Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

“Sesungguhnya dalam menciptakan langit dan bumi, dan silih

bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam

keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi

(seraya berkata): Ya tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-

sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Qs. Ali

Imran, 3;190-191).

Sifat manusia selalu ingin tahu apa yang ditangkap oleh inderanya,

minimal setelah inderanya menangkap sesuatu, dia akan bertanya; apa itu? Dari

mana asalnya? Bagaimana sehingga ada? Dan bagaimana kesudahannya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan filosfis. Demikian halnya

dengan alam, pertanyaan yang terlintas; apa itu alam?; bagaimana sehingga ia

ada?; dan bagaimana ujung dari alam ini? Pertanyaan tersebut telah berusaha

untuk dijawab oleh para filosof, di antara mereka terjadi perbedaan tentang asal-

usul alam. Sehingga pertanyaan tidak sebatas tentang alam saja, tetapi pertanyaan-

pertanyaan lain pun berdatangan sehingga sampai pada pertanyaan yang

berhubungan dengan hakekat “wujud” atau “ada”, dan ini merupakan objek

filsafat.

Tuhan menciptakan alam semesta dengan berbagai macam ciptaan yang

mendukung kebutuhan manusia. Adam as (nenek moyang manusia) dipersiapkan

untuk menjadi pemimpin (khalifatullah) yang bertugas menjaga, melestarikan,


2

dan menyejahterakan kehidupan di bumi. Manusia dalam pandangan Islam adalah

khalifah Allah di muka bumi. Sebagai duta Tuhan, dia memiliki karakteristik yang

multidimensi, yakni pertama, diberi hak untuk mengatur alam ini sesuai

kapasitasnya. Dalam mengemban tugas ini, manusia dibekali wahyu dan

kemampuan mempersepsi. Kedua, dia menempati posisi terhormat di antara

makhluk Tuhan yang lain. Anugerah ini diperoleh lewat kedudukan, kualitas dan

kekuatan yang diberikan Tuhan kepadanya. Ketiga, dia memiliki peran khusus

yang harus dimainkan di planet ini, yaitu mengembangkan dunia sesuai dasar dan

hukum-hukum yang ditetapkan oleh Tuhan.

Dalam makalah ini penyusun akan mengurai konsep Islam tentang alam

dan kehidupan manusia manusia.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :

1. Bagaimana konsep alam dan kehidupan manusia?

2. Bagaimana konsep Islam tentang alam dan kehidupan manusia?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah menunjukkan kepada

pembaca penjelasan tentang Konsep Islam tentang Alam dan Kehidupan Manusia.
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Alam dan Kehidupan Manusia

1. Konsep Alam

Kata alam berasal dari bahasa Arab ’alam (‫ )عالم‬yang seakar dengan ’ilmu

(‫عللللم‬, pengetahuan) dan alamat (‫ملللة عل‬, pertanda). Ketiga istilah tersebut

mempunyai korelasi makna. Alam sebagai ciptaan Tuhan merupakan identitas

yang penuh hikmah. Dengan memahami alam, seseorang akan memperoleh

pengetahuan. Dengan pengetahuan itu, orang akan mengetahui tanda-tanda atau

alamat akan adanya Tuhan. Dalam bahasa Yunani, alam disebut dengan istilah

cosmos yang berarti serasi, harmonis. Karena alam itu diciptakan dalam keadaan

teratur dan tidak kacau. Alam atau cosmos disebut sebagai salah satu bukti

keberadaaan Tuhan, yang tertuang dalam keterangan Al-qur`an sebagai sumber

pokok dan menjadi sumber pelajaran dan ajaran bagi manusia (Madjid, 1992:

289).

Di dalam bahasa Indonesia, alam mempunyai bermacam-macam arti,

antara lain: 1). dunia; 2). segala yang ada di langit dan di bumi (seperti bumi,

bintang-bintang,kekuatan-kekuatan); 3). daerah (keadaan, masa, kehidupan, dan

sebagainya); 4). Segala sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan (golongan

dsb) dan dianggap sebagai satu keutuhan; 5). segala daya (kekuatan dsb.) yg

menyebabkan terjadinya dan seakan-akan mengatur segala sesuatu yang ada di

dunia ini, seperti: hukum alam; ilmu alam (KBBI).

Dari makna etimologi yang dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa alam

adalah semua yang ada; baik yang bersifat materi atau nonmateri, yang dilihat
4

atau yang tidak. Tuhan tidak termasuk alam, walaupun Dia “Ada”, karena Dia

tidak bersifat materi atau non materi.

Salah satu yang menjadi perdebatan antara para filosof dan teolog

muslim (Asy‘ariyah), adalah tentang asal-usul terciptanya alam. Secara umum ada

dua teori besar yang menjadi pangkal pembahasannya, yaitu teori keadaan tetap

(Steady-State Theory) dan teori dentuman besar (Big-Bang Theory) (Aly, 2000:

34).

a) Teori keadaan tetap (Steady-State Theory)

Teori ini berdasarkan prinsip kosmologi sempurrna yang menyatakan

bahwa alam semesta di manapun dan bilamanapun selalu sama. Berdasarkan

prinsip tersebut alam semesta terjadi pada suatu saat tertentu yang telah lalu dan

segala sesuatu di alam semesta selalu tetap sama walaupun galaksi-galaksi saling

bergerak menjauhi satu sama lain. Teori ini ditunjang oleh kenyataan bahwa

galaksi baru mempunyai jumlah yang sebanding dengan galaksi lama. Dengan

demikian teori ini secara ringkas meyatakan bahwa tiap-tiap galaksi terbentuk

(lahir) tumbuh, menjadi tua dan akhirnya mati. Jadi, teori ini beranggapan bahwa

alam semesta itu tak terhingga besarnya dan tak terhingga tuanya tanpa awal dan

tanpa akhir.

b. Teori dentuman besar (Big-Bang Theory)


Teori ini berlandaskan dari asumsi adanya massa dan massa jenis yang sangat

besar, karena adanya reaksi inti kemudian meledak dengan hebat. Massa tersebut

kemudian mengembang dengan cepat menjauhi pusat ledakan. Para teolog

(mutakallimin) mengatakan bahwa alam ini baharu, dan adanya dari yang tidak

ada. Pandangan teolog sejalan dengan al-Kindi yang berpendapat bahwa alam

diciptakan dari ketiadaan, dia merupakan ciptaan Allah, beredar menurut


5

aturannya (sunnatullah) tidak qadim tetapi mempunyai permulaan.Kosmolog

modern dalam menjelaskan penciptaan alam semesta berpegang pada teori Big

Bang. Menurut teori ini, alam semesta terkemas dalam singularitas yang sekitar 15

miliar tahun kemudian meledak, pecah berkeping-keping dengan dahsyatnya.

Pecahan inilah yang menjadi atom, bintang-bintang, dan galaksi-galaksi. Karena

pemuaian alam semesta, galaksi-galaksi bergerak saling menjauh dan akan terus

bergerak.

2. Konsep Kehidupan Manusia

Berbicara tentang hakekat manusia membawa kita berhadapan dengan

pertanyaan sentral dan mendasar tentang manusia, yakni apakah dan siapakah

manusia itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut telah banyak upaya dilakukan,

namun rupa-rupanya jawaban-jawaban itu secara dialektis melahirkan pertanyaan

baru, sehingga upaya pemahaman manusia masih merupakan pokok yang

problematis.

Dalam beberapa sumber pustaka dapat ditemukan berbagai rumusan

tentang manusia. Manusia adalah makhluk yang pandai bertanya, bahkan ia

mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya dan dunia seluruhnya. Binatang

tidak mampu berbuat demikian dan itulah salah satu alasan mengapa manusia

menjulang tinggi di atas binatang. Manusia yang bertanya tahu tentang

keberadaannya dan ia pun menyadari juga dirinya sebagai penanya. Jadi, dia

mencari dan dalam pencariannya ia mengandaikan bahwa ada sesuatu yang bisa

ditemukan, yaitu kemungkinan-kemungkinannya, termasuk kemampuannya

mencari makna kehidupannya (Weij, 1991: 7-8).

Drijarkara dalam bukunya Filsafat Manusia (1969: 7) mengatakan bahwa


6

manusia adalah makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri. Tidak hanya

berhadapan, tetapi juga menghadapi, dalam arti mirip dengan menghadapi soal,

menghadapi kesukaran dsb. Jadi, dia melakukan, mengolah diri sendiri,

mengangkat dan merendahkan diri sendiri dsb. Dia bisa bersatu dengan dirinya

sendiri, dia juga bisa mengambil jarak dengan dirinya sendiri. Bersama dengan

itu, manusia juga makhluk yang berada dan menghadapi alam kodrat. Dia

merupakan kesatuan dengan alam, tetapi juga berjarak dengannya. Dia bisa

memandangnya, bisa mempunyai pendapat-pendapat terhadapnya, bisa merubah

dan mengolahnya. Hewan juga berada dalam alam, tetapi tidak berhadapan

dengan alam, tidak mempunyai distansi. Perhatikan hewan, dia tidak bisa

memperbaiki alam, tidak bisa menyerang alam dengan teknik. Lebih lanjut

Drijarkara mengatakan bahwa manusia itu selalu hidup dan merubah dirinya

dalam arus situasi konkrit. Dia tidak hanya berubah dalam tetapi juga karena

dirubah oleh situasi itu. Namun, dalam berubah-ubah itu, dia tetap sendiri.

Manusia selalu terlibat dalam situasi, situasi itu berubah dan merubah manusia.

Dengan ini dia menyejarah.

Banyaknya definisi tentang manusia, membuktikan bahwa manusia adalah

makhluk multi dimensional, manusia memiliki banyak wajah. Lalu, wajah yang

manakah yang mau kita ikuti? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang

biolog? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang psikolog? Apakah

wajah manusia menurut kacamata seorang antropolog? Atau yang lainnya?.

Berdasarkan fakta tersebut, maka ada yang mencoba membuat polarisasi

pemikiran tentang manusia sebagaimana akan terlihat pada uraian di bawah ini,
7

yakni pola pemikiran biologis, pola pemikiran psikologis, pola pemikiran sosial-

budaya, dan pola pemikiran teologis.

Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia itu berkaitan antara badan

dan roh. Islam secara tegas mengatakan bahwa badan dan roh adalah substansi

alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah. .

Dalam hal ini, dijelaskan bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia

menurut hukum alam materiil. Menurut Islam, manusia terdiri dari substansi

materi dari bum dan roh yang berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, hakikat

manusia adalah roh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh roh

semata. Tanpa kedua substansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia.

Terkait dengan hakikat manusia tersebut, Poespoprodjo mengemukakan

bahwa:

a. Hakikat manusia haruslah diambil secara integral dari selruh bagiannya,

bagian esensial manusia, baik yang metafisis (animalitas dan rasionalitas)

maupun fisik (badan dan jiwa). Manusia wajib menguasai hakikatnya yang

kompleks dan mengtendalikan bagian-bagian tersebut agar bekerja secara

harmonis. Karena manusia pada hakikatnya adalah hewan, maka ia harus

hidup seperti hewan, ia wajib menjaga badannya dan mememnuhi

kebutuhannya. Namun, sebagai hewan yang berakal budi, manusia harus

hidup seperti makhluk yang berakal budi.

b. Hakikat manusia harus diambilk dari seluruh nisbahnya, tidak hanya

keselarasan batin antara bagian-bagian dan kemampuan-kemampuan yang

membuat manusia itu sendiri, tetapi juga keselarasan antara manusia dengan

lingkungannya.
8

Memang keberadaan manusia di muka bumi adalah suatu yang menarik.

Selain manusia selalu menjadi pokok permasalahan, ia juga dapat melihat bahwa

segala peristiwa dan masalah apapun yang terjadi di dunia ini pada akhirnya

berhubungan dengan manusia. Oleh karena itu, dalam usaha mempelajari hakikat

manusia diperlukan pemikiran yang filosofis. Krena setiap manusia akan selalu

berfikir tentang dirinya sendiri. Meskipun tingkat pemkira itu selalu mempunyai

perbedaan. Hal itu didasarkan pada pemikiran bahwa selain sebagai subjek

pendidikan, manusia juga merupakan objek pendidikan itu sendiri.

Kedudukan manusia yang paling menarik ialah bahwa manusia itu

menyelidiki kedudukannya sendiri dalam lingkungan yang diselidikinya pula.

Kadang, hasil penyelidikan mengenai lingkungannnya itu ternyata lebih

memuaskan daripada penyelidikan tentang manusia itu sendiri.

Manusia memiliki banyak sifat yang serupa dengan makhluk lain, yang

menganugerahi keungggulan pada manusia. Kenyataan inilah yang terkadang

membuat manusia mempunyai pandangan yang berbeda. Suatu saat manusia akan

berfikir bahwa mereka merupakan salah satu anggota margasatwa (animal

kingdom), di saat lain dia juga akan merasa warga dunia ide dan nilai. Pandangan

seperti itulah yang pada akhirnya akan memperlihatkan keberadaan manusia

secara utuh bahwa mereka adalah pencari kebenaran (Jalaluddin dan Idi ,2019:

129-131).

B. Konsep Islam Tentang Alam dan Kehidupan manusia

1. Konsep Islam tentang Alam

Terdapat banyak ayat dalam Al-Qur’an yang berisi pembahasan,

perumpamaan atau isyarat tentang ilmu alam. Bagaimana mungkin seseorang


9

dapat memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan perumpamaan atau

isyarat tersebut dengan tepat, jika tidak mengerti konsep dasar ilmu alam

dimaksud, bahkan karena kurang ilmu sebagian manusia saling berbantah-

bantahan dari perumpamaan-perumpamaan yang terdapat dalam Al-Qur’an.

Seharusnya manusia terus mengkaji dan belajar dari perumpamaan-perumpamaan

tersebut agar diperoleh ilmu berdasarkan Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Qs.

Al-Kahfi, ayat 54:

“Dan sesungguhnya kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-

Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yan

paling banyak membantah”.

Membahas sains dalam perspektif Al-Qur’an sama artinya

membincangkan pemahaman dan penasiran Al-Qur’an dengan kajian teori ilmu

alam, yang sesungguhnya sudah lama dikenal dalam sejarah Islam. Telah

diketahui bahwa tidak ada satu ayat dalam Al-Qur’an yang bertentangan dengan

hasil penemuan ilmiah yang sudah mapan. Dalam hal ini Al-Ghazali mengatakan

bahwa: “Semua ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu maupun yang

terkemudian, baik yang sudah diketahui maupun yang belum, semua bersumber

dari Al-Qur’an”.

Sejak awal, Islam merupakan agama yang mengharuskan pemeluknya agar

menuntut ilmu dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan adalah suatu

kenyataan penting bahwa Al- Qur’an mengajak manusia untuk berfikir


10

berdasarkan tanda-tanda dan fakta-fakta dari lingkungan dan alam semesta.

Sebagaiman firman-Nya dalam Qs. Ali Imran, ayat 190-191:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam

dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-

orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan

berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya

berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia,

Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.

a. Alam Semesta dan Pembentukannya

Teori ilmiah modern telah membuktikan bahwa alam semesta ini pada

mulanya adalah gas yang panas dan berenergi tinggi di angkasa luas. Lambat laun

dengan mendinginnya jagat raya, partikel-partikel elementer ini mulai

membeku/memadat dan saling memisah membentuk kumpulan-kumpulan

cosmos. Bumi merupakan sebagian dari partikel-partikel elementer panas tersebut,

seperti diketahui bahwa di perut bumi masih ada benda-benda berapi yaitu

vulcano-vulcano yang sewaktu-waktu bumi memuntahkan lahar atau benda

vulcano berapi melalui letusan gunung berapi (vulkanik). Kemudian bagian luar

bumi mendingin yang selanjutnya menjadi tempat yang patut dihuni oleh manusia
11

dan makhluk hidup lainnya. Teori ilmiah ini sesuai dengan yang ditunjukkan

dalam Qs. Al-Anbiya: 30

“ dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi

itu keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara

keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka

mengapakah mereka tidak juga beriman?”

Pada bagian kedua ayat ini membicarakan tentang air, konteks ini sangat

tepat dalam menempatkan kebenaran ilmiah, sebab pada umumnya praktik

kimiawi dan proses suatu kehidupan membutuhkan air. Air merupakan senyawa

pokok bagi kelestarian hidup untuk semua makhluk hidup (Azhar amsal. 2010:23-

25).

Hasil observasi yang dilakukan Edwin P. Hubble (1889-1953)

menyimpulkan adanya pemuaian alam semesta. Ekspansi kosmos merupakan

fenomena monumental yang terus membesar atau meluas, yang sebelumnya

merupakan satu gumpalan yang terdiri dari netron. Allah berfirman dalam Qs.

Fushilat ayat 11 :

“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap…”
12

Al-Quran menggambarkan sumber kejadian alam ini dari asap, yaitu

sesuatu yang bisa dimengerti oleh orang-orang Arab kala itu. Dengan bertitik

tolak dari teori relativitas, ekspansi kosmos dalam pemeriksaan tentang spektrum

galaksi terjadi pergeseran sistematik ke arah bayangan merah yang dapat diartikan

sebagai fakta bahwa galaksi saling menjauhkan diri satu dengan yang lain, dengan

kata lain alam semesta semakin meluas, sebagaimana yang tersebut dalam Qs.

Adz-Dzariat ayat 47 :

“Di langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan kami benar-benar

meluaskannya”

Ada sejumlah ayat al-Quran yang mengisyaratkan dan menjelaskan

keberadaan alam semesta kaitannya dengan kedudukan manusia baik sebagai

hamba Allah maupun warga alam semesta, di antaranya :

1) Surah al-Mulk (67) ayat 15

“Dia yang menjadikan bumi bagimu dengan mudah kamu jalani, karena itu

berjalanlah kamu pada beberapa penjuru bumi dan makanlah rezeki Allah dan

kepada-Nya tempat kembali”.


2) Surah al-Baqarah (2) ayat 29

“Dialah (Allah) yang telah menjadikan segala yang ada di bumi ini untuk kamu,

kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh

langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”


13

3) Surah Luqman (31) ayat 20

“Tidaklah kamu lihat bahwa Allah telah memudahkan untukmu apa-apa yang ada

di langit dan apa-apa yang ada di bumi dan Ia telah menyempurnakan atas kamu

nikmat-nikmat-Nya baik yang lahir maupun yang batin”.

Dengan dalil-dalil naqli di atas dapat disimpulkan bahwa Islam

memandang kebenaran alam semesta atau Allah menciptakan alam semesta untuk

memenuhi kepentingan umat manusia. Karena itu, alam semesta menjadi sumber,

bahan/materi, metode, media dan lingkungan dalam rangka mewujudkan tujuan

hidup umat manusia melalui perwujudan tujuan pendidikan Islam yang identik

dengan tujuan kehidupan (Syar’i, 2005: 12).

2. Konsep Islam tentang Kehidupan Manusia

Untuk memahami konsep manusia menurut Islam, dapat dipahami

bagaimana Al-Qur’an memberikan konsep tentang manusia. Menurut Muin

Salim, ada dua cara yang dapat digunakan. Pertama, dengan menelusuri arti

kata-kata yang dipergunakan Al-Qur’an untuk menunjukan makna manusia

(analisis terminologis). Kedua, menelusuri pernyataan Al-Qur’an yang

berhubungan dengan kedudukan manusia dan potensi yang dimiliki manusia.

Secara terminologis, ungkapan yang dipergunakan Al-Qur’an untuk

menunjukan konsep manusia dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu :

1) Al-Insan
14

Secara umum, kata insan berarti manusia, sehingga dapat dikatakan

bahwa kata insan mengandung konsep manusia sebagai makhluk yang memiliki

keramahan dan kemampuan mengetahui yang sangat tinggi, atau dalam

ungkapan lain, manusia merupakan makhluk kultural dan sosial.

Konsep manusia sebagai makhluk kultural terlihat dalam pernyataan

Al-Qur’an bahwa manusia dilengkapi dengan sarana pengetahuan berupa

pendengaran, penglihatan, dan budi sehingga mereka dapat memperoleh

pengetahuan meskipun dilahirkan dalam keadaan tidak tahu sama sekali seperti

dikemukakan dalam Qs. an-Nahl : 78

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak

mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberi kamu pendengaran,

penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”

Sedangkan konsep manusia sebagai makhluk sosial ini dipertegas

dengan beberapa pernyataan Al-Qur’an yang menegaskan tentang kejadian

manusia dalam berbagai suku dan bangsa dan dimaksudkan agar mereka

membentuk pergaulan hidup bersama (Qs. al-Hujurat :13), saling membantu

dalam kebaikan (QS. al-Maidah : 2), dan penegasan Al-Qur’an tentang

kebahagiaan manusia yang terkait dengan hubungan manusia dengan

sesamanya (Qs. Ali Imran : 112).

2) Al-Basyar

Dalam Al-Qur’an, makna manusia selain kata al-insan dipergunakan

kata basyar. Al-Basyar berasal dari huruf ba, syin dan ra yang berarti
15

nampaknya sesuatu dengan baik dan indah. Dari makna tersebut terbentuk kata

kerja basyara yang berarti gembira, menggembirakan, memperhatikan dan

mengurus sesuatu.

Menurut al Raghib, kata basyar adalah jamak dari kata basyarat yang

berarti kulit. Manusia disebut basyar karena kulit manusia tampak berbeda

dengan kulit makhluk lainnya. Kata ini dalam Al-Qur’an secara khusus

merujuk kepada tubuh dan bentuk lahiriah manusia.

Bertolak dari pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa istilah

basyar menunjukan makna manusia pada aspek hakikatnya sebagai pribadi

yang kongkrit, dengan menekankan aspek lahiriah manusia

3) Banu Adam dan Zurriyat Adam.

Istilah banu adam dan zuriyat adam merujuk kepada pengertian

manusia karena adanya kaitan dengan nama Adam yang memberi kesan

historis dalam konsep manusia, bahwa manusia berasal dari satu sumber dan

satu darah, walaupun mereka tersebar dalam berbagai warna kulit, ras dan

bangsa.

a. Kedudukan dan Tugas Manusia

Kedudukan manusia menurut Islam, yaitu sebagai khalifah. Al-Qur’an

telah menjelaskan eksistensi manusia sebagai ‘abd atau hamba Allah ini dalam

klausa liya‟ buduni

Q.S. az-Zariyat 56 yang berbunyi


16

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

menyembah-Ku”.

Kata ‘abd sendiri dalam Al-Qur’an pertamakali ditemukan dalam Qs. al-

Alaq: 10, kemudian dalam bentuk kata kerja ditemukan dalam QS. al-

Fatihah : 5. Dari dua penggunaan kata ‘abd tersebut, terlihat bahwa konsep yang

terkandung meliputi dua aspek, yaitu subjek yang menyembah yaitu manusia

dan objek yang disembah.

Kata abd mengandung pengertian ibadah dalam makna penyerahan diri

manusia pada hukum-hukum Allah swt. yang menciptakannya. Dengan kata

‘abd, Allah swt. ingin menunjukkan salah satu kedudukan manusia sebagai

hamba Allah yang mengemban tugas-tugas peribadahan. Sedangkan mengenai

kedudukan manusia sebagai khalifah dapat kita temukan dalam Qs. Fatir : 39

yang berbunyi:

“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa

kafir, maka (akibat) kekakfirannya akan menimoa dirinya sendiri. Dan kekafiran

orang-orang kafir itu hanya akan menambah kemurkaan di sisi Tuhan mereka.

Dan kekafiran orang-orang kafir itu hanya akan menambah kerugian mereka

belaka”.

Ayat tersebut memberikan penegasan terhadap informasi yang terkandung

dalam ayat-ayat sebelumnya. Kalau ayat sebelumnya menjelaskan bahwa Allah


17

swt mengetahui apa yang tidak terlihat oleh manusia, maka ayat ini

menjelaskan Allah yang menjadikan manusia sebagai khalifah fi al-ardh.

Pengertian khalifah jika dilihat dari akar katanya berasal dari kata

khalafa, yang berarti menggantikan tempat seseorang sepeninggalnya, karena

itu khalif atau khalifah berarti seorang pengganti. Dalam kaitannya dengan

kedudukan manusia sebagai khalifah fi al-ardh. Menurut Ensiklopedi Islam,

bahwa khalifah itu berarti wakil, pengganti atau duta Tuhan di muka bumi;

pengganti nabi Muhammad saw. dalam fungsinya sebagai kepala

pemerintahan, bahkan lebih jauh khalifatu fi al-ardh digambarkan sebagai

kedudukan yang kudus, yaitu zill al-Allah fi al-ardh (bayang-bayang Allah

di permukaan bumi).

b. Potensi Manusia

Secara kategorikal, potensi yang dimiliki manusia terdiri dari dua

bagian. Bagian pertama, potensi yang inheren secara langsung dalam diri

manusia, yaitu fitrah, kesatuan ruh dan jasad, kemampuan berkehendak dan

potensi akal. Bagian kedua, perlengkapan yang mendukung potensi pertama di

atas, yaitu alam semesta dan petunjuk hidup berupa agama.

1) Karakteristik manusia dalam Al-Qur’an adalah fitrah.

Kata fitrah dalam istilah Arab berarti berasal kejadian, kesucian dan

agama yang benar. Fitrah dengan arti agama yang benar atau agama Allah

adalah arti yang dihubungkan dengan Al-Qur’an dalam QS. ar-Rum: 30 yang

berbunyi:
18

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah

atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak

ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi

kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

Fitrah manusia dalam asal kejadiannya sebagaimana diciptakan Allah,

menurut ajaran Islam adalah bebas dari noda dan dosa seperti bayi yang baru

lahir dari perut ibunya. Fitrah dalam arti asal kejadian ini juga dihubungkan

dengan pernyataan seluruh manusia sewaktu di alam barzah yang mengakui

ketuhanan. Hal ini mendapat justifikasi Al-Qur’an dalam surat al-‘Araf ayat

172 yang berbunyi:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari

sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya

berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau

Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar

di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam)

adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.


19

2) Karakteristik manusia dalam Al-Qur’an adalah jasad dan ruh dalam

manusia.

Jasad atau al-Jism merupakan bagian raga atau badan manusia yang

berasal dari tanah. Sering dipandang sebagai pusat kemunculan kebutuhan-

kebutuhan kepuasan semata, seperti kebutuhan biologis akan minum, makan,

dan kebutuhan seksual. Sedangkan ruh, secara harfiah berarti angin, nafs,

merupakan hakikat diri manusia yang dengannya manusia dapat hidup dan

mengetahui segala sesuatu. Ruh berarti juga zat murni yang hidup.

Dari pernyataan di atas, terakumulasi bahwa manusia bukanlah sekedar

makhluk berdaging dengan kebutuhan ragawinya ataupun makhluk spiritual

semata, tapi manusia merupakan makhluk hasil perpaduan interaksi ruh dan

jasad. Keterpaduan keduanya akan menunjukkan manusia yang sesungguhnya.

Hakikat manusia dalam konteks ini adalah adanya interaksi seimbang antara

ruh dan jasad dalam menciptakan kehidupan. Ia tidak bebas menyantuni

kebutuhan biologisnya, karena ia bukanlah binatang, dan ia pun tidak bebas

menyantuni kebutuhan rohaninya, karena ia bukanlah malaikat. Tapi karena

model dan pola keseimbangan itulah, substansi manusia menjadi terwujud.

3) Yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah kemampuan

berkehendak (free well) dalam menentukan prilaku kehidupannya.

Hal ini didasarkan pada surat al-Kahfi ayat 29 yang berbunyi:


20

“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa

yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin

(kafir) biarlah ia kafir”.

Ayat di atas menegaskan bahwa manusia memiliki kesadaran berkehendak

untuk menerima atau menolak tentang keimanannya kepada Allah swt. Manusia

mempunyai kehendak bebas dan membuatnya mampu melakukan seleksi

terhadap elemen-elemen yang bakal berinteraksi dengan fitrah-nya.

4) Karakteristik manusia adalah akal.

Di dalam Al-Qur’an, banyak ayat yang menerangkan fungsi akal dan

dorongan untuk menggunakan akal sebagai alat untuk mengetahui dan bertindak.

Akal berfungsi sebagai pengikat atau integrator ketiga kesadaran yang ada

dalam diri manusia yaitu kognitif, afektif, konatif dan menghubungkannya

dengan qalb. „Aql merupakan fungsi qalb seperti dijelaskan dalam QS. Al-

Hujarat ayat 7:

“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia

menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarkah kamu akan

mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan

dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci
21

kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang

yang mengikuti jalan yang lurus”.

c. Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Untuk memahami konsep manusia sebagai makhluk sosial dalam

perspektif Islam, terdapat dua konsep dasar manusia berkenaan dengan

hakikat sosialitasnya.

Pertama, istilah insan jika dibandingkan dengan istilah lain yang

menunjukkan makna manusia (seperti basyar, banu adam dan zurriyat adam),

mengandung makna konsep manusia sebagai makhluk yang memiliki sifat

keramahan dan kemampuan mengetahui yang sangat tinggi, yang dengannya

dapat dipahami sebagai makhluk kultural dan sosial.

Konsep manusia sebagai makhluk sosial ini dipertegas dengan

beberapa pernyataan Al-Qur’an yang menegaskan tentang kejadian manusia

dalam berbagai suku dan bangsa dan dimaksudkan agar mereka membentuk

pergaulan hidup bersama (Qs. Al-Hujurat :13), saling membantu dalam

kebaikan (Qs. Al-Maidah :2), dan penegasan Al-Qur’an tentang kebahagiaan

manusia yang terkait dengan hubungan manusia dengan sesamanya (QS. Ali

Imran : 112).

Kedua, fungsi manusia sebagai khalifah lebih menekankan peran

manusia sebagai makhluk sosial dalam menginternalisasikan tugas kebudayaan

yang berciri kreatif pada kehidupannya, agar selalu dapat menciptakan

sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan perkembangan dan pertumbuhan

masyarakat.
22

Tugas ini diemban manusia karena manusia dipandang mempunyai

kemampuan konseptual dengan watak keharusan eksperimen berkesinambungan

sampai menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup di muka bumi.

Kedua konsep dasar tersebut telah meletakkan dasar yang kuat bahwa

pandangan tentang manusia menurut Al-Qur’an bukan saja diposisikan

sebagai makhluk yang individualistik, tetapi juga sebagai makhluk sosial.

Oleh karenanya, Al-Qur’an juga mengemukakan beberapa penegasan normatif

mengenai bagaimana mewujudkan kebersamaan (sosialitasnya) sebagai bagian

dari hakikat manusia, di antaranya adalah sebagai berikut:

1) Kewajiban berbuat baik (QS. An-Nisa : 36)

2) Kewajiban untuk saling tolong menolong (QS. AlMa’idah : 2)

3) Kewajiban untuk berbuat adil (QS. An-Nisa : 58 dan 135)

4) Kewajiban untuk tidak berprasangka, mencari-cari kesalahan orang lain,

saling menggunjing, dan saling mencaci maki (QS. al-Hujarat : 12)

(Syafe’i 2012: 743-754).


23

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna dan dalam berbagai

ayat Al-Qur’an dijelaskan tentang kesempurnaan penciptaan manusia tersebut.

Kesempurnaan penciptaan manusia itu kemudian semakin disempurnakan oleh

Allah dengan mengangkat manusia sebagai khalifah di muka bumi yang mengatur

dan memanfaatkan alam. Ayat-ayat kosmologis dalam Al-Qur’an merupakan

petanda lain dari fakta alam semesta. Maka hubungan manusia dengan alam

haruslah balance, satu sama lain saling memberi manfaat dan melestarikan. Dan

di sini kedudukan manusia lebih tinggi dibanding alam.

B. Saran

Sebagai penulis kami menyarankan kepada setiap pembaca agar dapat

memperbanyak sumber-sumber bacaan yang dapat memperluas wawasan kita

mengenai konsep Islam tentang alam dan kehidupan manusia.


24

DAFTAR PUSTAKA

Amsal, Azhar. 2010. Ilmu alamiah dasar konsep berbasis Al-Qur’an. Banda Aceh:

Penerbit PeNA

Der Wij, P.A., van. 1991. Filsuf-filsuf Besar tentaang Manusia. Jakarta: Penerbit

PT Gramedia Pustaka Utama.

Drijarkara, N. 1969. Filsafat Manusia. Jogjakarta: Penerbit Jajasan Kanisius.

Jalaluddin, dan Abdullah Idi. 2019. Filsafat Pendidikan:Manusia, Filsafat, dan

Pendidikan. Depok: Rajawali Pers

Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban.Jakarta: Yayasan Wakaf

Paramadina.

Syar’i, Ahmad. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus

Syafe’I, Isop. Hakikat Manusia Menurut Islam. Jurnal Ilmiah Psikologi 5, no.1: h.

743-755

Anda mungkin juga menyukai