Anda di halaman 1dari 21

SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA

(QS. AN-NISA : 59, QS. ALI-IMRAN : 159, QS. AN-NAHL : 125,


QS. AL-MAIDAH : 44,48,49)

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Sosial

Dosen Pengampu :
Yusran, S.Th.I, M. Hum.

Disusun Oleh :
KELOMPOK 1

SITI ASIRAH
RATNASARI
PUTRI HILWA SALSABILA
ABDUL RAHMAT
ACHMAD RIDHA
ILHAM HASRADINATA

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
1439 H/2018

ii
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur marilah kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan begitu banyak nikmat yang mana makhluk-Nya pun tidak akan
menyadari begitu banyak nikmat yang telah didapatkan dari Allah SWT. Selain itu,
penulis juga merasa sangat bersyukur karena telah mendapatkan hidayah-Nya baik
iman maupun islam.

Dengan nikmat dan hidayah-Nya pula kami dapat menyelesaikan penulisan


makalah ini yang berjudul “Sistem Pemerintahan Negara dalam pandangan Islam”
yang merupakan tugas mata kuliah Tafsir Sosial. Penulis sampaikan terimakasih
sebesar-besarnya kepada dosen pengampu mata kuliah Tafsir Sosial, Pak Yusran,
S.Th.I, M. Hum. dan semua pihak yang turut membantu proses penyusunan makalah
ini.

Penulis menyadari dalam makalah ini masih begitu banyak kekurangan-


kekurangan dan kesalahan-kesalahan baik dari isinya maupun struktur penulisannya,
oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran positif untuk perbaikan
dikemudian hari.

Demikian semoga makalah ini memberikan manfaat umumnya pada para


pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri. Amin.

Samata, Oktober 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

A. Latar Belakang............................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 2

A. Pengertian Sistem Pemerintahan ................................................................................... 2

B. Pemerintahan dalam Al-Qur’an ..................................................................................... 3

a) Al-Qur’an surah An-Nisa’ : 59 .................................................................................. 3

b) Al-Qur’an surah Ali-imran : 159 ............................................................................... 7

c) Al-Qur’an surah An-Nahl : 125 ................................................................................. 9

d) Al-Qur’an surah Al-Maidah : 44, 48 dan 49 ........................................................... 13

BAB III PENUTUP ................................................................................................... 16

KESIMPULAN .......................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk yang ditakdirkan tidak dapat hidup individual,
mengharuskan untuk berkumpul bersama dengan orang lain. Namun di lain pihak,
manusia juga terkadang memiliki sikap ingin mendapat hak dihargai dan dimuliakan
misal dengan tahta dan jabatan. Maka sistem pemerintahan yang akan mememenuhi
kebutuhan akan hal itu yang juga akan berdampak pada stabilitas keamanan
masyarakat. Allah telah memberikan rambu-rambu dalam menjalankan sistem
pemerintahan yakni dalam Al-Qur’an yang di turunakan kepada nabi Muhammad
SAW.
Namun seiring berkembangnya zaman, dari waktu ke waktu sedikit demi
sedikit nafsu manusia untuk memperoleh jabatan memunculkan permasalahan baru
yang menyebabkan sistem diktator yang akhirnya berkuasa hingga saat ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang di maksud dengan sistem pemerintahan ?


2. Bagaimanakah pemerintahan dalam Islam yang terkandung dalam surah An-
Nisa’ ayat 59?
3. Bagaimanakah konsep musyawarah dalam islam yang terkandung dalam Ali-
Imran ayat 159?
4. Apa sajakah konsep metode dakwah dalam surah An-Nahl ayat 125?
5. Bagaimana konsep tata hukum negara dalam islam yang terkandung dalam
surah Al-Maidah ayat 44, 48 dan 49?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui apa yang di maksud dengan sistem pemerintahan


2. Mengetahui sistem pemerintahan dalam islam
3. Mengetahui konsep musyawarah dalam islam
4. Mengetahui konsep dakwah dalam islam
5. Mengetahui konsep tata hukum negara dalam islam

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan adalah merupakan gabungan dari dua istilah yaitu sistem
dan pemerintahan. Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang
mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan
fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu
ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak
bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya.1
Pemerintah dalam arti luas adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara
dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri.
Jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja,
melainkan meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legeslatif dan yudikatif.
Jadi dengan demikian membicarakan sistem pemerintahan adalah membicarakan
bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga Negara
yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negeri itu, dalam rangka juga
menyelenggarakan kepentingan rakyat.
Sistem pemerintahan di bagi menjadi dua yaitu:
1. Sistem pemerintahan presidensial.
Sistem pemerintahan presidensial adalah Presiden menjadi kepala eksekutif
mengangkat serta memberhentikan para menteri, dan para menteri ini
bertanggungjawab kepada presiden.
2. Sistem pemerintahan parlementer.
Sistem pemerintahan parlementer adalah kekuasaan pemerintahan (eksekutif) tidak
lagi dipegang oleh presiden tetapi dipegang oleh perdana menteri. Demikian juga para
menterinya tidak lagi bertanggung jawab kepada presiden, melainkan para menteri
sebagai anggauta kabinet harus bertangung jawab kepada perdana menteri.
Sistem pemerintahan Islam disebut juga dengan al-Khilafah yang artinya suatu
susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam. Sebagaimana yang
dibawa dan dijalankan oleh Nabi Muhammad Saw. semasa beliau masih hidup, dan

