Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Vaginal discharge (fluor albus/ leukorea/ duh tubuh vagina) atau yang sering disebut
keputihan merupakan salah satu masalah yang sering dikeluhkan mulai dari usia muda sampai
usia tua. World Health Organisation (WHO) menyatakan bahwa masalah kesehatan reproduksi
wanita yang buruk telah mencapai 33% dari jumlah total beban penyakit yang menyerang para
wanita di seluruh dunia.4 Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI)
mengemukakan keputihan sebagai gejala yang sangat sering dialami oleh sebagian besar
wanita.5,6 Keputihan (fluor albus, leukorea, vaginal discharge) adalah istilah keluarnya cairan
dari genitalia seorang wanita yang bukan darah. Secara epidemiologi, fluor albus patologis dapat
menyerang wanita mulai dari usia muda, usia reproduksi sehat maupun usia tua dan tidak
mengenal tingkat pendidikan, ekonomi dan sosial budaya.7 Pada keadaan normal, cairan yang
keluar berupa mukus atau lendir yang jernih, tidak berbau mencolok, dan agak lengket. Pada
keadaan patologis terjadi perubahan cairan genital dalam jumlah, konsistensi, warna, dan bau.

Masalah kesehatan reproduksi yang ada di Asia sebanyak 76% yang mengalami
keputihan.9 Sekitar 90% wanita di Indonesia berpotensi mengalami keputihan karena Indonesia
adalah daerah yang beriklim tropis, sehingga jamur, virus dan bakteri mudah tumbuh dan
berkembang yang mengakibatkan banyaknya kasus keputihan pada parawanita Indonesia. Ini
mempunyai risiko lebih tinggi terhadap infeksi atau keputihan patologis.

Keputihan yang terjadi tersebut cenderung disebabkan oleh masih minimnya kesadaran
untuk menjaga kesehatan terutama kesehatan organ genitalianya. Selain itu, keputihan sering
dikaitkan dengan kadar keasaman daerah sekitar vagina, bisa terjadi akibat pH vagina tidak
seimbang. Sementara kadar keasaman vagina disebabkan oleh dua hal yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor eksternal antara lain kurangnya personal hygiene, pakaian dalam yang
ketat, dan penggunaan WC umum yang tercemar bakteri Clamydia.12,13 Saraswati dalam
Paryono menyatakan bahwa penyebab keputihan karena perilaku atau kebiasaan seseorang yang
tidak memperhatikan kebersihan organ reproduksinya, yang sering disebut personal hygiene.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Vaginal discharge (fluor albus/ leukorea/ duh tubuh vagina) merupakan cairan atau sekret
selain darah yang keluar dari vagina dapat disertai rasa gatal, rasa terbakar di bibir kemaluan,
rasa nyeri baik sewaktu berkemih maupun senggama serta bau dan konsistensi yang khas dari
masing-masing penyebab. Selain vagina, sumber cairan ini dapat berasal dari sekresi vulva,
sekresi serviks, sekresi uterus atau sekresi tuba falopii yang dipengaruhi fungsi ovarium.1

2.2 Epidemiologi
Menurut studi Badan Kesehatan Dunia (WHO), salah satu masalah tersering pada
reproduksi wanita adalah vaginal discharge/ leukorea/ fluor albus/ keputihan. Sekitar 75% wanita
di dunia pasti pernah mengalami keputihan setidaknya satu kali seumur hidup dan sebanyak 45%
wanita mengalami keputihan dua kali/ lebih. Di Indonesia, data kejadian keputihan sangat
terbatas karena hanya sedikit wanita yang memeriksakan masalah tersebut karena beberapa
diantaranya mendiagnosis dan mengobati sendiri keluhannya. Menurut Depkes (2010), terdapat
75% wanita yang mengalami keputihan minimal satu kali selama hidupnya dan setengah
diantaranya mengalami sebanyak dua kali atau lebih. Studi menunjukkan bahwa Candida
albicans merupakan penyebab tersering pada wanita usia muda. Penyebab lainnya antara lain
Bacterial vaginosis dan Trichomonas vaginalis. Hal ini dapat terjadi karena banyak wanita yang
kurang menyadari pentingnya menjaga kebersihan daerah vagina serta tidak tahu cara
membersihkan daerah vagina secara tepat. Selain itu, dapat juga dipengaruhi oleh cuaca lembab
yang memudahkan terjadinya infeksi jamur.1

2.3 Klasifikasi

2.3.1 Leukorea Fisiologis Vaginal discharge/ leukorea yang fisiologis merupakan cairan/
sekret tidak berwarna, tidak gatal dan tidak berbau yang keluar dari vagina. Cairan/ sekret ini
mengandung banyak epitel dan sedikit leukosit. Normalnya, hanya ditemukan didaerah porsio
vagina, disebabkan oleh pengaruh hormonal. Vaginal discharge/ leukorea fisiologis dapat
ditemukan pada bayi baru lahir sampai umur kira-kira 10 hari, saat menarke, saat ovulasi, saat
rangsangan sebelum dan pada waktu koitus, saat kehamilan, saat stress/kelelahan dan pemakaian
kontrasepsi hormonal.2
2.3.2 Leukorea Patologis Vaginal discharge/ leukorea yang patologis merupakan cairan/
sekret yang keluar dari vagina dengan jumlah, bau dan konsistensi yang bervariasi berdasarkan
penyebabnya. Selain itu, dapat disertai oleh rasa gatal, rasa terbakar disekitar kemaluan serta rasa
nyeri baik saat berkemih maupun bersenggama. Cairan/ sekret ini mengandung banyak leukosit.
Leukorea patologis dapat disebabkan oleh infeksi (bakteri, jamur dan parasit), iritasi, benda
asing, tumor/ jaringan abnormal lain, radiasi, dll.1

2.4 ETIOLOGI
Non-Infeksi  Leukorea Fisiologis Vaginal discharge/ leukorea fisiologis disebabkan oleh
pengaruh hormonal, dapat ditemukan pada :  Bayi baru lahir sampai umur kira-kira 10 hari,
disebabkan oleh pengaruh estrogen dari plasenta terhadap uterus dan vagina janin.  Saat
menarke, disebabkan oleh pengaruh estrogen dan biasanya hilang dengan sendirinya.  Saat
ovulasi, berasal dari sekret kelenjar serviks uteri yang menjadi lebih encer.  Saat rangsangan
sebelum dan pada waktu koitus, akibat transudasi dinding vagina.  Saat kehamilan  Saat
stress/ kelelahan  Pemakaian kontrasepsi hormonal  Benda asing ( AKDR, cincin pesarium,
tertinggalnya kondom)  Cervical ectopy : migrasi sel-sel dari lapisan kanal endoserviks ke
bagian luar dari serviks (ektoserviks). Dapat disebabkan oleh perubahan hormonal, kehamilan
dan penggunaan pil KB.  Iritasi  Spermisida, pelicin, kondom  Sabun/ cairan antiseptik
/pembersih vagina  Scented or coloured toilet paper  Synthetic underwear  Parfum 
Laundry detergents
Infeksi  Infeksi Menular Seksual 1.Chlamydia trachomatis Chlamydia trachomatis
merupakan bakteri gram negatif, berbentuk sferis, nonmotile, intrasel obligat. Terdapat 15
serotipe, dimana A-C menyebabkan konjungtivitis kronik, D-K menyebabkan infeksi urogenital
dan L1-L3 menyebabkan lymphogranuloma vereneum. Bakteri ini merupakan penyebab
penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis, dapat menyebabkan
cervicitis pada wanita dan uretritis dan proktitis pada wanita dan laki-laki. Infeksi Chlamydia
pada wanita dapat menimbulkan konsekuensi yang serius yakni PID, infertilitas, kehamilan
ektopik, chronic pelvic pain. Berdasarkan CDC, penyakit ini sering terjadi pada usia muda, 2/3
diantaranya berumur 15-24 tahun. Faktor resiko terjadinya Chlamydia antara lain aktif secara
seksual, umur dibawah 25 tahun, tidak memakai kondom secara konsisten, adanya partner seks
baru, lebih dari 1 pasangan, homoseksual, dll. Chlamydia ditransmisikan melalui kontak seksual
dengan penis, vagina, mulut atau anus dengan orang yang terinfeksi. Selain itu juga dapat
ditularkan secara perinatal dari ibu ke bayi melalui persalinan sehingga dapat terjadi ophthalmia
neonatorum (konjungtivitis) dan pneumonia.1,4,6

