1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang sendi, tulang rawan epifisis,
yang bersifat total maupun parsial. Fraktur adalah patah tulang yang disebakan oleh trauma
atau tenaga fisik ( Helmi, Zairin Noor, 2012 ). Fraktur femur atau patah tulang paha adalah
rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan pleh trauma langsung,
kelelahan otot, dan kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang atau osteoporosis. Menurut
Jitowiyono (2010) fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa
terjadi akibat truma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian). Patah pada daerah
ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam
syok.
2. Etiologi
Secara umum penyebab fraktur dapat dibagi manjadi dua macam:
1. Penyebab Ekstrinsik
a. Gangguan langsung: trauma yang merupakan penyebab utama terjadinya fraktur
misalnya tertabrak, jatuh dari ketinggian. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi
miring dimana daerah trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras
(jalanan).
b. Gangguan tidak langsung: bending, perputaran, kompresi.
2. Penyebab Intrinsik
a. Kontraksi dari otot yang menyebabkan avulsion fraktur.
b. Fraktur patologis: penyakit iskemik seperti neoplasia, cyste tulang, rickettsia,
osteoporosis, hiperparatiroid, osteomalacia.
c. Tekanan berulang yang dapat menyebabkan fraktur.
Sedangkan menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
a. Cedera langsung yaitu pukulan langsung pada tulang yang menyebabkan tulang patah
secara spontan, biasanya dengan karakteristik fraktur melintang dan terjadi kerusakan
kulit yang melapisinya.
b. Cedera tidak langsung yaitu pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan menjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras secara mendadak dari otot yang kuat.
2. Fraktur Patologik
Kerusakan tulang disebabkan oleh proses penyakit dimana trauma minor dapat
mengakibatkan fraktur, dapat terjadi pada berbagai keadaan berikut:
a. Tumor tulang (jinak atau ganas), pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan
progresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis, dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul
sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh difisiensi vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet,
tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi vitamin D atau oleh karena
asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
3. Secara spontan
Fraktur tulang disebabkan oleh stress tulang yang terjadi secara terus menerus misalnya
pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak
disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap
tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. Fraktur terjadi apabila ada suatu trauma yang
mengenai tulang, dimana trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang ada 2 faktor
yang mempengaruhi terjadinya frakturnya itu ekstrinsik (meliputi kecepatan, sedangkan
durasi trauma yang mengenai tulang, arah, dan kekuatan), sedangkan intrinsik meliputi
kapasitas tulang mengabsorbsi energi trauma, kelenturan, kekuatan adanya densitas tulang-
tulang yang dapat menyebabkan terjadinya patah tulang bermacam-macam, misalnya trauma
langsung dan tidak langsung, akibat keadaan patologi secara spontan (Sylvia, et al., 2005).
Apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang,
maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan
pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus
tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. ini
merupakan dasar penyembuhan tulang (Black, J.M, et al, 1993).
5. Manifestasi Klinis
Menurut Black (1993) manifestasi klinis dari fraktur femur yaitu:
1. Deformitas: daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti:
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
2. Bengkak: edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan
yang berdekatan dengan fraktur.
3. Echimosis dari perdarahan Subculaneous.
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur.
5. Tenderness/keempukan.
6. Nyeri: kemungkinan disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan
kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7. Kehilangan sensasi (matirasa, mungkin terjadi dari rusaknya syaraf/perdarahan).
8. Pergerakan abnormal.
9. Dari hilangnya darah.
10. Krepitasi
Menurut Smeltzer & Bare (2002) manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya
fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal dan perubahan
warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas ekstremitas,
yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas yang normal. Ektremitas
tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
3. Pemendekan tulang karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
Bagian paha yang patah lebih pendek dan lebih besar dibanding dengan normal serta
fragmendistal dalam posisi eksorotasi dan aduksi.
4. Krepitasi (derik tulang) yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang
lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau
hari setelah cedera.
6. Nyeri hebat di tempat fraktur.
7. Rotasi luar dari kaki lebih pendek.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar
rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan
tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan
patologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray
harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai
dengan permintaan.