1 Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta : Attahiriyah, 1976 hlm. 42


2
kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman
bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib). Yang kepala negaranya disebut Khalifah.2

B. Pemerintahan dalam Al-Qur’an

a) Al-Qur’an surah An-Nisa’ : 59

ۡۖ‫سو َل َوأ ُو ِلي ٱ أۡلَ أم ِر ِمنكُمأ‬ َّ ‫ٱَّللَ َوأَ ِطيعُوا‬


ُ ‫ٱلر‬ َّ ‫ِين َءا َمنُ َٰٓوا أَ ِطيعُوا‬ َ ‫َٰٓيَأَيُّ َها ٱلَّذ‬
َ ُ‫سو ِل ِإن كُنت ُمأ ت ُ أؤ ِمن‬
‫ون‬ ُ ‫ٱلر‬ َّ ‫فَ ِإن تَنَ َز أعت ُمأ ِفي ش أَيء فَ ُردُّو ُه ِإلَى‬
َّ ‫ٱَّللِ َو‬
)٥٩( ‫يل‬ ً ‫س ُن تَ أأ ِو‬
َ ‫ٱَّللِ َو أٱليَ أو ِم أٱۡلَٰٓ ِخ ِر ذَ ِلكَ َخ أير َوأَ أح‬
َّ ‫ِب‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya” (An-Nisa’ : 59)

 Tafsir Perkata3

Kata Arti Kata Arti

‫َٰٓيَأَيُّ َها‬ Wahai ‫فَ ُردُّو ُه‬ Maka kembalikanlah


urusan itu
َ ‫ٱلَّذ‬
‫ِين‬ Orang-orang yang ‫ِإن كُنت ُمأ‬ Jika kalian telah

‫َءا َمنُ َٰٓوا‬ Beriman َ ُ‫ت ُ أؤ ِمن‬


‫ون‬
Kalian beriman
kepada Allah
‫أَ ِطيعُوا‬ Taatilah ‫ٱَّلل‬
ِ َّ ‫ِب‬ Kepada Allah

‫َوأُو ِلي‬ Dan pemegang ‫َو أٱليَ أو ِم‬ Dan hari

‫أٱۡلَ أم ِر‬ Urusan (kekuasaan) ‫أٱۡلَٰٓ ِخ ِر‬ Akhir

‫ِمنكُمأ‬ Di antara kalian َ‫ذَ ِلك‬ Demikian itu

‫فَ ِإن‬ Lalu jika ‫َخ أير‬ Lebih baik

‫تَنَ َز أعتُم‬ ‫س ُن‬ َ ‫َوأَ أح‬


Kalian saling
Dan lebih bagus
berselisih
‫ش أَيء‬ Sesuatu ‫يل‬ً ‫تَ أأ ِو‬ Akibatnya
(penyelesaiannya)
 TAFSIR SURAH AN-NISA’ 59 TAFSIR AL-MARAGHI

ۡۖ‫سو َل َوأُو ِلي أٱۡل َ أم ِر ِمنكُمأ‬ َّ ‫ٱَّللَ َوأ َ ِطيعُوا‬


ُ ‫ٱلر‬ َ ‫َٰٓيَأَيُّ َها ٱلَّذ‬
َّ ‫ِين َءا َمنُ َٰٓوا أ َ ِطيعُوا‬

2 Rasjid Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Th. 2013. Hlm. 43
3 Departemen Agama RI. Al-Hidayah Al-Qur’an Tafsir Per kata Tajwid Kode Angka. Tangerang : Kalim.
3
Taatlah kepada Allah dan amalkanlah Kitab-Nya; kemudian taatlah kepada Rasul,
karena beliau menerangkan bagi manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka.
Sunnatul-Lah telah menetapkan, bahwa di antara manusia ada para Rasul yang
menyampaikan syariat Allah kepada mereka, dan kita wajib menaati mereka.
Kemudian taatlah kepada ulil amri, yaitu para umara, hakim, ulama, panglima
perang, dan seluruh pemimpin dan kepala yang menjadi tempat kembali manusia
dalam kebutuhan dan maslahat umum. Apabila mereka telah menyepakati suatu
urusan atau hukum, mereka wajib ditaati. Dengan syarat, mereka harus dapat
dipercaya, tidak menyalahi perintah Allah dan sunnah Rasul yang mutawatir, dan di
dalam membahas serta menyepakati perkara mereka tidak ada pihak yang memaksa.
Adapun perkara ibadah dan hal-hal yang termasuk dalam keyakinan
keagamaan, Ahlul-Halli wal-‘Aqdi4 tidak mempunyai urusan dengannya, melainkan
hanya diambil dari Allah dan Rasul-Nya saja. Tidak ada seorang pun yang berhak
berpendapat tentang itu, kecuali hanya dengan memahaminya saja.
Apabila Ahlul-Halli wal-‘Aqdi dari kaum Mukminin telah ber-ijma’ (sepakat) atas
suatu urusan di antara kemaslahatan-kemaslahatan umat yang tidak ada nash-nya dari
Allah, kemudian di dalam hal itu mereka bebas memilih dalam arti tidak dipaksa oleh
kekuatan ataupun wibawa seseorang, maka menaatinya adalah wajib. Hal ini pernah
dilakukan oleh Umar ketika bermusyawarah dengan ahlur-ra’yi dari para sahabat
tentang kantor yang didirikannya dan tentang hal lain dari kemaslahatan-
kemaslahatan yang diadakannya dengan pendapat ulil amri di antara para sahabat.
Meskipun perkara tersebut belum pernah ada pada zaman Nabi saw., namun tidak ada
seorang pun di antara para ulama mereka yang menentangnya.

‫سو ِل‬
ُ ‫لر‬ َّ ‫فَ ِإن تَنَ َز أعت ُمأ فِي ش أَيء فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬
َّ ‫ٱَّللِ َوٱ‬
Jika di dalam Al-Quran dan sunnah tidak ada nash atas hukum, maka ulil amri
mempertimbangkannya, karena merekalah orang-orang yang dipercaya. Jika mereka
telah menyepakati sesuatu perkara, maka perkara itu wajib diamalkan. Jika mereka

4 Yang dimaksud dengan Ahlul Halli wal Aqdi adalah para ulama’ cerdik pandai dan pemimpin-
pemimpin yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat dipercaya oleh seluruh rakyat, sehingga
buah pilihan mereka nanti akan ditaati serta ditunduki oleh seluruh rakyat. Berarti dengan pemilihan
itu kedaulatan akan didukung oleh seluruh ummat. Menurut Ramli seperti yang di kutip Rasjid
Sulaiman dalam bukunya Fiqih Islam. karena dengan mereka pekerjaan jadi teratur dan umat bisa
tenteram.

Lihat : Rasjid Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Th. 2013. Hlm. 465

4
berselisih tentang sesuatu masalah, maka hal itu wajib diperiksa di dalam Kitab dan
Sunnah dengan kaidah-kaidah umum yang terdapat di dalamnya. Jika sesuai dengan
keduanya, maka itulah yang bermaslahat bagi kita dan kita wajib mengamalkannya.
Tetapi, jika bertentangan dengan keduanya, maka hal itu tidak bermaslahat dan kita
wajib meninggalkannya. Dengan demikian, selesailah perselisihan dan tercapailah
kata sepakat.
Pengembalian kepada Al-Kitab dan Sunnah serta penyelesaian perselisihan ini
adalah kaidah yang dinamakan dengan qiyas. Sedangkan yang pertama, biasa
disebut ijma’.
Dari sini dapat diketahui bahwa ayat menerangkan pokok-pokok agama di dalam
pemerintahan Islam, yaitu:
1. Pokok pertama ialah Al-Qur’anul karim; mengamalkannya merupakan
ketaatan kepada Allah Ta’ala
2. Pokok kedua adalah Sunnah Rasulullah SAW., dan mengamalkannya
merupakan ketaatan kepada Rasulullah SAW.
3. Pokok ketiga adalah ijma’ para ulil amri, yaitu ahlul halli wal aqdi yang
dipercaya oleh umat. Mereka itu ialah para ulama; para panglima tentara; para
pemimpin mashlahat-mashlahat umum.
4. Pokok keempat adalah memeriksa masalah-masalah yang diperselisihkan pada
kaidah-kaidah dan hukum-hukum umum yang diketahui di dalam Al-Kitab
dan sunnah; yaitu firman-Nya:
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnah-nya)”.

Keempat pokok ini adalah sumber-sumber syari’at. Dan harus ada sekelompok
orang yang bertugas memeriksa masalah-masalah yang dipertentangkan dalam Al-
Kitab dan sunnah, yaitu para ulama yang dipilih oleh ulil amri. Kemudian para
pemerintah wajib menjalankan hukum yang telah ditetapkan oleh mereka. Dengan
demikian, negara Islam terbagi kepada dua kelompok manusia; pertama, kelompok
yang menerangkan hukum-hukum, mereka disebut “badan legislatif”; dan kelompok
pemerintah yang menjalankan ketetapan, mereka disebut “badan eksekutif”.
Umat wajib menerima dan tunduk kepada hukum-hukum ini, baik secara
tersembunyi maupun terang-terangan. Dengan demikian, umat tidak tunduk pada

5
seorang pun di antara manusia, karena hanya mengamalkan hukum Allah ta’ala, atau
hukum Rasulullah SAW.

‫ٱَّللِ َو أٱليَ أو ِم أٱۡلَٰٓ ِخ ِر‬ َ ُ‫إِن كُنت ُمأ ت ُ أؤ ِمن‬


َّ ِ‫ون ب‬
Kembalikanlah perkara yang diperselisihkan itu kepada Allah dan Rasul-Nya
dengan memeriksanya di dalam Al-Kitab dan Sunnah, jika kalian benar-benar
beriman kepada Allah dan hari akhir. Sebab, orang Mukmin itu tidak akan
mengutamakan sesuatu pun atas hukum Allah, sebagaimana dia lebih memperhatikan
hari akhir daripada memperhatikan bagian-bagian duniawi.

