Anda di halaman 1dari 25

Clinical Science Session

Januari 2020

REFERAT
IRIDOCORNEAL ENDOTHELIAL SYNDROME

Oleh:
Khoirunnisa Sarabayan Pazka – G1A218036

Pembimbing:
dr. Gita Mayani, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2020
LEMBAR PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION

REFERAT
IRIDOCORNEAL ENDOTHELIAL SYNDROME

OLEH :
Khoirunnisa Sarabayan Pazka – G1A218036

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada, Januari 2020

Pembimbing

dr. Gita Mayani, Sp.M


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Clinical Science Session (CSS) yang berjudul “IRIDOCORNEAL
ENDOTHELIAL SYNDROME ” untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik
Ilmu Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Jambi di RSUD Raden Mattaher.
Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada dr. Gita
Mayani, Sp.M selaku konsulen ilmu mata yang telah membimbing dalam
mengerjakan Clinical Science Session (CSS) ini sehingga dapat diselesaikan tepat
waktu.
Dengan laporan kasus ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi
penulis dan orang banyak yang membacanya terutama mengenai masalah Katarak.
Saya menyadari bahwa Clinical Science Session (CSS) ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu saya harapkan saran dan kritik yang membangun untuk
perbaikan yang akan datang.

Jambi, Januari 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Iridocorneal endothelial (ICE) syndrome adalah sekumpulan kelainan
yang ditandai dengan endothel kornea yang abnormal yang menyebabkan iris
atrofi dengan derajat yang beragam, secondary angle closure, dan edema
kornea.(AAO, 2017).1
ICE sindrom adalah sekelompok kondisi yang berkaitan dengan perubahan
sel kornea dan iris. Sindrom ini hampir selalu melibatkan sel yang bergerak
dari kornea ke iris. Hilangnya sel-sel dari kornea dapat menyebabkan
pembengkakan kornea, iris dan pupil dapat menjadi terdistorsi. Ketika sel-sel
kornea bergerak, mereka dapat menghalangi cairan yang mengalir dengan baik
melalui saluran drainase mikroskopis mata. Penyumbatan ini menyebabkan
tekanan pada mata untuk membangun, yang mengarah ke glaucoma.1
Pada tahun 1903 Harms menjelaskan sebuah kondisi yang digambarkan
dengan atrofi iris dan glaukoma, disebut juga “progressive iris atrophy”
(Harm, 1903)2. Lima dekade kemudian, Chandler menggambarkan sebuah
kondisi mata yang jarang dan unilateral yang mempunyai tanda atrofi iris yang
berhubungan dengan endotel kornea yang berubah, edema kornea dan
glaukoma. (Chandler, 1956)3 Kemudian diputuskan bahwa Chandler
syndrome dan progresive iris atrophy merupakan dua bentuk dari penyakit
yang sama. (Campbell et al., 1978)4 Ketika Cogan dan Reese mengemukakan
kondisi yang serupa yang berhubungan dengan nodul iris, bentuk ketiga dari
ICE syndrome ditemukan dan diberi nama iris nevus atau Cogan-Reese
syndrome. (Cogan & Reese, 1969)5 Dari studi sebelumnya bahwa ketiga sub
tipe ICE memiliki sejarah, temuan klinis dan patologis yang sama dan
kemudian disatukan dengan nama Iridocorneal Endotelial syndrome yang
diusulkan oleh Yanoff(Yanoff, 1979).
Kasus ICE syndrome digambarkan sebagai sporadis dengan tidak ada
hubungan konsisten pada penyakit mata maupun penyakit sistemik lainnya
dan kasus yang diturunkan dari keluarga sangat jarang. Sindroma ini pada
umumnya penyakit unilateral, lebih banyak pada wanita dan umumnya pada
rentang usia 20 – 50 tahun. Tetapi terdapat beberapa laporan kasus ICE
syndrome bilateral terjadi pada anak anak. (Salim et al., 2006).6
Terapi ditujukan pada edema kornea dan glukoma sekunder yang terjadi.
Larutan hipertonik dan obat-obatan digunakan untuk mengurangi TIO, bila
meninggi, maka akan efektif dengan mengontrol edema kornea yang terjadi.
Glaukoma sudut tertutup yang terjadi dapat di terapi dengan aqueous
suppressants. Miotikum tidak berguna. Bila terapi obat gagal, bedah filtrasi
(trabekulektomi atau prosedur tube-shunt) dapat efektif.6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Mata

