Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Emfisema adalah salah satu golongan penyakit paru menahun (PPOK), dimana terjadi gangguan
pengembangan paru-paru yang ditandai dengan adanya pelebaran permanen ruang udara di distal
bronkiolus terminal disertai adanya kerusakan jaringan parenkim paru (alveoli). Emfisema adalah
penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di
paru mengelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas. (Barahah&Jauhar, 2013).
Banyak penyakit yang dikaitkan secara langsung dengan kebiasaan merokok. Salah satu yang harus
diwaspadai adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) / Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD).

Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai 4%, angka kematian mencapai 6% dan angka
kesakitan wanita 2% angka kematian 4%, umur di atas 45 tahun, (Barnes, 1997). Pada tahun 1976
ditemukan 1,5 juta kasus baru, dan tahun 1977 jumlah kematian oleh karena PPOK sebanyak 45.000,
termasuk penyebab kematian di urutan kelima (Tockman MS., 1985). Menurut National Health
Interview Survey, didapatkan sebanyak 2,5 juta penderita emfisema, tahun 1986 di Amerika Serikat
didapatkan 13,4 juta penderita, dan 30% lebih memerlukan rawat tinggal di rumah sakit. The Tecumseh
Community Health Study menemukan 66.100 kematian oleh karena PPOK, merupakan 3% dari seluruh
kematian, serta urutan kelima kematian di Amerika (Muray F.J.,1988). Peneliti lain menyatakan, PPOK
merupakan penyebab kematian ke-5 di Amerika dengan angka kematian sebesar 3,6%, 90% terjadi pada
usia di atas 55 tahun (Redline S, 1991 dikutip dari Amin 1966). Pada tahun 1992 Thoracic Society of the
Republic of China (ROC) menemukan 16% penderita PPOK berumur di atas 40 tahun, pada tahun 1994
menemukan kasus kematian 16,6% per 100.000 populasi serta menduduki peringkat ke-6 kematian di
Taiwan (Perng, 1996 dari Parsuhip, 1998).

Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) DEPKES RI 1992 menemukan angka kematian emfisema, bronkitis kronik dan
asma menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (Hadiarto, 1998).
Survey Penderita PPOK di 17 Puskesmas Jawa Timur ditemukan angka kesakitan 13,5%, emfisema paru
13,1%, bronkitis kronik 7,7% dan asma 7,7% (Aji Widjaja 1993). Pada tahun 1997 penderita PPOK yang
rawat Inap di RSUP Persahabatan sebanyak 124 (39,7%), sedangkan rawat jalan sebanyak 1837 atau
18,95% (Hadiarto, 1998). Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2003 ditemukan penderita PPOK rawat
inap sebanyak 444 (15%), dan rawat jalan 2368 (14%).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, angka kematian PPOK tahun 2010
diperkirakan menduduki peringkat ke-4 bahkan dekade mendatang menjadi peringkat ke-Semakin
banyak jumlah batang rokok yang dihisap dan makin lama masa waktu menjadi perokok, semakin besar
risiko dapat mengalami PPOK.

Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menemukan peningkatan konsumsi rokok tahun 1970-
1993 sebesar 193% atau menduduki peringkat ke-7 dunia dan menjadi ancaman bagi para perokok
remaja yang mencapai 12,8- 27,7%. Saat ini Indonesia menjadi salah satu produsen dan konsumen rokok
tembakau serta menduduki urutan kelima setelah negara dengan konsumsi rokok terbanyak di dunia,
yaitu China mengkonsumsi 1.643 miliar batang rokok per tahun, Amerika Serikat 451 miliar batang
setahun, Jepang 328 miliar batang setahun, Rusia 258 miliar batang setahun, dan Indonesia 215 miliar
batang rokok setahun. Kondisi ini memerlukan perhatian semua fihak khususnya yang peduli terhadap
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Atas dasar itulah, kami membahas lebih lanjut mengenai emfisema yang merupakan salah satu
bagian dari PPOK khususnya mengenai Asuhan Keperawatan pada Klien Emfisema. Sehingga diharapkan
perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien emfisema

B.TUJUAN

1. Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada klien dengan emfisema.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui dan memahami definisi emfisema.
b. Mengetahui dan memahani anatomi dan fisiologi emfisema
c. Mengetahui dan memahami etiologi emfisema.
d. Mengetahui dan memahami klasifikasi emfisema
e. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis emfisema
f. Mengetahui dan memahami kompliksi emfisema
g. Mengetahui dan memahami patofisiologi emfisema.
h. Mengetahui dan memahami WOC emfisema
i. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostic emfisema
j. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan medis dan keperawatan emfisema
k. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pasien dengan emfisema.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP PATOFISIOLOGI PENYAKIT