ً ‫سنُ ت َ أأ ِو‬
‫يل‬ َ ‫ذَ ِلكَ َخ أير َوأ َ أح‬
Pengembalian sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya itu lebih baik bagi kalian,
karena hal itu merupakan asas yang paling kokoh di dalam pemerintahan kalian.
Sesungguhnya, Allah lebih mengetahui daripada kalian tentang apa yang baik bagi
kalian. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan bagi kalian di dalam Kitab-Nya dan
melalui lisan Rasul-Nya hanya sesuatu yang mengandung kemaslahatan dan manfaat
bagi kalian, serta sesuatu yang akibatnya sangat baik karena ia memisahkan tali
pertentangan dan menutup pintu fitnah.5

 ASBABUN NUZUL QS. AN-NISA’ : 59


Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu, ia mengatakan, ayat ini turun
berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin Adi As-Sahmi ketika
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya memimpin suatu pasukan.”6
Berikut sepenggal kisah tentang pengutusan ini:
Dari Ali bin Abi Thalib Ra., ia menuturkan, Rasulullah SAW mengirim
sekelompok pasukan menunjuk seorang laki-laki dari Anshar sebagai pemimpinnya.
Ketika mereka telah berangkat, (di tengah jalan) pemimpin ini marah pada mereka
karena suatu hal. Maka ia berkata, “Bukankah Rasulullah SAW telah memerintah
kalian menaatiku?” mereka menjawab, “ya.” Ia berkata, “Kumpulkanlah kayu bakar.”
Merekapun melakukannya. Ia berkata, “Nyalakanlah api.” Mereka menyalakannya. Ia
berkata, “Masuklah kedalam api itu.” Sebagian orang ingin masuk ke dalam api.
Namun seorang pemuda dari mereka berkata mengingatkan, “Sesungguhnya kalian

5 Ahmad Musthafa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: CV. Toha Putra Semarang. Hlm. 119-122
6 Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, hadits no. 4584, kitab Tafsirul Qur’an; dan Muslim, hadits no. 1834,
Kitab Al-Imarah.
6
lari menyelamatkan diri dari neraka menuju Rasulullah SAW. Maka jangan tergesa-
gesa sebelum kalian bertemu Nabi SAW. Jika beliau memerintah kalian masuk, maka
masuklah kedalam api itu.”7
Mereka pulang dan menyampaikan peristiwa tersebut pada Rasulullah SAW.
Maka beliau bersabda:
ِ ‫ ِإن َما ْالطا َعةُ فِي ْال َم ْع ُر ْو‬,‫لَ ْو دَخ َْلت ُ ُم ْوهَا َما خ ََر ْجت ُ ْم ِم ْن َها أَبَدًا‬
‫ف‬
“Seandainya kalian masuk dalam api itu niscaya kalian tak akan keluar darinya selama-
lamanya. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan.”8

Al-Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa maksud kisah Abdullah bin


Hudzafah, munasabah disangkut pautkan dengan alasan turunnya ayat ini, karena
dalam kisah itu dituliskan adanya perbatasan antara taat pada perintah (pimpinan) dan
menolak perintah, untuk terjun ke dalam api. Di saat itu mereka perlu akan petunjuk
apa yang harus mereka lakukan. Ayat ini turun memberikan petunjuk kepada mereka
apabila berbantahan hendaknya kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.
Menurut Ibnu Jarir bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ‘Ammar bin Yasir
yang melindungi seorang tawanan tanpa perintah Panglimanya (Khalid bin Walid)
sehingga mereka berselisih.9

b) Al-Qur’an surah Ali-imran : 159

(Ayat tentang Musyawarah : konsep musyawarah sebagai konsep


pemerintahan)

‫ب ََل ْنفَضُّوا ِم ْن‬ِ ‫ظ ْالقَ ْل‬ َ ‫غ ِلي‬


َ ‫ظا‬ًّ َ‫ت ف‬ َ ‫ت لَ ُه ْم ۖ َولَ ْو ُك ْن‬َ ‫فَ ِب َما َر ْح َم ٍة ِمنَ َّللاِ ِل ْن‬
‫ت‬ َ ‫ع ْن ُه ْم َوا ْست َ ْغ ِف ْر لَ ُه ْم َوشَا ِو ْر ُه ْم فِي ْاْل َ ْم ِر ۖ فَإِذَا‬
َ ‫عزَ ْم‬ َ ‫ْف‬ُ ‫َح ْو ِل َك ۖ فَاع‬
)١٥٩( َ‫ب ْال ُمت َ َو ِك ِلين‬ ُّ ‫علَى َّللاِ ۚ ِإن َّللاَ يُ ِح‬ َ ‫فَتَ َوك ْل‬
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
(Ali-imran : 159)

7 Syaikh Mahmud Al-Mishri. Asbabun Nuzul. Solo: Zam Zam. Hlm. 135
8 Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, hadits no. 4340, kitab Al-Maghazi; dan Muslim, hadits no. 1840,
kitab Al-Imarah.
9 Shaleh, Asbabun Nuzul Latar Belakang Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an. Hlm. 139.
7
 MAKNA MUFRODAT MUSYAWARAH

Istilah “musyawarah” berasal dari kata musyawarah. Ia adalah bentuk masdar


dari kata syâwara – yusyâwiru yakni dengan akar kata syin, waw,dan ra’ dalam pola
fa’ala. Struktur akar kata tersebut bermakna pokok “ Menampakkan dan menawarkan
sesuatu” dan “mengambil sesuatu “ dari kata terakhir ini berasal ungkapan syâwartu
fulânan fi amrî: “ aku mengambil pendapat si Fulan mengenai urusanku”.
Quraish syihab menyebutkan dalam tafsirnya, akar kata musyawarah terambil
dari kata (‫ ) شور‬syawara yang pada mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari
sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu
yang dapat diambil / dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Orang yang
bermusyawarah bagaikan orang yang minum madu.
Dari makna dasarnya ini diketahui bahwa lingkaran musyawarah yang terdiri
dari peserta dan pendapat yang akan disampaikan adalah lingkaran yang bernuansa
kebaikan. Peserta musyawarah adalah bagaikan lebah yang bekerja sangat disiplin,
solid dalam bekerja sama dan hanya makan dari hal- hal yang baik saja (disimbolkan
dengan kembang), serta tidak melakukan gangguan apalagi merusak dimanapun ia
hinggap dengan catatan ia tidak diganggu. Bahkan sengatannya pun bisa menjadi
obat. Sedangkan isi atau pendapat musyawarah itu bagaikan madu yang dihasilkan
oleh lebah. Madu bukan hanya manis tapi juga menjadi obat dan karenanya menjadi
sumber kesehatan dan kekuatan. Itulah hakekat dan semangat sebenarnya dari
musyawarah. Karenanya kata tersebut tidak digunakan kecuali untuk hal- hal yang
baik- baik saja.
Dalam Al- Qur’an terdapat empat kata yang berasal dari kata kerja syâwara,
yakni asyâra “ memberi isyarat”, tasyâwur ( berembuk saling menukar pendapat),
syâwir ” mintalah pendapat”, dan syara “ dirembukkan”. Dua kata terakhir ini relevan
dengan kehidupan politik atau kepimimpinan.

 ASBABUN NUZUL QS. ALI-IMRAN : 159

Perintah bermusyawarah pada ayat diatas turun setelah peristiwa menyedihkan


pada perang Uhud, ketika itu menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan sahabat-
sahabatnya untuk memusyawarahkan bagaimana sikap menghadapi musuh yang
sedang dalam perjalanan dari makkah ke madinah. Nabi cenderung untuk bertahan

8
dikota Madinah, dan tidak keluar menghadapi musuh yang datang dari makkah.
Sahabat- sahabat beliau terutama kaum muda yang penuh semangat mendesak agar
kaum muslim dibawah pimpinan Nabi Saw keluar menghadapi musuh. Pendapat
mereka itu mendapat dukungan mayoritas, sehingga Nabi menyetujuinya. Tetapi,
peperangan berakhir dengan gugurnya para sahabat yang jumlahnya tidak kurang dari
tujuh puluh orang.
Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi dan
sahabat beliau amat perlu digaris bawahi untuk melihat bagaimana pandangan Al-
Qur’an tentang musyawarah.
Ayat ini seakan – akan berpesan kepada Nabi, bahwa musyawarah harus tetap
dipertahankan dan dilanjutkan. Walaupun terbukti pendapat yang mereka putuskan
keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan menjadi tanggung jawab
bersama, dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan
pendapatnya sekalipun.
Sebagaimana sebuah ungkapan:‫ما خاب من استشار وَل ندم من استخار‬
“takkan kecewa orang yang memohon petunjuk ( kepada Allah) tentang
pilihan yang terbaik, dan tidak juga akan menyesal seseorang yang melakukan
musyawarah."

c) Al-Qur’an surah An-Nahl : 125

(Metode Dakwah dan Sikap Islam Terhadap Lawan )

َ ‫سنَ ِة َو َجاد ِْل ُه ْم بِالتِي ِه‬


‫ي‬ َ ‫ظ ِة ْال َح‬
َ ‫سبِي ِل َربِ َك بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َم ْو ِع‬
َ ‫ع إِلَى‬
ُ ‫ا ْد‬
ْ ‫س ِبي ِل ِه َو ُه َو أ َ ْعلَ ُم ِب ْال ُم‬
ََ‫هتَدِين‬ َ ‫ع ْن‬
َ ‫ضل‬ َ ‫س ُن ِإن َرب َك ُه َو أ َ ْعلَ ُم ِب َم ْن‬ َ ‫أَ ْح‬
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl : 125)
 TAFSIR MUFRODAT
1. ‫ ادع الى سبيل ربك‬kata ‫ ادع‬tersebut menurut Ibnu Katsir mengandung arti
perintah allah SWT kepada nabi muhammad SAW untuk mengajak makhluk
(manusia), sedangkan kata ‫ الى سبيل ربك‬mengandung arti kepada jalan rabbmu,
yang dimaksud jalan tuhan tersebut iyalah ‫( دين اإلسالم‬agama islam).10

10 Abi al-fida’ ismail, Tafsir ibnu katsir juz 2, (Bairut: Darul fikri, TT), 592.
9
2. ‫ با الحكمة‬: menurut Abil Hasan kata bil hikmah tersebut mengandung dua
tafsiran, yang pertama dengan al-qur’an dan yang kedua dengan kenabian
(hadits).11
َ ‫ظ ِة ْال َح‬
3. ‫سنَة‬ َ ‫ َو ْال َم ْو ِع‬: kata mauidatil hasanati mengandung arti dan pelajaran yang
baik, menurut Syaikh Ahmad Showi kata mauidatil hasanah tersebut
mengandung arti perkataan yang baik atau nasihat yang lembut.12
4. ‫ وجادلهم بالتي هي أحسن‬: mengandung arti dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik, seperti menyeru mereka untuk menyembah Allah dengan menampilkan
kepada mereka tanda-tanda kebesaran-Nya atau dengan hujjah-hujjah yang
jelas.

