Anda di halaman 1dari 5

ACEH TAMIANG – Temaram sudah hampir tiba, sesaat lagi adzan berkumandang di atas

langit Kecamatan Bendahara, namun warga empat desa, Tengku Tinggi, Paya Rehat, Tanjung
Lipat dan Desa Senebok Aceh, Kabupaten Atam terusik, penantian panjang selama 19 tahun
tak selesai. Sengkarut lahan HGU PT Rapala dan masyarakat empat desa membuncah.
Sedikitnya 144 hektar diperebutkan. 500 kepala keluarga menanti sengketa tak berujung itu.

Selepas shalat Maghrib, sebanyak 200 warga melakukan musyawarah, meluruskan ‘benang
kusut’ agar kasus perebutan lahan warga seluas 144 hektar dapat kembali dikuasai masyarakat
setempat. Perjuangan berlanjut, sebanyak sebelas orang meringkuk di kursi pesakitan. Tiga
hari silam di desa Paya Rehat

Kasus berkepanjangan dari 2015 itu, hingga kini menyisakan asa yang nyaris sia-sia, Hukum
menganggap advokasi yang dilakukan masyarakat ternodai dengan tindakan anarkis, sebelas
orang pahlawan tanah perjuangan gagal membuahkan hasil, malah berujung ke kursi pesakitan,
diantaranya OK Sanusi (ketua Granat), M Nur, Basri, Zainudin, Zulkifli, dan Zulkifli alias
Bang Li. Sedangkan seorang lagi Rusli, warga Opak.

Merekalah ‘sempalan’ pront perlawanan perebutan hak hak masyarakat yang dikuasai
perusahaan perkebunan besar PT. Rapala, ironisnya gerakan mereka dibutakan oleh mata
hukum. Hari ini genderang perang itu berhenti seperti kehabisan nafas, hak rakyat dikebiri oleh
hukum.
Perseteruan warga empat desa dengan PT Rapala terus berlanjut, meski tidak lagi menggelar
pemerintah jalanan, namun dilanjutkan dengan diplomasi politik, 11 sempalan terus bergerilya
mencari fakta kebenarannya.

Pada dasarnya genderang perang sudah ditabuh, sejak tahun 1980 lalu, (saat itu masih PT.
Parasawita). Dua puluh sembilan tahun penantian panjang tak berujung belum menuai hasil
hingga saat ini.

Upaya sudah dilakukan, Bupati Aceh Tamiang, saat itu dijabat H. Hamdan Sati, di medio
Agustus 2017, memanggil Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pihak PT. Rapala serta
masyarakat yang bertikai untuk mencari penyelesaian dan rumusan, agar kasus ini selesai dan
tidak ada masyarakat yang dirugikan. Upaya tersebut juga buntu.

Sengkarut semakin menepis penyelesaian, kebencian warga membuncah kepada PT. Rapala,
10 orang perwakilan warga mengadu nasib ke DPRA melalui Aliansi Gerakan Rakyat
Tertindas (Granat). Berkas setebal 104 halaman itu diserahkan ketua Granat, OK Sanusi kepada
anggota DPRA, Teuku Irwan Djohan di ruang Fraksi Partai NasDem (medio 2017 lalu) .

Dialog pun terjadi, OK Sanusi bercerita dari masa pendudukan pemerintahan Hindia Belanda,
hingga tanah tersebut menjadi ‘pampasan’ (harta kalah perang) yang dikuasai oleh sekitar 500
kepala keluarga, juga tidak membuahkan hasil.

Kemarahan warga semakin mengerucut, medio Februari lalu, warga melakukan aksi
penguasaan kantor PT. Rapala, berakhir dengan bentrokan. Dianggap 11 orang pentolan tanah
perjuangan itu sebagai provokator dan digiring ke ranah hukum.

Lalu, bisakah mereka menguasai kembali tanah ‘endatu’ (leluhurnya) menjadi milik mereka ?,
hanya para petinggi pemerintahan yang bisa menjawabnya.

Upaya Sudah Kita Lakukan

Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang (2017) sudah melakukan berbagai upaya sebagai bentuk
penyelesaian perebutan sengketa lahan seluas 144 hektar yang di klaim PT. Rapala masuk
dalam Hak Guna Usaha (HGU) mereka. Masyarakat tak terima, sebab tanah tersebut
merupakan pampasan Belanda, sejak dahulu, medio 1980, sudah dikuasai warga.

Langkah awal dilakukan Pemkab Aceh Tamiang, kala itu dijabat Bupati Hamdan Sati,
memanggil Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat terkait sengketa pertanahan terutama
sengketa lahan eks HGU PT. Parasawita yang kini menjadi HGU PT. Rapala dengan warga
empat desa, Paya Rehat Kecamatan Banda Mulia, Desa Senebok Aceh, Tanjong Lipat dan
Tuku Tinggi Kecamatan Bendahara.