Gambar 1. Anatomi Mata


Secara konstan mata menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk, memusatkan
perhatian pada objek yang dekat dan jauh serta menghasilkan gambaran yang
kontinu yang dengan segera dihantarkan ke otak.
Mata memiliki struktur sebagai berikut :
 Sklera (bagian putih mata) : merupakan lapisan luar mata yang bewarna putih
dan relatif kuat.
 Konjungtiva : selaput tipis yang melapisi bagian dalam kelopak mata dan
bagian sclera.
 Kornea : struktur transparan yang menyerupai kubah, merupakan
pembungkus dari iris, pupil dan bilik anterior serta membantu memfokuskan
cahaya.
 Pupil : daerah hitam ditengah-tengah iris.
 Iris : jaringan bewarna yag berbentuk cincin, menggantung di belakang
kornea dan di depan lensa, berfungsi mengatur jumlah cahaya yang masuk ke
mata dengan cara merubah ukuran pupil.
 Lensa : struktur cembung ganda yang tergantung diantara humor aquos dan
vitreus, berfungsi membantu memfokuskan cahaya ke retina.
 Retina : lapisan jaringan peka cahaya yang terletak dibagian belakang bola
mata, berfungsi mengirimkan pesan visual melalui saraf optikus ke otak.
 Saraf optikus : kumpulan jutaan serat saraf yang membawa pesan visual ke
otak.
 Humor aqueus : caian jernih dan encer yang mengalir diantara lensa dan
kornea (mengisi segmen anterior bola mata) serta merupakan sumber
makanan bagi lensa dan kornea, dihasilkan oleh processus ciliaris.
 Humor vitreus : gel transparan yang terdapat di belakang lensa dan di depan
retina (mengisi segmen posterior mata).

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Kornea7


Kornea adalah jaringan transparan yang disisipkan ke dalam sklera pada
limbus, lengkung melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skelaris.
Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 μm di pusatnya, diameter
horizontalnya sekitar 11,75 mm dan diameter vertikalnya adalah 10,6 mm. Dari
anterior ke posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda: lapisan
epitel (yang berbatasan dengan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman,
stroma, membran Descement, dan lapisan endotel. Batas antara sclera dan kornea
disebut limbus kornea. Sepertiga radius tengah disebut zona optik dan lebih
cembung sedangkan tepinya lebih datar, dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 D.

Gambar 2.Anatomi kornea dan lapisan kornea. (a) Bagian dari bagian anterior
mata; (B) Bagian kornea yang menggambarkan enam lapisan; (c) Gambar
mikroskopis confocal in vivo dari endotel kornea
a. Epitel
Epitel kornea tersusun oleh sel epitel skuamous bertingkat, dan sebagai
penyumbang ketebalan kornea 5-10%. Secara optik, sel epitel dan tear film
membentuk suatu permukaan halus. Ikatan erat diantara sel-sel epitelial
superfisial ini berguna untuk mencegah masuknya cairan air mata ke dalam
stroma. Proliferasi sel-sel epitelial basal di perilimbal secara terus-menerus
(limbal stem cells) memungkinkan lapisan lain untuk berdiferensiasi menjadi
sel superfisial. Sel yang matang terbungkus oleh mikrovili pada lapisan luarnya
dan kemudian terjadi deskuamasi menjadi air mata. Proses ini berlangsung 7-
14 hari. Sel-sel epitelial basal akan terus berproduksi, ketebalan membran
basement 50-nm, mengandung kolagen tipe IV, laminin, dan protein lain.
Kejernihan kornea tergantung pada ikatan antara selsel epitel agar membentuk
lapisan yang mendekati refraksi indeks dan minimal light scattering.
b. Membran Bowman
Membrana bowman merupakan suatu lapisan superfisial bersifat aseluler,
terbentuk dari fibril kolagen. Ketebalannya 12 μm. Lapisan ini bukan lapisan
membrana elastis sebenarya, tetapi merupakan bagian dari stroma. Fungsinya
sebagai resistensi infeksi. Sekali rusak, tidak terjadi regenerasi.
c. Stroma (subtansia propria)
Sel-sel stroma tersusun teratur dengan ketebalan 0.5 mm dan berkontribusi
sebagai lapisan yang paling tebal, yakni 90% dari seluruh ketebalan kornea.
Kepadatan stroma akan terus menurun disebabkan pertambahan usia,
manipulasi tindakan bedah refraksi yang melibatkan kornea atau trauma, dan
biasanya penyembuhanakan meninggalkan sisa.
d. Membrana desemet
Lapisan desemet adalah membran basemen dari endotel kornea. Ketebalannya
meningkat dari sejak lahir 3 μm hingga dewasa 10-12 μm, sebagai hasil dari
pemecahan endotel di bagian posteriornya. Lapisan ini merupakan lapisan
homogen yang paling kuat, sangat resisten terhadap agen kimia, trauma, dan
proses patologis. Terdiri dari kolagen dan proteoglikan, tetapi membran ini bisa
mengalami regenerasi.
e. Endotel
Lapisan endotel tersusun oleh ikatan sel-sel yang membentuk pola mosaik
dan berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 m.
Sel endotel manusia tidak berproliferasi secara in vivo, tetapi sel dapat
membelah untuk mempertahankan jumlahnya. Meskipun beberapa bukti
menunjukkan bahwa stem sel endotel kornea perifer, kepadatannya terus
menurun sesuai usia. Sel yang berkurang menyebabkan sel lain mengalami
pembesaran dan menggantikan posisi sel sekitarnya untuk menutup area defek,
terutama yang disebabkan trauma dan operasi.
Pada bayi biasanya densitas endotel kornea melebihi 3500 sel/mm2 dan
secara bertahap menurun seiring dengan bertambahnya usia menjadi sekitar
2000 sel/mm2 pada orang tua. Rata-rata pada orang dewasa, densitas endotel
kornea adalah 2400 sel/mm2 (1500-3500), dengan rata-rata ukuran sel 150-350
μm2(American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b).
Endotel kornea memiliki dua fungsi utama. Pertama, sebagai jalur untuk
penyerapan nutrisi kornea dan pembuangan sisa metabolisme melalui difusi
dan mekanisme transport aktif. Kedua, mengatur hidrasi kornea dan
mempertahankan transparansi kornea. Fungsi endotel ini dilakukan karena
adanya pompa metabolik 9 aktif di endotel kornea. Sedikitnya terdapat tiga
sistem transport ion yang telah teridentifikasi antara lain, pompa sodium-
potasium yang menggerakkan ion sodium keluar dari sel dan bergantung pada
enzim Na+,K+-ATPase; pompa sodium-hidrogen yang menggerakkan ion
sodium ke dalam sel; pompa bikarbonat yang mengangkut ion bikarbonat dari
kornea ke humor akuos. Pompa-pompa transport ion ini bekerja sama untuk
mempertahankan transparansi kornea (Bonanno, 2003; Sheng, 2006).
Transparansi kornea tergantung pada terjaganya kadar air pada stroma
kornea sekitar 78%. Ketika fungsi endotel ini terganggu, maka humor akuos
akan berdifusi masuk ke stroma kornea dan menyebabkan edema kornea
(American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b; Sheng 2006).
2.1.3 Anatomi dan Fisiologi Iris1
Iris adalah perpanjangan paling anterior dari traktus uvea. Iris terdiri dari
pembuluh darah dan jaringan ikat yang ditambah dengan melanosit dan sel
pigmen untuk menghasilkan warna iris. Mobilitas dari iris menyebabkan pupil
untuk berubah ukuran. Selama midriasis, iris tertarik menjadi beberapa lekukan
dan lipatan. Iris membagi segmen anterior menjadi bilik mata depan dan bilik
mata belakang. (AAO, 2017). Iris terdiri beberapa bagian antara lain:
1. Stroma
Stroma iris terdiri dari sel berpigmen dan sel yang tidak berpigmen, kolagen
fibril dan matriks yang mengandung asam hyaluronat. Humor aqueous
mengalir secara bebas melalui stroma yang longgar sepanjang batas anterior
dari iris. Permukaan stroma tertutup oleh lapisan sel jaringan ikat yang
terputus yang menyatu dengan badan silier.
2. Pembuluh darah dan syaraf
Pembuluh darah berasal dari stroma iris. Sebagian besar mengikuti secara
radial dari pembuluh darah besar dan melewati tengah pupil. Pada daerah
collarette (bagian paling tebal dari iris), terdapat anastomosis dari arteri dan
vena untuk membentuk lingkaran pembuluh darah minor dari iris. Sebagian
besar lingkaran pembuluh darah ini terletak pada apeks badan silier tidak
pada iris. Pada manusia, lapisan anterior dari iris normalnya avaskular.
3. Lapisan pigmen posterior
Permukaan posterior dari iris terpigmen padat dan tampak halus dan seragam.
Bagian ini lanjutan dari epitel tidak terpigmen dari badan silier dan
berhubungan dengan bagian neurosensoris dari retina.
4. Otot dilator
Otot ini terletak secara pararel di anterir dari epitel pigment posterior. Otot ini
teridi dari otot halus yang terdiri dari myofilamen dan melanosom. Otot
dilator memiliki dua inevasi dari simpatetik dan parasimpatetik. Otot dilator
berkontraksi oleh respon α1-adregenik. Stimulasi dari kolinergik parasimpatis
perberan sebagai inhibisi.
5. Otot sphincter
Otot sphincter terdiri dari jaringan sirkuler dari serat otot halus dan terletak
didekat tepi pupil di dalam stroma, anterior dari pigmen epitelium dari iris.
Serat saraf yang menginervasi otot sphincter meninggalkan subnukleus
Edinger-Westphal dan mengikuti divisi inferior dari N III. Serat saraf ini
berlanjut pada percabangan meninervasi otot obilqus inferior kemudian
keluar dan bersinaps dengan serat postganglion dari ganglion silier. Serat
postganglion berjalan dengan nervus siliaris meniju sphincter iris. Serat ini
biasanya termyelinasi yang dibutuhkan untuk kanduksi secara cepat.