1. DEFENISI

Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang dan terus menerus
terisi udara walaupun setelah ekspirasi.(Kus Irianto.2004).
Emfisema adalah penyakit obtruktsi kronis akibat kurangnya elastisitas paru dan luas permukaan
alveoli.(Corwin.2000).
Emfisema adalah salah satu golongan penyakit paru menahun, dimana terjadi gangguan
pengembangan paru-paru yang ditandai dengan adanya pelebaran permanen ruang udara di distal
bronkiolus terminal disertai adanya kerusakan jaringan parenkim paru (alveoli). Emfisema adalah
penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di
paru mengelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas. (Barahah&Jauhar, 2013)
Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang diluar bronkiolus terminal dengan
kerusakan dinding alveoli. (Brunner&Suddart, 2002)
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Paru-paru mempunyai 2 sumber suplai darah, dari arteri bronkialis dan arteri pulmonalis. Darah
di atrium kanan mengair keventrikel kanan melalui katup AV lainnya, yang disebut katup semilunaris
(trikuspidalis). Darah keluar dari ventrikel kanan dan mengalir melewati katup keempat, katup
pulmonalis, kedalam arteri pulmonais. Arteri pulmonais bercabang-cabang menjadi arteri pulmonalis
kanan dan kiri yang masing-masing mengalir keparu kanan dan kiri. Di paru arteri pulmonalis bercabang-
cabang berkali-kali menjadi erteriol dan kemudian kapiler. Setiap kapiler memberi perfusi kepada saluan
pernapasan, melalui sebuah alveolus, semua kapiler menyatu kembali untuk menjadi venula, dan venula
menjadi vena. Vena-vena menyatu untuk membentuk vena pulmonalis yang besar.
Darah mengalir di dalam vena pulmonalis kembali keatrium kiri untuk menyelesaikan siklus aliran
darah. Jantung, sirkulasi sistemik, dan sirkulasi paru. Tekanan darah pulmoner sekitar 15 mmHg. Fungsi
sirkulasi paru adalah karbondioksida dikeluarkan dari darah dan oksigen diserap, melalui siklus darah
yang kontinyu mengelilingi sirkulasi sistemik dan par, maka suplai oksigen dan pengeluaran zat-zat sisa
dapat berlangsung bagi semua sel.

Mekanisme Pernafasan Manusia. Pada saat bernafas terjadi kegiatang inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi
adalah pemasukan gas O2 dan udara atmosfer ke dalam paru-paru, sedangkan espirasi adalah
pengeluaran gas CO2 dan uap air dari paru-paru ke luar tubuh.setiap menitnya kita melakukan kegiatang
inspirasi dan espitrasi kurang lebih 16-18 kali. Pernafasan pada manusia dapat digolongkan menjadi 2,
yaitu:

1. Pernafasan dada
Pada pernafasan dada otot yang erperan penting adalah otot antar tulang rusuk. Otot tulang rusuk
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu otot tulang rusuk luar yang berperan dalam mengangkat tulang-
tulang rusuk dan tulang rusuk dalam yang berfungsi menurunkan atau mengembalikan tulang rusuk ke
posisi semula. Bila otot antar tulang rusuk luar berkontraksi, maka tulang rusuk akan terangkat sehingga
volume dada bertanbah besar. Bertambah besarnya akan menybabkan tekanan dalam rongga dada
lebih kecil dari pada tekanan rongga dada luar. Karena tekanan uada kecil pada rongga dada
menyebabkan aliran udara mengalir dari luar tubuh dan masuk ke dalam tubuh, proses ini disebut
proses” inspirasi “ . Sedangkan pada proses ekspirasi terjadi apabila kontraksi dari otot dalam, tulang
rusuk kembali ke posisi semuladan menyebabkan tekanan udara didalam tubuh meningkat. Sehingga
udara dalam paru-paru tertekan dalam rongga dada, dan aliran udara terdorong ke luar tubuh, proses
ini disebut “ekspirasi”.

2.Pernafasan perut

Pada pernafasan ini otot yang berperan aktif adalah otot diafragma dan otot dinding rongga perut. Bila
otot diafragma berkontraksi, posisi diafragma akan mendatar. Hal itu menyebabkan volume rongga
dada bertambah besar sehingga tekanan udaranya semakin kecil. Penurunan tekanan udara
menyebabkan mengembangnya paru-paru, sehingga udara mengalir masuk ke paru- paru(inspirasi).
Bila otot diafragma bereaksi dan otot dinding perut berkontraksi, isi rongga perut akan terdesak ke
diafragma sehingga diafragma cekung ke arah rongga dada. Sehingga volume rongga dada mengecil dan
tekanannya meningkat. Meningkatnya tekanan rongga dada menyebabkan isi rongga paru-paru
terdesak keluar dan terjadilah proses ekspirasi . Kelainan yang terjadi pada sistem pernapasan yang
terjadi pada organ paru-paru seperti emfisema.