1. Tomografi
Menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit
divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak
pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2. Myelografi
Menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang
vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3. Arthrografi
Menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
4. Computed Tomografi-Scannin
Menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
3. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
4. Pemeriksaan lain-lain
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme
penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas
tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
7. Penatalaksanaan
a. Reduksi fraktur, berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi
anatomis
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya dengan
manipulasi dan traksi manual.
Traksi digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi
interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam yang dapat
digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi.
b. Imobilisasi fraktur, mempertahankan reduksi sampai terjadi penyembuhan. Setelah fraktur
direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan
kesejajaran yang benar sampai trejadi penyatuan. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips atau fiksator eksterna.
Sedangkan fiksasi interna dapat digunakan implant logam yang dapat berperan sebagai
bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
c. Rehabilitasi, mempertahankan dan mengembalikan fungsi setelah dilakukan reduksi dan
imobilisasi.
8. Komplikasi
Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa jam
setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan sindrom
kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanent jika tidak ditangani
segera. Komplikasi lainnya adalah infeksi, tromboemboli yang dapat menyebabkan kematian
beberapa minggu setelah cedera dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID).
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat pendarahan (baik kehilangan darah eksterna
maupun tak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak dapat terjadi
pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis,dan vertebra karena tulang merupakan organ yang
sangat vaskuler, maka dapaler terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai
akibat trauma,khususnya pada fraktur femur pelvis. Penanganan meliputi mempertahankan
volume darah, mengurangi nyeri yang diderita pasien, memasang pembebatan yang memadai,
dan melindungi pasien dari cedera lebih lanjut.
Sindrom Emboli Lemak. Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple,
atau cidera remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada dewasa muda 20-30th pria
pada saat terjadi fraktur globula lemat dapat termasuk ke dalam darah karma tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karma katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi
setres pasien akan memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam
aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli, yang
kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain
awitan dan gejalanya, yang sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu
setelah cidera gambaran khansya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal
MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa
akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
1. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
2. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
3. Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakahbertambah buruk pada malam
hari atau siang hari.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi
dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk
berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti
kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan raktur patologis yang sering sulit
untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko
terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi
pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-
harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum
1. Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
a. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada
keadaan klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus
fraktur biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
2. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a. Sistem Integumen: Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
b. Kepala: Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala.
c. Leher: Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
d. Muka: Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e. Mata: Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)
f. Telinga: Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri
tekan.
g. Hidung: Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan Faring: Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
i. Thoraks: Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j. Paru
1. Inspeksi: Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
2. Palpasi: Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
3. Perkusi: Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
4. Auskultasi: Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
k. Jantung
1. Inspeksi: Tidak tampak iktus jantung.
2. Palpasi: Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
3. Auskultasi: Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l. Abdomen
1. Inspeksi: Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
2. Palpasi: Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
3. Perkusi: Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
4. Auskultasi: Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
1. Look (inspeksi); Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
a. Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
b. Cape au lait spot (birth mark).
c. Fistulae.
d. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
e. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
f. Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
g. Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi
netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.Yang perlu dicatat adalah:
a. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time
Normal 3– 5 “
b. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama
disekitar persendian.
c. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau
distal). Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler.
Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
d. Move (pergerakan terutama lingkup gerak. Setelah melakukan pemeriksaan feel,
kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan
ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas)
atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
B. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah sebagai berikut.
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
2. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran
alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif
(imobilisasi)
4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
5. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan
lunak, prosedur invasif/traksi tulang).
6. Risiko Syok b.d hipovolemik
C. Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN dan INTERVENSI
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
Ketidakstabilan posisi
fraktur, apabila organ Perdarahan lokal Luka
fraktur digerakkan
Pathway
Warna jaringan
pucat, nadi lemah,
sianosis, kesemutan
Kerusakan
neuromuskuler
Gangguan fungsi
organ distal
MK: Gangguan
Mobilitas Fisik
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Muttaqin. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta:
Penerbit Buku kedokteran EGC
Doenges, dkk, (2005). Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC
Price & Wilson, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyaki. Volume 2. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC
Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses penyakit
Volume 2. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, S. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8.
Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC