PENDAHULUAN
1
mengkonversi energi kimia menjadi energi listrik selama terdapat bahan bakar dan
pengoksidasian (Idham, 2009). Fuel cell menggunakan reaksi kimia, lebih baik
dari pada mesin pembakaran, untuk memproduksi energi listrik. Salah satu fuel
cell yang dikembangkan adalah Proton Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC).
Prosesnya merupakan kebalikan dari elektrolisis. Pada elektrolisis, arus listrik
digunakan untuk menguraikan air menjadi hidrogen dan oksigen. Dengan
membalik proses ini, hidrogen dan oksigen dapat direalisasikan dalam fuel cell
untuk memproduksi listrik dan hasil sampingnya berupa air (Safitri dkk, 2016).
Salah satu komponen penting sumber energi PEMFC adalah membran
polimer elektrolit. Membran tersebut merupakan salah satu komponen inti dari
PEMFC yang berfungsi untuk menghantarkan kation dari anoda ke katoda.
Hingga saat ini membran polimer elektrolit yang banyak digunakan adalah
membran perflorosulfonat dari Nafion® karena konduktivitas proton yang tinggi.
Disisi lain Nafion® memiliki beberapa kelemahan yaitu, tingginya permeabilitas
membran Nafion® terhadap bahan bakar, harganya yang mahal, dan ketahanan
termalnya rendah (Priyadi, 2012), sehingga dibutuhkan material baru pengganti
Nafion® yang memiliki sifat bahan lebih baik atau minimal sama dengan harga
lebih murah. Salah satu bahan material baru yang dapat digunakan untuk
mengganti Nafion® adalah Sulfonate Poly(etheretherketone) (SPEEK).
Penggunaan SPEEK sebagai bahan pengganti Nafion® dalam pembuatan
membran tentu dapat menekan harga dari membran itu sendiri dikarenakan harga
SPEEK lebih murah dibanding Nafion®, namun konduktivitas proton dari SPEEK
masih terlalu rendah yaitu sekitar 0,034 S/cm (Mujiburohman.M, 2014),
sedangkan konduktivitas proton dari Nafion® sekitar 0,082 S/cm (Marita, 2011).
Sehingga dalam pengaplikasiannya perlu adanya zat aditif yang ditambahkan pada
SPEEK untuk dapat memperbaiki konduktivitas proton sehingga meningkatkan
efisiensi dari kerja membran PEMFC. Penelitian yang dilakukan oleh Singgih
2014, memberi kesimpulan bahwa konduktivitas dan permeabilitas membran poli
eter eter keton tersulfonasi dengan SiO sekitar 0.14 S/cm dan permeabilitasnya
11x10-8 cm/s dimana nilai parameter ini lebih baik dari nilai parameter pada
membran Nafion®. Modifikasi membran diperlukan untuk meningkatkan kualitas
konduktivitas membran salah satunya pemilihan jenis filler, adapun filler yang
2
umum digunakan diantaranya silicon oxide (SiO2), titanium oxide (TiO2),
zirconium oxide (ZrO2), boron phospate (BPO4), chitosan, hydrate tin
(SnO2.nH2O), cesium oxide (CiO2), dan N-Methyl-2-Pyrolidone (NMP) (Hakim,
2018). Adapun keuntungan dari penggunaan PEMFC yaitu beroperasi tanpa
bising dan hampir tanpa limbah, tidak melalui proses pembakaran, strukturnya
lebih ringan dan lebih kecil dibanding perangkat sistem pembangkit listrik lain
kecuali baterai, dan dapat diaplikasikan sebagai sumber energi untuk kendaran
dan perumahan. Dari beberapa keuntungan dalam pengaplikasiannya, maka
PEMFC dapat dijadikan pertimbangan sebagai energi alternatif terbarukan untuk
solusi dalam meminimalisir krisis energi di Indonesia.
3
1.5 Kerangka Penelitian
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep sel bahan bakar pertama kali diperkenalkan oleh William R. Grove,
seorang ahli fisika berkebangsaan Inggris, pada tahun 1839. Sel yang
diperkenalkan saat itu masih sangat sederhana, seperti ditunjukkan oleh Gambar
2.1. Elektroda
Pt
Elektrolit
Sumber
arus DC
5
bidang ini.
Berselang setelah ditemukan Alkaline Fuel Cell, di tahun 1950-an,
perusahaan Amerika Serikat, General Electric (GE), berhasil mengembangkan
sel bahan bakar tipe baru, dengan membran polimer sebagai elektrolitnya, yang
kemudian disebut Proton Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC). PEMFC
yang ditemukan oleh GE mampu menghasilkan sekitar 1 kW, dan memiliki
keunggulan pada design, lebih compact, bila dibandingkan sel bahan bakar yang
ditemukan oleh Bacon saat itu.
Sel bahan bakar mulai mendapat perhatian ketika NASA mulai
menggunakan sel bahan bakar buatan GE sebagai sumber energi pada komputer
dan alat komunikasinya pada tahun 1965. Program Gemini mereka
menggunakan PEMFC. Sedangkan program Apollo, termasuk yang
mengangkut Neil Amstrong dan rekan-rekannya ke bulan, menggunakan
Alkaline Fuel Cell (AFC). NASA menggunakan AFC hingga tahun 1990-an lalu
beralih kembali ke PEMFC karena PEMFC saat itu telah mengalami berbagai
perbaikan yang akhirnya menjadi lebih cocok dan efektif untuk pesawat
mereka.
Kini, perkembangan sel bahan bakar berkembang sangat pesat, terutama
di bidang otomotif dan alat elektronik. Misalnya mobil keluaran Honda yang
menggunakan sel bahan bakar (Gambar 2.2) dan yang terbaru saat ini adalah sel
bahan bakar menggunakan film keramik yang disebut Low Temperature Co-
fired Ceramic (LTCC) (Gambar 2.3). LTCC memang terbuat dari keramik,
tetapi LTCC terlihat seperti film fleksibel yang dapat dengan mudah ditekuk
dan akan kembali lagi ke bentuk asalnya karena sebenarnya material LTCC
terdiri dari 50 % keramik dan 50 % polimer.
6
Sel bahan bakar LTCC dapat menggunakan berbagai macam bahan bakar –
terutama hidrogen dan metanol, serta bahan bakar lain seperti asam format.
Asam format merupakan sumber energi yang sangat baik, tetapi dapat
menyebabkan korosi pada material sel bahan bakar biasa. Namun, material
keramik pada LTCC dapat tahan terhadap asam format.
Sejumlah 50 mL bahan bakar yang terdiri atas 67 % metanol dalam air
kini dapat digunakan untuk 27 jam waktu bicara pada telepon seluler atau 1
hingga 2 bulan dalam keadaan standby. Dalam rangkaian sel bahan bakar mikro
ini, terdapat prosesor bahan bakar tempat berlangsungnya reaksi reformasi. Di
sini campuran metanol dan air akan bereaksi dalam saluran mikro seukuran
rambut manusia yang telah dilapisi atau diisi oleh katalis. Dari reaksi tersebut
akan dihasilkan gas hidrogen yang akan memasuki sel bahan bakar dan bereaksi
dengan gas oksigen menghasilkan arus listrik dan air.
(a) Sel bahan bakar mikro (LTCC); (b) telepon seluler yang
menggunakan sel bahan bakar mikro (LTCC) (Dalam keadaan
standby, telepon seluler ini dapat bertahan 1 hingga 2 bulan
7
2.2 PEMFC (Polymer Exchange Membran Fuel Cell)
PEMFC (Polymer Exchange Membran Fuel Cell) merupakan sumber energi
ramah lingkungan dan efisien, kerapatan energi tinggi, dan dapat dioperasikan
pada suhu relatif rendah (60-80oC). Suhu operasi yang rendah membuat sel bahan
bakar lebih cepat mencapai suhu optimumnya dan menghasilkan energi listrik.
PEMFC menggunakan salah satu reaksi paling sederhana dari sel bahan bakar.
Komponen vital PEMFC ialah membran penukar proton yang merupakan pemisah
fisik antara anoda dan katoda dan berfungsi mentransport proton. Dalam beberapa
dekade yang lalu, studi membran penukar proton untuk PEMFC terfokus pada
membran asam perflorosulfonat seperti Nafion® (Dupont). Hal ini disebabkan
karena membran komersil tersebut memiliki konduktivitas ion, kekuatan mekanik,
dan derajat pengembangan relatif rendah terhadap air. Namun karena harganya
yang mahal, tingginya laju permeabilitas terhadap bahan bakar (fuell cross-over)
pada material ini, dan bahaya limbah pada lingkungan, pemakaian membran
komersil tersebut tidak diinginkan untuk aplikasi sel bahan bakar. Fuel cross-over
terjadi saat bahan bakar (methanol dan hidrogen) melewati membran secara silang
(menuju anoda) sehingga menurunkan potensial katoda dan efisiensi energi
(Handayani dkk., 2009).
2.1.1. Bagian-bagian PEMFC
1. Anoda
Anoda pada PEMFC memiliki suatu lintasan sehingga gas hidrogen terdispersi
menuju permukaan katalis. Pada anoda terjadi reaksi oksidasi hidrogen menjadi
elektron dan ion H+, dengan bantuan katalis. Elektron yang dihasilkan dari
molekul hidrogen mengalir pada sirkuit eksternal sehingga menghasilkan arus
listrik. Pada materialnya terdapat saluran-saluran agar gas hidrogen dapat
menyebar ke seluruh permukaan katalis
2. Katoda
Katoda pada PEMFC merupakan elektroda positif yang memiliki suatu
lintasan sehingga oksigen dapat terdistribusi menuju katalis. Katoda
menghantarkan elektron dari sirkuit eksternal balik menuju katalis, sehingga dapat
terjadi reaksi antara ion hidrogen dan oksigen menjadi air.
3. Elektrolit
8
Pada PEMFC, elektrolit merupakan membran penukar proton yang dapat
menghantarkan ion bermuatan. Untuk mendapatkan fungsi penukar proton
membran membutuhkan keadaan terhidrasi. Material ini berbentuk seperti plastik
pembungkus yang hanya dapat mengalirkan ion bermuatan positif. Sedangkan
elektron yang bermuatan negaif tidak akan melalui membran ini. Dengan kata
lain, membran ini akan menahan elektron.
4. Katalis
Katalis dalam PEMFC dapat mempercepat reaksi redoks yaitu reaksi oksidasi
hidrogen menjadi elektron dan ion H+ pada anoda, dan reaksi reduksi oksigen
menjadi air pada katoda. Katalis umunya dibuat dari nanopartikel platinum sangat
tipis pada kertas karbon. Katalis memiliki pori dan permukaan kasar sehingga luas
permukaan platinum maksimum sehingga dapat terjadi kontak dengan hidrogen
atau oksigen. Sisi katalis yang terlapisi platinum berada berhadapan dengan
membran penukar proton.
PEMFC merupakan sebuah sistem bebas pelarut. Sistem fuel cell ini
menggunakan fasa penghantar bersifat ionik berupa gugus garam yang matriks
polimernya bersifat polar, seperti pada garam anion F-, Cl-, I-, SCN-, ClO4-,
CF3SO3-, BF4-, dan AsF6-. Semakin besar ukuran anion dan semakin
terdelokalisasi muatan, maka semakin sulit tersolvasi sehingga dapat terjadi ikatan
non permanen antara anion dan proton.
PEMFC dapat memberikan densitas daya yang tinggi dan mempunyai
kelebihan dalam hal berat dan volume dibandingkan dengan sel bahan bakar jenis
lain. PEMFC menggunakan polimer padat sebagai elektrolit dan elektroda karbon
berpori (porous carbon electrodes) yang mengandung katalis platina. PEMFC
hanya membutuhkan hidrogen, oksigen dari udara, dan air untuk sistem
operasinya dan tidak membutuhkan cairan korosif seperti pada sel bahan bakar
jenis lain. Efisiensi PEMFC dapat mencapai 40–50%, suatu nilai yang jauh
melampaui efisiensi mesin bakar BBM yang kurang dari 20%.
9
Gambar 2.3 Skema Sel Bahan Bakar Membran Penghantar Proton
Keterangan :
A = Pengumpul Arus Anoda
B = Kanal Aliran Anoda
C = Lapisan Katalisator Anoda
D = Membran Elektrolit Polimer
E = Lapisan Katalisator Katoda
F = Pengumpul Arus Katoda
G = Kanal Aliran Katoda
Sampai sekarang telah banyak dikembangkan berbagai basis elektrolit
dalam pembuatan sel elektrokimia. Basis elektrolit yang sudah dikembangkan
antara lain: padatan kristal, gelas, lelehan, dan elektrolit. Material berbasis
polimer ternyata memiliki beberapa keunggulan (yang salah satunya sudah
disebutkan di atas) sebagai material elektrolit polimer. Keunggulan tersebut antara
lain:
1. Mempunyai hantaran yang cocok untuk aplikasi sel elektrokimia
2. Mempunyai sifat mekanik yang baik
3. Mempunyai kestabilan kimia, elektrokimia dan fotokimia yang baik
4. Murah dalam pembuatannya
PEM fuel cell bekerja pada temperatur yang relatif rendah, yaitu sekitar 80
°C (176°F). Rendahnya suhu operasi ini menyebabkan rendahnya waktu
pemanasan (warm-up time). Selain itu PEM memiliki kerapatan daya yang cukup
tinggi karena sifat-sifat inilah maka PEM banyak digunakan sebagai sumber daya
bagi alat-alat elektronik portable dan alat-alat transportasi. Peranan elektroda
sangat penting pada proses pengubahan fluks difusi proton menjadi energi listrik.
10
Pada elektroda, perbedaan potensial kimia dikonversi menjadi potensial listrik.
Pada perkembangan fuel cell terakhir, telah diteliti suatu cara perakitan yang baik
untuk menghasilkan energi listrik paling maksimal, yaitu dengan Membrane
Assembly Electrodes (MEA). Perakitan elektroda dilakukan dengan cara
pencangkokan elektrokatalis secara langsung pada waktu pembentukan polimer
TFPE.
11
reaksi pada fuel cell adalah 2H2 + O2 2H2O. Hasil samping reaksi kimia ini
adalah aliran elektron yang menghasilkan arus listrik serta energi panas dari
reaksi. Satu unit fuel cell ini menghasilkan energi kurang lebih 0,7 volt. Karena itu
untuk memenuhi energi satu baterai handphone atau menggerakkan turbin gas dan
mesin mobil, dibutuhkan berlapis-lapis unit fuel cell dikumpulkan menjadi satu
unit besar yang disebut sebagai stack fuel cell.
2.1.2. Membran Fuel Cell
Pada sistem fuel cell terdapat membran elektrolit yang merupakan
”jantung” dari sistem dan perangkat separator fuel. Fungsi dari membran pada
fuel cell adalah sebagai elektrolit dan pemisah dua gas reaktan. Sebagai elektrolit,
membran fuel cell menjadi sarana transportasi ion hidrogen yang dihasilkan oleh
reaksi anoda menuju katoda, sehingga reaksi pada katoda yang menghasilkan
energi listrik dapat terjadi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh
beberapa ahli maka telah dibuat membran fuel cell yang berasal dari material
komposit bipolar plate dengan matriks polimer yang akan diperkuat grafit.
Graphite bipolar plate akan menjadi lembar panel khusus, dalam alat pembangkit
energi berbahan bakar hidrogen.
Elektrolit yang digunakan dalam PEMFC adalah membran pertukaran
proton (proton exchange membrane/PEM). Material ini berbentuk seperti plastik
pembungkus yang hanya dapat mengalirkan ion bermuatan positif. Sedangkan
elektron yang bermuatan negaif tidak akan melalui membran ini. Dengan kata
lain, membran ini akan menahan elektron.
Membran polimer merupakan komponen yang sangat penting dalam PEM
fuel cell. Membran polimer ini dapat memisahkan reaktan dan menjadi sarana
transportasi ion hidrogen yang dihasilkan di anoda menuju katoda sehingga
menghasilkan energi listrik.
Kemurnian gas hidrogen sangat mempengaruhi emisi buang sistem fuel
cell berbasis polimer tersebut. Kemurnian hidrogen yang tinggi memberikan
tingkat emisi yang mendekati zero emission. Penggunaan hidrogen dengan tingkat
kemurnian tinggi juga dapat memperpanjang waktu hidup membran fuel cell dan
mencegah pembentukan karbonmonoksida (CO) yang beracun, pada permukaan
katalis.
12
2.1.3. Kelebihan dan Kekurangan Fuel Cell
1. Kelebihan Fuel Cell
a. Tidak Mengeluarkan Emisi Berbahaya (Zero Emision)
Sebuah sistem fuel cell hanya akan mengeluarkan uap air apabila memakai
hidrogen murni. Tetapi ketika memakai hidrogen hasil dari reforming
hidrokarbon/fosil (misal: batu bara, gas alam, dll) maka harus dilakukan uji emisi
untuk menentukan apakah sistem tersebut masih dapat dikategorikan zero
emission.
b. Efisiensi Tinggi
Oleh sebab fuel cell tidak menggunakan proses pembakaran dalam konversi
energi, maka efisiensinya tidak dibatasi oleh batas maksimum temperatur
operasional (tidak dibatasi oleh efisiensi siklus Carnot). Hasilnya, efisiensi
konversi energi pada fuel cell melalui reaksi elektrokimia lebih tinggi
dibandingkan efisiensi konversi energi pada mesin kalor (konvensional) yang
melalui reaksi pembakaran.
c. Cepat Mengikuti Perubahan Pembebanan
Fuel cell memperlihatkan karakteristik yang baik dalam mengikuti perubahan
beban. Sistem Fuel cell yang menggunakan hidrogen murni dan digunakan pada
sebagian besar peralatan mekanik (misal: motor listrik) memiliki kemampuan
untuk merespon perubahan pembebanan dengan cepat.
d. Temperatur Operasional Rendah
Sistem fuel cell sangat baik diaplikasikan pada industri otomotif yang
beroperasi pada temperatur rendah. Keuntungannya adalah fuel cell hanya
memerlukan sedikit waktu pemanasan (warmup time), resiko operasional pada
temperatur tinggi dikurangi, dan efisiensi termodinamik dari reaksi elektrokimia
lebih baik.
e. Reduksi Transformasi Energi
Ketika fuel cell digunakan untuk menghasilkan energi listrik maka fuel cell
hanya membutuhkan sedikit transformasi energi, yaitu dari energi kimia menjadi
energi listrik. Bandingkan dengan mesin kalor yang harus mengubah energi kimia
menjadi energi panas kemudian menjadi energi mekanik yang akan memutar
generator untuk menghasilkan energi listrik. Fuel cell yang diaplikasikan untuk
13
menggerakkan motor listrik memiliki jumlah transformasi energi yang sama
dengan mesin kalor, tetapi transformasi energi pada fuel cell memiliki efisiensi
yang lebih tinggi.
f. Waktu Pengisian Hidrogen Singkat
Sistem fuel cell tidak perlu penyetruman (recharge) layaknya baterai. Tetapi
sistem fuel cell harus diisi ulang dengan hidrogen, dimana prosesnya lebih cepat
dibandingkan penyetruman baterai. Selain itu, baterai tidak dapat dipasang dalam
jumlah besar pada mesin otomotif untuk meningkatkan performance karena akan
semakin menambah beban pada kendaraan tersebut.
2. Kekurangan Fuel Cell
a. Hidrogen
Hidrogen sulit untuk diproduksi dan disimpan. Saat ini proses produksi
hidrogen masih sangat mahal dan membutuhkan input energi yang besar (artinya:
efisiensi produksi hidrogen masih rendah). Untuk mengatasi kesulitan ini, banyak
negara menggunakan teknologi reforming hidrokarbon/fosil untuk memperoleh
hidrogen. Tetapi cara ini hanya digunakan dalam masa transisi untuk menuju
produksi hidrogen dari air yang efisien.
b. Sensitif pada Kontaminasi Zat-asing
Fuel cell membutuhkan hidrogen murni, bebas dari kontaminasi zat-asing.
Zat-asing yang meliputi sulfur, campuran senyawa karbon, dll dapat
menonaktifkan katalisator dalam fuel cell dan secara efektif akan
menghancurkannya. Pada mesin kalor pembakaran dalam (internal combustion
engine), masuknya zat-asing tersebut tidak menghalangi konversi energi melalui
proses pembakaran.
c. Harga Katalisator Platinum Mahal
Fuel cell yang diaplikasikan pada industri otomotif memerlukan katalisator
yang berupa Platinum untuk membantu reaksi pembangkitan listrik. Platinum
adalah logam yang jarang ditemui dan sangat mahal. Berdasarkan survei geologis
ahli USA, total cadangan logam platinum di dunia hanya sekitar 100 juta kg
(Bruce Tonn and Das Sujit, 2009). Dan pada saat ini, diperkirakan teknologi fuel
cell berkapasitas 50 kW memerlukan 100 gram platinum sebagai katalisator
(DEO, 2010). Misalkan penerapan teknologi fuel cell berjalan baik (meliputi:
14
penghematan pemakaian platinum pada fuel cell, pertumbuhan pasar fuel cell
rendah, dan permintaan platinum rendah) maka sebelum tahun 2030 diperkirakan
sudah tidak ada lagi logam platinum (Anna Monis Shipley and R. Neal Elliott,
2004). Untuk itulah diperlukan penelitian untuk menemukan jenis katalisator
alternatif yang memiliki kemampuan mirip katalisator dari platinum.
d. Pembekuan
Selama beroperasi, sistem fuel cell menghasilkan panas yang dapat berguna
untuk mencegah pembekuan pada temperatur normal lingkungan. Tetapi jika
temperatur lingkungan terlampau sangat dingin (-10 s/d -20 C) maka air murni
yang dihasilkan akan membeku di dalam fuel cell dan kondisi ini akan dapat
merusak membran fuel cell (David Keenan, 2014). Untuk itu harus didesain
sebuah sistem yang dapat menjaga fuel cell tetap berada dalam kondisi temperatur
normal operasi.
e. Ketiadaan Infrastruktur
Infrastruktur produksi hidrogen yang efektif belum tersedia. Tersedianya
teknologi manufaktur dan produksi massal yang handal merupakan kunci penting
usaha komersialisasi sistem fuel cell.
15
Derajat sulfonasi (DS) didefinisikan sebagai angka perbandingan dari unit
struktural yang mengandung kelompok asam sulfonat terhadap total unit
struktural. Derajat sulfonasi PEEK yang diharapkan dapat dicapai dengan
mengontrol waktu reaksi dan suhu. Waktu reaksi yang panjang dan temperatur
reaksi yang lebih tinggi akan menghasilkan DS dari PEEK yang lebih tinggi pula.
Sulfonate poly(ether ether ketone) (SPEEK) mirip dengan teknik sulfonasi
pada PSSA (Polystyrene Sulfonic Acid) menggunakan agen sulfonasi misalnya
asam sulfur dengan konsentrasi tinggi. Derajat sulfonasi SPEEK dapat dikontrol
dengan beberapa variasi waktu dan suhu reaksi. Penelitian Lee dkk (2004)
menunjukkan bahwa konduktivitas proton pada membran SPEEK tergantung pada
derajat sulfonasi dimana konduktivitas proton akan naik seiring dengan derajat
sulfonasi. Peningkatan derajat sulfonasi akan meningkatkan sifat hidrofiliknya
dan menyerap semakin banyak air, sehingga memberikan kesempatan pada air
untuk menjadi media perpindahan proton. Pengukuran pembentukan metanol
diindikasikan dengan meningkatnya kecepatannya dengan naiknya derajat
sulfonasi tetapi lebih rendah dibandingkan dengan membran Nafion. Hal ini
dikarenakan perbedaan mikrostruktur di dalamnya.
Ada beberapa metode yang digunakan untuk meningkatkan kerja SPEEK;
membuat membran komposit dengan material anorganik, mencampur membran
dengan polimer yang lain dan modifikasi permukaan seperti perlakuan plasma dan
reaksi bertahap, pelapisan permukaan atau mengkombinasikan metode-metode
tersebut. Konduktivitas proton pada membran SPEEK dapat ditingkatkan dengan
menggunakan konduktor proton di dalam matriks polimer (Silva dkk, 2010).
Zhong dkk., (2010) telah melakukan penelitian dari SPEEK dengan
photochemical crosslinking. SPEEK pertama dilarutkan dengan benzophenon dan
triethylamine photo-initiator, selanjutnya membran di-crosslink-kan dengan
disinari ultraviolet (UV). Mereka melaporkan bahwa mekanik dan stabilitas
termalnya lebih baik untuk membran termodifikasi. Selanjutnya water uptake
dikurangi yang kemudian mengurangi permeabilitas metanolnya dengan hanya
mengesampingkan konduktivitas proton. Kemudian Chen dkk., (2011)
melaporkan dalam pemakaian teknik crosslink ganda dimana mereka pertama
crosslink film PEEK dengan dosis lebih dari 33 MGy, selanjutnya disulfonasi
16
dalam larutan klorosulfonat. Mereka mengklaim bahwa SPEEK termodifikasi
setelah mendapat perlakuan panas lebih lanjut, water uptake dan permeabilitas
metanol dikurangi dengan reduksi slight dalam konduktivitas proton.
Disebut juga mineral dua banding satu (2:1) karena satuan susunan
kristalnya terbentuk dari susunan dua lempeng silika tetrahedral mengapit satu
lempeng alumina oktahedral ditengahnya. Tebal satu satuan. unit adalah 9,6Å
(0,96µm), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.6 sebagaimana dikutip Das,
Braja M. (1985). Montmorillonite adalah mineral dari kelompok smectite,
memiliki 2 lapisan tetrahedral yang mengapit satu lembar oktahedral pusat.
Partikel-partikel montmorillonite berbentuk seperti piring dengan diameter rata-
rata sekitar 1µm (Laird, 1996). Montmorillonite merupakan anggota kelompok
mineral clay. Umumnya montmorillonite membentuk kristal mikroskopik atau
setidaknya kristal micaceous berlapis sangat kecil. Montmorillonite juga
merupakan konstituen utama abu vulkanik yang disebut bentonit. Struktur
montmorillonite dapat dilihat pada Gambar 2.13. Secara alami, struktur
montmorillonite mengalami proses substitusi isomorfis, posisi Al3+ digantikan
oleh Mg2+/Fe3+/Fe2+ dan Si4+ digantikan Al3+. Sebagai konsekuensinya terdapat
muatan negatif pada permukaan dan harus dinetralkan oleh kation lain, kation ini
disebut kation interlayer (Sapalidis, 2011). Penambahan montmorillonite pada
polivinil asetat dapat mengubah kinerja dari PVAc tersebut, baik sebagai polimer
termoplastik maupun sebagai bahan perekat. Montmorillonite mempengaruhi kuat
ikatan dari PVAc dengan besaran yang berbeda, bergantung pada jenis dan
banyak muatan nano-clay (Kaboorani dan Riedl, 2011).
17
interkonektivitas antar pori dalam membran (Kesting, 1971).Efek aditif pada
larutan casting tergantung pada sejauh mana pengaruh aditif pada tingkat
pengendapan. Aditif dalam larutan casting meningkatkan tingkat pengendapan,
tetapi jika aditif, misalnya untuk benzene ada dalam larutan casting akan
cenderung untuk mengurangi tingkat pengendapan. Oleh karena itu mendukung
menggunakan PES sebagai bahan dasar dalam pembuatan membran juga memiliki
kelemahan yaitu karena sifatnya yang hidrofobik (tidak suka air). Hal tersebut
menyebabkan permeabilitasnya untuk sistem larutan air tidak terlalu baik, dampak
lain yang terjadi adalah sering terbentuknya foulingkarena terjadinya
pengendapan partikel-partikel di permukaan membran pada saat proses filtrasi,
sehingga menyebabkan nilai water fluxyang dihasilkan menurun serta umur pakai
membran menjadi lebih pendek karena membran sangat mudah rusak. Untuk itu,
perlu adanya penambahan zat aditif pada membran seperti PEG yang bertujuan
untuk meningkatkan atau memodifikasi sifat-sifat mekanik, kimia, dan fisik pada
membran, serta memperbaiki karakteristik daripada PES yang semula bersifat
hidrofobik menjadi hidrofilik (suka air). Penambahan PEG sebagai zat aditif pada
membran dimaksudkan untuk memperbesar pori-pori pada membran dengan tetap
menjaga ketahanan membran terhadap faktor eksternal. Dapat dijelaskan bahwa
PEG pada awalnya mengisi matriks dari membran selulosa asetat yang terbentuk.
Selanjutnya dalam proses difusi antara pelarutan dengan non pelarut, aditif
bersama dengan pelarut akan larut ke dalam non-pelarut meninggalkan rongga
pada matriks PES yangdi tempatinya sehingga terbentuklah pori-pori pada
membran. Karena hal tersebut nilai fluxyang dihasilkan akan jauh lebih tinggi
(Akhlus dan Widiastuti, 2005 dalam Rosnelly, 2012). Penggunaan SPEEK
sebagai bahan pengganti Nafion® dalam pembuatan membran tentu dapat
menekan harga dari membran itu sendiri dikarenakan harga SPEEK lebih murah
dibanding Nafion®, namun konduktivitas proton dari SPEEK masih terlalu
rendah yaitu sekitar 0,034 S/cm (Mujiburohman.M, 2014), sedangkan
konduktivitas proton dari Nafion® sekitar 0,082 S/cm (Marita, 2011). Sehingga
dalam pengaplikasiannya perlu adanya zat aditif yang ditambahkan seperti NMP
(N-Methyl-2-Pyrolidone) untuk meningkatkan atau memodifikasi sifat-sifat
18
mekanik, kimia, dan fisik pada membran, serta memperbaiki karakteristik dari
SPEEK itu sendiri. NMP merupakan salah satu jenis senyawa kimia yang
memiliki densitas 1.03 g/cm3 . Aplikasi dari NMP banyak digunakan dalam
bidang industri sebagai pelarut, karena kemampuannya sangat baik dalam
melarutkan berbagai bahan kimia. Beberapa contoh dari aplikasi NMP seperti
pelarut dan dispersant dalam produksi pestisida dan pigmen, ektraksi dan daur
ulang bahan baku organik, dalam industri petrokimia, pemurnian minyak pelumas,
dan juga sebagai pelarut polimer dalam polimerisasi. NMP berupa cairan bening
dengan rumus empiris (C5H9NO)., mudah larut dalam air dan juga memiliki
massa molar sekitar 99.13 g.mol-1.
19