Proses fisiologis respirasi di mana oksigen dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan, dan
karbon dioksida dikeluarkan ke udara ekspirasi dapat dibagi menjadi tiga stadium.
1. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru-
paru.
2. Stadium ke dua, transportasi, yang terdiri dari beberapa aspek :
a. difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksterna) dan antara darah
sistemik dan selsel jaringan
b. distribusi darah dalam sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannVa dengan distribusi udara dalam
alveolus-alveolus; dan
c. reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan karbon dioksida dengan darah.
3. Respirasi sel atau respirasi interna merupakan stadium akhir dari respirasi.
Selama respirasi ini metabolit dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan karbon dioksida terbentuk
sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru-paru. (Barahah&Jauhar, 2013)

3. ETIOLOGI
a) Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diataranya
adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E
(IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga,
dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
b) Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase
supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik
paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema
c) Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis dapat
menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi makrofag
alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel
skuamus saluran pernapasan.
d) Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya
lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan asma
bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan
terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronkitis kronik selalu menyebabkan
infeksi paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi
paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumonia
e) Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka
kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi, polusi
udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat
fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar
pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.
f) Faktor Sosial Ekonomi
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin kerena
perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang
lebih jelek.
Beberapa penyebab lain dari obstruksi jalan napas pada emfisema antara lain:
a) Inflamasi dan pembengkakan bronki
b) produksi lendir yang berlebihan
c) hilangnya elastisitas jalan napas
d) kolaps bronkiolus
e) redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi (Barahah&Jauhar, 2013)
4. KLASIFIKASI
Berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru – paru terdapat 3 jenis emfisema :

a. PLE (Panlobular Emphysema/panacinar)

Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak paru-paru bagian
bawah. Terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Merupakan bentuk
morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis
mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu
tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita
emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan bronchitis
kronik.

Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi
enzim alfa 1-antitripsin.Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat
penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami (Cherniack dan
cherniack, 1983). Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan sedikit
penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea
saat aktivitas, dan penurunan berat badan. Tipe ini sering disebut centriacinar emfisema, sering
kali timbul pada perokok.
b. CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar)

Perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus
tetap baik. Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan bronkhiolus,
biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi merambah sampai bronkhiolus tetapi biasanya
kantung alveolus tetap bersisa. CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus
respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung
menjadi satu ruang.

Penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung
menyebar tidak merata. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan
hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan episode gagal
jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas. CLE lebih
banyak ditemukan pada pria, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok (Sylvia A.
Price 1995).

c. Emfisema Paraseptal

Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara dalam
alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari
pneumotorak spontan.

PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak. Biasanya bula
timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkiolus. Pada waktu inspirasi lumen
bronkiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan
banyaknya mukus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali menyempit,
sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara. (Soemantri, 2009)

Berdasarkan efek emfisema pada asinus maka emfisema dapat dibagi menjadi 4 tipe, yakni:

a) Emfisema asinus distal atau disebut juga dengan emfisema paraseptal Lesi ini biasanya terjadi di
sekitar septum lobules, bronkus, dan pembuluh darah atau di sekitar pleura maka mudah
menimbulkan pneumotoraks pada orang muda.
b) Emfisema sentrilobular disebut juga emfisema asinus proksimal atau emfisema bronkiolus
respiratorius. Biasanya terjadi bersama-sama dengan pneumoconiosis atau penyakit-penyakit
oleh karena debu lainnya. Penyakit ini erat hubungannya dengan perokok, bronchitis kronik, dan
infeksi saluran napas distal. Penyakit ini sering didapat bersamaan dengan obstruksi kronik dan
berbahaya bila terdapat pada bagian atas paru.
c) Emfisema parasinar , biasanya terjadi pada seluruh asinus , secara klinis berhubungan erat
dengan defisiensi alfa antitrypsin. (Barahah&Jaurah, 2013)

