Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

KEJANG DEMAM

Disusun oleh:

1102015

Pembimbing:
dr.

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD
PERIODE 02 SEPTEMBER 2019 – 09 NOVEMBER 2019
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... 0
DAFTAR ISI.................................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kejang Demam ............................................................................................
2.2 Epidemiologi Kejang Demam....................................................................................
2.3 Etiologi Kejang Demam ............................................................................................
2.4 Klasifikasi Kejang Demam ........................................................................................
2.5 Patofisiologi Kejang Demam .....................................................................................
2.6 Manifestasi Klinis Kejang Demam ............................................................................
2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding Kejang Demam ...................................................
2.8 Tatalaksana Kejang Demam ......................................................................................
2.9 Komplikasi Kejang Demam .......................................................................................
2.10 Prognosis Kejang Demam........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejang demam adalah
1.2 Tujuan
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang kedokteran nuklir yang
merupakan cabang baru ilmu kedokteran yang kini semakin diminati dan berkembang.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kedokteran Nuklir


Kedokteran nuklir adalah tehnik yang digunakan untuk mendiagnosis berbagai kondisi.
Pasien akan menghirup, menelan, atau disuntikkan radiofarmasi yang merupakan bahan
radioaktif. Setelah mengambil zat tersebut, pasien biasanya akan berbaring di atas meja,
sementara kamera mengambil gambar. Kamera akan fokus pada area di mana bahan radioaktif
terkonsentrasi, dan ini akan menunjukkan kepada dokter masalah yang ada, dan di mana
letaknya. Jenis teknik pencitraan termasuk positon emission tomography (PET) dan single-
photon emission computed tomography (SPECT). Pemindaian PET dan SPECT dapat
memberikan informasi terperinci tentang bagaimana organ tubuh berfungsi. Jenis pencitraan
ini sangat membantu untuk mendiagnosis penyakit tiroid, penyakit kandung empedu, kondisi
jantung, dan kanker. Ini juga dapat membantu mendiagnosis penyakit Alzheimer dan jenis
demensia dan kondisi otak lainnya. Pada zaman dahulu, mendiagnosis masalah internal sering
membutuhkan pembedahan, tetapi dengan adanya kedokteran nuklir membuat hal tersebut
tidak perlu dilakukan.
Menurut BATAN kedokteran nuklir adalah cabang dari ilmu kedokteran yang
memanfaatkan radiofarmaka (senyawa kompleks dari radioisotop sumber terbuka berumur
paro relatif pendek dengan suatu sediaan farmasi yang spesifik untuk organ tertentu) dan
peralatan deteksi nuklir (deteksi sinar gamma atau betha) yang dilengkapi perangkat lunak
khusus untuk mengetahui fungsi dan atau anatomi organ tertentu dalam rangka diagnostik suatu
kelainan/penyakit dan atau terapi penyakit.
Kedokteran nuklir dasarnya adalah prinsip perunut untuk mempelajari perubahan
fisiologi dan biokimia pada tingkat seluler bahkan molekuler dan dengan demikian ilmu
kedokteran nuklir banyak bersinggungan dengan ilmu kedokteran molekuler.

2.2 Sejarah Kedokteran Nuklir


Penggunaan isotop radioaktif dalam bidang kedokteran telah dimulai tahun 1901 oleh
Henri Danlos yang menggunakan Radium untuk pengobatan penyakit Tuberculosis pada kulit.
Tetapi yang dianggap Bapak Ilmu Kedokteran Nuklir adalah George C de Havessy. Dialah
yang meletakkan dasar prinsip perunut dengan menggunakan zat radioaktif. Waktu itu yang
digunakan adalah radioisotop alam Pb212. Dengan ditemukannya radioisotop buatan, maka
radioisotop alam tidak lagi digunakan.

3
Radioisotop buatan yang banyak dipakai pada masa awal perkembangan kedokteran
nuklir adalah I131. Pemakaiannya kini telah terdesak oleh Tc99m, selain karena sifatnya yang
ideal dari segi proteksi radiasi dan pembentukan citra juga dapat diperoleh dengan mudah, serta
harga relatif murah. Namun demikian, I131 masih sangat diperlukan untuk diagnostik dan
terapi, khususnya kanker kelenjar tiroid. Seperti kebanyakan penemuan, karya ilmuwan di
masa lalu sedikit banyak telah membuka jalan untuk masa kini.

Gambar 1. Fisikawan Perancis menemukan radioaktivitas pada tahun 1896.

Lebih dari seratus tahun yang lalu, pada awal 1896, seorang Fisikawan Perancis, Henri
Becquerel, menemukan bahwa sinar misterius yang dinamakan sinar-x, dihasilkan oleh
uranium. Penemuannya ini tidak terlepas dari penemuan pendahulunya, seorang ilmuwan
Jerman, Wilhelm Conrad Roentgen, yang juga menemukan sinar-x hanya beberapa bulan
sebelumnya, yaitu pada bulan November tahun 1895.

Gambar 2. Fisikawan Jerman yang menemukan sinar- x pada tahun 1895

Setelah Rontgen menemukan sinar-x di akhir 1895, banyak ilmuwan lainnya yang kemudian
mulai menyelidiki kemungkinan bahwa sinar misterius ini dapat dipergunakan untuk
membunuh kuman-kuman. Segera diketahui, sinar ini mampu membunuh bakteri tuberculosis,
difteri dan bakteri lainnya. Beberapa tipe kanker juga dapat dihancurkan oleh sinar yang kuat
ini. Sayangnya, kelangkaan dan harga radium yang tinggi menghambat penelitian lebih lanjut
mengenai topik ini.

4
Gambar 3. Fisikawan Perancis, bersama dengan isterinya Marie Sklodowska Curie, berhasil
mengisolasi polonium dan radium pada tahun 1898.

Gambar 4. Pierre Curie seorang Profesor Fisika di Sorbonne. Ia berteman baik dengan

Becquerel, yang merupakan kepala Departemen Fisika di Ecole Polytechnique di Paris.


Pada tahun 1897, isterinya, Marie (Marja Sklodowska) menjadi asisten Becquerel dan
mengambil studi sinar-x dari uranium untuk thesis doktoralnya. Marie menemukan bahwa
beberapa bagian dari uranium lebih radioaktif dari uranium itu sendiri. Tahun 1898 Pierre pun
mengabaikan penelitiannya sendiri dan bergabung dengan isterinya. Bersama-sama mereka
berusaha menemukan sumber dari sinar yang dipancarkan oleh uranium. Marie Currie
menyebut sinar misterius ini sebagai “ radioactive”.
Pada bulan Juli, kedua Curie kemudian mengumumkan bahwa mereka berhasil
mengisolasi unsur radioaktif dari uranium yang di namakan polonium (Po-210) untuk
menghormati tempat kelahiran Marie, Polandia. Lalu pada Desember 1898, pasangan ini
menemukan unsur radioaktif lainnya dari uranium – yakni unsur yang bersinar, memancarkan
panas dan jauh lebih radioaktif dari uranium yang kemudian dinamakan radium (Ra-226). Pada
tahun 1903, Marie dan Pierre, bersama-sama Becquerel, mendapatkan Nobel di bidang Fisika
untuk penelitiannya tersebut.

5
Gambar 5. Seorang ahli kimia Hongaria-Denmark yang memenangkan Nobel bidang kimia
pada tahun 1943 karena karyanya berhasil menemukan manfaat isotop radioaktif sebagai
tracer dalam skala lab.

Gambar 6. Fisikawan Amerika pemenang Nobel Fisika tahun 1939 untuk penemuan
siklotron.

Pada tahun 1929, Ernest O. Lawrence, bekerja di Universitas California di Berkeley. Ia berhasil
menemukan siklotron yang dapat membuat sejumlah radioisotop yang berguna untuk
keperluan biologis maupun medis.

Gambar 7. Glenn T. Seaborg dan John J. Livingood masuk ke Universitas Calofornia di


Berkeley. Pada tahun 1937 bersama dengan Fred Fairbrother, mereka berhasil memproduksi
besi-59 (Fe-59) dengan menggunakan siklotron. Besi-59 sangat berguna dalam studi
hemegoblin pada darah manusia. Pada tahun 1938, Livingood dan Seaborg juga berhasil
menemukan iodium-131 (I-131). Iodium-131 merupakan zat radioaktif yang dapat
dimanfaatkan untuk pengobatan penyakit tiroid.