 TAFSIR GLOBAL
Dalam ayat ini Allah SWT memberikan pedoman-pedoman kepada rasulnya
tentang cara mengajak manusia (dakwah) ke jalan Allah. Yang di maksud jalan Allah
di sini ialah agama Allah yakni syariat islam yang di turunkan kepada nabi
Muhammad SAW.
Dalam ayat ini Allah SWT meletakkan dasar-dasar dakwah untuk pegangan
bagi ummatnya di kemudian hari. Diantaranya:13
Pertama, Allah SWT menjelaskan kepada Rasul-Nya bahwa sesungguhnya
dakwah ini adalah dakwah untuk agama Allah sebagai jalan menuju ridha ilahi.
Bukanlah dakwah untuk pribadi da’i (yang berdakwah) ataupun untuk golongannya
dan kaumnya.
Kedua, Allah SWT menjelaskan kepada Rasululla SAW agar dakwah itu
dilakukan dengan hikmah. Hikmah disini mengandung arti yaitu pengetahuan tentang
rahasia dan faidah sesuatu, yang mana pengetahuan itu memberi manfaat.
Dakwah dengan hikmah adalah dakwah dengan ilmu pengetahuan yang
berkenaan dengan rahasia, faedah, dan maksud dari wahyu Ilahi, dengan cara yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi, agar mudah difahami umat.
Ketiga, Allah swt menjelaskan kepada Rasul agar dakwah itu dijalankan
dengan pengajaran yang baik, lemah lembut, dan menyejukan, sehingga dapat
diterima dengan baik.

11 Abil hasan, Tafsir al-mawardi juz 3, (bairut: Darul kitab al-ulumiyah, TT), 220.
12 Syaikh Ahmad Showi, Tafsir jalalain juz 2, (Bairut: al hidayah, TT), 333.
13 Ibid, hal 500.
10
Tidak patut jika pengajaran dan pengajian selalu menimbulkan rasa gelisah,
cemas, dan ketakutan dalam jiwa manusia. Orang yang melakukan perbuatan dosa
karena kebodohan atau ketidaktahuan, tidak wajar jika kesalahannya itu dipaparkan
secara terbuka dihadapan orang lain sehingga menyakiti hatinya.
Keempat, Allah swt menjelasakan bahwa bila terjadi perdebatan dengan kaum
musyrikin dan ahli kitab, hendaknya Rasul saw membantah dengan cara yang baik.
Tidak baik memancing lawan dalam berdebat dengan kata yang tajam, karena hal
demikian akan membuat suasana yang panas. Sebaiknya diciptakan suasana nyaman
dan santai sehingga tujuan dalam perdebatan untuk mencari kebenaran itu dapat
tercapai dengan memuaskan.14
Kelima, akhir dari segala usaha dan perjuangan itu adalah iman kepada Allah
swt, karena hanya Dia lah yang menganugerahkan iman kepada jiwa manusia. Bukan
orang lain ataupun dai itu sendiri. Dialah Tuhan Yang Maha Mengetahui siapa
diantara hamba-Nya yang tidak dapat mempertahankan fitrahnya insaniyah (iman
kepada Allah swt) dari pengaruh-pengaruh yang menyesatkan, hingga dia menjadi
sesat, dan siapa pula diantara hamba yang fitrah insaninya tetap terpelihara sehingga
dia terbuka menerima petunuk (hidayah) Allah swt.

 PENJELASAN SINGKAT
Sebagian ulama’ memahami ayat di atas sebagai menjelaskan tiga macam
metode dakwah yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah.
Yang pertama, Kepada para cendikiawan yang memiliki pengetahuan tinggi di
perintahkan menyampaikan dakwah dengan ‫( الحكمة‬hikmah) yakni berdialog dengan
kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka.
Kedua, terhadap kaum awam, diperintahkan untuk menerapkan ‫والمو عظة‬
‫ الحسنة‬yakni memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa yang sesuai
dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana.
Ketiga, terhadap ahl al-kitab dan penganut agama-agama lain yang di
perintahkan adalah jidal/perdebatan dengan cara yang terbaik yaitu dengan logika dan
retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.
Kata ‫(حكمة‬hikmah) antara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu,
baik pengetahuan maupun perbuatan. Dia adalah pengetahuan atau tindakan yang
bebas dari kesalahan atau kekeliruan.

14 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya,.... Hal. 419


11
Kata ‫ المو عظة‬terambil dari kata ‫ وعظ‬yang berarti nasihat. Mau’idzah adalah
uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan. Demikian di
kemukakan oleh banyak ulama’. Sedangkan kata ‫ جادلهم‬terambil dari kata ‫ جادال‬yang
bermakna diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih mitra diskusi
dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang di paparkannya itu di terima oleh
semua orang maupun hanya oleh mitra bicara.
Sedangkan jidal (perdebatan) terdiri dari tiga macam, yang buruk adalah yang
disampaikan dengan kasar, yang mengundang kemarahan lawan serta yang
menggunakan dalih-dalih yang tidak benar. Yang baik adalah yang disampaikan
dengan sopan, serta menggunakan dali-dali atau dalih walau hanya yang di akui oleh
lawan, tetapi yang terbaik adalah yang di sampaikan dengan baik, dan dengan
argument yang benar, lagi membungkam lawan.
Demikianlah juga cara berdakwah Nabi Muhammad SAW, mengandung
ketiga metode di atas. Metode tersebut di terapkan kepada siapapun sesuai dengan
kondisi masing-masing sasaran.

12
d) Al-Qur’an surah Al-Maidah : 44, 48 dan 49

(Tata Hukum Negara Dalam Islam )

 QS. Al-Maidah : 44

َ ‫ِين أَسلَ ُموا ِللَّذ‬


‫ِين‬ َ ‫ون الَّذ‬َ ُّ‫نزلنَا التَّو َراةَ فِي َها ُهدًى َونُور يَح ُك ُم ِب َها النَّ ِبي‬ َ َ ‫إِنَّا أ‬
‫علَي ِه‬
َ ‫ّللاِ َوكَانُوا‬ ‫ب ه‬ِ ‫ظوا ِمن ِكتَا‬ ُ ‫ار ِب َما استُح ِف‬ُ َ‫ون َواۡلَحب‬ َّ ‫َهادُوا َو‬
َ ُّ‫الربَّانِي‬
‫اس َواخشَو ِن َوالَ تَشت َ ُروا ِبآيَاتِي ث َ َمنًا قَ ِليلً َو َمن لَّم‬ َ َّ‫ش َهدَاء فَلَ تَخش َُوا الن‬ ُ
َ ‫ّللاُ فَأُولَـئِكَ ُه ُم الكَافِ ُر‬
‫ون‬ َ َ ‫يَحكُم ِب َما أ‬
‫نز َل ه‬
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk
dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-
orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang
alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan
memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu
janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah
kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang kafir.”

 TAFSIR SURAH AL-MAIDAH : 44

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat, di dalamnya terdapat petunjuk


dari kesesatan, dan keterangan tentang hukum-hukum. Para nabi yang tunduk kepada
hukum-hukum Allah dan mengakuinya telah berhukum kepadanya di antara orang-
orang Yahudi. Para nabi tersebut tidak menyimpang dari hukum-hukumnya dan tidak
menyelewengkannya, para ahli ibadah dan ahli ilmu yang mendidik manusia
berdasarkan syariat Allah di kalangan orang-orang Yahudi juga berhakim kepadanya.
Hal itu karena para nabi di kalangan mereka tetap menyerahkan tugas menyampaikan
Taurat, memahami Taurat dan mengamalkannya kepada para ulama dan ahli ibadah
di antara mereka. Orang-orang Rabbaniyin dan para ahli ilmu diantara mereka telah
bersaksi bahwa nabi-nabi mereka telah menetapkan kitab Allah sebagai sumber
hokum diantara orang-orang Yahudi. Allah berfirman kepada para ahliibadah dan
ahli ilmu diantara orang-orang Yahudi : Jangan takut kepada manusia dalam
menetapkan hokum-Ku, karena mereka tidak mampu member manfaat kepada kalian
dan tidak pula mudharat. Akan tetapi takutlah kalian kepada-Ku karena Aku-lah
pemberi manfaat dan penimpa mudharat. Jangan menukar apa yang Aku turunkan
dengan harga yang remeh. Karena berhukum kepada selain apa yang diturunkan oleh
Allah termasuk perbuatan kekufuran. Orang-orang yang mengganti hokum Allah
13
yang Dia turunkan didalam kitab-Nya lalu mereka menyembunyikannya,
mengingkarinya dan menetapkan hokum dengan selainnya dengan keyakinan bahwa
hal itu halal dan boleh, maka mereka adalah orang-orang kafir.

 QS. Al-Maidah : 48

ِ ‫ص ِدقًا ِل َما َبيْنَ َيدَ ْي ِه ِمنَ ْال ِكتَا‬


‫ب َو ُم َهي ِْمنًا َعلَ ْي ِه‬ ِ ‫اب ِب ْال َح‬
َ ‫ق ُم‬ َ َ ‫َوأَنزَ ْلنَا ِإ َلي َْك ْال ِكت‬
‫ق ِل ُك ٍل َج َع ْلنَا‬ ِ ‫اءك ِمنَ ْال َح‬َ ‫اح ُكم َب ْينَ ُهم ِب َما أَنزَ َل َّللاُ َوَلَ تَت ِب ْع أ َ ْه َواء ُه ْم َعما َج‬ ْ َ‫ف‬
‫احدَة ً َولَـ ِكن ِليَ ْبلُ َو ُك ْم فِي َمآ‬ ِ ‫ِمن ُك ْم ِش ْر َعةً َو ِم ْن َها ًجا َولَ ْو شَاء َّللاُ لَ َج َعلَ ُك ْم أُمةً َو‬
َ‫ت ِإلَى هللا َم ْر ِجعُ ُك ْم َج ِميعًا فَيُنَبِئ ُ ُكم ِب َما ُكنت ُ ْم فِي ِه ت َ ْخت َ ِلفُون‬ ِ ‫آتَا ُكم فَا ْست َ ِبقُوا ال َخي َْرا‬
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian15 terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-
tiap umat diantara kamu16, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,”
 TAFSIR SURAH AL-MAIDAH : 48

Kami telah menurunkan al-Qur an kepadamu (wahai Rasul). Segala apa yang
ada didalamnya merupakan kebenaran yang bersaksi atas kebenaran kitab-kitab
sebelumnya. Ia adalah dari sisi Allah, yang mengakui kebenaran apa yang terkandung
didalamnya, menjelaskan penyimpangan yang terjadi padanya, dan menasakh
sebagian syariatnya. Maka tetapkanlah hukum di antara orang-orang yang
menjadikanmu sebagai hakim dari kalangan orang-orang Yahudi dengan apa yang
Allah turunkan kepadamu dalam al-Qur an ini. Dan jangan berpaling dari kebenaran
yang telah Allah perintahkan padamu kepada hawa nafsu mereka dan apa yang
menjadi kebiasaan mereka. Kami telah menjadikan syariat untuk setiap umat dan jalan
yang terang yang mereka amalkan. Bila Allah berkenan niscaya Dia menjadikan
syariat kalian semua satu, akan tetapi Allah menjadikannya berbeda-beda untuk
menguji kalian, sehingga terlihat orang yang taat dengan orang yang durhaka. Maka
bersegeralah kepada apa yang baik bagi kalian di dunia dan di akhirat dengan

15 Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan
dalam kitab-kitab sebelumnya.
16 Maksudnya: umat Nabi Muhammad saw. dan umat-umat yang sebelumnya.

14
mengamalkan al-Qur an, karena sesungguhnya tempat kembali kalian hanya kepada
Allah. Dia akan mengabarkan kepada kalian apa yang kalian perselisihkan dan
membalas masing-masing dengan amal perbuatannya.

 QS. Al-Maidah : 49

َ‫ّللاُ َوالَ تَت َّ ِبع أَه َواء ُهم َواحذَر ُهم أَن َيف ِتنُوك‬ ‫نز َل ه‬ َ َ‫َوأَ ِن احكُم َبينَ ُهم ِب َمآ أ‬
‫ّللاُ أَن‬
‫ّللاُ ِإلَيكَ فَ ِإن تَ َولَّوا فَاعلَم أَنَّ َما يُ ِري ُد ه‬
‫نز َل ه‬ َ َ‫ض َما أ‬ ِ ‫عَن بَع‬
َ ُ‫سق‬
‫ون‬ ِ ‫اس لَفَا‬ ً ِ‫ض ذُنُو ِب ِهم َوإِ َّن َكث‬
ِ َّ‫يرا ِ هم َن الن‬ ِ ‫يُ ِصيبَ ُهم ِببَع‬
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-
hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari
hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian
dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang
yang fasik.”

 TAFSIR SURAH AL-MAIDAH : 49

Tetapkanlah hukum wahai Rasul di antara orang-orang Yahudi dengan apa


yang Allah turunkan di dalam al-Qur an, dan jangan mengikuti hawa nafsu orang-
orang yang tidak berkenan berhakim kepadamu. Berhati-hatilah dari mereka sehingga
mereka tidak menghalang-halangimu dari sebagian apa yang diturunkan oleh Allah
kepadamu sehingga kamu tidak mengamalkannya. Bila orang-orang itu berpaling
dari hukum yang kamu tetapkan, maka ketahuilah bahwa Allah ingin memalingkan
mereka dari hidayah disebabkan oleh dosa-dosa yang mereka lakukan sebelumnya.
Sesungguhnya kebanyakan manusia menyimpang dari ketaatan kepada Rabb mereka.

15
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Sistem pemerintahan adalah pembagian kekuasaan serta hubungan antara


lembaga-lembaga Negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negeri itu, dalam
rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.
Sistem pemerintahan Islam disebut juga dengan al-Khilafah yang artinya suatu
susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam. Sebagaimana yang
dibawa dan dijalankan oleh Nabi Muhammad Saw. semasa beliau masih hidup, dan
kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman
bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib). Yang kepala negaranya disebut Khalifah.
Adapun pokok-pokok dalam penerapan pemerintahan Islam adalah Al-
Qur’anul karim, Sunnah Rasulullah SAW., Ijma’ oleh ulil amri dan pemeriksaan
terhadap hal-hal yang diperselisihkan dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Para sahabat menerapkan pemerintahan di antaranya adalah dalam memilih
khalifah adalah dengan musyawarah bersama Ahlul Halli wal Aqdi, yaitu para
ulama, dan pemimpin-pemimpin yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat
dipercaya oleh seluruh rakyat.
Metode dakwah dalam surah An-Nahl ayat 125-126 terdapat tiga cara efektif,
yakni dengan hikmah, dengan pelajaran yang baik, dan dengan jalan debat yang tidak
menimbulkan dampak tidak baik.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mahalliy, Imam Jalalud-Din dan As-Syuthi, Imam Jalalud-Din, Tafsir Jalalain berikut
Asbabun-Nuzul Ayat, 1990, (Bandung : Sinar Baru)
Bahreisy, H. Salim dan Bahreisy, H. Said, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid IV,
1988, (Surabaya : PT. Bina Ilmu)
Lajanah Pentashihan Mushaf Al- Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan
Berpolitik(Tafsir Al- Qur’an Tematik), (Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama RI: 2009),h. 220-221
M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an: Tafsir maudhu’i atas Berbagai Persoalan
Umat, (Bandung : Mizan)
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, 1994, (Bandung : Mizan)
Musthafa Al-Maraghi, Ahmad. Tafsir Al-Maraghi. (Semarang: CV. Toha Putra
Semarang)
RI, Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid V, 2010, (Jakarta : Lentera
Abadi)
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran, 1993, (Jakarta
: UI Press)
Sulaiman, Rasjid. Fiqh Islam. 2013. (Bandung: Sinar Baru Algensindo)

17

Anda mungkin juga menyukai