5. MANIFESTASI KLINIS

a) Dispnea
b) Takipnea, hiperventilasi : untuk mempertahankan oksigenasi darah dan sering kali pasien duduk
membungkuk ke depan (untuk mengaktifkan otot-otot pernapasan asesorius) dengan mulut
terbuka dan lubang hidung membesar sebagai upaya mengatasi kesulitan ventilasi.
c) Pada inspeksi didapatkan : barrel chest karena paru pasien mengalami overinflasi
d) Pernafasan dada , pernafasan abnormal tidak efektif , dan penggunaan otot – otot aksesori
pernafasan (sternokleidomastoid )
e) Pada perkusi : hipersonor dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru .
f) Pada aukultasi : terdengar bunyi nafas dengan krekels , ronkhi ,dan perpanjangan ekspirasi
g) Anoreksia , penurunan berat badan , dan kelemahan umum
h) Distensi vena leher selama ekspirasi
i) Hipoksemia
j) Hiperkapnia. (Barahah&Jauhar, 2013)

6. KOMPLIKASI

a) Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan


b) Daya tahan tubuh kurang sempurna
c) Tingkat kerusakan paru semakin parah
d) Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
e) Pneumonia
f) Atelaktasis
g) Pneumothoraks
h) Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien. (Soemantri, 2009)

Komplikasi patologik juga terjadi pada klien emfisema :

a) Hilangnya elastisitas paru


Protease (enzim paru) mengubah alveoli dan saluran nafas kecil dengan cara merusakka
serabut elastin, sebagai akibatnya adalah kantong alveolar kehilangan elastisnya dan jalan nafas
kecil menjadi kolaps atau menyempit. Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat
menjadi membesar.
b) Hiperinflasi paru
Perbesaran alveoli mencegah paru – paru kembali kepada posisi istirahat normal selama
ekspirasi .
c) Terbentuknya bullae
Dnding alveolar membengkak dan sebagi kompensasi membentuk suatu bellae
(ruanagan temapt udar yang dapat di lihat pada pemeriksaan sinar-X .
d) Kolaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap ketika klien berusaha untuk ekshalasi secara
kuat , tekanan positif intra torak akan menyebabkan kolapsnya jalan nafas (alveoli). (Soemantri,
2009)

7. PATOFISIOLOGI
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru yang disertai perobekan alveolus-
alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat pulih menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian
atau seluruh paru.
Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruksi sebagian yang
mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih
sukar dari pemasukkannya. Dalam keadaan yang demikian terjadi penimbunan udara yang bertambah di
sebelah daistal dari alveolus.
Pada emfisema terjadi penyempitan saluran napas, penyempitan ini dapat mengakibatkan
obstruksi jalan napas dan sesak, penyempitan saluran napas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas
paru-paru. Kerusakan parenkim paru pada emfisema diyakini karena kerja enzim proteolitik (protease,
terutama elastase). Secara normal, zat-zat antiproteolitik seperti a1-antitripsin di dalam plasma
menghentikan aktivitas enzim-enzim proteolitik pada saat mereka dilepaskan sehingga akan melindungi
jaringan dari kerusakan. Namun pada pasien yang menghasilkan enzim proteolitik berlebih atau
kekurangan enzim a1-antiprotease, dalam plasma nya maka mekanisme perlindungan terhadap jaringan
parenkim paru menjadi berurang atau hilang sehingga akan terjadi kerusakan pada parenkim paru.
Dinding alveoli yang mengalami kerusakan menyebabkan berkurangnya kontak langsung area
permukaan alveolar dengan kapiler paru. Hal ini mengakibatkan proses pertukan gas berkurang dan
terjadi gangguan difusi oksigen. Gangguan difusi oksigen ini mengakibatkan terjadinya hipoksemia. Pada
pasien lanjut penyakit akan diikut terjadinya gangguan eliminasi karbondioksida sehingga
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan
menyebabkan asidosis respiratorius.
Pasien dengan emfisema mengalami obstruksi kronis pada aliran masuk dan aliran keluar udara
dari paru. Akibatnya kebutuhan tubuh akan udara dalam hal ini oksigen tidak tercukupi sehingga pasien
mengalami sesak napas. Sesak napas terus menerus mengakibatkan paru dalam keadaan hiperekspansi
kronis sehingga menyebabkan elastisitas paru lama-lama menghilang, dada menjadi kaku dan iga-iga
terfiksasi pada persendiannya sehingga dinding dada cenderung mengembang seperti tong. Keadaan ini
disebut barrel cheast ( dada anterior menonjol, kifosis dorsal dan peningkatan diameter dada anterior
posterior)
Dinding alveolar yang mengalami kerusakan terus menerus akan menyebabkan jarring-jaring
kapiler pulmonal lama-lama berkurang sehingga aliran darah pulmonal menjadi meningkat. Dengan
meningkatnya aliran darah pulmonal tersebut akan mengakibatkan terjadinya peningkatan beban
tekanan pada ventrikel kanan sehingga pada akhirnya akan terjadi kegagalan jantung kanan yang
ditandai dengan gejal-gejala : kongesti, edema tungkai, distensi vena leher pada daerah hepar.
(Barahah&Jauhar, 2013)

8. WOC

Sosial Faktor Hipotesis Rokok Infeksi Polusi


Ekonomi Genetik elastase

Lingkunga Riwayat Gangguan Penurunan Pneumonia Gangguan


n tidak PPOK keseimban fungsi silia dan asma fungsi silia
bersih gan
Mengham Abstruksi
bat fungsi jalan napas
magrofag

Hipertrofi
kelenjar
mukus

Kerusakan parenkim paru


(alveoli)

Gangguan pengembangan
paru

Pelebaran permanen ruang


udara di distal bronkiolus

Obstruksi jalan napas

Emfisema
9. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

a) Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan
menyingkirkan penyakit – penyakit lain . foto dada pada emfisema paru terdapat dua bentuk
kelainan foto dada pada emfiseama paru , yaitu :
 Gambaran defesiensi arteri overinflasi terlihat diafragma yang rendah dan datar ,
kadang – kadang terlihat konkaf . oligoemia penyempitan pembuluh darah pulmonal
dan penambahan corakan kedistal .
 Corakan paru yang bertambah , sering terdapat pada kor pulmonal , emfisema
sentrilobular dan bloaters . overinflasi tidak begitu hebat.
b) Pemeriksaan kedistal fungsi paru. Pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena
permukaan alveoli untuk difusi berkurang
c) Analisis gas darah. Ventilasi yang hamper adekuat masih sering dapat di pertahankan oleh
pasien emfisema paru . sehingga PaCO2 rendah atau normal . saturasi hemoglobin pasien
hampir mencukupi
d) Pemeriksaan EKG. Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung . bila sudah
terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P- pulmonal pada hantaran II , III , dan
Avf. Voltase QRS rendah . V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1 .
1) Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma;
peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema);
peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi
(asma).
2) Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa
emfisema primer.
3) Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen;
pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi. (Irianto, 2004)

10. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN

a) Penatalaksaan Medis
Penatalaksanaan utama pada klien emfisema adalah meningkatkan kualitas
hidup,memperlambat perkembangan proses penyakit, dan mengobati obstruksi saluran nafas
agar tidak terjadi hipoksia. Pendekatan terapi mencakup:
 Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja nafas
 Mencegah dan mengobati infeksi
 Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi paru
 Memelihara kondisi lingkungan dan memungkinkan untuk memfasilitasi pernafasan
adekuat.
 Dukungan psikologis
 Edukasi dan rehabilitasi klien

Jenis obat yang diberikan berupa:

 Bronkodilators
 Terapi aerosol
 Terapi infeksi
 Kortikosteroid
 Oksigenasi
b) Penatalaksanaan keperawatan

1. TERAPI FARMAKOLOGI

Tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang masih
memepunyai komponen yang reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat di lakukan dengan :

 Pemberian bronkodilator
 Pemberian kortikoteroid
 Mengurangi sekresi mucus
 Pemberian bronkodialtor

Golongan teofilin
Biasanya di beriakan denagn dosis 10-15mg/kgBB per oral dengan
memperhatikan kadar teofilin dalam darah . konsentrasi dalam darah yang baik antara
10 – 15 mg/L .

Golongan agonis B2

Biasanya di berikan secara aerosol /nebuliser . efek samping utama adalah tremor ,
tetapi menghilang dengan pemberian agak lama .

2. Pemberian kortikosteroid

Pada beberapa pasien , pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi


saluran nafas . Hinsway dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian kortikosteroid
selama3- 4 minggu . kalau tidak ada respon baru di hentikan .

3. Mengurangi sekresi mucus

Minum cukup supaya tidak dehidrasi dan mucus lebih encer sehingga encer sehingga
urine tetap kuning pucat .

 Fisioterpi dan rehabilitasi

Tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas
hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social , emosional , dan vokasional . program
fisioterapi yang di laksanakan berguna untuk :

 Pemberian O2 jangka panjang

Pemberian O2 dalam jangka panjang akan memperbaiki emfisema di sertai kenaikan


toleransi latihan . biasanya di berikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu
latihan . menurut MAKE , pemberian O2 sealma 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih baik dari
pada 12 jam/hari . (Soemantri, 2009)
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

a. Identitas

biasanya laki-laki lebih berisiko terkena penyakit emfisema dari pada perempuan.
Biasanya emfisema terjadi pada rentan umur yang biasanya mulai pada pasien perokok berumur
15-25 tahun.Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi
paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak
nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal,
yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia. Biasanya lingkungan yang kotor
seperti polusi udara dan asap rokok yang berbahaya merupakan salah satu terjadinya penyakit
emfisema.(Soemantri, 2009)

b. Keluhan Utama

biasanya pasien dengan emfisema biasanya mengeluh dispnea, hilangnya nafsu makan,
hipoksemia dan kelelahan. (Barahah&Jauhar, 2013)

c. Riwayat Kesehatan Sekarang

biasnaya pasien dengan emfisema mengeluhan sesak nafas , batuk , dan nyeri , di
daerah dada sebelah kanan pada saat bernafas . banyak secret keluar ketika batuk , berwarna
kuning kental , merasa cepat lelah ketika melakukan aktivitas. (Barahah&Jauhar, 2013)

d. Pola Aktivitas Latihan

biasanya pasien dengan emfisema mengeluhkan keletihan, kelelahan, malaise,


ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernapas ,
ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi.(Barahah&Jauhar, 2013)

e. Sirulasi
biasanya pasien dengan emfisema ada pembengkakan di bagian ekstremitas
bawah.(Soemantri, 2009)

f. Pola Nutrisi

biasanya pasien dengan emfisema mengalami mual/muntah, nafsu makan


buruk/anoreksia (emfisema), ketidakmampuan untuk makan karena distres pernapasan,
penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema
(bronkitis). (Barahah&Jauhar, 2013)

g. Pola Kebersihan Diri

biasanya pasien dengan emfisema mengamai penurunan kemampuan/peningkatan


kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari. (Brunner&Suddart, 2002)

h. Pola Pernapasan

biasanya pasien dengan emfisema mengalami nafas pendek (timbulnya tersembunyi


dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada emfisema) khususnya pada kerja, cuaca atau
episode berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada tertekan,biasanya pernapasan cepat dan
dapat lambat, dan penggunaan otot bantu pernapasan. (Barahah&Jauhar, 2013)

i. Pola Seksualitas

biasanya pasien dengan emfisema mengalami penurunan libido. (Irianto, 2004)

j. Pemeriksaan Fisik

 Inspeksi
Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi
pernafasan serta penggunaan otot bantu nafas. Pada inspeksi, klien biasanya tampak
mempunyai bentuk dada barrel chest (akibat udara yang terperangkap), penipisan massa otot,
dan pernafasan dengan bibir dirapatkan. Pernafasan abnormal tidak efektif dan penggunaan
otot - otot bantu nafas (sternokleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dipsnea terjadi pada saat
aktivitas kehidupan sehari – hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan
sputum purulen disertai demam mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi pernafasan.
(Soemantri, 2009)
 Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun. (Soemantri,
2009)
 Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma
menurun. (Soemantri, 2009)
 Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat
beratnya obstruktif pada bronkhiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen
yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbon dioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi
pada tahap lanjut penyakit. Pada wakyunya, bahkan gerakan ringan sekali pun seperti
membungkuk untuk mengikat tali sepatu, mengakibatkan dipsnea dan keletihan
(dipsnea eksersional). Paru yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat
ekspirasi dan bronkhiolus tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang
dihasilkannya. Klien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan
sekresi ini. Setelah infeksi terjadi, klien mengalami mengi yang berkepanjangan saat
ekspirasi. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan merupakan hal yang
umum terjadi. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi. (Soemantri,
2009)

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi.


b) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi
c) Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen
d) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang asupan
makanan
3. INTERVENSI