6
Dr. Glenn Seaborg dianggap sebagai salah seorang pendiri kedokteran nuklir. Sampai akhir
hayatnya, ia berhasil menemukan banyak radioisotop yang hingga kini masih dipergunakan
untuk diagnosis maupun pengobatan penyakit. Dr. Seaborg meninggal dunia pada tahun 1999.

Gambar 8. Fisikawan Italia penemu antiproton, yang karena penemuannya ini berhasil
memenangkan Nobel Fisika pada tahun 1959.

Bersama-sama dengan Seaborg, mereka berhasil menemukan technetium-99m (Tc-99), yang


hingga kini adalah radioisotop yang paling banyak digunakan dalam kedokteran nuklir.

Gambar 9. Bapak Kedokteran Nuklir dan presiden pertama dari Society Nuclear Medicine.

Dr. Marshall Brucer, adalah seorang “founding father”dari kedokteran nuklir, ia juga memiliki
pengaruh yang sangat besar pada kemajuan dunia kedokteran nuklir. Ia juga presiden pertama
dari Society of Nuclear Medicine, suatu organisasi kedokteran nuklir terbesar di dunia.

7
Gambar 10. Penemu kamera pemindai sintilasi pada tahun 1958.

Pada akhir 1950an, seorang penemu berkebangsaan Amerika, Hal Anger berhasil merevolusi
dunia kedokteran nuklir dengan memodifikasi kamera gamma pada masa itu. Selain itu, ia juga
berhasil mengembangkan well counter yang dapat dipergunakan pada uji skala laboratorium
dengan menggunakan sejumlah kecil bahan radioaktif.

Banyak sejarawan menganggap penemuan radioisotop buatan yang dihasilkan oleh


Frédéric Joliot-Curie dan Irène Joliot-Curie pada tahun 1934 sebagai tonggak paling signifikan
dalam Kedokteran Nuklir. Meskipun, penggunaan awal dari I-131 dikhususkan untuk terapi
kanker tiroid, penggunaannya kemudian diperluas untuk mencakup pencitraan kelenjar tiroid,
kuantifikasi fungsi tiroid, dan terapi untuk hipertiroidisme. Meluasnya penggunaan klinis
Kedokteran Nuklir dimulai pada awal 1950-an, sebagai pengetahuan diperluas tentang
radionuklida, deteksi radioaktivitas, dan menggunakan radionuklida tertentu untuk melacak
proses-proses biokimia.

Karya perintis oleh Benediktus Cassen dalam mengembangkan pemindai bujursangkar


pertama dan Kemarahan Hal O. 's kamera kilau (kamera Kemarahan) memperluas disiplin
muda Kedokteran Nuklir ke spesialisasi pencitraan medis penuh. Dalam tahun-tahun
Kedokteran Nuklir, pertumbuhan adalah fenomenal. Masyarakat Kedokteran Nuklir dibentuk
pada tahun 1954 di Spokane, Washington, Amerika Serikat. Pada tahun 1960, Masyarakat
mulai penerbitan Jurnal Kedokteran Nuklir, jurnal ilmiah terkemuka untuk disiplin di Amerika.
Ada sebuah kebingungan penelitian dan pengembangan baru dan radiofarmasi radionuklida
untuk digunakan dengan perangkat pencitraan dan untuk in-vitro studies.

Di antara banyak radionuklida yang ditemukan untuk medis digunakan, tidak ada yang
sama pentingnya dengan penemuan dan pengembangan Technetium-99m. Ini pertama kali
ditemukan pada tahun 1937 oleh C. Perrier dan E. Segre sebagai unsur buatan untuk mengisi
ruang nomor 43 dalam Tabel Periodik. Pengembangan sistem generator untuk menghasilkan
Technetium-99m pada tahun 1960 menjadi metode praktis untuk penggunaan medis.
Technetium-99m adalah unsur yang paling dimanfaatkan dalam Kedokteran Nuklir dan
digunakan dalam berbagai studi pencitraan Kedokteran Nuklir.

Pada tahun 1970-an sebagian besar organ tubuh dapat divisualisasikan menggunakan
prosedur Kedokteran Nuklir. Pada tahun 1971, American Medical Association resmi diakui

8
kedokteran nuklir sebagai spesialisasi medis. Pada tahun 1972, American Board of Kedokteran
Nuklir didirikan, memperkuat Kedokteran Nuklir sebagai spesialisasi medis. Pada 1980-an,
radiofarmasi dirancang untuk digunakan dalam diagnosis penyakit jantung. Perkembangan
tomografi emisi foton tunggal, sekitar waktu yang sama, menyebabkan rekonstruksi tiga
dimensi dari jantung dan pembentukan bidang Kardiologi Nuklir. Perkembangan lebih baru
dalam Kedokteran Nuklir meliputi penemuan positron emisi tomografi pertama pemindai
(PET). Konsep tomografi emisi dan transmisi, kemudian berkembang menjadi emisi photon
tunggal computed tomography (SPECT), diperkenalkan oleh David E. Kuhl dan Roy Edwards
di akhir 1950-an.

2.3 Dasar – dasar Kedokteran Nuklir


Pemeriksaan sinar-X biasa membuat gambar dengan melewatkan sinar-X melalui
tubuh. Kedokteran nuklir menggunakan bahan radioaktif yang disebut radiofarmasi atau
radiotracer. Bahan ini disuntikkan ke dalam aliran darah, ditelan atau dihirup sebagai gas.
Bahan tersebut menumpuk di area tubuh Anda yang sedang diperiksa, di mana ia mengeluarkan
sejumlah kecil energi dalam bentuk sinar gamma. Kamera khusus mendeteksi energi ini dan,
dengan bantuan komputer, membuat gambar yang menawarkan detail tentang struktur dan
fungsi organ dan jaringan. Tidak seperti teknik pencitraan lain, kedokteran nuklir fokus pada
proses di dalam tubuh :
1. Seperti tingkat metabolisme atau tingkat berbagai aktivitas kimia lainnya. Area dengan
intensitas lebih besar, yang disebut "hot spot," menunjukkan di mana sejumlah besar
radiotracer telah menumpuk dan di mana terdapat aktivitas kimia atau metabolisme
tingkat tinggi. Area yang kurang intens, atau "titik dingin," menunjukkan konsentrasi
radiotracer yang lebih kecil dan aktivitas yang lebih sedikit.
2. Dalam terapi radioaktif yodium (I-131) untuk penyakit tiroid, radioaktif yodium (I-131)
ditelan, diserap ke dalam aliran darah dalam saluran gastrointestinal (GI) dan diserap
dari darah oleh kelenjar tiroid di mana ia menghancurkan sel-sel di dalam organ itu.
3. Radioimmunotherapy (RIT) adalah kombinasi dari terapi radiasi dan imunoterapi.
Dalam imunoterapi, molekul yang diproduksi laboratorium yang disebut antibodi
monoklonal direkayasa untuk mengenali dan mengikat permukaan sel kanker. Antibodi
monoklonal meniru antibodi yang diproduksi secara alami oleh sistem kekebalan tubuh
yang menyerang zat asing, seperti bakteri dan virus. Dalam RIT, antibodi monoklonal
dipasangkan dengan bahan radioaktif. Ketika disuntikkan ke dalam aliran darah pasien,

9
antibodi tersebut bergerak ke dan mengikat sel-sel kanker, yang memungkinkan radiasi
dosis tinggi dikirim langsung ke tumor.
4. Dalam terapi I-131MIBG untuk neuroblastoma, radiotracer diberikan melalui injeksi
ke dalam aliran darah. Radiotracer berikatan dengan sel kanker yang memungkinkan
radiasi dosis tinggi dikirimkan ke tumor

Kedokteran nuklir adalah studi dan pemanfaatan senyawa radioaktif dalam kedokteran
untuk menggambarkan dan mengobati penyakit manusia, itu bergantung pada 'prinsip
pelacak' pertama kali didukung oleh Georg karl von hevesy pada awal 1920-an. Prinsip
pelacak adalah studi tentang nasib senyawa dalam jumlah menit pelacak radioaktif yang
tidak menimbulkan respons farmakologis oleh tubuh terhadap pelacak. Saat ini, prinsip
yang sama digunakan untuk mempelajari banyak aspek fisiologi, seperti metabolisme
seluler, proliferasi dNa (asam deoksiribonukleat), aliran darah dalam organ, fungsi organ,
ekspresi reseptor, dan fisiologi abnormal, secara eksternal menggunakan perangkat
pencitraan sensitif. Jumlah yang lebih besar dari radionuklida juga diterapkan untuk
merawat pasien dengan terapi radionuklida, terutama pada penyakit yang disebarluaskan
seperti kanker metastasis lanjut, karena bentuk terapi ini memiliki kemampuan untuk
menargetkan sel-sel abnormal untuk mengobati penyakit di mana saja dalam tubuh.
Obat nuklir bergantung pada fungsinya. Untuk alasan ini, ini disebut sebagai 'pencitraan
fungsional' daripada hanya pencitraan sebagian tubuh diyakini memiliki beberapa kelainan,
seperti yang dilakukan dengan pencitraan sinar X dalam radiologi, scan kedokteran nuklir
sering menggambarkan distribusi seluruh tubuh dari senyawa radioaktif yang sering
diperoleh sebagai urutan gambar dari waktu ke waktu menunjukkan temporal saja
radiotracer dalam tubuh. Ada dua jenis utama radiasi yang menarik untuk pencitraan dalam
kedokteran nuklir: γ emisi sinar dari nuklei tereksitasi, dan pemusnahan (atau kebetulan)
radiasi (γ ±) timbul setelah emisi positron dari inti kaya proton. Foton gamma dideteksi
dengan kamera gamma sebagai gambar planar (2-d) atau secara tomografi dalam 3-d
menggunakan tomografi terkomputasi emisi foton tunggal. Foton pemusnahan dari emisi
positron terdeteksi menggunakan kamera positron emission tomography (PeT).
Perkembangan utama terbaru dalam bidang ini adalah kombinasi kamera gamma atau
kamera PeT dengan perangkat pencitraan struktural beresolusi tinggi, baik pemindai
tomografi komputer (cT) sinar X atau, yang semakin meningkat, pemindaian magnetic
resonance imaging (Mri), dalam satu perangkat gambar tunggal . Gabungan pemindai PeT

10
/ cT (atau PeT / Mri) merupakan salah satu cara paling canggih dan kuat untuk
memvisualisasikan fisiologi normal dan yang berubah dalam tubuh.
Pada kedokteran nuklir, radioisotop dapat dimasukkan ke dalam tubuh pasien (in vivo)
maupun hanya direaksikan saja dengan bahan biologis antara lain darah, cairan lambung, urin
dan lainnya yang diambil dari tubuh pasien (in vitro).

In Vitro
Pada studi in vitro, dari tubuh pasien diambil sejumlah tertentu bahan biologis yang
kemudian direaksikan dengan suatu zat yang telah ditandai dengan radioisotop. Pemeriksaan
dilakukan dengan bantuan detektor sinar gamma yang dirangkai dengan suatu sistem
instrumentasi. Studi semacam ini biasanya dilakukan untuk mengetahui kandungan hormon-
hormon tertentu dalam darah pasien seperti insulin, tiroksin dan juga penanda tumor (CA 15-
3, CA-125, PSA dan lainnya).
In Vivo
Study In Vivo adalah prosedur diagnostik klinik dengan memberikan radiofarmaka di
dalam tubuh pasien baik melalui oral maupun injeksi untuk mempelajari morfologi dan fungsi
organ.

2.4 Instrumen
Dua alat imaging yang sangat bermanfaat dalam kedokteran nuklir adalah Positron
Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT).
Kedua peralatan ini memberikan informasi fungsi dan anatomi organ dan sangat cocok untuk
memantau proses dinamik seperti metabolisme sel atau aliran darah dalam jantung, paru, dan
juga otak. Keduanya menggunakan kamera gamma untuk mendeteksi sinar gamma yang
dipancarkan radioisotop tertentu yang ada dalam tubuh pasien.

11
Gambar 11. Kamera gamma

Pesawat gamma
Pada prinsipnya pesawat atau alat di Kedokteran Nuklir hanya merupakan detector, yaitu
menangkap radiasi yang dipancarkan oleh radioaktif didalam tubuh pasien dan kemudian
merubahnya menjadi data yang dapat dilihat berupa gambar, angka, grafik dan warna.
Di kedokteran Nuklir memerlukan suatu alat gamma kamera yang mempunyai jumlah detector
yang banyak. Gamma Kamera terdiri dari :
- Kollimator
- Detektor
- Photo Multiplier Tube (PMT)
- Catode Ray Tube (CRT)
- Pulse Height Analyzin (PHA)

12
Gambar 12. Skema dari PET

2.5 Radiofarmaka
Radiofarmaka merupakan senyawa radioaktif yang digunakan dalam bidang
kedokteran nuklir, baik untuk tujuan diagnosis maupun pengobatan. Berdasarkan cara
penggunaannya, radiofarmaka dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu secara in vivo dan in
vitro.
Beberapa persyaratan yang harus dipunyai oleh suatu radiofarmaka antara lain adalah :
1. Toksisitasnya rendah.
2. Pembuatan dan penggunaannya mudah.
3. Lebih spesifik untuk penyakit tertentu atau terakumulasi pada organ tertentu.
4. Tingkat bahay radiasi pada manusia rendah.
5. Untuk visualisasi eksternal (in vivo) sebaiknya merupakan sinar γ (gamma) murni
dengan energi 100-400 keV.
6. Harga relatif murah.

13
Radiofarmaka dapat diberikan secara in vivo dan in vitro. Penggunaan radiofarmaka secara
in vivo dilakukan dengan cara suntikkan, ditelan atau dihisap, dengan tujuan diagnosis atau
pengobatan suatu penyakit, sedangkan penggunaan radiofarmaka secara in vitro dilakukan
dengan cara mengambil cuplikan darah atau urin, yang dalam istilah klinis dikenal dengan
nama teknik radioimmunoassay (RIA) dan immunoradiometric assay (IRMA). Teknik tersebut
telah berkembang menjadi metode yang sangat luas pemakaiannya, karena cara ini sederhana,
cepat serta spesifik dan kadang-kadang merupakan satu-satunya cara untuk penentuan suatu
zat tertentu.
Radiofarmaka yang dimasukkan ke dalam tubuh pasien melalui mulut, suntikan, atau
dihirup lewat hidung, akan memberikan informasi berupa:
1. Citra organ atau bagian tubuh pasien yang diperoleh dengan bantuan alat kamera gamma
atau kamera positron (teknik imaging) memberikan informasi fungsional berdasarkan
pada perubahan biokimiawi-fisiologik yang menimbulkan pola emisi radiasi yang
mencerminkan fungsi organ atau bagian tubuh yang diperiksa. Dapat pula dengan teknik
non-imaging in vivo (renograf, tiroid uptake, heliprobe, dan lainya).
2. Kurva hubungan aktivitas dan waktu yang menunjukkan kinetika radioisotop dalam
organ atau bagian tubuh tertentu dan nilai yang menggambarkan akumulasi radioisotop
dalam organ atau bagian tubuh tertentu, di samping citra atau gambar yang diperoleh
dengan kamera gamma atau kamera positron
3. Radioaktivitas yang terdapat dalam sampel darah, urin, atau lainnya yang diambil dari
tubuh pasien, dicacah dengan instrumen yang dirangkaikan pada detektor radiasi (teknik
non-imaging in vitro).

Gambar 13. Radiofarmaka

Dosis radiasi yang diterima oleh pasien setelah pemberian radiofarmaka ditentukan oleh
sifat fisik radionuklida, metabolisme radiofarmaka dalam tubuh pasien, dan aktivitas yang
diberikan. Tingkat radioaktivitas yang terdapat dalam tubuh pasien sedikit demi sedikit akan

14
berkurang karena peluruhan fisik dan eliminasi biologik yang dialami oleh radiofarmaka.

Gambar 14. Biji I-125 yang diletakkan dalam kanker prostat pada tindakan brakiterapi

Radioisotop yang digunakan sebagai perunut di dalam tubuh mempunyai waktu paro
fisik maupun biologik yang singkat untuk menunjang diagnostik dan terapi, antara lain Iodium-
131 (I-131), Teknisium (Tc-99m), Talium-201 (Tl201), Galium-67 (Ga-67), Indium-111 (In-
111), Fluorin-18 (F-18), dan Iodium-125 ( I-125). Radioisotop tersebut dikemas dengan bahan
obat tertentu untuk mencapai organ target sesuai keinginan dan disebut dengan radiofarmaka.
Bahan obat non radioaktif atau yang disebut dengan kit ini antara lain MDP, DTPA, MAG3,
MIBI, Tetrofosmin, Infekton, ECD, IDA, mebrofenin, dan Sulfur koloid.

Gambar 15. Radiofarmaka untuk keperluan diagnostik

15
Bila untuk keperluan diagnostik, radioisotop yang diberikan dalam dosis yang sangat
kecil, maka dalam terapi radioisotop sengaja diberikan dalam dosis yang besar untuk
mematikan sel penyusun kanker. Tindakan terapi pada kedokteran nuklir antara lain terutama
digunakan terhadap kanker tiroid dan hipotiroid dengan NaI-131 (diminumkan), kanker hati
dengan Y-90 (disuntikan), anak sebar di tulang dengan P-32, Sr, dan Sm (disuntikan), dan
osteoarthritis dengan rhenium (disuntikan intra synovial).

Gambar 16. Radiofarmaka untuk keperluan terapi

2.6 Jenis – jenis Pemeriksaan Kedokteran Nuklir


Radiologi merupakan salah satu cabang ilmu medis yang menggunakan pencitraan dalam
menegakan diagnosis, dan merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang berkembang
dengan cepat. Penggunaan modalitas mesin dalam dunia kesehatan diawali oleh Wilhelm
Conrad Roentgen pada tahun 1985 dengan menemukan X-ray, hingga pada tahun 1937, John
Lawrence menggunakan radioisotop pertama kalinya dalam kedokteran nuklir dalam
mendiagnosis penyakit di Berkeley, Amerika Serikat.

16
Gambar 17. X-ray
Tindakan radiodiagnostik bertujuan untuk mendeteksi adanya kelainan/ kerusakan pada
organ dan kanker pada tubuh dengan menggunakan pesawat sinar-X energi rendah dengan hasil
dalam bentuk citra anatomi. Dosis radiasi yang digunakan dalam radiodiagnostik tidak
berbahaya bagi pasien pada interval waktu tertentu karena relatif setara dengan dosis radiasi
alam dan jauh lebih rendah dari dosis yang digunakan dalam radioterapi. Beberapa metode
radiodiagnostik yang menggunakan pada teknologi sinar-X adalah mammography untuk
mendeteksi keberadaan kanker payudara, fluoroskopi (X-ray “movie”) untuk mengamati citra
sinar-X dari tubuh pasien melalui monitor secara langsung dan dinamik dengan paparan sinar-
X secara kontinyu pada pasien, dan Computed Tomography (CT) Scan. Pencitraan dengan
pesawat CTscan memberikan gambaran tentang sifat morfologik berdasarkan perubahan atau
perbedaan transmisi radiasi melalui organ atau bagian tubuh yang diperiksa.

17
Gambar 18. CT scan

Gambar 19. Alat mammography

Dalam aplikasinya dikenal studi in vivo, yaitu prosedur diagnostic klinik yang dilakukan
dengan membereikan radiofarmaka ke dalam tubuh pasien untuk mempelajari morfologi dan
fungsi organ atau sistem tubuh. Dari study in vivo dapat diperoleh informasi yang bersifat
pencitraan atau gambaran baik static, dynamic, maupun tomogram. Pada dasarnya studi in vivo
mengevaluasi perubahan-perubahan fungsi dan biokimia yang terjadi tingkat sel atau molekul,
maka sering disebut studi (morfologi) fungsional.
1. Pemeriksaan Statik

18
Pemeriksaan dilakukan beberapa saat setelah pemberian radiofarmaka
Contoh :
- Pemeriksaan tiroid
- Pemeriksaan bone scan
- Pemeriksaan wholebody
2. Pemeriksaan Dinamik
Pemeriksaan dilakukan segera setelah pemberian radiofarmaka
Contoh :
Pemeriksaan Renogram
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan untuk mendapatkan gambaran fungsi atau metabolism
dari suatu organ yaitu dengan mendeteksi perubahan aktifitas pada organ tersebut sejak
radiofarmaka dimasukkan sampai waktu yang telah ditentukan.
3. Pemeriksaan Tomogram
Pemeriksaan yang dilakukan dengan pengambilan gambar dari beberapa sudut selama
kamera berputar mengelilingi tubuh pasien. Data terakhir yang didapat adalah hasil
rekonstruksi dari gambar-gambar yang diambil dari beberapa sudut tadi. Untuk
pemeriksaan tomogram ini dikenal dengan nama “ SPECT (Single Positron Emmision
Computer Tomogram).

2.6.1 Pemeriksaan tiroid


Untuk pemeriksaan thyroid di kedokteran Nuklir dapat dilakukan secara :
1. In Vitro
Untuk melihat fungsi dari kelenjar thyroid yaitu dengan menghitung kadar T3, T4, TSH dan
biasanya dikenal dengan nama RIA (Radio Immuno Assay)
Prosedur Pemeriksaan
a. Ambil darah pasien 5 cc
b. Pisahkan plasma dan sel darah merah 3.Ambil plasma dan campur dengan I-125
c. Kemudian ditambah dengan kit T3/T4, akan terjadi endapan 5.Cairannya dibuang ,
endapannya dihitung dengan mempergunakan alat “well Type Counter”. Dari nilai
penghitungan T3/T4 kita dapat menilai fungsi kelenjar thyroid apakah hypothyroid,
hyperthyroid atau normal

2. In Vivo

19
Dalam study in vivo dikenal dengan uptake dan scaning. Uptake diartikan kemampuan
thyroid mengambil radiofarmaka yang diberikan beberapa saat setelah pemberian. Scaning
adalah untuk melihat gambaran dan bentuk dari kelenjar thyroid.

Tujuan Pemeriksaan :
- Untuk mengetahui bentuk dan besar kelenjar thyroid
- Mendeteksi Thyroiditis atau hyperthyroid yang disebabkan oleh toxic goiter
- Mendeteksi nodul atau benjolan hypo atau hyper fungsi
- Untuk tujuan terapi digunakan dalam kalkulasi dosis

Radiofarmaka yang Digunakan


1) I¹³¹ dengan waktu paruh 8,1 hari. Memungkinkan dapat disimpan dan dengan energi
364 Kev mudah dideteksi dari luar. Disamping itu karena I¹³¹ juga memancarkan sinar
β maka dapat digunakan untuk terapi internal pada kasus hyperthyroid atau kanker
thyroid
2) Tc-99M, karena mempunyai bentuk molekul yang sama dengan yodium sehingga
dapat ditangkap oleh sel kelenjar , namun tidak diproses seperti I¹³¹. Dengan energi
gamma 146 Kev sangan efesien dideteksi oleh detector gamma kamera. Dan waktu
Paruh sekitar 6 jam maka beban radiasi terhadap pasien rendah
3) I¹²³ dengan waktu paruh 13,3 jam dan energi gamma 159 Kev sangat ideal untuk
pemeriksaan thyroid

20
Gambar 20. Hasil bacaan pemeriksaan tiroid

21
2.6.2 Scaning tulang (bone scanning)
Scaning tulang diartikan sebagai pemeriksaan tulang secara Kedokteran Nuklir yang
menggunakan radiofarmaka yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui intravena. Gambaran
yang diperoleh merupakan rekaman emisi radiasi pengion zat radioaktif atau radiofarmaka
yang dimasukkan kedalam tubuh pasien tadi. Radiofarmaka yang digunakan dipilih yang
mengandung substansi metabolic analog yang terdapat pada tulang sehingga akan terjadi
pertukaran tempat dengan substansi pada tulang melalui metabolisme pensuplyan zat makanan
dari darah ke tulang. Citra atau gambar scaning tulang ini lebih mencerminkan status fungsioal
dari kondisi patologi anatomi.
Alasan paling umum untuk menggambarkan kerangka adalah pada penyakit ganas,
mencari metastasis. Indikasi penting lainnya adalah trauma, infeksi, penyakit tulang metabolik,
penyakit tulang degeneratif dan vaskular.

Kontra-indikasi :
Kehamilan- Menyusui.

Algoritma diagnostik :
- Penyakit tulang bawaan,radiografi berkualitas tinggi, MRI
- Penyakit metastasis - pemindaian tulang menggunakan bifosfonat berlabel
99mTc untuk survei seluruh tubuh. MRI untuk informasi lokal lebih lanjut
- Trauma - x-ray atau CT konvensional. Pencitraan tulang berguna dalam kasus-
kasus sulit seperti fraktur skafoid atau fraktur stres di mana x-ray mungkin
normal
- Infeksi - 99mTc HMPAO berlabel sel darah putih, 99mTc berlabel Leukoscan
(antibodi anti-WBC) atau 18F-FDG PET / CT. Dengan hasil positif, MRI, CT
atau US dengan aspirasi abses untuk mikrobiologi mungkin diperlukan
- Penyakit tulang metabolik - CT atau MRI, memesan pencitraan tulang untuk
kasus-kasus sulit
- Penyakit degeneratif - rontgen konvensional, tetapi pemindaian tulang (SPECT
atau SPECT / CT) tulang belakang mungkin sangat membantu dalam
menunjukkan area penyakit radang aktif
- Penyakit tulang vaskular - pencitraan tulang mungkin membantu, tetapi MRI
lebih baik

22
Gambar 21. Hasil pemeriksaan bone scanning

Gambar 22. Hasil pemeriksaan bone scanning

23
Radiofarmaka yang digunakan pada umumnya merupakan analog dari kalsium atau fosfor
- Golongan analog kalsium adalah Stronium(Sr)
- Sr-85, tidak banyak digunakan karena sifat fisikanya kurang menguntungkan ,dengan
waktu paruh 65 hari, energi gamma 513 Kev
- Sr-87, mempunyai waktu paruh 2,9 jam, energi gamma 388 Kev

Yang sekarang digunakan adalah analog dari fosfor dalam bentuk sediaan radiofarmaka dengan
perunut Tc-99M
- EHDP (Ethyline Hydroxil Diphosponate)
- MDP (Methyline Diphosponate)
- HMDP (Hydroxil Methyline Diphosponate)

Prosedur Pemeriksaan
1) Persiapan pasien hampir dikatakan tidak ada hanya pasien dianjurkan banyak minum
setelah pemberian radiofarmaka sambil menunggu pemeriksaan
2) Persiapan radiofarmaka, disiapkan radiofarmaka Tc-99M MDP didalam spuit dengan
aktivitas 10- 15 mCi

Teknik Pemeriksaan ada 3 fase dalam pemeriksaan Bone Scan


1. Fase Perfusi, untuk melihat system perdarahan di daerah yang dicurigai
2. Blood Pool, untuk melihat gambaran akumulasi radiofarmaka pada menit-menit awal
3. Total Body, untuk melihat gambaran seluruh tulang

Pada umumnya kita hanya melakukan fase total body kecuali pada kasus tertentu seperti
osteosarcoma, biasanya dilakukan dengan 3 fase pemeriksaan. Pada fase total body
pemeriksaan dilakukan 2-3 jam setelah pemberian radiofarmaka. Sebelum pemeriksaan
dilakukan pasien dianjurkan untuk buang air kecil. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan
overlapping di daerah pelvis. Posisi pasien supine lantas tentukan tinggi pasien dalam program
pemasok data. Data gambar akan diambil oleh kamera selama berjalan mulai dari kepala
sampai kaki.

Sedangkan Pemeriksaan 3 Fase :

24
1) Fase Perfusi; penderita supine , detector ditempatkan sedemikian rupa sehingga
bagian tubuh yang sakit berada dibawah lapang pandang detector. Kemudian
radiofarmaka disuntikkan secara bolus melalui vena mediana cubiti. Bersama dengan
itu akusisi data secara dinamik dimulai
2) Setelah itu dilakukan blood pool secara static untuk melihat akumulasi dari
radiofarmaka yang disuntikkan
3) Setelah fase ke-2 selesai pasien disuruh menunggu 2-3 jam untuk melakukan
pemeriksaan total body

2.6.3 Bidang Onkologi


Secara teoritis dengan menggunakan radiofarmakayang spesifik dan alat deteksi yang
sesuai, hampir semura organ dan sistem tubuh manusia dapat dievaluasi dengan teknik
kedokteran nuklir. Dalam bidang onkologi beberapa radiofarmaka yang digunakan dalam
mendiagnosis keberadaan tumor dan kanker.
a) 99mTc : Telah dikembangkan untuk mendeteksi ekspresi pompa p-glikoprotein pada sel-
sel tumor tertentu, yang berkaitan dengan respons sel-sel ganas terhadap kemoterapi.
Tumor dengan ekspresi p-glikoprotein berlebihan biasanya resisten terhadao
99m
kemoterapi dan tidak mampu menangkap MIBI (pencitraan Tcsestamibi negative),
dan sebaliknya.
b) 18F-estradiol : menggunakan pencitraan PET dapat digunakan untuk mendeteksi
reseptor estrogen pada kanker payudara, sehingga mampu memprediksi keberhasilan
pengobatan dengan obat-obat penghambat reseptor estrogen, seperti tamoxifen.
c) 11C-N-metilspiperon : Reseptor dopamine pada tumor kelenjar pituitaria dapat
dideteksi dengan menggunakan pengikat reseptor dopamine 11C-N-metilspiperon, yang
selanjutnya akan menentukan pilihan cara pengobatan.
d) 111In-DTPA oktreotid : Jaringan yang mengandung reseptor somatostatin dapat
divisualisasikan, contohnya tumor neuroendokrin, limfoma maligna, dan payudara.

2.6.4 Studi Jantung


Kardiologi nuklir adalah superspecialty, di mana dokter nuklir dengan pelatihan kardiologi,
atau ahli jantung dengan pelatihan kedokteran nuklir, menggunakan teknologi pencitraan
nuklir untuk menyelidiki berbagai aspek fisiologis dan patologis dari sistem kardiovaskular.
Teknik utama yang digunakan dalam kardiologi nuklir dapat dikategorikan sebagai: first pass
angiocardiography, multi-gated imaging pool, pencitraan perfusi miokard, dan reseptor dan

25
pencitraan metabolik. Data yang diperoleh dari penelitian ini dapat digunakan untuk diagnosis,
prognosis, pemantauan pengobatan, dan penilaian kelayakan penyakit jantung, khususnya pada
penyakit arteri koroner.
A. First Pass Angiocardiography
First pass radionuclide angiocardiography (FPRNA) adalah metode yang cepat, andal
dan dapat direproduksi untuk menilai fungsi jantung berdasarkan beberapa detak
jantung yang dipantau. Ini melibatkan pencitraan bolus radionuklida yang disuntikkan
secara intravena selama transit awal melalui sirkulasi pusat. Kurva waktu-aktivitas
dihasilkan, dan pemisahan temporal dari fase ventrikel kanan dan kiri memungkinkan
evaluasi fungsi ventrikel individu. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pencampuran
yang teliti dari pelacak telah terjadi dalam kumpulan darah dan bahwa jumlah hitungan
yang terdeteksi mencerminkan perubahan volume ventrikel selama kontraksi dan
relaksasi. Fungsi ventrikel kiri dan kanan dinilai saat istirahat, atau selama stres dengan
lintasan pertama. pencitraan, memberikan evaluasi komprehensif terhadap perubahan
durasi pendek yang dapat memengaruhi ventrikel. Ini termasuk evaluasi gerakan
dinding global dan regional, estimasi fraksi ejeksi dan parameter sistolik dan diastolik
lainnya. Informasi tersebut telah terbukti signifikan dalam diagnosis, prognosis,
pengambilan keputusan, dan pengelolaan masalah klinis tertentu seperti penyakit arteri
koroner dan penyakit paru obstruktif kronis, serta penyakit jantung bawaan dan katup.

Indikasi First pass radionuclide angiocardiography (FPRNA) :


- Coronary Artery Disease
- Congenital Heart Disease
- Valvular Heart Disease
B. Equilibrium radionuclide angiography

Equilibrium radionuclide angiography (ERNA) adalah cara non-invasif untuk menilai


fungsi jantung secara kuantitatif. Telah dibuktikan sebagai teknik yang sangat akurat
dan dapat direproduksi, mampu menilai fungsi ventrikel kiri dan kanan bahkan jika
infark, hipertrofi atau pelebaran telah merusak bentuk ventrikel. Namun, penilaian
fungsi ventrikel kanan mungkin tidak seakurat dengan metode FPRNA. Modalitas
pencitraan ini memanfaatkan radionuklida yang disuntikkan secara intravena yang
tetap berada di ruang jantung dalam konsentrasi yang berbanding lurus dengan
volume darah. Data dikumpulkan dari beberapa ratus siklus jantung untuk membuat

26
gambar jantung yang berdetak, disajikan sebagai satu siklus jantung. Ini dapat
digunakan untuk menilai gerakan dinding global dan regional, ukuran ruang dan
morfologi, dan fungsi ventrikel termasuk fraksi ejeksi. Akuisisi dilakukan saat
istirahat atau selama berolahraga, atau di bawah farmakologis, mekanik isometrik,
pressor dingin atau tekanan mental. Prosedur ini juga dikenal sebagai pencitraan pool
darah jantung yang terjaga keamanannya, akuisisi multigated (MUGA) atau radionu-
clide ventriculography (RVG). Studi ERNA lebih unggul dalam menghitung statistik
untuk studi FPRNA, tetapi dipengaruhi oleh aritmia.

Indikasi Equilibrium radionuclide angiography (ERNA) :


- Coronary Artery Disease
- Congenital Heart Disease
- Valvular Heart Disease
- Doxorubicin cardiotoxicity
- Indikasi lain : kardiomiopati, hipertrofi septum asimetris dan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK).
C. Myocardial perfusion single photon emission tomography
Skintigrafi perfusi miokard menggunakan radiotracer perfusi yang didistribusikan
dalam miokardium (terutama ventrikel kiri) sebanding dengan aliran darah koroner.
Daerah aliran normal menunjukkan tingkat penggunaan pelacak yang relatif tinggi,
sedangkan daerah iskemik menyajikan penyerapan yang relatif rendah. Aliran darah
koroner regional dapat dibandingkan dalam kondisi istirahat, stres atau vasodilatasi
yang diinduksi secara farmakologis. Dengan demikian, cadangan aliran koroner dapat
dinilai, yang biasanya dipengaruhi oleh penyakit arteri koroner yang signifikan (CAD).
Pelacak perfusi miokard tidak diambil oleh miokardium infark. Selain mengevaluasi
aliran darah regional relatif pelacak ini, oleh karena itu, juga penanda viabilitas
miokard. Skintigrafi perfusi miokard dapat dilakukan dengan menggunakan
radionuklida pemancar foton tunggal atau positron. Di antara pelacak perfusi foton
tunggal yang umum digunakan adalah 201Tl dan pelacak perfusi berlabel 99mTc
berlabel (mis. Sestamibi dan tetrofosmin). Walaupun memiliki sifat fisik dan farmako-
kinetik yang berbeda, pelacak ini memiliki tumpang tindih penggunaan klinis dan
karenanya akan dipertimbangkan secara paralel dalam bagian ini.

27
Indikasi :
- Deteksi iskemia miokard dan risiko infark iokard
- Risiko stratifikasi dan prognostikasi
- Penilaian kelayakan miokard
- Penilaian fungsi ventrikel

201 99 99
Sidik perfusi dengan TI atau radiofarmaka lain seperti Tc-tetrofosmin, dan Tc-
teboroksim digunakan untuk menilai perfusi dan viabilitas miokard penderita penyakit jantung
131
coroner. Selain itu, I-MIBG juga digunakan untuk pencitraan reseptor adrenergik jantung.
Untuk menilai viabilitas miokard, pencitraan PET dengan 18F-FDG merupakan gold standard.
Di masa datang PET akan merupakan Teknik yang andal untuk menentukan apakah arteriografi
memang dibutuhkan dan apakah suatu lesi memerlukan revaskularisasi.

2.6.5 Gastrointestinal Scanning


a) Scanning Kelenjar Ludah
Scanning kelenjar ludah biasanya dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan kelenjar
tiroid dengan menggunakan Tc-99m pertechnetate (Tc-99m-O4). Pemeriksaan kelenjar ludah
dapat dilakukan secara khusus dengan menggunakan Tc-99m-O4 dalam dosis 5 – 10 mCi
secara intravena. Pengambilan gambar dilakukan setelah dan setelah penundaan dengan
menggunakan jus lemon yang dibasuh di sekitar mulut. Penggunaan jus lemon dalam
pemeriksaan penting untuk mencatat drainase saliva ke dalam sistem duktus ke mulut.
Pemeriksaan ini dahulu digunakan untuk memeriksa derajat sindroma Sjogren.

28
Gambar 23. Individu dengan massa yang telpapasi pada pipi kanan. A. Menunjukan
kelenjar ludah setelah injeksi Tc-99m-O4. B. Kelenjar ludah setelah distimulasi oleh
jus lemon, menunjukan retensi pada kelenjar ludah, suatu tumor Wharton yang
menghambat drainase ludah.

b) Refluks Gastroesofageal
Keluhan klinis nyeri dada dan heartburn sering menimbulkan pertanyaan klinis apakah
pasien tersebut mengalami penyakit refluks esofageal. Pada pasien anak-anak, penyakit refluks
gastroesofageal dapat menimbulkan gagalnya bertumbuh (failure to thrive) dan pneumonia
rekurens. Penyakit refluks gastroesofageal dapat dievaluasi menggunakan GER scintigrafi,
dengan menggunakan selang nasoesofageal, namun pemeriksaan ini merupakan tindakan
invasif dan menimbulkan ketidaknyamanan sehingga sulit diaplikasikan, terutama untuk
pasien anak-anak.
Pemeriksaan GER scintigrafi menggunakan jus jeruk yang diasamkan dan dicampukan
dengan Tc-99m-sulfur colloid. Asam menurunkan sfingter bawah esofageal dan menunda
pengosongan lambung. Penilaian scintigrafi dilakukan 1 – 3 jam. Pemeriksaan ini mempunyai
sensitivitas 90% untuk mendeteksi GER.

Gambar 24. Menunjukan adanya refluks dari gaster ke arah esofagus.

29
c) Pengosongan Lambung
Proses pengosongan lambung merupakan proses fisiologis yang kompekls. Faktor yang
berpengaruh antara lain adalah jenis makanan, pH, jumlah lemak dan osmolalitas makanan.
Pengosongan lambung yang lebih lama dapat disebabkan oleh beberapa penyakit, antara lain
adalah diabetes mellitus, gangguan elektrolit, sindrom postvagotomi dan beberapa obat-obatan.
Scintigrafi pengosongan lambung merupakan baku emas dalam evaluasi motalitas lambung.
Makanan padat dan cairan yang dikonsumsi dilabel dengan radiotracer dan dikonsumsi oleh
pasien. Kemudian, gambar dari gaster diambil dan dianalisis bedasarkan waktu untuk
mengetahui kecepatan pengosongan.
Waktu paruh normal dalam pengosongan lambung (T1/2) untuk makanan padat yang
dilabel radioaktif adalah 90 menit dan kurang dari 60 menit untuk cairan. Setiap laboratorium
mempunyai referensi waktu T1/2 masing-masing. Protokol standar untuk menghitung
pengosongan lambung adalah setelah 2 dan 4 jam setelah konsumsi makanan dengan telur putih
dengan 1-mCi Tc-99m-sulfur colloid. Kecepatan kurang dari 40% pada 2 jam dan 90% pada 4
jam dapat disebut sebagai gastroparesis.

Gambar 25. Gambar menunjukan scintigrafi anterior dan posterior pada pengosongan
lambung pada jam ke 0, 2 dan 4 yang normal. Pengosongan lambung normal pada jam ke-2
adalah 40% dan setelah jam ke-4 adalah 90%.

30
Gambar 26. Gastroparesis, menunjukan pengosongan lambung pada jam ke-2 hanya 18% dan
jam ke-4 hanya 72%.

d) Uji Nafas Urea C-14 (UBT)


Uji nafas urea C-14 adalah metode pemeriksaan yang tidak mahal, akurat dan
noninvasif untuk mengetahui apakah terdapat infeksi Helicobacter pylori (H.pylori). H. Pylori
merupakan bakteri gram negatif, berbentuk spiral yang dapat ditemukan pada mukosa epitel
dan menempel pada epitel lambung. H. pylori ditemukan berperan dalam 90% ulkus duodenum
dan 80% ulkus gaster. Infeksi H. pylori juga berperan dalam proses patogenesis karsinoma
gaster dan limfoma gaster. Pada pemeriksaan UBT, pasien perlu dipuasakan dan berhenti
mengkonsumsi antibiotik, bismuth dan proton-pump inhibitor. Pasien diinstruksikan untuk
meminum kapsul yang berisikan 1-mCi urea yang dilabel dengan C-14 secara oral, kemudian
sampel nafas diambil 10 menit kemudian. H. pylori memproduksi enzim urease, yang
menghidrolasi urea menjadi amonia dan karbondioksia yang terlabel dengan C-14 yang dapat
dideteksi dari nafas menggunakan teknik scintilasi cair. UBT memiliki sensitivitas dan
spesifisitas 94% sampai 98%.

e) Perdarahan Gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal pada dasarnya tidak membutuhkan scintigrafi dalam
evaluasi. Penggunaan scintigrafi dapat digunakan untuk mengevaluasi perdarahan
gastrointestinal jika lokasi perdarahan sulit dinilai. Evaluasi menggunakan Tc-99m-tagged red
blood cell (sel darah merah). Pemeriksaan ini sangat sensitif dan dapat menilai perdarahan
dengan laju 0.1 mL/menit, dibandingkan angiografi yang dapat mendeteksi hanya 1mL/menit.

31
Pemeriksaan dilakukan secara terus menerus selama 1 menit pada abdomen dan pelvis pada
proyeksi anterior setelah perdarahan dimulai. Pemeriksaan ini biasa digunakan dalam keadaan
gawat darurat dimana secara klinis diduga terdapat perdarahan aktif. Lokalisasi hemoragik
yang akurat diperlukan untuk embolisasi pembulih darah. Peradahan aktif ditandai dengan
munculnya hot spot dari radiotracer yang muncul tiba-tiba, bertambah seiring berjalannya
waktu.

Gambar 27. Perdarahan akut pada gaster dengan hasil endoskopi negatif, menunjukan
perdarahan akut setelah injeksi 5 menit Tc-99m-tagged red blood cell.

f) Kolestititis Akut
Pencitraan nuklir pada kandung empedu dan sistem biliar dapat dengan mudah
dilakukan dengan asam iminodiasetat yang dilabel Tc-99m. Hanya terdapat dua asam
iminodiasetat yang dikembangkan dan dijual secara komersil, yaitu Tc-disofesin dan Tc-
mebrofenin. Kedua radiofarmaka ini diekskresi ke sistem biliar dan tetap bekerja walaupun
terdapat kenaikan serum bilirubin.
Pada kolesistitis akut, dapat menggunakan modalitas scanning hepatobilier. Prosedur
ini memerlukan puasa selama 2 jam. Pada proyeksi anterior, maka akan tervisualisasi uptake
homogen radiofarmaka. Aktivitas pada hepar berkurang seiring waktu ketika radiotracer secara
berkala diekskresi pada sistem biliar dan dikeluarkan ke usus halus. Aktivitas ini harus terlihat
di duktus ekstrahepatik, kandung empedu dan usus halus dalam 1 jam. Penyebab kolesistitis
akut terbanyak adalah batu kandung empedu atau batu yang mengobstruksi duktus sistikus.
Pada scintigrafi, kolesistitis akut mempunyai ciri khas yaitu tidak tervisualisasinya kandung
empedu pada jam ke-1 dan jam-4 setelah injeksi intravena radionuklida, atau 30 menit setelah

32
masuknya morfin. Pemeriksaan ini mempunyai spesifisitas 98% terhadap kolesistitis akut.
Penggunaan morfin (1-2 mg) dapat digunakan untuk meningkatkan tekanan pada sphinter
Oddi, yang membantu empedu yang telah terlabel kembali ke kandung empedu.

Gambar 28. Scanning hepatobilier normal. A. Gambar yang diambil setelah injeksi dan
gambar yang diambil setelah 5 menit (B-F) menunjukan aktivitas ekskresi dari hepar ke
kandung empedu dan duktus bilier. Aktivitas menunjukan akumulasi radiotracer di kandung
empedu (E) dan usus halus setelah 25 menit (F)

Gambar 29. Kolesistitis akut. Gambar menunjukan tidak tervisualisasinya kandung


empedu pada scanning hepatobilier.

33
2.6.6 Brain Scan
Kerusakan sawar darah otak (blood brain barrier) yang dapat diakibatkan oleh trauma
(kontusi), daerah iskemi karena stroke dapat menyebabkan masuknya materi dari kapiler darah
ke jaringan ekstraseluler otak. Bila radioaktif disuntikkan ke dalam darah, radioaktif ini juga
akan berada di daerah ekstraseluler otak tersebut dengan konsentrasi yang tinggi dan
menimbulkan hot spot.
Kerusakan blood brain barrier juga dapat diakibatkan oleh abses, keganasan sebaliknya
hot spot pada citra otak dapat pula terjadi pada aneurisma dan malformasi arteriovenosis. Sejak
berkembangnya CT kepala, pemeriksaan scanning otak dengan isotop jarang dilakukan di
Indonesia.
Isotop dan dosis : Tc-99m-pertechnetate intravena dengan dosis 200 uCi per kg berat
badan, yang mengeluarkan radiasi gamma. Persiapan : Diperlukan blockade mukosa mulut dan
hidung. Cara pemeriksaan : 1 – 3 jam setelah disuntikkan Tc-99m-pertechnetate IV,
pengambilan citra dapat dilakukan dengan mempergunakan kamera gamma berenergi rendah,
kolimator parallel dan window 30%. Posisi pengambilan citra adalah dari depan, belakang,
samping kanan dan kiri serta vertex. Tiap citra terdiri atas 250.000 counts. Penilaian : citra
otak yang positif menunjukkan hot spot, meskipun tidak spesifik dapat menunjukkan letak,
jumlah, bentuk dan besar lesi.
Dasar pemeriksaan scan otak dengan 99m Tc DTPA adalah blood brain barrier,
sedangkan saat ini pencitraan otak/cerebral berasal dari perfusi atau metabolisme otak dengan
menggunakan farmaka yang lipofilik dan pesawat gamma kamera sistem SPECT pemeriksaan
ini adalah pencitraan fungsional yang lebih sensitif dibandingkan pencitraan struktural seperti
foto konvensional, tomografi computer dan MRI.
Radiofarmaka yang sering dipakai adalah 99mTc-HMPAO yang cukup representative
dibandingkan radiofarmaka lainnya karena in vivo stabil, distribusi cepat, tidak retensi lama,
relative tidak begitu mahal.

Indikasi pemeriksaan pencitraan perfusi cerebral dengan 99mTc-HMPAO


- Penyakit cerebro-vaskuler
- Gangguan kejiwaan
- Kelainan kejang/konvulsi
- Trauma
- Degeneratif – dementia – Alzheimer

34
Gambar 30. Brain scan

2.6.7 Renogram
Banyak senyawa yang diekskresi dari badan oleh atau lewat ginjal. Dengan menandai
salah satu senyawa itu dengan isotop radioaktif dan mengikuti tingkah laku radioaktif tersebut
di daerah ginjal (dengan parameter waktu), memungkinkan untuk melakukan evaluasi
semikuantatif fungsi ginjal. Untuk kepentingan tersebut, orthoiodohippurate yang terutama
disekresi oleh sel-sel tubulus yang juga difiltrasi oleh glomerulus dapat menilai setiap tingkat
fungsi ginjal. Senyawa ini dapat ditandai dengan I131.

Indikasi : Sangat bemanfaat untuk menilai kelainan unilateral ginjal, misal hipertensi renal,
utuhnya pencangkokan arteri renalis, dll. Juga untuk mengevaluasi penderita abstruksi uropati,
nekrosis tubular, pielonefritis dan glomerulonefritis untuk penderita-penderita yang sensitive
terhadap media kontras dalam radiologi, pemeriksaan ini sering dilakukan.

Keterbatasan : Pemeriksaan ini tidak spesifik


Isotop dan dosis : Dipergunakan I131 orthohippurate IV denfan dosis setengah uCi per kg BB;
memancarkan radiasi gamma 364 kev.
Persiapan : Tingkat dehidrasi penderita normal, tidak mendapat diuretik. Untuk melindungi
tiroid, kepada pendeerita diberikan larutan lugol sebelum pemeriksaan. Pencatatan yang mulai
mencatat 30 detik sebelum disuntikkan, beri tanda pada kertaas pencatat pada waktu
penyuntikan dimulai. Teruskan pencatatan sampai aktivitas tinggal 50% di ginjal.
Pemeriksaan renogram ini dapat menilai fungsi ginjal secara kualitatif, penilaian
terhadap kurva renogram berdasarkan bentuk kecuraman kurva tiap fase dan waktu yang
dibutuhkan oleh fase tersebut.
Kelainan fase vaskuler menilai keadaan perfusi vaskuler ke ginjal, waktunya 45 detik.

35
Fase sekresi menunjukkan fungsi absorpsi – sekresi tubulus contortus proksimal dan
glomerulus atau parenkim ginjal bagian korteks, waktu sekitar 3-5 menit. Fase eksresi menilai
fungsi ekskresi radiofarmaka ke dalam system pelvio-calyces, waktu klearens atau waktu paruh
ekskresi akan dicapai sekitar 7-15 menit dimana aktivitas kurva mencapai setengah dari puncak
maksimum kurva renogram.
Adanya waktu ekskresi memanjang menggambarkan ada obstruksi traktus urinarius
mekanik atau obstruksi non mekanik/dilatasi seperti akibat posisi atau akibat kerusakan kronis
parenkim ginjal, untuk membedakan antara obstruksi mekanik dan obstruksi non mekanik
dapat memperhatikan kurva fase ekskresi setelah pemberian suntikan iv. Furosemide, bila
terjadi penurunan kurva fase ekskresi tercapai setengah dari saat suntik dalam waktu kurang
dari 10 menit, berarti suatu obstruksi non mekanik, bila lebih dari 20 menit, keadaan ini adalah
suatu obstruksi mekanik, sedangkan antara 10-20 menit merupakan suatu obstruksi parsial.
Dengan menilai efek pemberian captopril 25-50 mg per oral 1 jam sebelum dilakukan
pemeriksaan fungsi GFR atau ERPF dapat menentukan adanya gangguan reno-vaskuler yang
biasanya menyebabkan hipertensi renal.
Radiofarmaka yang dipakai untuk pemeriksaan fungsi GFR adalah 99mTc-DTPA
sedangkan pemeriksaan fungsi ERPF dipakai 131-I-Hippuran atau 99mTc0MAG3 dan 99mTc-
EC.

Gambar 31. Hasil renogram


2.7 Radioterapi Kedokteran Nuklir
Radioterapi adalah tindakan medis menggunakan radiasi pengion untuk mematikan sel
kanker sebanyak mungkin dengan kerusakan pada sel normal sekecil mungkin. Tindakan terapi
ini menggunakan sumber radiasi tertutup pemancar sinar gamma atau pesawat sinar-X dan
berkas elektron. Terdapat dua teknik dalam radioterapi yaitu teleterapi (sumber eksternal) dan
brakiterapi (sumber internal). Pada tindakan teleterapi, posisi sumber sinar gamma energi
tinggi yang berasal dari Kobalt-60 (Co-60) yang disimpan dalam kontainer metal yang tebal
pada alat, dapat diatur sedemikian rupa sehingga kanker dapat diradiasi dari berbagai arah yang

36
ditujukan setepat mungkin pada jaringan tumor.
Tumor ganas dikenai radiasi yang sangat kuat secara berulang-ulang selama jangka
waktu beberapa minggu. Radioterapi diberikan setiap hari dari berbagai arah secara tepat pada
kanker. Dengan demikian kanker akan menerima radiasi dosis tinggi sementara jaringan
normal dan sehat di sekitar lokasi kanker hanya akan menerima dosis yang lebih rendah dengan
tingkat kerusakan yang dapat ditoleransi tubuh dan berangsur pulih.
Perkembangan teknik elektronika dan peralatan komputer canggih dalam dua dekade ini
telah membawa perkembangan pesat dalam teknologi radioterapi. Dengan menggunakan
pesawat LINAC (linear accelerator) generasi terakhir telah dimungkinkan untuk melakukan
radioterapi kanker dengan keakuratan dan tingkat keselamatan yang tinggi melalui
kemampuannya yang sangat selektif untuk membatasi hanya tumor yang akan dikenai radiasi
dengan dosis yang tepat pada target. Dengan memanfaatkan teknologi Three Dimensional
Conformal Radiotherapy (3D-CRT), sejak tahun 1985 telah berkembang metoda pembedahan
dengan menggunakan radiasi pengion sebagai pisau bedahnya (gamma knife). Dengan teknik
radiosurgery ini kasus tumor ganas yang sulit dijangkau dengan pisau bedah konvensional
dapat diatasi dengan baik tanpa perlu membuka kulit pasien dan yang terpenting tanpa merusak
jaringan normal di luar target.

Gambar 32. Gamma knife untuk radiosurgery

Radioterapi dapat pula dilakukan dengan menggunakan sumber radiasi terbuka yang
diposisikan sedekat mungkin dengan kanker, dikenal sebagai tindakan brakiterapi. Sumber

37
radiasi terbuka yang umum digunakan antara lain Iodium-125 (I-125), Radium-226 (Ra-226),
Stronsium-89 (Sr-89), Samarium-153 (Sm-153), dan Itrium-99 (Y-99). Sumber radiasi tersebut
dikemas dalam bentuk jarum, biji sebesar beras, atau kawat dan dapat diletakkan dalam rongga
tubuh (intracavitary) seperti kanker serviks, kanker paru, dan kanker esopagus, dalam
organ/jaringan (interstisial) seperti kanker prostat, kanker kepala dan leher, kanker payudara,
atau dalam lumen (intraluminal).

Gambar 33. Pesawat Teleterapi dengan posisi sumber Co-60 yang dapat diatur posisinya

2.8 Keselamatan Dalam Kedokteran Nuklir


Terlalu banyak radiasi berpotensi merusak organ atau jaringan atau meningkatkan risiko
kanker. Namun, ketika digunakan untuk diagnosis, tingkat paparan radiasi hampir sama dengan
yang diterima seseorang selama rontgen dada rutin atau CT scan. Akibatnya, pengobatan nuklir
dan prosedur pencitraan dianggap tidak invasif dan relatif aman. Efektivitasnya dalam
mendiagnosis penyakit berarti bahwa manfaatnya biasanya lebih besar daripada risikonya.
Pengobatan dengan pengobatan nuklir melibatkan dosis bahan radioaktif yang lebih besar.
Misalnya, pemindaian paru-paru obat nuklir akan membuat seseorang terkena radioaktivitas 2
milisieverts (mSv), sementara pengobatan kanker akan mengekspos tumor hingga 50.000 mSv.
Dosis tambahan ini dapat memengaruhi pasien, dan efek samping dimungkinkan. Namun,
karena perawatan sering menargetkan penyakit yang berpotensi fatal, manfaatnya cenderung
lebih besar daripada risikonya. Seiring kemajuan teknologi, para ilmuwan berharap bahwa
perawatan akan lebih diarahkan pada tumor atau penyakit, dan kecil kemungkinannya
mempengaruhi orang tersebut secara keseluruhan. Komisi Pengaturan Nuklir (NRC) dan

38
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) mengatur secara ketat penggunaan bahan
radioaktif untuk pengobatan nuklir untuk memastikan keselamatan pasien.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas, Z., dkk. 2009. Buku Pintar Nuklir. Adan Tenaga Nuklir Nasional BATAN.
Jakarta.
2. World Health Organization. 1972. The Medical Uses of Ionizing Radiation and Radio-
Isotop, WHO Technical Series. No.492.
3. Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Balai Penerbit FK UI.
Jakarta. 537 - 546.
4. Brant WE, Helms CA. Fundamentals of Diagnostic Radiology. Lippincott Williams &
Wilkins; 2007. 1618 p.
5. Masjhur, Johan S. 2000. Aplikasi Teknik Nuklir Dalam Bidang Keseatan Masa Kini.
Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia. Jakarta.
6. International Atomic Energy Agency Vienna. 2006. Nuclear Medicine Resources
Manual. https://www-pub.iaea.org/MTCD/Publications/PDF/Pub1198_web.pdf
(diakses pada tanggal 21 agustus 2019 pukul 22:15 WIB)
7. Badawi D Ramsey. 2001. Nuclear Medicine.
https://www.researchgate.net/publication/231109484_Nuclear_medicine (diakses
pada tanggal 21 agustus 2019 oukul 21:50 WIB)
8. General Nuclear Medicine. 2018.
https://www.radiologyinfo.org/en/pdf/gennuclear.pdf (diakses pada tanggal 21 agustus
2019 pukul 21:55 WIB)
9. Yvette Brazier. 2017. What is Nuclear Medicine.
https://www.medicalnewstoday.com/articles/248735.php (diakses pada tanggal 22
agustus 2019 pukul 11:53 WIB)
10. Bailey D.L. 2014. Nuclear Medicine Physics : a handbook for teachers and students.
https://www-pub.iaea.org/MTCD/Publications/PDF/Pub1617web-1294055.pdf
(diakses pada tanggal 22 agustus 2019 pukul 12:18 WIB)

11. John W frank. 2009. Nuclear Medicine for medical students and junior doctors.
http://unm.lf1.cuni.cz/vyuka/nuclear_medicine_jwfrank.pdf (diakses pada tanggal 22
agustus 2019 pukul 12:51 WIB)

12. Nurlaila. Penggunaan Teknik Nuklir Dalam Bidang Kedokteran Nuklir Dan Sterilisasi
Serta Risikonya Bagi Kesehatan. http://digilib.batan.go.id/e-jurnal/Artikel/Buletin-
Batan/ThXXIINo1Des-001/Nurlaila_Z.pdf (diakses pada tanggal 23 agustus 2019
pukul 22:22 WIB)

40
13. Anonymus, 2006, Radioactive Iodine (I-131) Therapy, North America: RadiologiInfo.
Radiological Society of North America, Inc
14. Setiawan, Duyeh, 2010, Radiokomia Teori Dasar dan Aplikasi Teknik Nuklir,
Bandung: Widya Padjadjaran

41

Anda mungkin juga menyukai