2.2 Iridocorneal Endothelial Syndrom (ICE sindrom)


2.2.1 Definisi
Sindroma iridocorneal endothelial adalah suatu kelainan yang ditandai dengan
abnormalitas endotel kornea yang menyebabkan iris atropi, secondary angle-
closure glaucoma, dan edema kornea. Ada 3 perubahan klinis yang dapat
digambarkan yaitu:
 Chandler syndrome (edema kornea)
 Atropi iris progresif
 Nevus iris/Cogan-Reese syndrome1
Kelainan iris yang spesifik tersebut yaitu :
- Essential iris atrophy – Dalam kondisi ini, endotel kornea yang berkembang
secara tidak normal tumbuh di sepanjang trabecular meshwork dan iris untuk
membentuk synechiae anterior perifer luas (PAS), ectropion uveae, dan
peregangan iris. Ada daerah yang menipis dan mengakibatkan kelainan
bentuk pupil oleh karena membrane endothelial berkontraksi, menarik iris
sehingga terjadi sinekia anterior peripheral.8

Gambar 3. Essential iris atrophy yang menunjukkan kelainan dari pupil


- Chandler syndrome – mirip dengan perubahan iris pada essential iris atrophy,
namun ada derajat yang lebih berat pada edema kornea.

Gambar 4. Pada chandler syndrome, kelainan iris hampir sama dengan essential
iris atrophy, namun disini terjadi edema kornea yang berat.

- Cogan-Reese syndrome – iris tampak rata dengan nodul kecil pada jaringan
iris normal yang mendorong melewati lubang pada lapisan endotel memberi
penampakan seperti “mushroom patch”.8

Gambar 5. Pigmen iris nodul pada cogan-reese syndrome.

2.2.2 Epidemiologi
Timbul pada umur antara 20 – 50 tahun, dan lebih sering pada wanita. Pasien
dengan ICE sindrom biasanya terjadi pada 3-5 dekade kehidupan, penderita
mengeluh adanya gangguan penglihatan atau rasa tidak nyaman yang terjadi oleh
karena edema kornea atau peningkatan TIO. Terjadi secara sporadik dan hampir
semuanya terjadi pada kulit putih.
Sindrom ini terjadi pada umur pertengahan dan hampir selalu unilateral namun
pernah juga ditemukan bilateral. Distrophi polimorfik posterior yang asimetris,
merupakan penyebab lain dari edema kornea unilateral, yang merupakan diagnosa
banding ICE sindrom.8

2.2.3 Etiologi

Etiologi pada ICE syndrome belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat teori


bahwa infeksi virus Herpes simplex virus (HSV) atau Epstein Barr Virus
mengarah ke inflamasi pada level endotel kornea sehingga menyebabkan aktifitas
yang menyerupai sel epitel. .(AAO, 2017)1

2.2.4 Patofisiologi
Patogenesa yang jelas dari ICE sindrom tidak diketahui namun tampak adanya
sel-sel endotel yang abnormal.Keadaan ini muncul dari adanya maldiferensiasi
dari sejumlah sel-sel endothelial. DNA Herpesvirus pernah diidentifikasi pada
specimen kornea setelah dilakukan keratoplasti dalam humor aquos penderita.
Diduga kemungkinan infeksi HPV menginduksi perubahan ini.9,10
Kesamaan antara 3 varian dari ICE syndrome adalah lapisan sel endothelial
kornea dalam kapasitas proliferasi dan perpindahannya sepanjang sudut ke
permukaan iris. Istilah “proliferative endotheliopathy”. Pada ICE syndrome sel
endotel kornea yang normal tampak tergantikan oleh sel yang menyerupai sel
epitel dengan karateristik perpindahan sel. Pada transmisi dan scanning dari
mikroskop elektron menunjukkan perubahan sel tersebut merupakan sel yang
berdeferiansi secara baik dengan fitur sel epitel seperti desmosomes, tonofilaments
dan micovilli. (Levy et al., 1996) Sel endothelial yang berubah ini bermigrasi ke
posterior melewati Schwalbe’s line menuju ke trabekular meshwork dan ke iris
perifer. Kontraksi dari jaringan ini pada sudut bilik mata depan dan iris
menyebabkan tingginya pheripheral anterior synechiae (PAS) dan perubahan
pada iris yang khas pada ICE syndrome.(AAO, 2017).1

Edema kornea yang terjadi pada pasien ICE syndrome diperkirakan terjadi
sekunder karena kenaikan tikanan intra okuli (TIO) dari sudut bilik mata depan
tertutup dan dari fungsi pompa yang tidak normal dari sel endotel yang tidak
normal. Hal tersebut dapat terjadi pada semua variasi klinis ICE syndrome tetapi
lebih umum ditemukan pada pasien dengan Chandler syndrome .(AAO, 2017) .1

2.2.5 Diagnosis
Gambaran awal dari pasien ICE syndrome dapat berupa nyeri mata
monookular (dari edema kornea atau peningkatan TIO menyebabkan glaucoma
sudut tertutup sekunder), pandangan kabur atau perubahan pada iris. Pemeriksaan
teliti dari kornea untuk melihat adanya edema kornea dan iregularitas dari endotel
kornea (tampak gambaran beaten bronze atau hamered silver dari kornea ketika
dilihat dibawah slitlamp). PAS (peripheral anterior sinechyae) yang tinggi
merupakan ciri khas ICE syndrome sindrom, dan sering meluas anterior ke
Schwalbe’s line.1

Gambar 6. Menunjukkan PAS yang meluas ke Scwalbe’s line, dengan sudut yang tertutup
Terdapat beberapa variasi klinis dari ICE syndrome, antara lain:

 Atropi Iris Esensial/ Progresif

Khas adanya atropi iris, dengan penipisan stroma iris yang akan berlanjut menjadi
“full-thickness iris hole”. Pada awalnya akan terjadi sinekia anterior perifer, dan
selanjutnya akan berlanjut mengelilingi semua lingkaran kornea. Terjadi distorsi
pupil, ektropion uvea, yang paling khas dan penting adalah adanya PAS.11

Gambar 7. Menunjukkan ektropion uvea pada ICE syndrome

 Chandler Syndrome
Ciri utama pada varian ICE syndrome ini biasanya edema kornea, sering dengan
peningkatan TIO yang normal atau sedang. Chandler menggambarkan endotel
kornea seperti “fine hammered silver appearance”. Atropi iris kurang menonjol
pada Chandler syndrome dibanding dan bila terdeteksi sering terbatas pada stroma
iris anterior. Pupil biasanya bulat atau sedikit oval.11
Gambar 8. Kornea memperlihatankan “hammered silver appearance” pada
endotelnya.

 Cogan-Reese Syndrome
Ditandai dengan lesi yang berpigmen pada iris yang berbentuk multipel,
pedunculated, lesi nodular menjadi lebih difus, halus, perubahan beludru iris.
Permukaan iris cenderung hilang dari pada normalnya, dan tampak lebih gelap
dari mata sebelahnya. Ektropion uvea, rusaknya stroma iris, dan ektopik pupil
sering muncul. PAS< edema kornea, glaukoma yang labil merupakan ciri khusus.