No. Diagnosa NOC NIC


Keperawatan
1 Gangguan 1. Respon ventilasi mekanik: 1. Manajemen jalan nafas
pertukaran gas yang dewasa
Aktivitas:
berhubungan Indikator:
dengan  Tingkat pernafasan
 Buka jalan nafas
ketidaksamaan  Irama pernafasan
dengan teknik chint
ventilasi-perfusi  Kedalaman inspirasi
lift atau jaw thrust,
 Kapasitas vital
sebagaimana
 Arteri ph mestinya
 Saturasi oksigen
 Posisikan pasien
 Perfusi jaringan oksigen untuk
 Keseimbangan ventilasi memaksimalkan
perfusi ventilasi
 Hipoksia  Motivasi pasien
 Sekresi pernafasan untuk bernafas pelan,
 Gerakan dinding dada dalam, berputar dan
asimetris batuk
2. Status pernafasan:  Instruksikan
pertukaran gas bagaimana bisa
Indikator: melakukan batuk
 Tekanan parsial oksigen di efektif
darah arteri  Bantu dengan
 Tekanan parsial dorongan
karbondioksida di darah spirometer,
arteri sebagaimana
 Ph arteri mestinya
 Saturasi oksigen  Auskultasi suara
 Hasil rontgen dada nafas, catat area yang
 Keseimbangan ventilasi ventilasinya menurun
dan perfusi  Lakukan penyedotan
 Sianosis melalui endotrakea
 Mengantuk atau nasotrakea
 Gangguan kesadaran  Monitor status
pernafasan dan
oksigenasi
 Posisikan untuk
meringankan sesak
nafas
 Ambil benda asing
dengan forsep mcgill

2. Monitor pernafas

Aktivitas:

 Monitor kecepatan,
irama kecepatan,
kedalaman dan
kesulitan bernafas
 Monitor suara nafas
tambahan
 Monitor saturasi
oksigen pada pasien
yang tersedia
 Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
 Catat lokasi trakea
 Catat onset,
karaterikstik dan
lamanya batuk
 Monitor kemampuan
batuk efektif pasien
 Monitor sekresi
pernafasan pasien
 Berikan bantuan
resusitasi jika
diperlukan
 Bukak jalan nafas
dengan
menggunakan
maneuver chint lift
 Berikan bantuan
terapi nafas jika
diperlukan

3. Terapi oksigen

Aktivitas:

 Bersihkan mulut,
hidung, dan sekresi
trakea dengan tepat
 Batasi aktivitas
merokok
 Pertahankan
kepatenan jalan
nafas
 Berikan oksigen
tambahan seperti
yang diperintahkan
 Monitor aliran
oksigen
 Sediakan oksigen
ketika pasien dibawa
 Atur dan ajarkan
pasien mengenai
penggunaan
perangkat oksigen
 Konsultasi dengan
tenaga kesehatan lain
cara kegunaan
oksigen tambahan

2 Ketidakefektifan 1. Status pernafasan: kepatenan jalan 1. manajemen jalan nafas


jalan nafas nafas
berhubungan  Aktivitas: Buka jalan
Indikator: nafas dengan teknik
dengan
chint lift atau jaw
hiperventilasi
 Frekuensi pernafasan
thrust, sebagaimana
 Irama pernafasan mestinya
 Kedalaman inspirasi  Posisikan pasien
 Kemampuan untuk mengeluarkan untuk
secret memaksimalkan
 Ketakutan ventilasi
 Suara nafas tambahan  Motivasi pasien
 Pernafasan cuping hidung untuk bernafas pelan,
 Batuk dalam, berputar dan
 Penggunaan otot bantu nafas batuk
 Tersedak  Instruksikan
bagaimana bisa
melakukan batuk
efektif
 Bantu dengan
dorongan
spirometer,
sebagaimana
mestinya
 Auskultasi suara
nafas, catat area yang
ventilasinya menurun
 Lakukan penyedotan
melalui endotrakea
atau nasotrakea
 Monitor status
pernafasan dan
oksigenasi
 Posisikan untuk
meringankan sesak
nafas
 Ambil benda asing
dengan forsep mcgill

2. Monitor pernafas

Aktivitas:

 Monitor kecepatan,
irama kecepatan,
kedalaman dan
kesulitan bernafas
 Monitor suara nafas
tambahan
 Monitor saturasi
oksigen pada pasien
yang tersedia
 Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
 Catat lokasi trakea
 Catat onset,
karaterikstik dan
lamanya batuk
 Monitor kemampuan
batuk efektif pasien
 Monitor sekresi
pernafasan pasien
 Berikan bantuan
resusitasi jika
diperlukan
 Bukak jalan nafas
dengan
menggunakan
maneuver chint lift
 Berikan bantuan
terapi nafas jika
diperlukan
3. Intoleran aktivitas 1. Toleransi terhadap aktivitas 1. Terapi aktivitas
berhubungan
Indikator: Aktivitas:
dengan
ketidakseimbangan
 Saturasi oksigen ketika beraktifitas  pertimbangkan
antara suplai dan
 Frekuensi nadi ketika beraktivitas kemampuan klien
kebutuhan oksigen
 Frekuensi pernafasan ketika dalam berpartisipasi
beraktivitas melalui aktivitas
 Toleransi dalam menaiki tangga spesifik

