two. Eight Edition. Mosby Company, St Louis.

Bontrager, Kenneth L. 2001. Text Book of Radiographic Positioning and


Related Anatomy. Mosby A Harcourt Science Company, St . Louis London
Philadelphia Sydey Toronto.

Kelley, Lorrie dan Petersen, Connie. 1997. Sectional Anatomy for Imaging
Professionals. Mosby Year Book, Inc. USA.

Llawge, Sebastian. 1989. Cerebral and Spinal Computerized Tomography. Copy


right by Schering. West Germany.

Pracy, R. J. Siegar, Stell PM. 1989. Pelajaran Ringkas Telinga , Hidung dan
Tenggorokan. Gramedia. Jakarta.

Rasad, S. 1992. Radiologi Diagnostik. FKUI. Jakarta.

Rasad, S. 2000. Radiologi Diagnostik. FKUI. Jakarta.

Seeram, Euclid. 2001. Computed Tomography Physical Principles, Clinical


Applications, and Quality Control. Second Edition. W.B Saunders
Company. USA.

Soepardi. A, E, dan Iskandar, N. 2001. Buku Ajar Telinga, Hidung dan


Tenggorokan. Edisi Lima. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.

Tortorici, M.R, 1995. Advance Radiographic and Angiographic Procedures with


an Introduction to Specialized Imaging. F.A. Davis Company. Philaelphia.

Weisberg, Leon A. 1984. Cerebral Computed Tomography A Text Atlas. Second


Edition. W. B. Saunders Company. Philadelphia, London.

Anda mungkin juga menyukai