Pemerintah Aceh Tamiang sudah menyurati BPN Aceh Tamiang meminta mereka hadir untuk
membicarakan sengketa pertanahan antara warga empat desa dengan perusahaan PT. Rapala
(eks HGU PT. Parasawita), bahkan ada tim fasilitasi penyelesaian sengketa dan konflik
pertanahan serta tim investigasi penyelesaian sengketa, dari unsur PT. Rapala dan warga
untuk duduk bersama.

Warga empat desa, hingga saat ini masih bertahan di lahan PT. Rapala, karena lahan seluas 144
hektar tersebut diklaim lahan milik warga yang diserobot perusahaan tahun 1980-an. Untuk itu,
dibentuklah tim penyelesaian sengketa oleh Pemerintah Aceh Tamiang.
Langkah-langkah yang dilakukan Tim investigasi, saat itu, ada enam tugas, pertama melakukan
koordinasi dengan instansi dan pihak terkait dalam upaya mendapatkan data dan merumuskan
masalah. Kedua, menghimpun dan mengidentifikasi data yang diperlukan untuk
menyelesaikan permasalahan. Ketiga menginventarisir permasalahan yang terjadi melalui
pihak perusahaan PT. Rapala, PT. Parasawita, masyarakat, serta pihak-pihak lain yang terlibat
dalam permasalahan sengketa lahan dimaksud.

Selanjutnya melakukan pendataan dan peninjauan lapangan terhadap lahan-lahan yang menjadi
objek sengketa. Lima, membuat laporan hasil investigasi kepada ketua tim fasilitasi
penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan dalam Kabupaten Aceh Tamiang. Dan Keenam,
memberikan saran penyelesaian permasalahan kepada Bupati Aceh Tamiang melalui ketua
Tim fasilitasi penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan dalam Kabupaten Aceh Tamiang.

Dalam melaksanakan tugas tim bertanggung jawab kepada Bupati. Begitupun hingga berita
ini dilansir nusantaraterkini.com, sengkarut masyarakat dengan PT. Rapala tak kunjung usai.

PT. Rapala Cacat Hukum

Pernyataan mantan Ketua DPRK Aceh Tamiang, Ir. Rusman berdasarkan aturan, perpanjangan
hak guna usaha (HGU) milik PT. Parasawita yang dialihkan pada PT. Rapala dinilai cacat
hukum. Sebab sudah mengabaikan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960. Dan
tidak memenuhi persyaratan, sesuai UU pertanahan.

Menurutnya, perpanjangan HGU dalam aturannya, boleh diberikan. Selama lahan yang akan
dikuasai menjadi HGU, tidak bersengketa dengan masyarakat, kelompok dan perorangan.
Mengingat hal itu bagian terpenting dalam mendapatkan entry point HGU.

“Tidak hanya seperti yang saya sebutkan tadi, tapi ada masa pemberian sanggahan. Jika
memang tidak ada sanggahan yang dapat membatalkan pemberian izin HGU, baru mereka,
(red. pihak perusahaan perkebunan besar) memenuhi izin lain, izin prinsip, Land Clearing,
ANDAL, AMDAL. Jika proses ini sudah dilalui baru pihak perusahaan bisa menguasai lahan
tersebut”, tegas Rusman kepada nusantaraterkini.com, Senin (27/8/2019) di Karang Baru pagi
tadi.

Lebih jauh dikatakan Rusman, sengketa lahan eks HGU PT. Parasawita yang kini menjadi
HGU PT. Rapala dengan warga empat kampung, Paya Rehat, Kecamatan Banda Mulia, Desa
Senebok Aceh, Tanjong Lipat dan Tengku Tinggi, Kecamatan Bendahara, merupakan
kesalahan dari pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh Tamiang. Mengacu kepada
proses perpanjangan HGU tidak pernah melibatkan masyarakat dan pihak Muspika setempat.

“Saya kira ini, dosa masa lalu pihak Penegak hukum untuk tidak tebang pilih dalam penegakan
hukum, saya minta periksa mantan Kepala BPN Aceh Tamiang, kehancuran beberapa sisi
wilayah pesisir merupakan pemberian proses aturan yang salah, bukan berdasarkan hasil
lapangan, analisa dan kajian”, tegasnya.

Dia menambahkan, penanganan kasus sengketa yang berujung pidana dengan perusahaan PT.
Rapala, berdampak kerugian besar kepada ratusan masyarakat empat desa. Secara ekonomi dan
sosial, juntrungnya warga ramai-ramai mendatangi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kuala
Simpang sebagai solidaritas masyarakat terhadap penahanan 10 orang rekannya yang ditahan,
itu pun tidak juga membuahkan hasil.
Dia mengimbau agar aparat penegak hukum lebih proaktif dengan pengembangan kasus
tersebut. Sebab ada celah terjadinya praktik penyimpangan dari pihak perusahaan. Indikasinya
terhadap perpanjangan HGU yang tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan aturan yang
berlaku.

“Sekali lagi saya tegaskan, agar pihak penegak hukum harus memanggil mantan Kepala BPN,
jangan masyarakat menjadi korban. Apa proses perpanjangan HGU itu sudah sesuai dengan
prosedur, seperti Amdal, SITU, SIUP, Izin Usaha Perkebunan ?…”, jelasnya.

Rusman menduga, indikasi permainan dalam perpanjangan HGU PT. Rapala diduga kuat tanpa
didukung rekomendasi Bupati Aceh Tamiang, jelas ada unsur pelanggaran. “Perusahaan juga
seharusnya diproses atas pelanggaran yang dilakukan”.

Sebaliknya, Rusman mencium aroma busuk permainan kotor, pihak pemberian izin dan PT.
Rapala. Sebab dalam rekomendasi bupati justru memberikan dukungan untuk pembebasan dan
mengeluarkan lahan seluas 144 hektar dari HGU PT. Rapala.

Diingatkan, Aparat hukum harus meminta keterangan mantan Kepala BPN Aceh Tamiang,
Mursil, diduga telah melakukan penyalahgunaan kewenangannya, sehingga menimbulkan
konflik sengketa lahan dimaksud.

“Keterlibatan Kepala BPN jelas dalam perpanjangan HGU yang dinilai ada kongkalikong
dengan pihak PT. Rapala, yang menjadi pemicu adanya gejolak dan gerakan masyarakat,” tegas
Rusman

Akar Masalah Akuisisi HGU PT. Parasawita

Humas PT. Rapala, Edy Mulyono (kala itu) mengatakan, sebenarnya tidak ada masalah antara
PT. Rapala dengan masyarakat. Yang jadi masalah, ketika PT. Rapala mengakuisisi HGU PT.
Parasawita. “Awalnya, kami mendapat informasi lahan seluas 144 hektar belum diganti rugi
oleh PT. Parasawita. Namun, informasi itu tidak benar,” kata dia.

Berdasarkan dokumen yang diterima PT. Rapala, kata dia, ganti rugi lahan seluas 144 hektare
itu sudah dibayar dua kali. Pertama pada 1980 dan kedua pada tahun 1999. “Jadi, lahan seluas
144 hektare tersebut tidak ada masalah sejak sejak 1999. Masalah sudah diselesaikan oleh PT.
Parasawita sebelum PT. Rapala mengambil alih HGU perusahaan itu,” kata Edymulyo.

Terkait sengketa lahan dengan masyarakat, kata Edy, PT. Rapala mau menempuh jalur hukum,
begitupun, hal itu bukan harga mati, masih ada jalur penyelesaian lain, karena jika ditempuh
jalur hukum akan panjang urusannya.

Edymulyo menjelaskan, mengutip pernyataan Penasehat hukum PT. Rapala Refman Basri
mengatakan, pihak perusahaan sepakat persoalan ini dibawa ke ranah hukum, menurutnya
kalau mediasi dan musyawarah tidak akan pernah tercapai. “Bagi rekan-rekan yang keberatan
dipersilahkan menggugat ke pengadilan,” terangnya.

Dia (Refman), menambahkan BPN tidak akan mungkin memproses HGU bila masih
tersandung persoalan dengan masyarakat, “Kita punya bukti kwitansi bahwa sudah melakukan
pembayaran kepada 80 orang masyarakat pada tahun 1999, bila penyelesaiannya terus melihat
sejarah maka tidak ada ujungnya,” ujarnya.
“Kita pertanyakan kepada BPN Provinsi, Menurut Kasi SPP Badan Pertanahan Nasional
Provinsi Aceh, Akhyar Tarfi, S.ST, MH dalam pertemuan beberapa waktu lalu, PT. Rapala
mengajukan permohonan HGU kepada kepala BPN-RI pada tanggal 24 Januari 2014,
kemudian Kantor wilayah BPN membentuk tim pemeriksaan lapangan terhadap permohonan
perpanjangan HGU yang diajukan”.

Setelah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan, maka berkas permohonan perpanjangan HGU
PT. Rapala mendapat perpanjangan HGU dari BPN RI. Bila terdapat gugatan dari pihak ketiga
terhadap proses perpanjangan hak, maka keberatan tersebut tidak menghalangi proses
perpanjangan HGU, namun dapat dihentikan apabila terdapat putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. (Syawaluddin)

Anda mungkin juga menyukai