KEJANG DEMAM
Disusun oleh:
1102015
Pembimbing:
dr.
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Radioisotop buatan yang banyak dipakai pada masa awal perkembangan kedokteran
nuklir adalah I131. Pemakaiannya kini telah terdesak oleh Tc99m, selain karena sifatnya yang
ideal dari segi proteksi radiasi dan pembentukan citra juga dapat diperoleh dengan mudah, serta
harga relatif murah. Namun demikian, I131 masih sangat diperlukan untuk diagnostik dan
terapi, khususnya kanker kelenjar tiroid. Seperti kebanyakan penemuan, karya ilmuwan di
masa lalu sedikit banyak telah membuka jalan untuk masa kini.
Lebih dari seratus tahun yang lalu, pada awal 1896, seorang Fisikawan Perancis, Henri
Becquerel, menemukan bahwa sinar misterius yang dinamakan sinar-x, dihasilkan oleh
uranium. Penemuannya ini tidak terlepas dari penemuan pendahulunya, seorang ilmuwan
Jerman, Wilhelm Conrad Roentgen, yang juga menemukan sinar-x hanya beberapa bulan
sebelumnya, yaitu pada bulan November tahun 1895.
Setelah Rontgen menemukan sinar-x di akhir 1895, banyak ilmuwan lainnya yang kemudian
mulai menyelidiki kemungkinan bahwa sinar misterius ini dapat dipergunakan untuk
membunuh kuman-kuman. Segera diketahui, sinar ini mampu membunuh bakteri tuberculosis,
difteri dan bakteri lainnya. Beberapa tipe kanker juga dapat dihancurkan oleh sinar yang kuat
ini. Sayangnya, kelangkaan dan harga radium yang tinggi menghambat penelitian lebih lanjut
mengenai topik ini.
4
Gambar 3. Fisikawan Perancis, bersama dengan isterinya Marie Sklodowska Curie, berhasil
mengisolasi polonium dan radium pada tahun 1898.
Gambar 4. Pierre Curie seorang Profesor Fisika di Sorbonne. Ia berteman baik dengan
5
Gambar 5. Seorang ahli kimia Hongaria-Denmark yang memenangkan Nobel bidang kimia
pada tahun 1943 karena karyanya berhasil menemukan manfaat isotop radioaktif sebagai
tracer dalam skala lab.
Gambar 6. Fisikawan Amerika pemenang Nobel Fisika tahun 1939 untuk penemuan
siklotron.
Pada tahun 1929, Ernest O. Lawrence, bekerja di Universitas California di Berkeley. Ia berhasil
menemukan siklotron yang dapat membuat sejumlah radioisotop yang berguna untuk
keperluan biologis maupun medis.
6
Dr. Glenn Seaborg dianggap sebagai salah seorang pendiri kedokteran nuklir. Sampai akhir
hayatnya, ia berhasil menemukan banyak radioisotop yang hingga kini masih dipergunakan
untuk diagnosis maupun pengobatan penyakit. Dr. Seaborg meninggal dunia pada tahun 1999.
Gambar 8. Fisikawan Italia penemu antiproton, yang karena penemuannya ini berhasil
memenangkan Nobel Fisika pada tahun 1959.
Gambar 9. Bapak Kedokteran Nuklir dan presiden pertama dari Society Nuclear Medicine.
Dr. Marshall Brucer, adalah seorang “founding father”dari kedokteran nuklir, ia juga memiliki
pengaruh yang sangat besar pada kemajuan dunia kedokteran nuklir. Ia juga presiden pertama
dari Society of Nuclear Medicine, suatu organisasi kedokteran nuklir terbesar di dunia.
7
Gambar 10. Penemu kamera pemindai sintilasi pada tahun 1958.
Pada akhir 1950an, seorang penemu berkebangsaan Amerika, Hal Anger berhasil merevolusi
dunia kedokteran nuklir dengan memodifikasi kamera gamma pada masa itu. Selain itu, ia juga
berhasil mengembangkan well counter yang dapat dipergunakan pada uji skala laboratorium
dengan menggunakan sejumlah kecil bahan radioaktif.
Di antara banyak radionuklida yang ditemukan untuk medis digunakan, tidak ada yang
sama pentingnya dengan penemuan dan pengembangan Technetium-99m. Ini pertama kali
ditemukan pada tahun 1937 oleh C. Perrier dan E. Segre sebagai unsur buatan untuk mengisi
ruang nomor 43 dalam Tabel Periodik. Pengembangan sistem generator untuk menghasilkan
Technetium-99m pada tahun 1960 menjadi metode praktis untuk penggunaan medis.
Technetium-99m adalah unsur yang paling dimanfaatkan dalam Kedokteran Nuklir dan
digunakan dalam berbagai studi pencitraan Kedokteran Nuklir.
Pada tahun 1970-an sebagian besar organ tubuh dapat divisualisasikan menggunakan
prosedur Kedokteran Nuklir. Pada tahun 1971, American Medical Association resmi diakui
8
kedokteran nuklir sebagai spesialisasi medis. Pada tahun 1972, American Board of Kedokteran
Nuklir didirikan, memperkuat Kedokteran Nuklir sebagai spesialisasi medis. Pada 1980-an,
radiofarmasi dirancang untuk digunakan dalam diagnosis penyakit jantung. Perkembangan
tomografi emisi foton tunggal, sekitar waktu yang sama, menyebabkan rekonstruksi tiga
dimensi dari jantung dan pembentukan bidang Kardiologi Nuklir. Perkembangan lebih baru
dalam Kedokteran Nuklir meliputi penemuan positron emisi tomografi pertama pemindai
(PET). Konsep tomografi emisi dan transmisi, kemudian berkembang menjadi emisi photon
tunggal computed tomography (SPECT), diperkenalkan oleh David E. Kuhl dan Roy Edwards
di akhir 1950-an.
9
antibodi tersebut bergerak ke dan mengikat sel-sel kanker, yang memungkinkan radiasi
dosis tinggi dikirim langsung ke tumor.
4. Dalam terapi I-131MIBG untuk neuroblastoma, radiotracer diberikan melalui injeksi
ke dalam aliran darah. Radiotracer berikatan dengan sel kanker yang memungkinkan
radiasi dosis tinggi dikirimkan ke tumor
Kedokteran nuklir adalah studi dan pemanfaatan senyawa radioaktif dalam kedokteran
untuk menggambarkan dan mengobati penyakit manusia, itu bergantung pada 'prinsip
pelacak' pertama kali didukung oleh Georg karl von hevesy pada awal 1920-an. Prinsip
pelacak adalah studi tentang nasib senyawa dalam jumlah menit pelacak radioaktif yang
tidak menimbulkan respons farmakologis oleh tubuh terhadap pelacak. Saat ini, prinsip
yang sama digunakan untuk mempelajari banyak aspek fisiologi, seperti metabolisme
seluler, proliferasi dNa (asam deoksiribonukleat), aliran darah dalam organ, fungsi organ,
ekspresi reseptor, dan fisiologi abnormal, secara eksternal menggunakan perangkat
pencitraan sensitif. Jumlah yang lebih besar dari radionuklida juga diterapkan untuk
merawat pasien dengan terapi radionuklida, terutama pada penyakit yang disebarluaskan
seperti kanker metastasis lanjut, karena bentuk terapi ini memiliki kemampuan untuk
menargetkan sel-sel abnormal untuk mengobati penyakit di mana saja dalam tubuh.
Obat nuklir bergantung pada fungsinya. Untuk alasan ini, ini disebut sebagai 'pencitraan
fungsional' daripada hanya pencitraan sebagian tubuh diyakini memiliki beberapa kelainan,
seperti yang dilakukan dengan pencitraan sinar X dalam radiologi, scan kedokteran nuklir
sering menggambarkan distribusi seluruh tubuh dari senyawa radioaktif yang sering
diperoleh sebagai urutan gambar dari waktu ke waktu menunjukkan temporal saja
radiotracer dalam tubuh. Ada dua jenis utama radiasi yang menarik untuk pencitraan dalam
kedokteran nuklir: γ emisi sinar dari nuklei tereksitasi, dan pemusnahan (atau kebetulan)
radiasi (γ ±) timbul setelah emisi positron dari inti kaya proton. Foton gamma dideteksi
dengan kamera gamma sebagai gambar planar (2-d) atau secara tomografi dalam 3-d
menggunakan tomografi terkomputasi emisi foton tunggal. Foton pemusnahan dari emisi
positron terdeteksi menggunakan kamera positron emission tomography (PeT).
Perkembangan utama terbaru dalam bidang ini adalah kombinasi kamera gamma atau
kamera PeT dengan perangkat pencitraan struktural beresolusi tinggi, baik pemindai
tomografi komputer (cT) sinar X atau, yang semakin meningkat, pemindaian magnetic
resonance imaging (Mri), dalam satu perangkat gambar tunggal . Gabungan pemindai PeT
10
/ cT (atau PeT / Mri) merupakan salah satu cara paling canggih dan kuat untuk
memvisualisasikan fisiologi normal dan yang berubah dalam tubuh.
Pada kedokteran nuklir, radioisotop dapat dimasukkan ke dalam tubuh pasien (in vivo)
maupun hanya direaksikan saja dengan bahan biologis antara lain darah, cairan lambung, urin
dan lainnya yang diambil dari tubuh pasien (in vitro).
In Vitro
Pada studi in vitro, dari tubuh pasien diambil sejumlah tertentu bahan biologis yang
kemudian direaksikan dengan suatu zat yang telah ditandai dengan radioisotop. Pemeriksaan
dilakukan dengan bantuan detektor sinar gamma yang dirangkai dengan suatu sistem
instrumentasi. Studi semacam ini biasanya dilakukan untuk mengetahui kandungan hormon-
hormon tertentu dalam darah pasien seperti insulin, tiroksin dan juga penanda tumor (CA 15-
3, CA-125, PSA dan lainnya).
In Vivo
Study In Vivo adalah prosedur diagnostik klinik dengan memberikan radiofarmaka di
dalam tubuh pasien baik melalui oral maupun injeksi untuk mempelajari morfologi dan fungsi
organ.
2.4 Instrumen
Dua alat imaging yang sangat bermanfaat dalam kedokteran nuklir adalah Positron
Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT).
Kedua peralatan ini memberikan informasi fungsi dan anatomi organ dan sangat cocok untuk
memantau proses dinamik seperti metabolisme sel atau aliran darah dalam jantung, paru, dan
juga otak. Keduanya menggunakan kamera gamma untuk mendeteksi sinar gamma yang
dipancarkan radioisotop tertentu yang ada dalam tubuh pasien.
11
Gambar 11. Kamera gamma
Pesawat gamma
Pada prinsipnya pesawat atau alat di Kedokteran Nuklir hanya merupakan detector, yaitu
menangkap radiasi yang dipancarkan oleh radioaktif didalam tubuh pasien dan kemudian
merubahnya menjadi data yang dapat dilihat berupa gambar, angka, grafik dan warna.
Di kedokteran Nuklir memerlukan suatu alat gamma kamera yang mempunyai jumlah detector
yang banyak. Gamma Kamera terdiri dari :
- Kollimator
- Detektor
- Photo Multiplier Tube (PMT)
- Catode Ray Tube (CRT)
- Pulse Height Analyzin (PHA)
12
Gambar 12. Skema dari PET
2.5 Radiofarmaka
Radiofarmaka merupakan senyawa radioaktif yang digunakan dalam bidang
kedokteran nuklir, baik untuk tujuan diagnosis maupun pengobatan. Berdasarkan cara
penggunaannya, radiofarmaka dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu secara in vivo dan in
vitro.
Beberapa persyaratan yang harus dipunyai oleh suatu radiofarmaka antara lain adalah :
1. Toksisitasnya rendah.
2. Pembuatan dan penggunaannya mudah.
3. Lebih spesifik untuk penyakit tertentu atau terakumulasi pada organ tertentu.
4. Tingkat bahay radiasi pada manusia rendah.
5. Untuk visualisasi eksternal (in vivo) sebaiknya merupakan sinar γ (gamma) murni
dengan energi 100-400 keV.
6. Harga relatif murah.
13
Radiofarmaka dapat diberikan secara in vivo dan in vitro. Penggunaan radiofarmaka secara
in vivo dilakukan dengan cara suntikkan, ditelan atau dihisap, dengan tujuan diagnosis atau
pengobatan suatu penyakit, sedangkan penggunaan radiofarmaka secara in vitro dilakukan
dengan cara mengambil cuplikan darah atau urin, yang dalam istilah klinis dikenal dengan
nama teknik radioimmunoassay (RIA) dan immunoradiometric assay (IRMA). Teknik tersebut
telah berkembang menjadi metode yang sangat luas pemakaiannya, karena cara ini sederhana,
cepat serta spesifik dan kadang-kadang merupakan satu-satunya cara untuk penentuan suatu
zat tertentu.
Radiofarmaka yang dimasukkan ke dalam tubuh pasien melalui mulut, suntikan, atau
dihirup lewat hidung, akan memberikan informasi berupa:
1. Citra organ atau bagian tubuh pasien yang diperoleh dengan bantuan alat kamera gamma
atau kamera positron (teknik imaging) memberikan informasi fungsional berdasarkan
pada perubahan biokimiawi-fisiologik yang menimbulkan pola emisi radiasi yang
mencerminkan fungsi organ atau bagian tubuh yang diperiksa. Dapat pula dengan teknik
non-imaging in vivo (renograf, tiroid uptake, heliprobe, dan lainya).
2. Kurva hubungan aktivitas dan waktu yang menunjukkan kinetika radioisotop dalam
organ atau bagian tubuh tertentu dan nilai yang menggambarkan akumulasi radioisotop
dalam organ atau bagian tubuh tertentu, di samping citra atau gambar yang diperoleh
dengan kamera gamma atau kamera positron
3. Radioaktivitas yang terdapat dalam sampel darah, urin, atau lainnya yang diambil dari
tubuh pasien, dicacah dengan instrumen yang dirangkaikan pada detektor radiasi (teknik
non-imaging in vitro).
Dosis radiasi yang diterima oleh pasien setelah pemberian radiofarmaka ditentukan oleh
sifat fisik radionuklida, metabolisme radiofarmaka dalam tubuh pasien, dan aktivitas yang
diberikan. Tingkat radioaktivitas yang terdapat dalam tubuh pasien sedikit demi sedikit akan
14
berkurang karena peluruhan fisik dan eliminasi biologik yang dialami oleh radiofarmaka.
Gambar 14. Biji I-125 yang diletakkan dalam kanker prostat pada tindakan brakiterapi
Radioisotop yang digunakan sebagai perunut di dalam tubuh mempunyai waktu paro
fisik maupun biologik yang singkat untuk menunjang diagnostik dan terapi, antara lain Iodium-
131 (I-131), Teknisium (Tc-99m), Talium-201 (Tl201), Galium-67 (Ga-67), Indium-111 (In-
111), Fluorin-18 (F-18), dan Iodium-125 ( I-125). Radioisotop tersebut dikemas dengan bahan
obat tertentu untuk mencapai organ target sesuai keinginan dan disebut dengan radiofarmaka.
Bahan obat non radioaktif atau yang disebut dengan kit ini antara lain MDP, DTPA, MAG3,
MIBI, Tetrofosmin, Infekton, ECD, IDA, mebrofenin, dan Sulfur koloid.
15
Bila untuk keperluan diagnostik, radioisotop yang diberikan dalam dosis yang sangat
kecil, maka dalam terapi radioisotop sengaja diberikan dalam dosis yang besar untuk
mematikan sel penyusun kanker. Tindakan terapi pada kedokteran nuklir antara lain terutama
digunakan terhadap kanker tiroid dan hipotiroid dengan NaI-131 (diminumkan), kanker hati
dengan Y-90 (disuntikan), anak sebar di tulang dengan P-32, Sr, dan Sm (disuntikan), dan
osteoarthritis dengan rhenium (disuntikan intra synovial).
16
Gambar 17. X-ray
Tindakan radiodiagnostik bertujuan untuk mendeteksi adanya kelainan/ kerusakan pada
organ dan kanker pada tubuh dengan menggunakan pesawat sinar-X energi rendah dengan hasil
dalam bentuk citra anatomi. Dosis radiasi yang digunakan dalam radiodiagnostik tidak
berbahaya bagi pasien pada interval waktu tertentu karena relatif setara dengan dosis radiasi
alam dan jauh lebih rendah dari dosis yang digunakan dalam radioterapi. Beberapa metode
radiodiagnostik yang menggunakan pada teknologi sinar-X adalah mammography untuk
mendeteksi keberadaan kanker payudara, fluoroskopi (X-ray “movie”) untuk mengamati citra
sinar-X dari tubuh pasien melalui monitor secara langsung dan dinamik dengan paparan sinar-
X secara kontinyu pada pasien, dan Computed Tomography (CT) Scan. Pencitraan dengan
pesawat CTscan memberikan gambaran tentang sifat morfologik berdasarkan perubahan atau
perbedaan transmisi radiasi melalui organ atau bagian tubuh yang diperiksa.
17
Gambar 18. CT scan
Dalam aplikasinya dikenal studi in vivo, yaitu prosedur diagnostic klinik yang dilakukan
dengan membereikan radiofarmaka ke dalam tubuh pasien untuk mempelajari morfologi dan
fungsi organ atau sistem tubuh. Dari study in vivo dapat diperoleh informasi yang bersifat
pencitraan atau gambaran baik static, dynamic, maupun tomogram. Pada dasarnya studi in vivo
mengevaluasi perubahan-perubahan fungsi dan biokimia yang terjadi tingkat sel atau molekul,
maka sering disebut studi (morfologi) fungsional.
1. Pemeriksaan Statik
18
Pemeriksaan dilakukan beberapa saat setelah pemberian radiofarmaka
Contoh :
- Pemeriksaan tiroid
- Pemeriksaan bone scan
- Pemeriksaan wholebody
2. Pemeriksaan Dinamik
Pemeriksaan dilakukan segera setelah pemberian radiofarmaka
Contoh :
Pemeriksaan Renogram
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan untuk mendapatkan gambaran fungsi atau metabolism
dari suatu organ yaitu dengan mendeteksi perubahan aktifitas pada organ tersebut sejak
radiofarmaka dimasukkan sampai waktu yang telah ditentukan.
3. Pemeriksaan Tomogram
Pemeriksaan yang dilakukan dengan pengambilan gambar dari beberapa sudut selama
kamera berputar mengelilingi tubuh pasien. Data terakhir yang didapat adalah hasil
rekonstruksi dari gambar-gambar yang diambil dari beberapa sudut tadi. Untuk
pemeriksaan tomogram ini dikenal dengan nama “ SPECT (Single Positron Emmision
Computer Tomogram).
2. In Vivo
19
Dalam study in vivo dikenal dengan uptake dan scaning. Uptake diartikan kemampuan
thyroid mengambil radiofarmaka yang diberikan beberapa saat setelah pemberian. Scaning
adalah untuk melihat gambaran dan bentuk dari kelenjar thyroid.
Tujuan Pemeriksaan :
- Untuk mengetahui bentuk dan besar kelenjar thyroid
- Mendeteksi Thyroiditis atau hyperthyroid yang disebabkan oleh toxic goiter
- Mendeteksi nodul atau benjolan hypo atau hyper fungsi
- Untuk tujuan terapi digunakan dalam kalkulasi dosis
20
Gambar 20. Hasil bacaan pemeriksaan tiroid
21
2.6.2 Scaning tulang (bone scanning)
Scaning tulang diartikan sebagai pemeriksaan tulang secara Kedokteran Nuklir yang
menggunakan radiofarmaka yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui intravena. Gambaran
yang diperoleh merupakan rekaman emisi radiasi pengion zat radioaktif atau radiofarmaka
yang dimasukkan kedalam tubuh pasien tadi. Radiofarmaka yang digunakan dipilih yang
mengandung substansi metabolic analog yang terdapat pada tulang sehingga akan terjadi
pertukaran tempat dengan substansi pada tulang melalui metabolisme pensuplyan zat makanan
dari darah ke tulang. Citra atau gambar scaning tulang ini lebih mencerminkan status fungsioal
dari kondisi patologi anatomi.
Alasan paling umum untuk menggambarkan kerangka adalah pada penyakit ganas,
mencari metastasis. Indikasi penting lainnya adalah trauma, infeksi, penyakit tulang metabolik,
penyakit tulang degeneratif dan vaskular.
Kontra-indikasi :
Kehamilan- Menyusui.
Algoritma diagnostik :
- Penyakit tulang bawaan,radiografi berkualitas tinggi, MRI
- Penyakit metastasis - pemindaian tulang menggunakan bifosfonat berlabel
99mTc untuk survei seluruh tubuh. MRI untuk informasi lokal lebih lanjut
- Trauma - x-ray atau CT konvensional. Pencitraan tulang berguna dalam kasus-
kasus sulit seperti fraktur skafoid atau fraktur stres di mana x-ray mungkin
normal
- Infeksi - 99mTc HMPAO berlabel sel darah putih, 99mTc berlabel Leukoscan
(antibodi anti-WBC) atau 18F-FDG PET / CT. Dengan hasil positif, MRI, CT
atau US dengan aspirasi abses untuk mikrobiologi mungkin diperlukan
- Penyakit tulang metabolik - CT atau MRI, memesan pencitraan tulang untuk
kasus-kasus sulit
- Penyakit degeneratif - rontgen konvensional, tetapi pemindaian tulang (SPECT
atau SPECT / CT) tulang belakang mungkin sangat membantu dalam
menunjukkan area penyakit radang aktif
- Penyakit tulang vaskular - pencitraan tulang mungkin membantu, tetapi MRI
lebih baik
22
Gambar 21. Hasil pemeriksaan bone scanning
23
Radiofarmaka yang digunakan pada umumnya merupakan analog dari kalsium atau fosfor
- Golongan analog kalsium adalah Stronium(Sr)
- Sr-85, tidak banyak digunakan karena sifat fisikanya kurang menguntungkan ,dengan
waktu paruh 65 hari, energi gamma 513 Kev
- Sr-87, mempunyai waktu paruh 2,9 jam, energi gamma 388 Kev
Yang sekarang digunakan adalah analog dari fosfor dalam bentuk sediaan radiofarmaka dengan
perunut Tc-99M
- EHDP (Ethyline Hydroxil Diphosponate)
- MDP (Methyline Diphosponate)
- HMDP (Hydroxil Methyline Diphosponate)
Prosedur Pemeriksaan
1) Persiapan pasien hampir dikatakan tidak ada hanya pasien dianjurkan banyak minum
setelah pemberian radiofarmaka sambil menunggu pemeriksaan
2) Persiapan radiofarmaka, disiapkan radiofarmaka Tc-99M MDP didalam spuit dengan
aktivitas 10- 15 mCi
Pada umumnya kita hanya melakukan fase total body kecuali pada kasus tertentu seperti
osteosarcoma, biasanya dilakukan dengan 3 fase pemeriksaan. Pada fase total body
pemeriksaan dilakukan 2-3 jam setelah pemberian radiofarmaka. Sebelum pemeriksaan
dilakukan pasien dianjurkan untuk buang air kecil. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan
overlapping di daerah pelvis. Posisi pasien supine lantas tentukan tinggi pasien dalam program
pemasok data. Data gambar akan diambil oleh kamera selama berjalan mulai dari kepala
sampai kaki.
24
1) Fase Perfusi; penderita supine , detector ditempatkan sedemikian rupa sehingga
bagian tubuh yang sakit berada dibawah lapang pandang detector. Kemudian
radiofarmaka disuntikkan secara bolus melalui vena mediana cubiti. Bersama dengan
itu akusisi data secara dinamik dimulai
2) Setelah itu dilakukan blood pool secara static untuk melihat akumulasi dari
radiofarmaka yang disuntikkan
3) Setelah fase ke-2 selesai pasien disuruh menunggu 2-3 jam untuk melakukan
pemeriksaan total body
25
pencitraan metabolik. Data yang diperoleh dari penelitian ini dapat digunakan untuk diagnosis,
prognosis, pemantauan pengobatan, dan penilaian kelayakan penyakit jantung, khususnya pada
penyakit arteri koroner.
A. First Pass Angiocardiography
First pass radionuclide angiocardiography (FPRNA) adalah metode yang cepat, andal
dan dapat direproduksi untuk menilai fungsi jantung berdasarkan beberapa detak
jantung yang dipantau. Ini melibatkan pencitraan bolus radionuklida yang disuntikkan
secara intravena selama transit awal melalui sirkulasi pusat. Kurva waktu-aktivitas
dihasilkan, dan pemisahan temporal dari fase ventrikel kanan dan kiri memungkinkan
evaluasi fungsi ventrikel individu. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pencampuran
yang teliti dari pelacak telah terjadi dalam kumpulan darah dan bahwa jumlah hitungan
yang terdeteksi mencerminkan perubahan volume ventrikel selama kontraksi dan
relaksasi. Fungsi ventrikel kiri dan kanan dinilai saat istirahat, atau selama stres dengan
lintasan pertama. pencitraan, memberikan evaluasi komprehensif terhadap perubahan
durasi pendek yang dapat memengaruhi ventrikel. Ini termasuk evaluasi gerakan
dinding global dan regional, estimasi fraksi ejeksi dan parameter sistolik dan diastolik
lainnya. Informasi tersebut telah terbukti signifikan dalam diagnosis, prognosis,
pengambilan keputusan, dan pengelolaan masalah klinis tertentu seperti penyakit arteri
koroner dan penyakit paru obstruktif kronis, serta penyakit jantung bawaan dan katup.
26
gambar jantung yang berdetak, disajikan sebagai satu siklus jantung. Ini dapat
digunakan untuk menilai gerakan dinding global dan regional, ukuran ruang dan
morfologi, dan fungsi ventrikel termasuk fraksi ejeksi. Akuisisi dilakukan saat
istirahat atau selama berolahraga, atau di bawah farmakologis, mekanik isometrik,
pressor dingin atau tekanan mental. Prosedur ini juga dikenal sebagai pencitraan pool
darah jantung yang terjaga keamanannya, akuisisi multigated (MUGA) atau radionu-
clide ventriculography (RVG). Studi ERNA lebih unggul dalam menghitung statistik
untuk studi FPRNA, tetapi dipengaruhi oleh aritmia.
27
Indikasi :
- Deteksi iskemia miokard dan risiko infark iokard
- Risiko stratifikasi dan prognostikasi
- Penilaian kelayakan miokard
- Penilaian fungsi ventrikel
201 99 99
Sidik perfusi dengan TI atau radiofarmaka lain seperti Tc-tetrofosmin, dan Tc-
teboroksim digunakan untuk menilai perfusi dan viabilitas miokard penderita penyakit jantung
131
coroner. Selain itu, I-MIBG juga digunakan untuk pencitraan reseptor adrenergik jantung.
Untuk menilai viabilitas miokard, pencitraan PET dengan 18F-FDG merupakan gold standard.
Di masa datang PET akan merupakan Teknik yang andal untuk menentukan apakah arteriografi
memang dibutuhkan dan apakah suatu lesi memerlukan revaskularisasi.
28
Gambar 23. Individu dengan massa yang telpapasi pada pipi kanan. A. Menunjukan
kelenjar ludah setelah injeksi Tc-99m-O4. B. Kelenjar ludah setelah distimulasi oleh
jus lemon, menunjukan retensi pada kelenjar ludah, suatu tumor Wharton yang
menghambat drainase ludah.
b) Refluks Gastroesofageal
Keluhan klinis nyeri dada dan heartburn sering menimbulkan pertanyaan klinis apakah
pasien tersebut mengalami penyakit refluks esofageal. Pada pasien anak-anak, penyakit refluks
gastroesofageal dapat menimbulkan gagalnya bertumbuh (failure to thrive) dan pneumonia
rekurens. Penyakit refluks gastroesofageal dapat dievaluasi menggunakan GER scintigrafi,
dengan menggunakan selang nasoesofageal, namun pemeriksaan ini merupakan tindakan
invasif dan menimbulkan ketidaknyamanan sehingga sulit diaplikasikan, terutama untuk
pasien anak-anak.
Pemeriksaan GER scintigrafi menggunakan jus jeruk yang diasamkan dan dicampukan
dengan Tc-99m-sulfur colloid. Asam menurunkan sfingter bawah esofageal dan menunda
pengosongan lambung. Penilaian scintigrafi dilakukan 1 – 3 jam. Pemeriksaan ini mempunyai
sensitivitas 90% untuk mendeteksi GER.
29
c) Pengosongan Lambung
Proses pengosongan lambung merupakan proses fisiologis yang kompekls. Faktor yang
berpengaruh antara lain adalah jenis makanan, pH, jumlah lemak dan osmolalitas makanan.
Pengosongan lambung yang lebih lama dapat disebabkan oleh beberapa penyakit, antara lain
adalah diabetes mellitus, gangguan elektrolit, sindrom postvagotomi dan beberapa obat-obatan.
Scintigrafi pengosongan lambung merupakan baku emas dalam evaluasi motalitas lambung.
Makanan padat dan cairan yang dikonsumsi dilabel dengan radiotracer dan dikonsumsi oleh
pasien. Kemudian, gambar dari gaster diambil dan dianalisis bedasarkan waktu untuk
mengetahui kecepatan pengosongan.
Waktu paruh normal dalam pengosongan lambung (T1/2) untuk makanan padat yang
dilabel radioaktif adalah 90 menit dan kurang dari 60 menit untuk cairan. Setiap laboratorium
mempunyai referensi waktu T1/2 masing-masing. Protokol standar untuk menghitung
pengosongan lambung adalah setelah 2 dan 4 jam setelah konsumsi makanan dengan telur putih
dengan 1-mCi Tc-99m-sulfur colloid. Kecepatan kurang dari 40% pada 2 jam dan 90% pada 4
jam dapat disebut sebagai gastroparesis.
Gambar 25. Gambar menunjukan scintigrafi anterior dan posterior pada pengosongan
lambung pada jam ke 0, 2 dan 4 yang normal. Pengosongan lambung normal pada jam ke-2
adalah 40% dan setelah jam ke-4 adalah 90%.
30
Gambar 26. Gastroparesis, menunjukan pengosongan lambung pada jam ke-2 hanya 18% dan
jam ke-4 hanya 72%.
e) Perdarahan Gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal pada dasarnya tidak membutuhkan scintigrafi dalam
evaluasi. Penggunaan scintigrafi dapat digunakan untuk mengevaluasi perdarahan
gastrointestinal jika lokasi perdarahan sulit dinilai. Evaluasi menggunakan Tc-99m-tagged red
blood cell (sel darah merah). Pemeriksaan ini sangat sensitif dan dapat menilai perdarahan
dengan laju 0.1 mL/menit, dibandingkan angiografi yang dapat mendeteksi hanya 1mL/menit.
31
Pemeriksaan dilakukan secara terus menerus selama 1 menit pada abdomen dan pelvis pada
proyeksi anterior setelah perdarahan dimulai. Pemeriksaan ini biasa digunakan dalam keadaan
gawat darurat dimana secara klinis diduga terdapat perdarahan aktif. Lokalisasi hemoragik
yang akurat diperlukan untuk embolisasi pembulih darah. Peradahan aktif ditandai dengan
munculnya hot spot dari radiotracer yang muncul tiba-tiba, bertambah seiring berjalannya
waktu.
Gambar 27. Perdarahan akut pada gaster dengan hasil endoskopi negatif, menunjukan
perdarahan akut setelah injeksi 5 menit Tc-99m-tagged red blood cell.
f) Kolestititis Akut
Pencitraan nuklir pada kandung empedu dan sistem biliar dapat dengan mudah
dilakukan dengan asam iminodiasetat yang dilabel Tc-99m. Hanya terdapat dua asam
iminodiasetat yang dikembangkan dan dijual secara komersil, yaitu Tc-disofesin dan Tc-
mebrofenin. Kedua radiofarmaka ini diekskresi ke sistem biliar dan tetap bekerja walaupun
terdapat kenaikan serum bilirubin.
Pada kolesistitis akut, dapat menggunakan modalitas scanning hepatobilier. Prosedur
ini memerlukan puasa selama 2 jam. Pada proyeksi anterior, maka akan tervisualisasi uptake
homogen radiofarmaka. Aktivitas pada hepar berkurang seiring waktu ketika radiotracer secara
berkala diekskresi pada sistem biliar dan dikeluarkan ke usus halus. Aktivitas ini harus terlihat
di duktus ekstrahepatik, kandung empedu dan usus halus dalam 1 jam. Penyebab kolesistitis
akut terbanyak adalah batu kandung empedu atau batu yang mengobstruksi duktus sistikus.
Pada scintigrafi, kolesistitis akut mempunyai ciri khas yaitu tidak tervisualisasinya kandung
empedu pada jam ke-1 dan jam-4 setelah injeksi intravena radionuklida, atau 30 menit setelah
32
masuknya morfin. Pemeriksaan ini mempunyai spesifisitas 98% terhadap kolesistitis akut.
Penggunaan morfin (1-2 mg) dapat digunakan untuk meningkatkan tekanan pada sphinter
Oddi, yang membantu empedu yang telah terlabel kembali ke kandung empedu.
Gambar 28. Scanning hepatobilier normal. A. Gambar yang diambil setelah injeksi dan
gambar yang diambil setelah 5 menit (B-F) menunjukan aktivitas ekskresi dari hepar ke
kandung empedu dan duktus bilier. Aktivitas menunjukan akumulasi radiotracer di kandung
empedu (E) dan usus halus setelah 25 menit (F)
33
2.6.6 Brain Scan
Kerusakan sawar darah otak (blood brain barrier) yang dapat diakibatkan oleh trauma
(kontusi), daerah iskemi karena stroke dapat menyebabkan masuknya materi dari kapiler darah
ke jaringan ekstraseluler otak. Bila radioaktif disuntikkan ke dalam darah, radioaktif ini juga
akan berada di daerah ekstraseluler otak tersebut dengan konsentrasi yang tinggi dan
menimbulkan hot spot.
Kerusakan blood brain barrier juga dapat diakibatkan oleh abses, keganasan sebaliknya
hot spot pada citra otak dapat pula terjadi pada aneurisma dan malformasi arteriovenosis. Sejak
berkembangnya CT kepala, pemeriksaan scanning otak dengan isotop jarang dilakukan di
Indonesia.
Isotop dan dosis : Tc-99m-pertechnetate intravena dengan dosis 200 uCi per kg berat
badan, yang mengeluarkan radiasi gamma. Persiapan : Diperlukan blockade mukosa mulut dan
hidung. Cara pemeriksaan : 1 – 3 jam setelah disuntikkan Tc-99m-pertechnetate IV,
pengambilan citra dapat dilakukan dengan mempergunakan kamera gamma berenergi rendah,
kolimator parallel dan window 30%. Posisi pengambilan citra adalah dari depan, belakang,
samping kanan dan kiri serta vertex. Tiap citra terdiri atas 250.000 counts. Penilaian : citra
otak yang positif menunjukkan hot spot, meskipun tidak spesifik dapat menunjukkan letak,
jumlah, bentuk dan besar lesi.
Dasar pemeriksaan scan otak dengan 99m Tc DTPA adalah blood brain barrier,
sedangkan saat ini pencitraan otak/cerebral berasal dari perfusi atau metabolisme otak dengan
menggunakan farmaka yang lipofilik dan pesawat gamma kamera sistem SPECT pemeriksaan
ini adalah pencitraan fungsional yang lebih sensitif dibandingkan pencitraan struktural seperti
foto konvensional, tomografi computer dan MRI.
Radiofarmaka yang sering dipakai adalah 99mTc-HMPAO yang cukup representative
dibandingkan radiofarmaka lainnya karena in vivo stabil, distribusi cepat, tidak retensi lama,
relative tidak begitu mahal.
34
Gambar 30. Brain scan
2.6.7 Renogram
Banyak senyawa yang diekskresi dari badan oleh atau lewat ginjal. Dengan menandai
salah satu senyawa itu dengan isotop radioaktif dan mengikuti tingkah laku radioaktif tersebut
di daerah ginjal (dengan parameter waktu), memungkinkan untuk melakukan evaluasi
semikuantatif fungsi ginjal. Untuk kepentingan tersebut, orthoiodohippurate yang terutama
disekresi oleh sel-sel tubulus yang juga difiltrasi oleh glomerulus dapat menilai setiap tingkat
fungsi ginjal. Senyawa ini dapat ditandai dengan I131.
Indikasi : Sangat bemanfaat untuk menilai kelainan unilateral ginjal, misal hipertensi renal,
utuhnya pencangkokan arteri renalis, dll. Juga untuk mengevaluasi penderita abstruksi uropati,
nekrosis tubular, pielonefritis dan glomerulonefritis untuk penderita-penderita yang sensitive
terhadap media kontras dalam radiologi, pemeriksaan ini sering dilakukan.
35
Fase sekresi menunjukkan fungsi absorpsi – sekresi tubulus contortus proksimal dan
glomerulus atau parenkim ginjal bagian korteks, waktu sekitar 3-5 menit. Fase eksresi menilai
fungsi ekskresi radiofarmaka ke dalam system pelvio-calyces, waktu klearens atau waktu paruh
ekskresi akan dicapai sekitar 7-15 menit dimana aktivitas kurva mencapai setengah dari puncak
maksimum kurva renogram.
Adanya waktu ekskresi memanjang menggambarkan ada obstruksi traktus urinarius
mekanik atau obstruksi non mekanik/dilatasi seperti akibat posisi atau akibat kerusakan kronis
parenkim ginjal, untuk membedakan antara obstruksi mekanik dan obstruksi non mekanik
dapat memperhatikan kurva fase ekskresi setelah pemberian suntikan iv. Furosemide, bila
terjadi penurunan kurva fase ekskresi tercapai setengah dari saat suntik dalam waktu kurang
dari 10 menit, berarti suatu obstruksi non mekanik, bila lebih dari 20 menit, keadaan ini adalah
suatu obstruksi mekanik, sedangkan antara 10-20 menit merupakan suatu obstruksi parsial.
Dengan menilai efek pemberian captopril 25-50 mg per oral 1 jam sebelum dilakukan
pemeriksaan fungsi GFR atau ERPF dapat menentukan adanya gangguan reno-vaskuler yang
biasanya menyebabkan hipertensi renal.
Radiofarmaka yang dipakai untuk pemeriksaan fungsi GFR adalah 99mTc-DTPA
sedangkan pemeriksaan fungsi ERPF dipakai 131-I-Hippuran atau 99mTc0MAG3 dan 99mTc-
EC.
36
ditujukan setepat mungkin pada jaringan tumor.
Tumor ganas dikenai radiasi yang sangat kuat secara berulang-ulang selama jangka
waktu beberapa minggu. Radioterapi diberikan setiap hari dari berbagai arah secara tepat pada
kanker. Dengan demikian kanker akan menerima radiasi dosis tinggi sementara jaringan
normal dan sehat di sekitar lokasi kanker hanya akan menerima dosis yang lebih rendah dengan
tingkat kerusakan yang dapat ditoleransi tubuh dan berangsur pulih.
Perkembangan teknik elektronika dan peralatan komputer canggih dalam dua dekade ini
telah membawa perkembangan pesat dalam teknologi radioterapi. Dengan menggunakan
pesawat LINAC (linear accelerator) generasi terakhir telah dimungkinkan untuk melakukan
radioterapi kanker dengan keakuratan dan tingkat keselamatan yang tinggi melalui
kemampuannya yang sangat selektif untuk membatasi hanya tumor yang akan dikenai radiasi
dengan dosis yang tepat pada target. Dengan memanfaatkan teknologi Three Dimensional
Conformal Radiotherapy (3D-CRT), sejak tahun 1985 telah berkembang metoda pembedahan
dengan menggunakan radiasi pengion sebagai pisau bedahnya (gamma knife). Dengan teknik
radiosurgery ini kasus tumor ganas yang sulit dijangkau dengan pisau bedah konvensional
dapat diatasi dengan baik tanpa perlu membuka kulit pasien dan yang terpenting tanpa merusak
jaringan normal di luar target.
Radioterapi dapat pula dilakukan dengan menggunakan sumber radiasi terbuka yang
diposisikan sedekat mungkin dengan kanker, dikenal sebagai tindakan brakiterapi. Sumber
37
radiasi terbuka yang umum digunakan antara lain Iodium-125 (I-125), Radium-226 (Ra-226),
Stronsium-89 (Sr-89), Samarium-153 (Sm-153), dan Itrium-99 (Y-99). Sumber radiasi tersebut
dikemas dalam bentuk jarum, biji sebesar beras, atau kawat dan dapat diletakkan dalam rongga
tubuh (intracavitary) seperti kanker serviks, kanker paru, dan kanker esopagus, dalam
organ/jaringan (interstisial) seperti kanker prostat, kanker kepala dan leher, kanker payudara,
atau dalam lumen (intraluminal).
Gambar 33. Pesawat Teleterapi dengan posisi sumber Co-60 yang dapat diatur posisinya
38
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) mengatur secara ketat penggunaan bahan
radioaktif untuk pengobatan nuklir untuk memastikan keselamatan pasien.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Z., dkk. 2009. Buku Pintar Nuklir. Adan Tenaga Nuklir Nasional BATAN.
Jakarta.
2. World Health Organization. 1972. The Medical Uses of Ionizing Radiation and Radio-
Isotop, WHO Technical Series. No.492.
3. Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Balai Penerbit FK UI.
Jakarta. 537 - 546.
4. Brant WE, Helms CA. Fundamentals of Diagnostic Radiology. Lippincott Williams &
Wilkins; 2007. 1618 p.
5. Masjhur, Johan S. 2000. Aplikasi Teknik Nuklir Dalam Bidang Keseatan Masa Kini.
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia. Jakarta.
6. International Atomic Energy Agency Vienna. 2006. Nuclear Medicine Resources
Manual. https://www-pub.iaea.org/MTCD/Publications/PDF/Pub1198_web.pdf
(diakses pada tanggal 21 agustus 2019 pukul 22:15 WIB)
7. Badawi D Ramsey. 2001. Nuclear Medicine.
https://www.researchgate.net/publication/231109484_Nuclear_medicine (diakses
pada tanggal 21 agustus 2019 oukul 21:50 WIB)
8. General Nuclear Medicine. 2018.
https://www.radiologyinfo.org/en/pdf/gennuclear.pdf (diakses pada tanggal 21 agustus
2019 pukul 21:55 WIB)
9. Yvette Brazier. 2017. What is Nuclear Medicine.
https://www.medicalnewstoday.com/articles/248735.php (diakses pada tanggal 22
agustus 2019 pukul 11:53 WIB)
10. Bailey D.L. 2014. Nuclear Medicine Physics : a handbook for teachers and students.
https://www-pub.iaea.org/MTCD/Publications/PDF/Pub1617web-1294055.pdf
(diakses pada tanggal 22 agustus 2019 pukul 12:18 WIB)
11. John W frank. 2009. Nuclear Medicine for medical students and junior doctors.
http://unm.lf1.cuni.cz/vyuka/nuclear_medicine_jwfrank.pdf (diakses pada tanggal 22
agustus 2019 pukul 12:51 WIB)
12. Nurlaila. Penggunaan Teknik Nuklir Dalam Bidang Kedokteran Nuklir Dan Sterilisasi
Serta Risikonya Bagi Kesehatan. http://digilib.batan.go.id/e-jurnal/Artikel/Buletin-
Batan/ThXXIINo1Des-001/Nurlaila_Z.pdf (diakses pada tanggal 23 agustus 2019
pukul 22:22 WIB)
40
13. Anonymus, 2006, Radioactive Iodine (I-131) Therapy, North America: RadiologiInfo.
Radiological Society of North America, Inc
14. Setiawan, Duyeh, 2010, Radiokomia Teori Dasar dan Aplikasi Teknik Nuklir,
Bandung: Widya Padjadjaran
41