Glaukoma terjadi pada 50% penderita dengan ICE sindrom, dan glaukoma
yang terjadi cenderung lebih berat pada atropi iris progresif dan Cogan-Reese
syndrome. Keadaan klinisnya adalah abnormalitas endotel kornea yang tampak
nyata, serta gambaran metal pada kornea posterior. Pada keadaan ini endotel
kornea berpindah posterior ke Membran Descemet’s. Dengan mikroskop elektron
menunjukkan lapisan endotel yang berbeda ketebalannya. Tidak seperti endotel
kornea normal, disini tampak proses filopodial dan filament aktin sitoplasmik.
Viral diduga merupakan mekanisme dari ICE sindrom setelah ditemukannya
limfosit yang tampak pada endotel kornea penderita. Berdasarkan hasil serologis,
diduga virus Epstein-Barr dan herpes simpleks turut terlibat.11

Pemeriksaan Penunjang
1. Biomikroskop Slitlamp
 Korektopia (malposisi pupil)

 Pseudopolikoria (pupil tambahan) pada iris normal sebelumnya.

 Iris atropi dengan berbagai macam bentuk.

 Abnormalitas endotel kornea khas dengan bentuk “hammered-silver”


yang mirip dengan Fuchs dystrophy bila dilihat dengan refleksi cahaya
spekular. Edema kornea sekunder menjadi dekompensasi endothelial pada
kasus yang lanjut. Lapisan endotel kornea tampak seperti “beaten metal
appearance” pada mata unilateral.

2. Gonioskopi
Pada awal kelainan dari penyakit, gonioskopi menunjukkan sudut kamera okuli
anterior yang normal. Kemudian terjadi PAS dan tampak menutupi semua sudut.
Polus posterior tampak normal namun terjadi ‘glaucomatous optic nerve cupping’
dan terjadi peningkatan intraocular. Gonioskopi menunjukkan sinekhia perifer
anterior yang meluas sampai Scwalbe line.12
• Apabila Seluruh anyaman trabekular, prosesus iris terlihat  sudut terbuka
• Apabila hanya garis schwalbe/sebagian kecil anyaman trabekular  sudut
sempit
• Apabila garis schwalbe tidak terlihat  sudut tertutup.1
3. Mikroskop spekular
Dengan mikroskop spekular, dengan jelas dapat membedakan keadaan endotel
kornea pada ICE sindrom dengan keadaan endotel pada kelainan lainnya.
Perubahan yang paling awal tampak adalah hilangnya bentuk hexagonal sel-sel
endothelial.
Dengan mikroskop spekular menunjukkan hitung sel endotel yang normal (2380)
dengan bentuk sel yang normal (kiri). Endotel yang abnormal dengan pembesaran
interspaced dan hitung sel yang rendah (1353) (kanan) pada pasien ICE sindrom.12
4. Tonometri
Alat untuk pengukuran tekanan intraokuler. Rentang tekanan intraokuler normal
adalah 10-21 mmHG.1

Daerah yang gelap mulai tampak pada sel-sel tunggal. Pada kornea yang
terkena terjadi peningkatan pleomorfisme selular dan daerah gelap pada sel-sel
tunggal tadi meluas. Daerah yang tampak normal pada mata yang terkena, dengan
mikroskop spekular menunjukkan mosaik endothelial yang normal namun ukuran
sel lebih kecil dari biasanya. Penyebab ini belum diketahui. Pada beberapa kasus
mata yang tidak terlibat menunjukkan pleomorfik sel endothelial yang abnormal
dengan hitung sel yang lebih rendah. Endotel kornea dan membrane basement
menyebar dari kornea menuju trabekular meshwork dan permukaan iris. Kontraksi
membrane ini mencetus munculnya PAS pada daerah yang sebelumnya sudutnya
terbuka dan menimbulkan uvea ektropion. Atropi iris dan “full thickness hole”
timbul karena ada tarikan antara iris dan sinekhia. Nodul iris timbul pada daerah
yang terlibat dengan kompleks endotel-membran basement. Diduga bahwa bentuk
nodul timbul dari kepungan dan “jepitan” iris oleh membrane seluler. Nodul
tersebut merupakan tanda dari daerah endotelialisasi iris.
Diagnose ICE sindrom selalu diduga pada pasien usia pertengahan dengan
glaukoma sudut tertutup unilateral. Dengan mikroskop spekular dapat memastikan
diagnosis dengan adanya sel-sel endotel yang hilang dan morfologi sel endotel
yang atipikal pada mata yang terlibat.

2.2.6 Diagnosis Banding


 Fuchs Endol/zelial Corneal Distrophy (FECD) : anomali endotel yang
mirip (tetapi lebih kasar) di kedua mata dan tidak menunjukkan perubahan
bilik anterior, sudut iridokomeal, iris selalu terlihat pada lCE syndrome.
 Posterior Polymorphus Corneal Distrophy (PPCD) : abnormalitas pupil,
perubahan iris, edema komea, dan glaukoma yang disebabkan oleh
penutupan sudut. mempakan penyakit dominan autosom.

 Sindrom Axenfeld-Rieger, patogenesis sindrom ini mirip dengan


pcrubahan iris dan iridokornea.

 Anridia : tampak bagian iris yang tidak berkembang sempurna, bukan


merupakan keadaan tanpa iris sama sekali. Sulit dibedakan dengan atrofi
iris progresif.1
2.2.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan medis terhadap kondisi ini sulit, karena etiologi ICE
syndrome yang tidak diketahui. Tidak ada terapi yang menargetkan patogenesis
ICE syndrome, yang berarti pengobatan ditujukan untuk mengendalikan TIO dan
kejernihan komea. Terapi diarahkan pada edema komea dan glaukoma sekunder.
Larutan garam hipertonik dan obat untuk mengurangi TIO yang meningkat, dapal
efektif dalam mengendalikan edema komea. 1

Berikut beberapa obat obatan yang bekerja dalam menurunkan tekanan


intraokular.

Obat antiglaukoma topikal biasanya merupakan lini pertama pengobatan,


karena penurunan TIO juga dapat memperbaiki edema kornea. Obat obat yang
menekan produksi aqueous humor, termasuk beta bloker topikal, alpha agonists,
dan carbonic anhydrase inhibitor, lebih disukai dan biasanya disertai dengan
miotik meskipun nilai tambah mereka dianggap minimal. Karena peran HSV pada
ICE syndrome belum sepenuhnya dikesampingkan, prostaglandin harus
digunakan dengan hati hati pada pasien dengan glaukoma terkait ICE karena
penggunaannya telah dilaporkan dapat menstimulasi kambuhnya herpes simpleks.
Tingkat kegagalan yang tinggi (dari 60% hingga 88%) dari perawatan medis
untuk glaukoma dilaporkan dalam literatur dan ketika perawatan topikal gagal
atau tidak mencukupi ikuti dengan tindakan bedah.6,12

Ketika terapi medis gagal, operasi filtrasi (trabekulektomi atau drainase


glaukoma) bisa efektif. Kegagalan baru baru ini telah dilaporkan dengan
trabekulektomi sekunder untuk endotelisasi fistula operasi penyaringan mungkin
karena pertumbuhan progresif dari membran endotel abnormal yang membentang
di atas trabecular meshwork dan lokasi filtrasi. Dengan sudut pandang ini,
glaucoma drainage inplans (GDIs) dapat mengatasi pertumbuhan kembali
membran di tempat filtrasi, dan studi tentang kemanjuran GDI pada glaukoma
terkait ICE menunjukkan tingkat keberhasilan yang tinggi sekitar 70% pada 1
tahun, membentuk 70% hingga 40% setelah 3 tahun, dan 53% setelah 5 tahun.6
Dalam kasus lanjutan edema kornea dengan TIO yang dikontrol dengan baik,
bedah komea harus dipertimbangkan untuk meningkatkan fungsi visual dan
mengurangi rasa sakit. Penetrating Keratoplasfy (PK) diusulkan dalam beberapa
laporan kecil dengan tindak lanjut singkat, dengan tingkat keberhasilan bervariasi
dari 83% hingga 100%.12

2.2.8 Komplikasi
1. Glaukoma akibat obstruksi bilik mata anterior.
2. Penglihatan yang semakin memburuk karena disfungsi sel endotel kornea yang
menghasilkan dekompensasi dan edem kornea.
3. Distorsi visual dan penglihatan silau dari perubahan iris1

2.2.9 Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan ICE syndrome baik apabila dilangani dengan cepat
dan tepat. lni lergamung pada waktu diagnosis dalam perjalanan penyakit, dan
keberhasilan alau kegagalan pengobatan. Banyak pasien memiliki yang hampir
asimtomatis, dan cukup baik dengan kontrol TIO (baik Iopikal dan bedah).
Namun, ada pasien dengan penyakit agrcsif yang menderita kchilangan
penglihalan luas akibal glaukoma lanjul dan alau edema komea.
Glaukoma cenderung lebih parah pada atrofi iris progresif dan sindrom Cogan-
Reese. Jikn intervensi bcdah diperlukan unluk mengontrol TIO, prognosis
cenderung lebih dijaga.11
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom Iridokorneal endothelial (ICE) mcrupakan kondisi yang jarang dimana


dapat terjadi gangguan yang ditandai dengan kelainan cndolclium kornea yang
mcnycbabkan bcrbagai tingkalan dari atrofi iris, nodul iris. dan edema kornea.

Kondisi ini sccara klinis unilateral, terjadi pada usia antara 20 dan 50 tahun.
dan terjadi lebilh scring pada wanita dengan prevalansi kurang dari l per l00.000
populasi. Glaukoma telah dilaporkan terjadi pada lebih dari 50 kasus sindrom
ICE. Selain itu dapat terjadi perubahan perubahan degeneratif pada iris sebagai
komplikasi karena keterlambatan penanganan.

Penatalaksanaan medis terhadap kondisi ini bisa sulit dan sering kali
merupakan tindakan temporer, karena etiologi sindrom ICE yang tidak diketahui.
Tidak ada terapi yang mcnargetkan patogcnesis sindrom lCE, yang berani
pcngobalan ditujukan untuk mcngcndalikan tckanan intraokular dan kejemihan
komea.

Prognosis untuk pasien dengan sindrom ICE tergantung pada apakah telah
terjadi komplikasi. lni tergantung pada waktu diagnosis dalam perjalanan
penyakit dan keberhasilan atau kegagalan pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academic of Ophthalmology (AAO). Basic and Clinical Science


Course: Section 2 Fundamentals and Principles of Ophthalmology. 2016-
2017.
2. Harms C. Einseitige spontone Liickenbildung der Iris durch Atrophie ohne
mechanische Zerrung. Klinische Monatsblätter für Augenheilkunde.
1903;41:522–528
3. Campbell D. G., Shields M. B., Smith T. R. The Corneal Endothelium and the
Spectrum of Essential Iris Atrophy. American Journal of Ophthalmology.
1978;86(3):317–324.
4. Chandler P. A. Atrophy of The Stroma of The Iris: Endothelial Dystrophy,
Corneal Edema, and Glaucoma. American Journal of Ophthalmology.
1956;41(4):607–615.
5. Cogan D. G., Reese A. B. A. Syndrome Of Iris Nodules, Ectopic Descemet's
Membrane, and Unilateral Glaucoma. Documenta Ophthalmologica.
1969;26(1):424–433.
6. Salim S, Shields B, Scott IU, Fekrat S. iridocorneal Endothelial Syndrome and
Glaucoma. Opthalmic pearls. Glaucoma.
7. Kanski JJ et al. Kanski’s Clinical Opththalmology a Systemic Approach. New
York : Elsevier. 2015
8. Doan A. iridocorneal endothelial syndrome (ICE)-essential iris atrophy : 63-
year-old female with PAS, ‘iris mass”, corectopia, and increased IOP OS.
Updated : 21 february 2005. Available from :
http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/cases/case14.htm
9. Handbook of ocular disease management. Iridocorneal endothelial syndromes
(ICE). Updated : 2012. Available from
http://cms.revoptom.com/handbook/march_2004/sec4_5.htm
10. Kupfer C, Chan CC, Burnier M, Kupfer MIK. Histopathology of the ICE
syndrome. National Eye Institute, National Institutes of Health, Bethesda,
Maryland. Tr. Am. Ophth. Soc. Vol. LXXXX, 1992.
11. EyeWiki. Iridocorneal Endothelial Syndrome and Secondary Glaucoma.
Updated : 31 December 2019. Available from :
http://eyewiki.aao.org/Iridocorneal_Endothelial_Syndrome_and_Secondary
Glaucoma
12. Aung T. iridocorneal endothelial syndrome. Singapore National Eye Centre.
Asian journal of ophthalmology and Asia-Pacific Journal of Ophthalmology.
Volume 2, Numbers 1,2,2000.

Anda mungkin juga menyukai