2. Neisseria gonorrhea Neisseria gonorrhea merupakan bakteri gram negatif, tahan asam,
terlihat diluar dan didalam leukosit, tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati dalam
keadaan kering dan tidak tahan zat disinfektan. Daerah yang paling mudah terinfeksi
adalah daerah dengan mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang
(immatur) yakni pada vagina wanita sebelum pubertas. Bakteri ini penyebab penyakit
gonore. Gonore merupakan penyakit menular seksual yang penularannya terjadi melalui
hubungan kelamin yaitu secara genito-genital, oro-genital dan ano-genital. Dapat juga
menular dari Ibu ke bayi selama persalinan. N. gonorrhea menjangkit membran mukosa
saluran reproduksi diantaranya serviks, uterus, tuba fallopi di wanita dan uretra di laki-
laki dan wanita. Selain itu juga dapat mengenai membran mukosa pada mulut, tenggorok,
mata dan rektum.3,5
3.Trichomonas vaginalis Trichomonas vaginalis merupakan flagelata berbentuk
filiformis, mempunyai 4 flagela dan bergerak seperti gelombang. Parasit ini berkembang
biak secara belah pasang memanjang dan dapat hidup dalam suasana pH 5-7,5. Parasit ini
paling baik tumbuh dalam keadaan anaerobik dan tidak dapat tumbuh pada keasaman
vagina normal. Bentuk infektifnya adalah fase trofozoit. Trichomoniasis merupakan
penyakit menular seksual yang sangat sering terjadi disebabkan oleh infeksi parasit
Trichomonas vaginalis. Lebih sering menginfeksi wanita (lebih sering wanita dewasa
daripada wanita muda) dibandingkan laki-laki. Tranmisi dari penyakit ini melalui
hubungan seksual. Namun dapat juga melalui handuk, pakaian atau saat berenang. Pada
wanita, bagian tubuh yang terinfeksi yakni vulva, vagina atau uretra. Sedangkan, pada
laki-laki bagian tubuh yang terinfeksi yakni penis (uretra). Selama hubungan seksual,
parasit dapat ditransmisikan dari vagina ke penis atau sebaliknya atau dari vagina ke
vagina.1,4
3. Trichomonas vaginalis  Bukan Infeksi Menular Seksual o Gardnerella vaginalis
Gardnerella vaginalis merupakan bakteri yang bersifat anaerob fakultatif, tidak
mempunyai kapsul, tidak bergerak dan tes katalase, oksidase, reduksi nitrat, indole dan
urease semuanya negatif. Bakteri ini biasanya mengisi penuh sel epitel vagina dengan
membentuk bentukan khas yang disebut clue cell. Bakteri ini merupakan penyebab dari
penyakit Vaginosis Bakterial (VB). Vaginosis bakterial merupakan infeksi polimikrobial
yang disebabkan oleh penurunan jumlah laktobasilus dikuti oleh peningkatan bakteri
anaerob yang berlebihan. Paling sering terjadi pada usia 15-44 tahun. Faktor resiko
terjadinya VB antara lain berganti-ganti pasangan, hubungan seksual terlalu dini, IUD,
merokok dan ras hitam yang membuat keseimbangan flora normal vagina terganggu. VB
bukan termasuk penyakit menular seksual (PMS), namun dapat meningkatkan resiko
terkena PMS (HIV, N. gonorrhoeae, C. trachomatis, and HSV- 2).4
4. Gardnerella vaginalis (Clue Cell) o Candida albicans Candida adalah spesies jamur
dari deuteromycota merupakan mikroorganisme oportunistik, selalu ada dan terdapat
pada tubuh dalam jumlah yang sedikit. Apabila terjadi ketidakseimbangan seperti pH
vagina berubah atau perubahan hormonal terjadi maka Candida akan bertambah banyak
dan terjadilah Candidiasis. Sekitar 75% semua wanita dewasa minimal 1 kali pernah
alami infeksi jamur dalam seumur hidupnya, laki- laki juga dapat terkena walaupun
jarang. Faktor resiko terjadinya infeksi jamur ini antara lain sistem imun yang rendah,
kehamilan, diabetes melitus, penggunaan antibiotik spektrum luas jangka panjang dan
penggunaan kortikosteroid.1,4

1. 2.5 PATOGENESIS Pada keadaan normal, cairan yang keluar dari vagina wanita dewasa
sebelum menopause terdiri dari epitel vagina, cairan transudasi dari dinding vagina,
sekresi dari endoserviks berupa mukus, sekresi dari saluran yang lebih atas dalam jumlah
yang relatif bervariasi serta mengandung mikroorganisme terutama Lactobacillus.
Lactobacillus mempunyai peranan penting dalam menjaga suasana vagina dengan
menekan pertumbuhan mikroorganisme patologis (Gardnerella vaginalis, Mobiluncus
spp., Neisseria gonorrhoeae, Peptostreptococcus anaerobius, P. Bivia,dll) dengan cara : o
Mengubah glikogen dari epitel vagina yang terlepas menjadi asam laktat sehingga pH
vagina tetap dalam keadaan asam (pH : 3,0 – 4,5) pada wanita dalam masa reproduksi. o
Memproduksi hydrogen peroxide (H2O2) sebagai bacterial antagonism. Menghambat
pertumbuhan mikroorganisme melalui interaksi langsung atau melalui human
myeloperoxidase. Hydrogen peroxide yang diproduksi oleh Lactobacillus inaktivasi HIV-
1, herpes simplex virus type 2 (HSV- 2), Trichomonas vaginalis, G. vaginalis, P. bivia
and E. coli. o Memproduksi bacteriocins (antimicrobial peptides), dengan aktivitas
inhibisi yang bervariasi mulai dari yang sempit (berhubungan dengan Lactobacillus
species) sampai yang luas (beragam kelompok dari bakteri, termasuk G. vaginalis dan P.
bivia) Apabila terjadi ketidakseimbangan suasana flora vagina normal yang dapat
disebabkan oleh penurunan fungsi dari Lactobacillus maka akan terjadi aktivitas dari
mikroorganisme yang selama ini ditekan oleh flora normal vagina sehingga menimbulkan
reaksi inflamasi. Pada Klamidiasis, Chlamydia trachomatis merupakan organisme
intraseluler berkembang melalui 3 stadium yaitu badan elementer, badan
2. 14. inisial dan badan intermedier. Badan elementer masuk ke dalam sel dengan cara
fagositosis. Dalam waktu 8 jam badan elementer berkembang menjadi badan inisial yang
tidak infeksius dan 4 jam berikutnya badan inisial membelah secara biner menjadi badan
intermedier dan kemudian menjadi badan elementer yang siap menginfeksi sel lainnya.
Pematangan badan inisial dan elementer diikuti dengan peningkatan sintesis DNA dan
RNA. Pada waktu sel hospes pecah, badan elementer keluar dan menimbulkan infeksi
pada sel hospes baru. Organisme ini lebih menyukai menginfeksi sel-sel
skuamokolumner yaitu pada zona transisi serviks.6 Pada Gonore, secara morfologik
gonokok terdiri atas 4 tipe yaitu tipe 1 dan 2 yang mempunyai pili sehingga bersifat
virulen dan tipe 3 dan 4 yang tidak memiliki pili sehingga bersifat nonvirulen. Pili ini
akan melekat pada mukosa epitel dan akan menimbulkan reaksi radang. Daerah yang
paling mudah terinfeksi adalah daerah dengan mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng
yang belum berkembang (immatur) yakni pada vagina wanita sebelum pubertas. Pada
masa pra pubertas, epitel vagina dalam keadaan belum berkembang (sangat tipis)
sehingga mudah terjadi vaginitis gonore. Sedangkan, pada masa reproduktif, lapisan
selaput lendir vagina menjadi matang dan tebal dengan banyak glikogen dan basil
Doderlein. Basil Doderlein akan memecahkan glikogen sehingga menghasilkan suasana
asam yang tidak menguntungkan kuman gonokok. Kemudian, kuman ini akan mengalami
pertumbuhan lagi pada masa menopause karena selaput lendir vagina menjadi atrofi,
kadar glikogen menurun dan basil Doderlein juga berkurang sehingga menguntungkan
untuk kuman gonokok.1,4 Pada Trikomoniasis, Trichomonas vaginalis mampu
menimbulkan peradangan pada dinding saluran urogenital dengan cara invasi sampai
mencapai jaringan epitel dan subepitel. Pada wanita, yang diserang bagian
3. 15. dinding vagina sedangkan pada laki-laki yang diserang terutama uretra, kelenjar
prostat, kadang-kadang preputium, vesikula seminalis dan epididimis. Pada Vaginosis
Bakterial (VB), terjadi pergeseran flora normal (Lactobacillus sp.) di vagina dengan
konsentrasi tinggi mikroorganisme patologis misalnya, Prevotella sp., Mobiluncus sp.,
Gardnerella vaginalis, Ureaplasma, Mycoplasma, dan berbagai bakteri anaerob lainnya.
Akibatnya terjadi perubahan pH sehingga memicu pertumbuhan Gardnerella vaginalis,
Mycoplasma dan Mobiluncus yang normalnya dapat dihambat. Organisme ini
menghasilkan produk metabolit contohnya amin, yang menaikkan pH vagina dan
menyebabkan pelepasan sel-sel vagina. Selain itu, amin juga menyebabkan timbulnya
bau pada vaginal discharge/ fluor albus dari vaginosis bakterial. Pada Kandidiasis, terjadi
karena perubahan kondisi lingkungan vagina. Sel ragi akan berkompetisi dengan flora
normal. Hal-hal yang memudahkan pertumbuhan ragi antara lain penggunaan antibiotik
spektrum luas jangka lama, penggunaan kontrasepsi, kadar estrogen yang tinggi,
kehamilan, diabetes yang tidak terkontrol, penggunaan obat imunosupresan, pemakaian
pakaian ketat dan pakaian dalam yang tidak menyerap keringat dengan baik.4 Adanya
benda asing seperti AKDR, adanya cincin pesarium, tertinggalnya kondom dapat
merangsang pengeluaran cairan vagina secara berlebihan. Jika terjadi kontak dengan
bakteri di vagina, leukorea menjadi keruh dan berbau, tergantung penyebab infeksinya.
4. 16. 2.6 GEJALA 2.6.1 Leukorea Fisiologis Secara umum, individu tidak memiliki
keluhan hanya merasa tidak nyaman dengan keluarnya cairan/ sekret tidak berwarna/
jernih, tidak berbau, tidak gatal dan tidak ada nyeri saat berkemih maupun senggama.
Tabel dibawah ini menjelaskan leukorea nornal.4 Cycle Type of Discharge Causes 1-7
Menstrual bleeding begins and ends (your period) Lining of uterus sheds because
pregnancy didn’t occur. 8-13 Small amounts of creamy discharge (usually white) Pre-
ovulation, estrogen hormone rises. 14-16 Increased amounts of cloudy to clear, discharge
may have stringy consistency Ovulation occurs 17-28 Small amounts of thicker discharge
or none at all Post-ovulation Tabel 1. Hubungan siklus haid dengan leukorea fisiologis
Gambar 6. Vaginal discharge/ leukorea fisiologis
5. 17. 2.6.2 Leukorea Patologis  Radang pada vagina o Vaginosis Bakterial Individu
dengan VB akan mengeluh adanya vaginal discharge/ duh tubuh vagina yang ringan /
sedang berwana abu-abu dan berbau amis (fishy). Bau dirasakan lebih menusuk setelah
senggama dan mengakibatkan darah menstruasi berbau abnormal. Iritasi daerah vagina
atau sekitar vagina membuat rasa gatal dan terbakar yang relatif ringan. Nyeri abdomen,
nyeri saat berhubungan atau saat berkemih jarang terjadi. Sekitar 50% penderita VB
bersifat asimtomatik. Pada pemeriksaan sangat khas, adanya duh tubuh vagina
bertambah, warna abu-abu homogen, viskositas rendah/ normal, bau amis, jarang
berbusa. Duh tubuh melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis, pH
sekret vagina berkisar 4,5 – 5,5. Pada pemeriksaan kolposkopi, tidak terlihat dilatasi
pembuluh darah dan tidak ditemukan penambahan densitas pembuluh darah pada dinding
vagina. Gambaran serviks normal.1,4 Gambar 7. Vaginosis Bakterial
6. 18. o Kandidiasis Keluhan yang menonjol adalah rasa gatal, terbakar/ panas sering kali
disertai dengan iritasi vagina, disuria (nyeri saat berkemih) atau keduanya. Cairan vagina
yang keluar berwarna putih seperti susu yang bergumpal-gumpal (“cottage cheese- like”),
tidak berbau dan pH sekret vagina <4,5. Pada pemeriksaan dalam, seringkali
memperlihatkan eritema dinding vulva dan vagina, kadang-kadang dengan plak yang
menempel. Sedangkan pada laki-laki, biasa mengeluh rasa gatal dan kemerahan pada
penis.1 Gambar 8. Candidosis Vulvovagina o Trikomoniasis Trikomoniasis pada wanita,
yang diserang terutama dinding vagina. Dapat bersifat akut dan kronik. Pada kasus akut,
terlihat sekret vagina seropurulen berwarna kekuning-kuningan, kuning-hijau, berbau
tidak enak (malodorous), berbusa, rasa gatal dan dapat disertai disuria. Dinding vagina
tampak kemerahan dan sembab. Kadang terbentuk abses kecil pada dinding vagina dan
serviks, yang tampak sebagai granulasi berwarna merah yang dikenal sebagai strawberry
apperance dan disertai dispareunia, pendarahan
7. 19. pascakoitus dan pendarahan intermenstrual. Bila sekret, banyak yang keluar dapat
timbul iritasi pada lipat paha atau sekitar genitalia eksterna. Pada kasus kronik, gejala
lebih ringan dan biasanya sekret vagina tidak berbusa.1,7 Gambar 9. Trikomoniasis
Vaginalis  Radang pada serviks uteri o Klamidiasis Infeksi klamidia tidak menimbulkan
keluhan pada 30%-50% kasus dan dapat menetap selama beberapa tahun. Penderita
mengeluh keluar cairan purulen dari vagina, bercak darah atau pendarahan
pascasanggama. Pada pemeriksaan serviks, tampak erosi, rapuh dan terdapat cairan
mukopurulen berwarna kuning-hijau. Bila tidak segera ditangani, klamidia dapat
menyebabkan penyakit radang panggul yaitu terjadinya nyeri kronis akibat infeksi pada
uterus dan saluran tuba. Radang panggul dapat menyebabkan infertilitas dan kehamilan
ektopik.1,6
8. 20. Gambar 10. Chlamydia cervicitis o Gonorea Sebagian besar wanita dengan gonorea
memiliki gejala yang asimtomatik. Jika memiliki gejala, biasanya gejalanya ringan dan
tidak spesifik. Gejalanya antara lain disuria, kadang- kadang poliuria, kadang timbul rasa
nyeri pada punggung bawah. Pada pemeriksaan dalam didapatkan labia mayora dapat
bengkak, merah dan nyeri tekan. Kadang kelenjar bartholini ikut meradang dan terasa
nyeri saat berjalan / duduk. Pada uretra, didapatkan orifisium uretra eksternum tampak
merah, edema dan ada sekret mukopurulen. Sedangkan, pada pemeriksaan serviks,
tampak merah dengan erosi dan sekret purulen.1,5 Gambar 11. Gonorea
9. 21. 2.7 DIAGNOSIS 2.7.1 Leukorea Fisiologis Dalam anamnesis, didapatkan tidak ada
keluhan pada pasien, mungkin hanya dirasakan tidak nyaman. Leukorea fisiologis dapat
terjadi saat mendekati ovulasi (karena rangsangan seksual), menjelang dan sesudah
menstruasi, saat kehamilan, penggunaan kontrasepsi hormonal,dll. Pada dasarnya terjadi
karena pengaruh hormonal. Leukorea fisiologis terdiri dari cairan yang kadang-kadang
berupa mukus yang memiliki banyak epitel dengan leukosit yang jarang. Ciri-cirinya
antara lain berwarna putih, jernih dan menjadi kekuningan bila kontak dengan udara,
tidak gatal, dan tidak berbau. Dalam pemeriksaan, pH vagina berkisar 3,8-4,2 , cairan
vagina putih/ jernih dan halus, pada pemeriksaan dengan KOH (uji whiff) tidak
didapatkan bau amis. Pada pemeriksaan mikroskop didapatkan laktobasili dan sel-sel
epitel.1 2.7.2 Leukorea Patologis o Vaginosis Bakterial  Vaginosis bakterial di diagnosis
dengan Amsel’s Diagnostic Criteria, dimana harus memenuhi 3 dari 4 tanda/ gejala
dibawah ini 9: o Duh tubuh vagina tampak homogen, tipis dan berwarna putih keabu-
abuan o Ditemukan adanya clue cells pada pemeriksaan mikroskopik o pH vagina >4,5 o
Adanya fishy odor / amis pada cairan vagina sebelum/ sesudah ditetesi 10% KOH (uji
whiff)  Metode lain yang digunakan adalah metode diagnostik secara mikrobiologis,
yaitu pemeriksaan pewarnaan Gram dengan melihat skor Nugent, dimana metode ini
telah terbukti memiliki sensitivitas
10. 22. dan spesifisitas yang tinggi dan digunakan sebagai baku emas diagnostik. Pewarnaan
Gram adalah pemeriksaan laboratorium yang cepat yang berguna untuk melihat
polimorfonuklear dan flora mikrobial. Metode Nugent pada pewarnaan Gram berguna
untuk mendeteksi pergeseran flora normal vagina oleh mikroorganisme lain. Sistem
skoring pada pewarnaan Gram dipakai sebagai metode standar untuk diagnosis VB.
Skoring berdasarkan tiga morfotipe, yaitu : bakteri batang Gram positif besar
(Lactobacillus),bakteri batang Gram negatif kecil atau variabel (Gardnerella dan bakteri
anaerob) dan bakteri batang bengkok Gram negatif/batang Gram variabel. Pemeriksaan
ini berdasarkan pergeseran morfotipe dari Lactobacillus yang dominan menjadi
Gardnerella vaginalis dan bakteri anerob serta Mobiluncus. Pulasan vagina pada
pewarnaan Gram dilihat dibawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Skor yang
diberikan adalah 0 sampai 10 berdasarkan proporsi relatif dari morfologi bakteri, yaitu
apakah bentuk batang Gram positif besar, bentuk batang Gram negatif kecil dan variabel
atau bentuk batang bengkok Gram negatif/batang Gram variabel.2,9 Tabel 2. Skor
Nugent
11. 23. Penilaian dihitung berdasarkan jumlah rata-rata morfologi yang terlihat setiap lapang
pandang, dan pemeriksaan pada 10 lapang pandang. Tabel 3. Interpretasi Skor Nugent 
Metode lainnya antara lain Affirm VP III merupakan sistem molekular untuk deteksi
vaginitis. Sensitivitas Affirm VPIII test adalah 87.7% dan spesifisitas nya 96% dan dapat
digunakan untuk penegakkan diagnosa VB secara cepat dan OSOM BV Blue test, dimana
deteksi meningkatnya aktivitas sialidase dalam cairam vagina, enzim yang diproduksi
oleh bakteri patogen yang terkait dengan vaginosis bakteri termasuk Gardnerella,
Bacteroides, Prevotella dan Mobiluncus.9 Gambar 12. Affirm VP III  Gonorea
Diagnosis mikrobiologis spesifik pada infeksi N.gonorrhoeae harus dilakukan pada
semua orang berisiko atau diduga memiliki gonore. Diagnosis spesifik dapat berpotensi
mengurangi komplikasi, reinfeksi, dan transmisi.
12. 24. Kultur dan NAAT tersedia untuk deteksi infeksi N.gonorrhoeae. Pada kultur,
diperlukan spesimen dari swab endoserviks (wanita) dan uretra (laki-laki). Sedangkan,
pada NAAT dapat digunakan spesimen berupa swab endoserviks, swab vagina, swab
uretra (untuk laki-laki) dan urin (untuk laki-laki dan perempuan). 9 Dengan kultur, selain
dapat deteksi N.gonorrhoeae pada alat reproduksi, dapat juga deteksi di orofaring, rektal
dan konjungtiva, lain halnya dengan NAAT tidak dizinkan oleh FDA dalam
menggunakan spesimen tersebut. Padahal, sensitivitas dari NAAT dalam deteksi
N.gonorrhoeae pada urogenital dan nongenital lebih superior daripada kultur. Selain itu,
juga perlu dilakukan uji resistensi antibiotik pada gagal pengobatan N.gonorrhoeae.
Metode lainnya dengan menggunakan pewarnaan Gram dengan spesimen swab uretra
dan terlihat Gram negatif diplokokus memberikan diagnosis positif pada laki-laki yang
bergejala. Namun, karena sensitivitasnya yang rendah maka hasil yang negatif tidak
dapat menyingkirkan diagnosis N.gonorrhoeae. Alternatif lain dengan menggunakan
pewarnaan MB/GV (Methylene Blue or Gentian Violet), dianggap positif N.gonorrhoeae
apabila ada WBC containing intracellular purple diplococci. 9  Klamidiasis Infeksi
Chlamydia trachomatis dapat di diagnosis dengan uji first- catch urine dan
mengumpulkan swab endoserviks/ vagina pada wanita, sedangkan uji first-catch urine
dan swab uretra pada laki- laki. NAAT merupakan tes yang paling sensitif menggunakan
13. 25. spesimen tersebut dan dapat digunakan untuk diagnosis infeksi Chlamydia
trachomatis. 9  Kandidiasis Kandidiasis terbagi atas uncomplicated dan complicated
vulvovaginal candidiasis. Dalam anamnesis pada uncomplicated VVC, penderita dengan
Candida vaginitis terdapat gejala disuria dan pruritus pada vulva, nyeri, bengkak dan
kemerahan. Tandanya berupa edema pada vulva, fisura, ekskoriasi dan cairan/ sekret
vagina yang tebal. Diagnosis dapat dibuat pada penderita yang memiliki tanda-tanda dan
gejala vaginitis ditambah dengan 1) Persiapan basah (saline, 10% KOH) atau pewarnaan
gram pada cairan vagina menunjukkan budding yeasts, hyphae atau pseudohyphae atau 2)
Kultur atau tes lainnya menghasilkan hasil yang positif untuk spesies ragi. Candida
vaginitis dikaitkan dengan pH vagina normal (<4,5). Penggunaan KOH 10% pada wet
preparations meningkatkan visualisasi pada ragi dan miselia. Pemeriksaan ini seharusnya
dilakukan pada semua wanita dengan tanda dan gejala vulvovaginal candidiasis dan yang
hasilnya positif harus diberikan terapi yang adekuat. Untuk yang hasilnya negatif dalam
wet preparations, namun memiliki tanda/gejala, kultur vagina untuk Candida
dipertimbangkan. Apabila kultur tidak dapat dilakukan, berikan terapi empiris.
Mengidentifikasi Candida dengan kultur tanpa adanya gejala atau tanda-tanda bukan
merupakan indikasi untuk pengobatan, karena sekitar 10% -20% dari wanita memiliki
Candida sp. dan ragi yang lain pada vagina. Kultur tetap
14. 26. merupakan gold standard dalam diagnosis vulvovaginal candidiasis. Pada
complicated VVC, kultur vagina harus dilakukan konfirmasi diagnosis dan deteksi
spesies yang tidak biasanya/ jarang seperti Candida glabrata (Candida glabrata tidak
membentuk pseudohifa/ hifa dan tidak mudah ditemukan di mikroskop). 9 
Trikomoniasis Penggunaan tes yang sangat sensitif dan spesifik direkomendasikan untuk
mendeteksi Trichomonas vaginalis. NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) sangat
sensitif, dapat mendeteksi infeksi Trichomonas vaginalis 3-5 kali lebih baik dari wet-
mount microscopy, metode dengan sensitivitas rendah (51% - 65%). The APTIMA T.
vaginalis assay untuk mendeteksi Trichomonas vaginalis dari vagina, endoserviks, atau
spesimen urin dari wanita. Pengujian ini mendeteksi RNA oleh amplifikasi transkripsi-
dimediasi dengan sensitivitas klinis 95,3% -100% dan spesifisitas 95,2% -100%. 9
OSOM Trichomonas Rapid Test, tes untuk deteksi antigen dengan menggunakan
immunochromatographic capillary flow dipstick technology dan the Affirm VP III, uji
DNA hibridisasi untuk evaluasi T. vaginalis, G. vaginalis dan Candida albicans. Hasil
dengan menggunakan OSOM Trichomonas Rapid Test muncul dalam 10 minutes,
dengan sensitivitas 82%–95% dan spesifisitas 97%–100% . Hasil dengan menggunakan
the Affirm VP III muncul dalam 45 minutes. Sensitivitas dan spesifisitasnya 63% and
99.9%.
15. 27. Kultur merupakan gold standard dalam diagnosis infeksi T. vaginalis sebelum adanya
deteksi secara molekular. Kultur mempunyai sensitivitas 75%–96% dan spesifisitas
sampai 100%. Pada wanita, cairan/ sekret vagina sebagai spesimen untuk kultur.
Sedangkan, pada laki-laki menggunakan swab uretra, urin sedimen atau semen. Untuk
meningkatkan hasil, beberapa spesimen dari laki-laki dapat digunakan dalam satu kultur
tunggal. 9 Tabel 4. Karakteristik dari infeksi vagina yang paling umum.2
2.8 TERAPI
2.8.1 Leukorea Fisiologis Secara umum, vaginal discharge yang keluar secara fisiologis tidak
diperlukan terapi. Namun, diperlukan edukasi bahwa cairan/ sekret tersebut akan keluar secara
fisiologis dari tubuh karena pengaruh hormonal seperti yang telah dijabarkan diatas. Apabila
cairan/ sekret tersebut menjadi bertambah banyak, berbau, gatal bahkan menimbulkan nyeri baik
saat berkemih maupun bersenggama, lakukan konsultasi ke dokter segera agar dapat mengetahui
penyebab dan dapat di berikan terapi yang adekuat.
2.8.2 Leukorea Patologis o Vaginosis Bakterial Terapi direkomendasikan untuk wanita dengan
gejala. Keuntungan dari terapi pada wanita tidak hamil untuk meredakan gejala dan tanda-tanda
infeksi. Keuntungan lainnya adalah mengurangi resiko terkena C. trachomatis, N. gonorrhoeae,
T. vaginalis, HIV, and Herpes Simplex Type 2.8,9,10 Konsumsi alkohol harus dihindari selama
pengobatan dengan nitroimidazole sampai 24 jam setelah selesai pengobatan dengan
metronidazole dan 72 jam setelah pengobatan dengan tinidazole untuk mengurangi kemungkinan
disulfiram-like reaction. Penderita harus disarankan untuk menahan diri dari aktivitas seksual
atau menggunakan kondom secara konsisten dan benar selama regimen pengobatan. Selain itu,
semua wanita dengan Vaginosis Bakterial disarankan untuk melakukan tes HIV dan PMS
lainnya. Berdasarkan data dari uji klinis menunjukkan bahwa respon wanita untuk terapi dan
kemungkinan kambuh atau kekambuhan tidak terpengaruh oleh pengobatan pasangannya seks.
Oleh karena itu, pengobatan rutin pasangan seksnya tidak dianjurkan. Pertimbangan Khusus : 
Intravaginal clindamycin cream diberikan pada kasus alergi atau tidak toleransi terhadap
metronidazole atau tinidazole. Intravaginal metronidazole gel dapat diberikan pada wanita yang
tidak alergi terhadap metronidazole tapi tidak toleransi terhadap oral metronidazole.  Terapi
vaginosis bakterial direkomendasikan untuk semua wanita hamil yang bergejala yaitu
Metronidazole 2x500 mg. Efek vaginosis bakterial pada kehamilan antara lain ketuban pecah
dini, persalinan prematur, bayi prematur, infeksi intraamniontik dan post partum endometritis.
Apabila diberikan terapi yang adekuat, akan mengurangi tanda dan gejala infeksi vagina. o
Walaupun metronidazole dapat menembus sawar plasenta namun tidak didapatkan bukti
teratogenik. o Data mengenai tinidazole sangat terbatas, berdasarkan penelitian pada hewan
didapatkan moderate risk dalam penggunaannya pada kehamilan sehingga tidak
direkomendasikan untuk ibu hamil.
16. 30.  Vaginosis bakterial terjadi lebih sering pada wanita dengan HIV. Wanita dengan
HIV yang memiliki VB harus menerima rejimen pengobatan sama dengan mereka yang
tidak memiliki infeksi HIV. o Gonorea Terapi untuk gonorea cukup rumit karena
kemampuan N. gonorrhoeae untuk membuat resisten terhadap antimikrobial. Berdasarkan
studi, terapi untuk gonorea dibuat menjadi terapi kombinasi dua obat dengan mekanisme
kerja (misalnya cephalosporin dan azitromisin) yang berbeda untuk meningkatkan
efektivitas dan memperlambat terjadinya resistensi.9,10 Pasangan seksualnya harus
diberikan terapi yang adekuat untuk mengurangi transmisi dan reinfeksi. Selain itu, juga
di instruksikan untuk tidak melakukan hubungan seksual sampai terapi pengobatan
selesai dan tidak bergejala.  Pertimbangan Khusus : o Alergi
17. 31. Reaksi alergi terhadap sefalosporin generasi pertama terjadi pada <2,5% dari orang
dengan riwayat alergi penisilin dan jarang terjadi dengan sefalosporin generasi ketiga
(misalnya, ceftriaxone dan cefixime). Penggunaan ceftriaxone atau sefiksim merupakan
kontraindikasi pada orang dengan riwayat alergi penisilin IgE- mediated (misalnya,
anafilaksis, sindrom Stevens Johnson, dan nekrolisis epidermal toksik). Terapi yang
dapat diberikan : terapi kombinasi dengan dosis tunggal oral gemifloxacin 320 mg
ditambah oral azithromycin 2 g atau terapi kombinasi dengan dosis tunggal IM
gentamicin 240 mg ditambah oral azithromycin 2 g. Jika tersedia, spectinomycin dapat
digunakan. o Kehamilan Wanita hamil dengan infeksi N. gonorrhoeae seharusnya di
berikan terapi kombinasi ceftriaxone 250 mg IM dosis tunggal dan azithromycin 1 g oral
dosis tunggal. Ketika alergi cephalosporin dan tidak terdapat spectinomycin, konsultasi
dengan spesialis. o HIV Penderita dengan HIV positif diberikan terapi yang sama dengan
HIV negatif. o Suspek gagal terapi dengan cephalosporin Kegagalan dalam terapi, dapat
terlihat :  Penderita yang tetap bergejala dalam waktu 3-5 hari setelah pengobatan yang
adekuat dan melaporkan tidak ada kontak seksual selama periode pasca pengobatan. 
Penderita dengan positif test-of-cure (yaitu , kultur positif > 72 jam atau positif NAAT ≥7
hari setelah menerima pengobatan yang adekuat) serta tidak ada kontak seksual selama
periode pasca pengobatan.
18. 32. Suspek gagal terapi dengan cephalosporin seharusnya segera di terapi secara rutin
dapat menggunakan regimen yang direkomendasikan : ceftriaxone 250 mg IM ditambah
azitromisin 1 g oral. Namun, dalam situasi kemungkinan suspek gagal terapi lebih tinggi
dari pada reinfeksi, spesimen yang diperoleh sebaiknya dikultur dan dilakukan tes
antimikrobial sebelum di lakukan terapi. Regimen yang dapat diberikan : terapi
kombinasi dengan dosis tunggal oral gemifloxacin 320 mg ditambah oral azithromycin 2
g atau terapi kombinasi dengan dosis tunggal gentamicin 240 mg IM ditambah oral
azithromycin 2 g. Penderita dengan suspek gagal terapi setelah terapi dengan regimen
alternatif (cefixime dan azithromycin) sebaiknya diterapi dengan ceftriaxone 250 mg IM
dosis tunggal dan azithromycin 2 g oral dosis tunggal. o Klamidiasis Memberikan terapi
pada yang terinfeksi dengan C. trachomatis mencegah komplikasi dan transmisi seksual
dan terapi yang adekuat pada pasangan dapat mencegah reinfeksi dan infeksi ke mitra
lainnya. Terapi bagi ibu hamil dapat mencegah penularan C. trachomatis terhadap
neonatus. Pengobatan klamidia harus diberikan segera untuk semua orang yang positif
terinfeksi. Penundaan dalam pengobatan dikaitkan dengan komplikasi (misalnya, PID).
9,10
19. 33. Berdasarkan data meta-analisis, terapi dengan azitromycin dan doxycycline sama
efektifnya dengan tingkat kesembuhan 97-98%. Untuk meminimalkan penularan
penyakit ke pasangan seks dan reinfeksi, penderita diinstruksikan untuk tidak melakukan
hubungan seksual selama 7 hari setelah terapi dosis tunggal atau sampai selesainya
regimen 7 hari dan tidak bergejala. Penderita infeksi Chlamydia trachomatis disarankan
tes untuk HIV, GC, dan sifilis. Uji kegagalan terapi tidak direkomendasikan pada pasien
yang mendapat recommended/ alternative regimens kecuali tidak adanya kepatuhan,
suspek reinfeksi dan gejala yang menetap. Pasangan seks harus dirujuk untuk evaluasi,
pengujian, dan pengobatan jika memiliki hubungan seksual dengan pasangan selama ≥ 60
hari sebelum onset pasien bergejala atau di diagnosis infeksi Chlamydia trachomatis. 
Pertimbangan Khusus : o Kehamilan Doksisiklin merupakan kontraindikasi untuk
kehamilam trimester 2 dan 3. Ofloksasin dan levofloksasin memiliki resiko rendah
terhadap janin selama kehamilan namun berpotensi toksik pada saat menyusui.
Berdasarkan studi, azitromycin aman dan efektif. Semua wanita hamil dengan infeksi
klamidia seharusnya di tes ulang setelah menyelesaikan 3 bulan terapi karena terdapat
sekuele bagi ibu dan bayi apabila infeksi menetap. Wanita yang berumur <25 tahun dan
memiliki resiko tinggi untuk infeksi klamidia
20. 34. (memiliki pasangan baru, lebih dari 1 pasangan, pasangan yang memiliki penyakit
menular seksual) seharusnya di skrining selama trimester 3 untuk mencegah komplikasi
pada ibu dan bayi. Regimen terapi : Seringnya efek samping gastrointestinal yang terkait
dengan eritromisin dapat mengakibatkan ketidakpatuhan pada regimen alternatif. Dosis
rendah 14 hari regimen eritromisin dapat dipertimbangkan. Estolate eritromisin
merupakan kontraindikasi selama kehamilan karena hepatotoksisitas terkait obat. o HIV
Penderita infeksi klamidia dengan HIV diberikan terapi yang sama dengan non-HIV. o
Candidiasis  Uncomplicated VVC Terapi topikal jangka pendek (dosis tunggal dan
regimen 1-3 hari) efektif untuk obati uncomplicated VVC. Obat topikal azole lebih
21. 35. efektif dari pada nystatin. Terapi dengan azole meredakan gejala dan membuat kutur
negatif pada 80-90% pasien yang telah jalani pengobatan lengkap. 9,10 Uncomplicated
VVC biasanya tidak diperoleh melalui hubungan seksual. Dengan demikian, data tidak
mendukung pengobatan pasangan seks.
22. 36.  Complicated VVC o Recurrent Vulvovaginal Candidiasis (RVVC) RVVC, biasanya
di definisikan sebagai empat atau lebih episode gejala VVC dalam waktu 1 tahun, terjadi
pada sekitar <5% wanita. Patogenesis RVVC kurang jelas, dan sebagian besar wanita
dengan RVVC tidak memiliki predisposisi jelas atau kondisi yang mendasarinya. Spesies
C. glabrata dan nonalbicans lainnya diamati pada 10% -20% dari wanita dengan RVVC.
Terapi :  Individu dengan episode RVVC yang disebabkan oleh C. albicans memiliki
respon yang baik terhadap pengobatan oral atau topikal azole. Namun, untuk
mempertahankan klinis dan mikologi kontrol, beberapa studi merekomendasikan
pengobatan jangka panjang (7–14 days of topical therapy or a 100-mg, 150-mg, or 200-
mg oral dose of fluconazole every third day for a total of 3 doses (day 1, 4, and 7)
sebelum regimen pemeliharaan.  Oral fluconazole (i.e., 100-mg, 150-mg, or 200-mg
dose) seminggu sekali selama 6 bulan sebagai regimen lini pertama untuk pemeliharaan.
Apabila regimen ini tidak dapat dilaksanakan, terapi topikal dapat diberikan. Terapi
pemeliharaan yang adekuat dapat menurunkan kejadian RVVC. Penderita dengan gejala
simtomatik, dengan kultur positif walaupun sudah diberikan terapi pemeliharaan
konsultasi ke dokter spesialis.
23. 37. o Severe VVC Severe VVC : extensive vulvar erythema, edema, excoriation, and
fissure formation. Rekomendasi terapi : 7–14 days of topical azole or 150 mg of
fluconazole in two sequential oral doses (second dose 72 hours after initial dose). o
Nonalbicans VVC Setidaknya 50% dari wanita dengan kultur positif untuk nonalbicans
Candida mungkin memiliki minimal gejala atau tidak memiliki gejala dan karena
pengobatan yang berhasil seringkali sulit, maka harus menyingkirkan penyebab lain dari
gejala vagina pada wanita dengan nonalbicans ragi. Pengobatan optimal nonalbicans
VVC masih belum diketahui. Pilihan meliputi terapi jangka panjang (7–14 hari) dengan
nonfluconazole azole regimen (oral atau topikal) sebagai lini pertama. Jika berulang, 600
mg boric acid dalam kapsul gelatin diberikan lewat vagina 1 kali sehari selama 2 minggu.
 Pertimbangan khusus : o Wanita dengan sistem imun yang rendah (diabetes yang tidak
terkontrol, HIV dan dalam pengobatan imunosupresan) tidak respon baik terhadap
pengobatan jangka pendek sehingga diperlukan pengobatan jangka panjang (7-14 hari). o
VVC pada wanita hamil hanya boleh diberikan terapi topikal azole selama 7 hari.
24. 38. o Kolonisasi Vaginal Candida dan simtomatik VVC pada penderita HIV lebih tinggi
dan sering dari pada non-HIV sehingga diberikan regimen fluconazole dengan dosis 200
mg seminggu sekali. Regimen ini tidak dianjurkan pada wanita dengan HIV tanpa
complicated VVC. o Trikomoniasis9,10  Konsumsi alkohol harus dihindari selama
pengobatan dengan nitroimidazole sampai 24 jam setelah selesai pengobatan dengan
metronidazole dan 72 jam setelah pengobatan dengan tinidazole untuk mengurangi
kemungkinan disulfiram-like reaction. Selain itu, jangan berhubungan seksual sampai
penderita dan pasangan seksnya mendapatkan terapi adekuat dan tidak bergejala.
Penderita trikomoniasis, disarankan melakukan tes HIV.  Karena tingginya tingkat
reinfeksi (17% dalam waktu 3 bulan dalam satu studi), pengujian ulang untuk T.
vaginalis direkomendasikan untuk semua wanita yang aktif secara seksual dalam waktu 3
bulan setelah pengobatan awal.  Memberikan terapi pada pasangan seks adalah penting
untuk mengurangi gejala-gejala, menyembuhkan dan pencegahan penularan dan
reinfeksi. Pasangan disarankan untuk menjauhkan diri
25. 39. dari hubungan seksual sampai penderita dan pasangan seks telah menyelesaikan
terapi yang adekuat dan tidak bergejala.  Trikomoniasis persisten dan berulang Infeksi
persisten dan berulang disebabkan oleh anti-microbial resistant terhadap Trichomonas
vaginalis atau reinfeksi dari pasangan seks yang tidak diobati. Resisten terhadap
metronidazole terjadi sekitar 4-10% sedangkan tinidazole 1%. Pengobatan secara dosis
tunggal tidak berlaku pada trikomoniasis berulang. Jika pengobatan gagal dengan
metronidazole 2 g dosis tunggal dan penyebabnya bukan reinfeksi maka dapat diberikan
metronidazole 2x500 mg selama 7 hari.  Pertimbangan khusus : o Metronidazol dan
tinidazol keduanya merupakan nitroimidazoles. Pasien dengan IgE mediated-typed
allergy terhadap Nitroimidazole dapat dikelola oleh desensitisasi metronidazole sesuai
dengan rejimen yang diterbitkan dan konsultasi ke spesialis. o Infeksi Trichomonas
vaginalis pada wanita hamil meningkatkan resiko ketuban pecah dini, persalinan
prematur dan bayi berat lahir rendah. Untuk wanita hamil dengan gejala simtomatik,
diberikan terapi metronidazole 2g oral dosis tunggal. o 50% wanita dengan HIV
terjangkit infeksi Trichomonas vaginalis.
26. 40. 2.9 PENCEGAHAN Pencegahan yang dapat dilakukan agar leukorea/ keputihan tidak
berulang, antara lain10 :  Menjaga kebersihan genitalia o Membersihkan bagian luar
vagina setiap hari dengan air dan menjaganya tetap kering o Menghindari penggunaan
cairan pembersih kewanitaan o Cara membersihkan organ reproduksi dengan benar yaitu
dari arah depan ke belakang untuk mencegah penyebaran bakteri dari anus ke vagina o
Saat menstruasi, biasakan mengganti pembalut apabila sudah terasa basah/ lembab 
Memperhatikan pakaian organ kewanitaan kering dan tidak lembab o Menghindari
menggunakan pakaian dalam/ celana panjang yang terlalu ketat karena meningkatkan
kelembaban organ kewanitaan o Menggunakan pakaian dalam dari bahan katun agar
menyerap keringat o Apabila pakaian dalam terasa lembab, segera ganti dengan yang
kering dan bersih  Mengatur pola hidup yang sehat o Setia kepada pasangan o Hindari
seks bebas berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan alat pelindung sepeti kondom. o
Hindari stress, merokok dan alkohol o Konsumsi makanan bergizi dan menjaga berat
badan ideal o Hindari penggunaan barang-barang pribadi berbagi dengan orang lain
seperti handuk, pakaian dalam,dll
27. 41. 2.10 KOMPLIKASI Pada kasus-kasus yang tidak diberikan terapi adekuat, infeksi
tersebut dapat menyebar ke traktus reproduksi bagian atas dan menyebabkan penyakit
lain yang lebih serius. Pada Vaginosis Bakterial, komplikasi yang dapat terjadi antara lain
meningkatkan resiko terjadinya persalinan prematur pada kehamilan, ketuban pecah dini,
infeksi cairan ketuban dan resiko terkena dan transmisi dari HIV. Sedangkan, pada
Gonore komplikasi yang dapat terjadi antara lain sekuele permanen pada wanita yaitu
terjadinya infertilitas akibat PID (Pelvic Inflammatory Disease). Sedangkan pada
Klamidiasis, dapat menyebabkan komplikasi PID, nyeri panggul kronis, infertilitas faktor
tuba dan resiko kehamilan ektopik. Sedangkan pada Trikomoniasis, komplikasi yang
dapat terjadi antara lain komplikasi dalam kehamilan yakni persalinan prematur, ketuban
pecah dini dan bayi berat lahir rendah. 9,10 2.11 PROGNOSIS Secara umum memiliki
prognosis yang baik apabila diberikan regimen terapi dengan durasi yang tepat serta
terapi pada pasangan seksual serta mengikuti instruksi (minum obat secara rutin dengan
dosis yang sesuai dan tidak melakukan hubungan seksual selama pengobatan sampai
terapi selesai dan tidak bergejala). Pada Vaginosis Bakterial prognosis kesembuhan baik
yakni mencapai 70-80%, Kandidiasis sekitar 80-95% dan Trikomoniasis sekitar 95%
dengan terapi yang adekuat. 9,10
28. 42. BAB III KESIMPULAN Vaginal discharge (leukorea/ fluor albus/ keputihan)
merupakan salah satu masalah yang sering dikeluhkan mulai dari usia muda sampai usia
tua. Vaginal discharge bukan penyakit, namun merupakan suatu manifestasi klinis dari
suatu penyakit. Vaginal discharge / leukorrhea terbagi atas leukorrhea fisiologis dan
patologis. Leukorrhea fisiologis dapat terjadi pada bayi baru lahir, saat menarke, saat
ovulasi, karena rangsangan seksual, saat kehamilan, mood/ stress serta penggunaan
kontrasepsi hormonal. Sedangkan, leukorrhea patologis dapat terjadi diakibatkan oleh
infeksi pada alat reproduksi yang dapat disebabkan oleh infeksi bakteri (Neisseria
gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Gardnerella vaginalis, Treponema pallidum),
Jamur (Candida Albicans), Parasit (Trichomonas vaginalis), benda asing, iritasi, dll.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Dalam anamnesis, perhatikan karakteristik dari discharge (warna, konsistensi,
bau), disertai rasa gatal, terbakar dan nyeri (baik saat berkemih maupun bersenggama).
Dalam pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan spekulum, dapat melihat sumber
keluarnya cairan/ sekret tersebut serta memperhatikan karakteristik dari vaginal discharge
disesuaikan dengan penyebabnya. Dalam pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan ukur
pH, pewarnaan Gram, kultur, pemeriksaan sediaan basah serta pemeriksaan secara
molekular (NAATs, PCR, dll). Tatalaksana diberikan secara adekuat terhadap masing-
masing penyebab berdasarkan pedoman regimen yang telah dibahas sebelumnya untuk
mencegah terjadinya komplikasi obstetrik dan ginekologik seperti PID (Pelvic
Inflammatory Disease), infertilitas, kehamilan ektopik, persalinan prematur, ketuban
pecah dini, infeksi cairan amnion,dll.

29. 43. DAFTAR PUSTAKA 1. Wiknjosastro, H, Saifuddin, B, Rachimhadi, Trijatmo. Radang dan
Beberapa Penyakit pada Alat Genital Wanita. Ilmu Kandungan. 2011. Edisi ketiga. Cetakan
pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo. Hal. 221-226 2.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC. Williams Obstetrics and Gynecologic.
22nd. San Fransisco: The McGraw-Hill Companies. 2007 3. Todar K: Todar’s Online
Textbook of Bacteriology: The Pathogenic Neisseriae. Madison, WI, University of Wisconsin
Madison Department of Bacteriology, 2004. 4. McCance KL, Huether SE. Pathophysiology:
The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. USA: Elsevier Mosby; 2006.p.829-
833. 5. Grella M: Gonorrhea. Available at: http: //emedicine.medscape.com/article/2 18059-
overview#showall, 2016. 6. Houry DE: Chlamydia, Available at: http:
//emedicine.medscape.com /article /214823-differential, 2016. 7. Vander, Barbara:
Trichomonas Vaginalis Infection. Available at:
http://cid.oxfordjournals.org/content/44/1/23.full, 2016. 8. Menaldi SL, Bramono K. Indriatmi
W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI: 2014. 9.
Centers for Disease Control and Prevention: Sexually Transmitted Diseases Treatment
Guidelines 2015. Available at : http://www .cdc.gov/std/tg2015 /default.htm 10. Wibisono B.
Daili SF. Makes WB. Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual. Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P3L). Departemen Kesehatan RI.
Jakarta: 2010.
BAB III
LAPORAN KASUS

Nama : Ny. R
Umur : 27 tahun
Alamat :
Status perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Pemeriksaan : 18 Desember 2019

Anamnesis :
Keputihan sejak 2 minggu yang lalu. Keputihan berwarna putih, encer dan lengket seperti
susu, dan tidak berbau amis. Keputihan keluar sepanjang hari. Keputihan tidak disertai darah
maupun nyeri saat berhubungan. Terkadang terasa gatal pada kelamin . Bintil pada kelamin tidak
ada.
Keluhan disertai dengan adanya rasa nyeri maupun rasa seperti terbakar ketika kencing.
Kencing sedikit-sedikit dan tidak lampias. Demam disangkal. Nyeri perut disangkal. Nyeri
punggung disangkal.

Riwayat penyakit dahulu : keputihan (+) 3 bulan yang lalu, HIV (-). DM (-)
Usaha berobat : belum berobat
Status kehamilan : Tidak hamil
Riwayat KB : KB suntik 3 bulan
Riwayat pasangan : bekerja sebagai petani, kemungkinan berganti-ganti pasangan (-), riwayat
HIV (-), penggunaan narkotika (-)

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : kesan sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 88x/menit, regular
Respirasi : 22x/menit
Suhu : 36.5oC

Status Generalis
Mata : conjunctiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil bulat, isokor, diameter 3-4 mm, RC
+/+
THT : rhinorrhea -/-, otorrhea -/-, faring tidak hiperemis, T1/T1, ulkus (-)
Leher : Trakea letak sentral, KGB tidak teraba
Thoraks : Pulmo : VBS ki=ka, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : Bunyi jantung murni, S1 S2, regular, murmur (-)
Abdomen : cembung, soepel, tympani, Bising usus (+) Normal.
Genital : lihat status venerologikus
Extremitas : Akral hangat, CRT < 2”, edema (-). Xerosis (-).

Status Venerologikus
Mons Pubis : erosi (-) lesi (-)
Vulva : hiperemis (-) eritema (-) benjolan (-) pruritus (-) vegetasi (-) ulkus (-)
Ostium Vagina : sekret putih dan lengket (+)
Uretra : dbn
Perineum : dbn
Perianal : dbn
KGB inguinal : tidak teraba
Inspekulo
Serviks : hiperemis (+) erosi (-) perdarahan (-) folikel (-)
Ostium Uterus : perdarahan (-) sekret (+)putih dan lengket(+)
Vagina : hiperemis (+), sekret putih dan lengket (+). Ulkus (-) Vegetasi (-) erosi (-)

Diagnosis Kerja : Fluor Albus

Tatalaksana : Cefixime 400 mg po SD + Azitromycin 1000 mg po SD + Metronidazole 2x500


mg selama 7 hari
Usulan Pemeriksaan : pemeriksaan duh tubuh + HIV

Hasil pemeriksaan IVA : Negatif (-)

Tatalaksana : Nystatin 100.000 IU intravaginal 1x1 selama 7 hari + Metronidazole 2x500


selama 7 hari

Daftar Pustaka
Widyastuti, Yani, Anita Rahmawati, Yuliasti Eka Purnamaningrum. Kesehatan Reproduksi.
Yogyakarta: Fitramaya; 2009:58.
4. WHO. Mental Health Aspects of Women’s Reproductive Health: A Global Review of the
Literature. Geneva: WHO Press; 2009:1.
5. Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Depkes RI. 2008.
6. Nduru, Leo Marthin. Hubungan Perilaku Mengenai Keputihan dengan Riwayat Keja- dian
Keputihan pada Ibu-ibu Nelayan di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan [Skripsi].
Medan: Universitas Sumatera Utara; 2016.
7. Kanatasay, Tanisraaj. Karakteristik Pasien Penderita Leukorea di RSUP H. Adam Malik,
Medan pada Tahun 2012 [Skripsi]. Medan: USU; 2012.
12.Kristiana, Dita, Karjiyem, Ery Khusnal. Hubungan Persepsi tentang Kesehatan Reproduksi
dengan Personal Hygiene pada Siswi.JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 1, Maret 2018 Sekolah
Menengah Pertama. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan. 2012;8(1):1-11. 13.
13.Katharini, Kusrini, Yuliawati Prasetyowati. Hubungan Personal Hygiene dengan Kejadian
Keputihan pada Siswi SMU Muhammadiyah Metro Tahun 2009. Jurnal Kesehatan “Metro Sai
Wawai”. 2009;2(2):45-51.
1. Wiknjosastro, H, Saifuddin, B, Rachimhadi, Trijatmo. Radang dan Beberapa Penyakit pada Alat
Genital Wanita. Ilmu Kandungan. 2011. Edisi ketiga. Cetakan pertama. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirodihardjo. Hal. 221-226

Anda mungkin juga menyukai