Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan post partum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari 500 mL setelah
persalinan vaginal atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal. Perdarahan dalam
jumlah ini dalam waktu kurang dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum primer, dan
apabila perdarahan ini terjadi lebih dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum sekunder.
Perdarahan postpartum adalah penyebab utama kematian maternal secara dunia luas dan
merupakan penyebab tunggal kedua kematian utama ibu, peringkat di belakang preeklampsia
atau eklampsia. Perdarahan dalam bidang obstetri dapat terjadi baik dalam masa kehamilan,
persalinan, maupun masa nifas. Maka dari itu, perdarahan yang terjadi dalam masa-masa tersebut
harus kita anggap sebagai suatu keadaan yang akut dan serius. Setiap wanita hamil, dan nifas
yang mengalami perdarahan harus segera dirawat dan ditentukan penyebabnya, sehingga
selanjutnya dapat diberikan pertolongan yang tepat, hal ini diharapkan secara tidak langsung
dapat mengurangi angka kematian ibu.

. Di beberapa negara berkembang angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap
100.000 kelahiran hidup, dan data WHO menunjukkan bahwa 25% dari kematian maternal
disebabkan oleh perdarahan post partum dan diperkirakan 100.000 kematian matenal tiap
tahunnya. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka
kejadian berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara
lain: atonia uteri (50 – 60 %), sisa plasenta (23 – 24 %), retensio plasenta (16 – 17 %), laserasi
jalan lahir (4 – 5 %), kelainan darah (0,5 – 0,8 %).
Penanganan perdarahan post partum harus dilakukan dalam 2 komponen, yaitu: (1)
resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2)
identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi

Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah bayi
lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal1. Kondisi dalam
persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka
batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah
menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat
dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi > 100 x/menit,
kadar Hb < 8 g/Dl2 .
Perdarahan post partum dibagi menjadi:
a) Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early postpartum
hemorrhage) adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kala III.
b) Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder (late postpartum
hemorrhage). Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan yang terjadi pada masa
nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama setelah kala III1.

2.2 Etiologi
Ada beberapa penyebab yang menimbulkan perdarahan pasca persalinan, yaitu :
1. Perdarahan dari tempat melekatnya plasenta
A. Hipotonia – Atonia Uteri
Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk mempertahankan kontraksi
dan retraksi normalnya. Hal ini yang sering menyebabkan terjadinya perdarahan pascasalin
(angka kejadiannya antara 75- 90%). Pada persalinan normal, setelah bayi lahir akan
didapatkan perdarahan sebanyak 200-600 ml sebelum tarikan dinding miometrium akibat
kontraksi dari uterus. Hal tersebut menyebabkan pembuluh darah akan mengalami
pemendekan dan pelekukan sehingga akan diikuti dengan lepasnya tempat pelekatan
plasenta. Jadi bila didapatkan kontraksi uterus yang tidak baik akan menyebabkan
pembuluh darah tetap terbuka, sehingga perdarahan terus berlangsung. 3
Faktor- faktor yang meningkatkan risiko terjadinya atonia uteri adalah : 4

1. Anestesi umum
2. Uterus yang sangat teregang
3. Perfusi miometrium yang buruk
4. Persalinan lama
5. Persalinan yang terlalu cepat
6. Persalinan dengan induksi / augmentasi
7. Multiparitas
8. Riwayat atonia uteri
9. Kelainan uterus
10. Preeklampsi – eklampsi
11. Khorioamnionitis

B. Retensio Plasenta
Adalah keadaan dimana plasenta belum lahir dalam 1/2 jam setelah bayi lahir. 6,7

Hal-hal yang menyebabkannya adalah :

1. Plasenta belum dapat terlepas dari dinding rahim karena tumbuh melekat di
dalam, yang kemudian dibagi menjadi:
a. Plasenta adhesiva, yaitu pada desidua endometrium lebih dalam
b. Plasenta inkreta, vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua
sampai miometrium
c. Plasenta akreta, yang lebih dalam menembus miometrium tapi belum
sampai menembus serosa
d. Plasenta perkreta, menembus hingga serosa atau peritoneum dinding
rahim.
2. Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan
menyebabkan perdarahan yang banyak. Atau karena adanya lingkaran kontriksi
pada bagian bawah rahim akibat kesalahan penanganan kala III yang akan
menghalangi plasenta keluar (Plasenta inkarserata).

2. Robekan Jalan Lahir


Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan
persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan
karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan belum lengkap. Robekan jalan
lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forseps atau vakum ekstraksi,
atau karena versi ekstraksi.
Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan perineum
spontan derajat ringan sampai ruptur perinei totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding
vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan, yang terberat, ruptura
uteri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan hendaknya dilakukan inspeksi yang teliti untuk
mencari kemungkinan adanya robekan ini. Perdarahan yag terjadi saat kontraksi uterus baik,
biasanya, karena ada robekan atau sisa plasenta, pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara
melakukan inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai spekulum unuk mencari
sumber perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi.
Perdarahan karena ruptur uteri dapat diduga pada persalinan macet/kaset, atau uterus dengan
lokus minoris resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intra abdominal. Semua
titik sumber perdarahan harus diklem, diikat dan dijahit dengan catgut lapis demi lapis sampai
perdarahan berhenti. 7,8

3. Inversio Uteri 2,7


Adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau seluruhnya ke dalam cavum
uteri. Hal ini biasanya disebabkan penarikan yang kuat terhadap tali pusat saat pengeluaran
plasenta yang melekat di fundus, atonia uteri, serviks masih terbuka yang mendapat tekanan dari
atas atau tekanan intraabdominal yang keras dan tiba-tiba (batuk atau bersin). Peristiwa ini
sebenarnya jarang ditemukan, dan terjadi secara tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah
plasenta keluar. Menurut perkembangannya, inversio uteri dibagi menjadi:

1. Inversio uteri ringan


Fundus uteri terbalik menonjol dalam cavum uteri, namun belum keluar dari rongga
rahim

2. Inversio uteri sedang


Fundus uteri terbalik dan sudah masuk dalam vagina

3. Inversio uteri berat


Uterus dan vagina semua terbalik dan sebagian sudah keluar dari vagina.

Ada pula yang membagi menjadi inversio uteri inkomplet


(1) dan (2); dan komplit (3).

Inversio uteri ditandai dengan tanda-tanda: syok karena kesakitan, perdarahan banyak
bergumpal, di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang
melekat. Bila baru terjadi, maka prognosis baik, tetapi sudah cukup lama maka jepitan
serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia, nekrosis, dan infeksi.

4. Defek koagulopati 1,3


Menurut DeLee, wanita dengan plasenta yang terlepas akan mengalami hemofili
sementara. Hal ini dikaitkan dengan hipofibrinogenemia, yang dapat menyebabkan terjadinya
koagulasi intravaskuler. Hal ini akhirnya sering disebut sebagai koagulopati konsumptif atau
koagulasi intravaskuler diseminata.
Saat terjadi solutio plasenta, sejumlah kecil cairan amnion dapat bocor ke dalam
pembuluh darah dan tromboplastin pada cairan amnion ini akan memicu terjadinya koagulopati
konsumptif. Dan pada pasien purpura yang memiliki kecenderungan trombositopenia idiopatik
mempunyai trombosit ddengan fungsi abnormal atau pemendekan masa hidup. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya perdarahan.
Untuk memudahkan dalam mengingat etiologi dari perdarahan pascasalin ini, dapat diringkas
dengan ”4T” yaitu :3

1) TONUS

Penyebab perdarahan pascasalin yang akut dan berat seringkali disebabkan oleh lemahnya kekuatan
kontraksi miometrium, sehingga dapat menghasilkan komplikasi yang lebih berat dimana terjadi syok
hipovolemik. Atonia uteri terjadi karena sebab-sebab yang telah dikemukakan sebelumnya.

Kurangnya kontraksi otot uterus ini juga bisa disebabkan karena kelelahan otot akibat dari persalinan
yang terlalu lama atau juga bisa karena perangsangan. Juga bisa karena obat-obat yang dapat menurunkan
kekuatan kontraksi seperti; halogen, nitrat, NSAID, MgSO4, dan nifedipine. 3

2) TISSUE

Pada dasar plasenta biasanya didapatkan lapisan bahan fibrinoid yang disebut dengan “lapisan
nitabuch”. Hal ini berkaitan dengan pelepasan plasenta saat uterus yang berkontraksi. Tapi pemisahan
plasenta dari lapisan ini dapat terganggu bila vili penempel plasenta berkembang ke bawah ke dalam
miometrium sehingga mengganggu lapisan tersebut. Seperti pada plasenta akreta, dimana tak terdapat
lapisan ini sehingga plasenta akan melekat pada miometrium, sehingga bila terlepas sebagian akan
menyebabkan perdarahan yang sangat banyak. Hal ini dikarenakan miometrium tak dapat berkontraksi
dengan baik untuk menghentikan perdarahan sebab ada sebagian plasenta yang masih melekat.3
3) TRAUMA

Pada persalinan kerusakan jalan lahir dapat terjadi secara spontan ataupun disebabkan oleh tindakan
dalam persalinan. Dan pada persalinan per abdomen resiko terjadi perdarahan dua kali lebih besar
dibanding per vaginam.

Pada bekas operasi sesar, terjadi peningkatan resiko terjadinya ruptur uteri. Ruptur uteri juga bisa
didapatkan bila sebelumnya memiliki riwayat robekan total atau robekan dalam. Terjadinya robekan ini
termasuk akibat dari fibroidektomi, uteroplasti, reseksi dari serviks dan perforasi uterus akibat
peregangan, kuret, biopsi, histeroskopi, laparoskopi atau penggunaan kontrasepsi intra uterina.

Trauma juga dapat terjadi pada persalinan yang lama, terutama pada pasien dengan disproporsi
sefalopelvik yang relatif maupun absolut dan pada uterus yang telah dirangsang dengan oksitosin atau
prostaglandin.3

4) TROMBIN

Dalam periode postpartum kelainan pada sistem koagulasi dan pembekuan tidak selalu terjadi
pada perdarahan yang banyak, hal ini ditekankan efikasi dari kontraksi dan retraksi untuk mencegah
perdarahan. Endapan fibrin pada tempat plasenta, bekuan darah dan suply pembuluh darah memegang
peranan penting pada jam-jam dan hari-hari setelah persalinan dimana kelainan pada area ini dapat
mencetuskan perdarahan pascasalin sekunder atau eksaserbasi perdarahan karena penyebab lainnya
dimana yang paling sering trauma.

Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan ataupun didapat.
Kelainan pembekuan darah bisa berupa :

1.Hipofibrinogenemia, dapat menyebabkan peningkatan koagulasi intravaskular.

2.Disseminated Intravascular Coagulation / Consumptive Coagulopathy

3.Trombositopenia

4.Idiopathic Thrombocytopenic Purpura

5.HELLP syndrome (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and Low

Platelet Count )

6.Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8 unit karena darah donor
biasanya tidak fresh sehingga komponen fibrin dan trombosit sudah rusak.
2.3 Gejala Klinis

Walaupun perdarahan pascasalin disebabkan oleh berbagai faktor, tetapi didapatkan gejala
klinis yang umum yaitu :

1. Perdarahan pervaginam, yang terus menerus setelah bayi lahir


2. Bila berat bisa didapatkan tanda-tanda syok seperti, lemah, gelisah, tekanan darah sulit
dinilai, nadi cepat dan lemah, serta penurunan kadar Hb (8gr%).
3. Gejala lain seperti, pucat, ekstremitas dingin, mual

2.4 Diagnosis

Diagnosis pada perdarahan pascasalin harus dicari penyebab utamanya. Dapat dibuat
diagnosis :7

1. Berdasar gejala klinis


a. Perdarahan setelah anak lahir, tetapi plasenta belum lahir, darah yang keluar
biasanya berwarna merah segar. Hal ini biasa disebabkan oleh robekan jalan lahir.
b. Perdarahan setelah plasenta lahir, biasanya disebabkan oleh atonia uteri.
2. Inspekulo: robekan pada vagina, serviks atau varises yang pecah.
3. Palpasi uterus: uterus lembek, masih diatas pusat, kontraksi yang kurang baik, biasa
merupakan tanda atonia uteri
4. Memeriksa plasenta, apakah lengkap atau tidak kotiledonnya dan selaput ketubannya.
5. Eksplorasi cavum uteri, untuk mencari bekuan darah atau sisa plasenta dan selaput
ketuban, robekan rahim.
6. Pemeriksaan lab:
a. Tes darah lengkap : Hb, Ht, Tc
b. Protrombin Time (PT) dan activated partial tromboplastin time (aPTT): untuk
melihat kelainan koagulasi
c. Fibrinogen: koagulopati (N= 300-600)
7. Pemeriksaan lain:
a. USG
b. Angiografi
c. D-dimer
Pemantauan keadaan ibu pascapersalinan sangatlah penting, karena pedarahan mungkin
terjadi secara cepat dan berat, tetapi bisa juga terjadi perlahan-lahan dan terus menerus sehingga
bisa juga menyebabkan ibu jatuh dalam keadaan syok maupun pre syok. Maka dari itu penting
sekali pada setiap persalinan kita pantau kadar darah ibu secara rutin, selain itu perlu pengukuran
tekanan darah, nadi, pernafasan, serta kontraksi dari uterus ibu dan perdarahan selama 1 jam.8

Tabel 2.1 Penilai Klinis

Gejala dan Tanda Komplikasi Diagnosis


 Perdarahan segera setelah anak  Syok Atonia uteri
lahir
 Uterus lembek dan tak
berkontraksi
 Perdarahan segera setelah anak  Pucat Robekan jalan lahir
lahir  Lemah
 Uterus berkontraksi keras  Menggigil
 Plasenta lengkap

 Plasenta belum lahir setelah 30  Tali pusat putus akibat traksi Retensio plasenta
menit bayi lahir  Inversio uteri
 Perdarahan segera  Perdarahan lanjut
 Uterus berkontraksi dan keras

 Plasenta atau selaput tidak  Uterus berkontraksi tetapi TFU Sisa plasenta
lengkap tidak berkurang tertinggal
 Perdarahan segera
 Uterus tak teraba  Neurogenik syok Inversio uteri
 Lumen vagina terisi massa  Pucat

 Perdarahan segera (vagina/intra  Syok Ruptur uteri


abdomen)  Perut tegang
 Nyeri perut hebat  Nadi cepat

 Perdarahan > 24 jam setelah  Perdarahan yang bervariasi dan Perdarahan


anak lahir bau pascasalin lambat
 Uterus lunak dan lebih besar  Anemia
Tabel. 2.2 Gejala pada perdarahan obstetri 8

Kehilangan darah Tekanan darah Gejala Derajat syok


(sistole)

500-1000 Normal Palpitasi, takikardi, Kompensasi


(10-15%) sakit kepala

1000-1500 mL (15-25%) 80-10mmHg lemah, takikardi, Ringan


berkeringat

1500-2000 70-80mmHg Gelisah, oliguri Sedang


(25-35%)
2000-3000 mL (35-50%) 50-70mmHg kolaps, sesak nafas, Berat
anuria

2.5. Pencegahan

Penanganan aktif dari pedarahan kala 3 ini adalah kombinasi dari 3:

1. Pemberian uterotonik (misal oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan


2. Pemotongan tali pusat secara cepat
3. Penarikan tali pusat dengan lembut ketika uterus berkontraksi baik.

2.6. Penatalaksanaan

A. Penatalaksanaan Umum8
Penanganan pada perdarahan pascasalin ditujukan untuk mengembalikan sirkulasi darah
normal, maka perlu dilakukan tindakan secara cepat dan tepat. Terapi yang terbaik adalah
pencegahan. Maka dari itu perlu kita melakukan :

1. Penilaian keadaan pasien secara tepat


2. Pimpin persalinan yang mengacu pada persalinan yang bersih dan aman
3. Lakukan observasi secara ketat selama 2 jam pascasalin, dan dilanjutkan selama 4 jam
pasca persalinan.
4. Lakukan penilaian klinik dan siapkan keperluan untuk pertolongan darurat dan untuk
persiapan dalam menghadapi komplikasi
5. Atasi syok
6. Pastikan kontraksi uterus baik (keluarkan bekuan darah, masase uterus, uterotonika 10 IU
IM, lanjutkan 20 IU dalam 500cc RL/NS 40 tetes/menit)
7. Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan periksa kemungkinan robekan jalan lahir
8. Bila perdarahan berlanjut, uji waktu pembekuan
9. Kateterisasi untuk memantau output cairan
10. Cari penyebab dan atasi masalahnya.
11. Setelah perdarahan teratasi (24jam setelah perdarahan berhenti), periksa kadar Hb :
a. Jika Hb kurang dari 7g/dL atau Ht kurang dari 20% (Anemia berat). Berikan transfusi
darah dan sulfas ferrous atau ferous fumarat 120 mg ditambah asam folat 400 mcg per
oral sekali sehari selama 3 bulan
b. Setelah 3 bulan, lanjutkan dengan sulfas ferrous atau ferrous fumarat 60 mg ditambah
asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan.
c. Jika Hb 7-11g/dL, berikan sulfas ferrous atau ferous fumarat 60 mg ditambah asam
folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan.
d. Jika di daerah endemis cacing gelang (prevalensi 20% atau lebih), berikan albendazole
400 mg per oral sekali atau mebendazole 500 mg per oral sekali atau 100 mg dua kali
sehari selama 3 hari, atau levamisole 2,5 mg/kgBB per oral sehari sekali selama 3 hari,
atau pyrantel 10 mg/kgBB per oral sekali sehari selama 3 hari.
e. Pada daerah endemis tinggi (prevalensi 50% atau lebih) berikan terapi dosis tersebut
selama 12 minggu setelah dosis pertama.
Tabel 2.3 Jenis uterotonika dan cara pemberian 8

JENIS DAN OKSITOSIN ERGOMETRIN MISOPROSTOL(PGI)


CARA 15-Methyl
Prostaglandin
F2alpha(PGF2α)
Dosis dan cara IV: 40 unit dalam l IM atau IV (lambat) Oral 600 mcg atau
pemberian awal L larutan garam : 0,2 mg rectal 400 mcg
fisiologis dengan 60 (Misoprostol)
tetes/menit IM : 0,25mg (PGF2α)
IM : 10 unit
Dosis lanjutan IV: 20 unit dalam 1 Ulangi 0,2 mg IM Oral : 400 mcg 2-4 jam
L larutan garam setelah 15 menit. setelah dosis awal
fisiologis dengan 40 Bila masih (misoprostol)
tetes/menit diperlukan beri IM : 0,25 mg setiap 15
IM/IV setiap 4 jam menit (PGF2α)
Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 L Total 1 g atau 5 Total 1200 mg atau 3
per hari larutan dengan dosis dosis (misoprostol)
oksitosin Delapan dosis : 2mg
(PGF2α)
Kontra indikasi Pemberian IV Preeklampsia, Nyeri kontraksi
secara cepat / bolus vitium cordis, Asma
hipertensi

Tindakan-tindakan pendukung: 1

1. Dalam keadaan perdarahan yang berlebihan, segera dilakukan pengeluaran


plasenta dengan tangan daripada menunggu lahir spontan. Sementara itu darah
dipersiapkan untuk kemungkinan transfusi.
2. Inspeksi dengan teliti ke dalam saluran genital dengan pencahayaan yang cukup.
3. Hentikan pemberian anestesi umum, oksigen diberikan dengan sungkup muka
4. Sampai darah tersedia, plasma ekspander seperti RL harus dipakai, minimum 1
liter PRC atau darah segar harus ditranfusikan.
5. Perhitungkan resiko-resiko dari tranfusi komponen komponen darah dewasa.
6. Kalau tekanan darah menurun, tinggikan kaki
7. Pada atonia uteri, dianjurkan melakukan pijatan pada rahim dan kompresi pada
aorta
8. Jarang sekali diperlukan tranfusi trombosit kriopresipitat atau plasma segar yang
dibekukan. Pemeriksaan fungsi koagulasi (PTT, PT, hitung trombosit) harus
dilakukan setelah pemberian setiap 5-10 unit darah. Jika ada hipofibrinogenemia,
haruslah diberikan fibrinogen dalam kriopresipitat atau plasma segar yang
dibekukan secara IV. Jika ada trombositopenia berat (20.000/mm3 atau kurang),
harus diberikan 6-10 pak trombosit untuk menaikkan hitung trombosit sebesar
15.000 -60.000 / mm3
9. Pemeriksaan USG untuk mengetahui adanya sisa plasenta yang tertahan di dalam
rahim pada perdarahan post partum akut atau yang tertunda sangat berguna sekali.

B. Penatalaksanaan khusus berdasarkan etiologi

Penatalaksanaan Atonia uteri 1,2

- Lakukan penilaian klinik


- Sementara dilakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan masaseuterus.

1. Derivat oksitosin
20-40 unit oksitosin dalam satu liter cairan IV pada kecepatan yang cukup untuk
mempertahankan rahim dalam keadaan kontraksi. 2

2. Derivate ergot
Jika pemberian infuse oksitosin cepat tidak efektif, maka diberikan metilergonovin
0,2 mg IM atau IV. Hal ini akan menstimulasi uterus untuk berkontraksi dengan
baik untuk mengendalikan perdarahan. Dengan pemberian IV dapat menyebabkan
hipertensi, terutama pada wanita dengan preeklampsi. 1

3. Prostaglandin
15-methyl derivate dari prostaglandin F2α (carboprost tromethamine)pada
pertengahan tahun 1980 disetujui penggunannya untuk mengatasi atonia uteri oleh
Food and Drug Administration. Dosis inisial yang direkomendasikan adalah 250µg
(0,25 mg) diberikan IM, dan dapat diulang jika perlu dalam interval 15 sampai 90
menit. Pemberian carboprost dapat menimbulkan diare, hipertensi, muntah, demam,
flushing, dan takikardi.
Pemberian per rectal prostaglandin E2 20 mg suppositoria sudah digunakan untuk
mengatasi atonia uterus, tapi belum ada penelitian klinikal trial. 2

4. Pastikan plasenta lahir lengkap (bila ada indikasi sebagian plasenta masih tertinggal,
lakukan evakuasi sisa plasenta) dan tak ada laserasi jalan lahir
5. Berikan transfusi darah bila sangat diperlukan
6. Lakukan tes waktu pembekuan untuk konfirmasi sistem pembekuan darah
7. Bila semua tindakan diatas telah dilakukan tetapi masih terjadi perdarahan lakukan
tindakan spesifik sebagai berikut1:
8. Gunakan kompresi uterus bimanual. Teknik ini berupa penekanan dinding posterior uterus
dengan tangan pada abdomen ditambah penekanan dinding anterior uterus melalui vagina
dengan tangan satunya lagi.
9.Mencari pertolongan
10. Tambahkan infus satu lagi supaya oksitosin dapat diberikan bersamaan dengan tranfusi
darah.
11. Mulai tranfusi darah.
12. Eksplorasi uterus secara seksama untuk melepaskan sisa-sisa plasenta
13. Lakukan inspeksi pada serviks dan vagina juga.
14. Pasang foley kateter untuk monitor urine output.

1. Kompresi bimanual eksternal


Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua
belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang keluar. Bila
perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat
kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas kesehatan rujukan. Bila belum berhasil,
coba dengan kompresi bimanual internal.
2. Kompresi bimanual internal
Uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam
untuk menjepit pembuluh darah didalam miometrium (sebagai pengganti mekanisme
kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini bila
perdarahan berukuran atau berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali.
Apabila perdarahan tetap terjadi, coba kompresi aorta abdominalis.
3. Kompresi aorta abdominalis
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut.
Genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus
dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat,
akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat hasil
kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi.
Gambar 2.1 Kompresi Bimanual Interna1

Gambar 2.2 Kompresi Bimanual Externa

Penatalaksanaan Retensio plasenta

1.Retensio plasenta dengan separasi parsial


 Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil
 Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak
terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat
 Pasang infus oksitosin 20 unit dalam 500 cc RL dengan 40 tetesan permenit. Bila perlu,
kombinasikan dengan misoprostol 400 mg rektal (sebaiknya tidak mengunakan
ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap
dalam cavum uteri)
 Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara
hati-hati dan halus (melepaskan plasenta yang melekat erat secara paksa, dapat
menyebabkan perdarahan atau perforasi)
 Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia
 Lakukan tranfusi darah apabila diperlukan
 Beri antibiotika profilaksis (Ampisilin 2 g IV/oral + Metronidazol 1 supositoria/oral)
 Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, dan syok neurogenik. 6

2.Plasenta inkarserata
o Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan pemeriksaan
o Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghilangkan kontraksi serviks
dan melahirkan plasenta
o Pilih fluothane atau eter untuk kontriksi serviks yang kuat tetapi siapkan infus oksitosin
20 IU dalam 500 mL RL dengan 40 tetes permenit untuk mengantisipasi gangguan
kontraksi yang disebabkan bahan anestesi tersebut
o Bila prosedur anestesi tidak tersedia tetapi serviks dapat dilalui oleh cunam ovum
lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk prosedur tersebut, berikan
analgesik (Tramadol 100 mg IV atau Pethidine 50 mg IV dan sedatif seperti Diazepam 5
mg IV pada tabung suntik yang terpisah)
o Pengamatan dan perawatan lanjutan meliputi pemantauan tanda vital, kontraksi uterus,
tinggi fundus uterus dan perdarahan pasca tindakan. Tambahan pemantauan yang
diperlukan adalah pemantauan efek samping atau komplikasi dari bahan-bahan sedativa,
analgetika atau anestesia umum ( mual, muntah, cegah aspirasi bahan muntahan,
hipo/atonia uteri, vertigo, halusinasi, pusing/vertigo, dan mengantuk ) 5
Gambar 2.6 Cara Mengeluarkan Plasenta dengan Tangan 1

Gambar 2.7 Teknik pengeluaran plasenta cara dari Brandt


3.Plasenta akreta
Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus atau korpus
apabila tali pusat ditarik. Dari pemeriksaan dalam adalah sulitnya melakukan perabaan tepi
plasenta karena implantasi yang dalam. Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan
kesehatan dasar adalah menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit
rujukan karena kasus ini memerlukan tindakan operatif.5
4.Sisa plasenta
Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis. Antibiotika yang
dipilih adalah Ampisilin dosis awal 1 g IV dilanjutkan dengan 3x1 g oral dikombinasi dengan
Metronidazol 1 g supositoria dilanjutkan 3x500 mg oral. Dengan dipayungi antibiotika
tersebut, lakukan eksplorasi digital ( bila serviks terbuka ) dan mengeluarkan bekuan darah
atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta
dengan dilatasi dan kuretase. Bila kadar Hb < 8 g% berikan tranfusi darah, bila kadar Hb > 8
g% berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari. 6

Penatalaksanaan Inversio Uteri1

Penanganan inversio uteri membutuhkan pemikiran yang cepat. Pasien dengan cepat
mengalami syok, dan dibutuhkan pemulihan volume intravaskuler yang segera dengan kristaloid
intravena. Ahli anestesiologi harus dipanggil. Uterus yang mengalami inversio direposisi dengan
mendorong fundus dengan telapak tangan dan jari sesuai arah memanjang uterus. Lebih baik
siapkan 2 jalur infus untuk tranfusi dan pemberian cairan resusitasi. Kalau plasenta belum lepas,
baiknya plasenta jangan dilepaskan dulu sebelum uterus direposisi, jalur infus terpasang, dan
anestesi diberikan, karena dapat menimbulkan perdarahan banyak. Setelah plasenta dilepaskan,
telapak tangan diletakkan ditengah fundus dengan jari diekstensikan. Kemudian diberi tekanan
dengan didorong ke atas.

Setelah reposisi berhasil diberi pitocin drip dan dapat juga dilakukan tamponade rahim
supaya tidak terjadi lagi inversio,kalu reposisi manual tidak berhasil dilakukan reposisi operatif.

Gambar 2.8 Cara manual dalam melakukan reposisi uterus yang mengalami inversi 7
Penatalaksanaan Ruptur perineum dan robekan dinding vagina:

- Lakukan eksplorasi untuk mengedintifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan


- Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
- Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan, kemudian ikat dengan benang yang dapat
diserap
- Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal terhadap operator
- Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan
bantuan busi pada rectum. 3

Penatalaksanaan Robekan servik

- Robekan servik sering terjadi pada sisi lateral karena servik yang terjulur akan
mengalami robekan pada posisi spina isiadika tertekan oleh kepala bayi
- Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap tetapi terjadi perdarahan banyak maka
segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari portio
- Jepitkan klem ovum pada kedua sisi portio yang robek sehingga perdarahan dapat segera
dihentikan
- Setelah tindakan, periksa tanda vital pasien, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan
perdarahan pasca tindakan
- Beri antibiotik profilaksis, kecuali bila jelas ditemukan tanda tanda infeksi
- Bila terjadi defisit cairan, lakukan restorasi, dan bila kadar HB dibawah 8 gr% berikan
tranfusi darah
Gambar 2.10 Cara memperbaiki robekan cervix 7

Penanganan kelainan pembekuan


Pasien dengan trombositopenia membutuhkan infus konsentrat trombosit, pasien dengan
penyakit Von willebrand membutuhkan plasma beku yang segar. Infus sel darah merah yang
dimampatkan diberikan pada pasien yang telah mengalami perdarahan yang cukup sehingga
menurunkan populasi sel darah merah yang beredar, sehingga cukup membahayakan pengiriman
oksigen ke jaringan. Biasanya, hematokrit yang lebih dari 25 % sudah mencukupi. Tranfusi
masif (lebih dari 3 liter), terutama dengan darah lengkap, akan memperberat sistem pembekuan
yang sudah terganggu dengan semakin menghabiskan trombosit dan faktor-faktor V dan VIII.
Karena itu 1 unit plasma beku yang segar harus diberikan untuk setiap 2 unit darah setelah 6 unit
telah di tranfusikan.8

2.7 Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada perdarahan pascasalin adalah penderita
dapat jatuh kedalam keadaan :

 Syok
 Koagulasi Intravaskuler Diseminata
 Anemia
2.8 Prognosis

Prognosis dari perdarahan pascasalin ini tergantung dari:

- penyebab terjadinya perdarahan,


- lama terjadinya perdarahan,
- jumlah darah yang hilang,
- efektivitas dari tindakan pengobatan
- kecepatan pengobatan 4
BAB III
ILUSTRASI KASUS
BAB IV
PEMBAHASAN
BAB V
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K. Chapter 25 Obstetrical
Hemorrhage, Section VII; Obstetrical complication, dalam William Obstetrics 22th edition.
Philadelphia. McGrawHill.2005 p:635-663
2. Smith, J. R., Brennan, B. G., 2004, Postpartum Hemorrhage, http://www.emedicine.com
3. Smith J.R, Postpartum Haemorrhage, updated 23 September 2014. Diakses tanggal 27
Februari 2015 dari http://emedicine.medscape.com/article/275038-overview
4. Yaa M and Yiadom YB. Postpartum Hemorrhage in Emergency Medicine. Diakses tanggal 27
Februari 2015 dari http://www.emedicine.com/
emerg/topic481.htm
6. Kemenkes. PROFIL KESEHATAN INDONESIA TAHUN 2013. Diakses tanggal 27 Februari
2015 dari http://www.depkes.go.id.
7. Anonymus, Preventing Postpartum Hemorrhage : Managing the third stage of labor,
September 2001. Diakses tanggal 24 Februari 2015 dari
http://www.pphprevention.org/files/PPHEnglish.pdf
8. WHO, Managing Complications in Pregnancy and Childbirth. Diakses tanggal 24 Februari
2015 dari http://whqlibdoc.who.int/publications/2007/92415458 79_eng.pdf

Anda mungkin juga menyukai