 Kekuatan tubuh bagian atas  bantu klien untuk

 Kekuatan tubuh bagian bawah mengesplorasi tujuan

 Kecepatan berjalan personal dari

 Jarak berjalan aktivitas-aktivitas


 dorong aktivitas
2. Daya tahan kreatif yang tepat
 bantu klien dan
Indikator:
keluarga untuk

 Melakukan aktivitas rutin mengidentifikasi

 Aktivitas fisik kelemahan dalam


level aktivitas
 Konsentrasi
 bantu klien
 Daya tahan otot
memperoleh
 Pemulihan energy setelah istirahat
transportasi untuk
 kelelahan
aktivitas
 bantu klien untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang
diinginkan
 bantu klien untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang
bermakna
 dorong keterlibatan
dan aktivitas
kelompok maupun
terapi
 berikan permainan
kelompok
perstruktur, dan
kopetitif an aktif
 berikan pujian positif
karena kesediaannya
untuk terlibat dalam
aktivitas
 bantu klien untuk
meningkatkan
motivasi diri
 monitor respon
emosi, fisik,sosial,
dan spiritual
terhadap aktivitas

2. Manajemen energy

Aktivitas:

 kaji status fisiologis


pasien yang
menyebabkan
kelelahan
 anjurkan pasien
mengungkapkan
perasaan secara
verbal mengenai
keterbatasan yang
dialami
 gunakan instrument
yang valid untuk
mengukur kelelahan
 tentukan persepsi
pasien mengenai
penyebab kelelahan
 monitor asupan
nutrisi untuk
mengetahui sumber
energy yang adekuat
 konsultasi dengan
ahli gizi mengenai
cara meningkatkan
asupan energy dari
makanan
 bantu pasien untuk
menetapkan tujuan
aktifitas
 anjurkan pasien
untuk memilih
aktivitas-aktivitas
membangun
ketahanan
 lakukan rom aktifi
dan pasif untuk
menghilangkan
ketegangan otot
 berikan kegiatan
pengalian yang
menenangkan untuk
meningkatkan
relaksasi
 tawarkan bantuan
untuk meningkatkan
tidur
 anjurkan tidur siang
bila diperlukan
 bantu pasien untuk
menjadwalkan priode
istirahat

4. Ketidakseimbangan 1. status nutrisi 1.Manajemen gangguan


nutrisi : kurang dari makan
Indikator:
kebutuhan tubuh
Aktivitas:
berhubungan
 Asupan gizi
dengan kurang
 Asupan makanan  Kolaborasi dengan
asupan makanan
 Asupan cairan tim kesehatan lain
 Energy untuk

 Rasio berat badan mengembangkan


rencana perawatan
2. status nutrisi: asupan nutrisi dengan melibatkan
klien dan orang-
Indikator:
orang terdekat

 Asupan kalori  Tentukan pencapaian

 Asupan protein berat badan harian

 Asupan lemak sesuai keinginan

 Asupan karbohidrat  Kembangkan


hubungan yang
 Asupan serat
mendukung dengan
 Asupan vitamin
klien
 Asupan mineral
 Asupan zat besi  Monitor asupan
 Asupan Kalsium kalori makanan
harian
 Batasi makanan
sesuai dengan jadwal
 Batasi waktu klien
dikamar mandi
selama waktu klien
tidak dalam observasi
 Batasi aktivitas fisik
sesuai kebutuhan
untuk meningkatkan
berat badan
 Monitor berat badan
klien sesuai secara
rutin
 Berikan dukungan
dan arahan jika
diperlukan

2. Manajemen nutrisi

Aktivitas:

 Tentukan status gizi


pasien dan
kemampuan untuk
memenuhi
kebutuhan gizi
 Tentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrisi yang
dibutuhkan
 Tentukan apa yang
menjadi frekuensi
makanan bagi pasien
 Ciptakan lingkungan
yang optimal pada
saat mengkonsumsi
makanan
 Lakukan atau bantu
pasien terkait dengan
perawatan mulut
 Anjurkan pasien
untuk duduk pada
posisi tegak dikursi
 Anjurkan pasien
terkait dengan
kebutuhan diet
 Tawarkan makanan
ringin yang padat gizi
 Monitor kalori dan
asupan makanan
 Berikan arahan, bila
diperlukan
DAFTAR PUSTAKA

Barahah, Taqiyah& Jauhar, Mohammad. 2013. Asuhan Keperawatan Jilid 1. Jakarta : Prestasi
Pustakaraya.

Brunner&Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Corwin.2000.435.Askep dgn Gangguan sistem nafas.jakarta.salemba medika

Kus Irianto.2004.216. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

Soemantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan Edisi.2.
Jakarta : Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai