Anda di halaman 1dari 36

ANALISIS

Pada laporan kasus ini, dilakukan analisis pada pasien atas nama Tn. S

dengan diagnsosis TB paru relaps dengan diabetes mellitus tipe 2. Sebelumnya

pasien sudah mengalami sakit TB paru dan telah selesai melakukan pengobatan

selama 6 bulan. Setelah 5 bulan yang lalu dinyatakan sembuh, pasien kembali

mengeluhkan batuk. Pasien kemudian dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang.

Tuberkulosis (TBC) masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang

paling penting di dunia. Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis.1 Tuberkulosis terutama menyerang paru-paru (TBC

paru). Namun, penyakit ini juga dapat mempengaruhi organ lain di luar paru

(TBC ekstrapulmonal). Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus

insiden setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan

insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan.

Badan kesehatan dunia mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high burden

countries (HBC) untuk TBC berdasarkan 3 indikator yaitu TBC, TBC/HIV, dan

MDR-TBC. Terdapat 48 negara yang masuk dalam daftar tersebut. Satu negara

dapat masuk dalam salah satu daftar tersebut, atau keduanya, bahkan bisa masuk

dalam ketiganya. Indonesia bersama 13 negara lain, masuk dalam daftar HBC

untuk ke 3 indikator tersebut. Artinya Indonesia memiliki permasalahan besar

dalam menghadapi penyakit TBC. Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak

420.994 kasus pada tahun 2017. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru

18
TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan.

Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC

misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini

menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak

68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok. 2 Pada kasus ini,

pasien berjenis kelamin laki-laki dan memiliki kebiasan merokok yang merupakan

faktor risiko dari tuberkulosis.

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan

paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Diagnosis tuberkulosis dapat

ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan

bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.1

a. Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu

gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala

sistemik. Gejala respiratorik yaitu:1

 batuk ≥ 3 minggu
 batuk darah
 sesak napas
 nyeri dada
Gejala sistemik
 demam
 gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan

menurun
Pada kasus ini, pasien memiliki gejala respiratorik batuk selama 1 bulan,

batuk dengan bercak darah 1 kali, dan sesak napas. Sedangkan gejala sistemik

yang ditemukan pada pasien yaitu keringat malam dan penurunan berat badan.
b. Pemeriksaan Jasmani

19
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan

struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak

(atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di

daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah

apex lobus

inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas

bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,

diafragma dan mediastinum.1 Pemeriksaan fisik pada pasien tidak ditemukan

rhonki pada kedua lapang paru.

c. Pemeriksaan Bakteriologik

Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan

pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan

bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi

(termasuk biopsi jarum halus/BJH). Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS) yaitu

Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan); Pagi (keesokan harinya);

Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari

berturut-turut. Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain

(cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan

bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat

dilakukan dengan cara mikroskopik dan biakan.1

Pemeriksaan mikroskopik dapat berupa, mikroskopik biasa: pewarnaan

Ziehl-Nielsen, pewarnaan Kinyoun Gabbett dan mikroskopik fluoresens:

pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening).1

20
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:1

 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif


 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali, kemudian
bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif
bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif
Catatan:

Bila terdapat fasilitas radiologik dan gambaran radiologik menunjukkan

tuberkulosis aktif, maka hasil pemeriksaan dahak 1 kali positif, 2 kali

negatif tidak perlu diulang.

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD

(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis

and Lung Disease).1

 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif


 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang

ditemukan
 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pemeriksaan biakan Mycobacterium tuberculosis dengan metode

konvensional ialah dengan cara, egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa,

Kudoh) dan agar base media (Middle brook). Melakukan biakan dimaksudkan

untuk mendapatkan diagnosis pasti dan dapat mendeteksi Mycobacterium

tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT).1

Pada kasus ini, pemeriksaan dahak pada pasien tidak memenuhi standar

karena pasien hanya dilakukan pemeriksaan dahak 1 kali yaitu pagi hari dan

didapatkan hasil BTA negatif.


d. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.

Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-

21
macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB

aktif:1
 Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru

dan segmen superior lobus bawah


 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan

atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat

dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA dahak negatif):


 Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan

luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal

junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4

atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti.
 Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.
Pada hasil foto thorax PA pasien didapatkan gambaran opasitas inhomogen

di lobus superior pulmo bilateral, batas tak tegas, air bronchogram (+), infiltrat

(+), kesan gambaran radiologi adalah TB pulmo bilateral lama aktif.

22
Gambar 1. Skema Alur Diagnosis P2TB1

23
Gambar 2. Skema Alur Diagnosis TB Paru pada Orang Dewasa (Alternatif)1
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam:1
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA

positif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif


 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

biakan positif
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik

dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons

dengan pemberian antibiotik spektrum luas


 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan

M.tuberculosis positif

24
 Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
Pada kasus ini pasien masuk dalam klasifikasi pasien tuberkulosis paru

BTA (-) dengan gambaran klinik (+), dan gambaran radiologik menunjukkan

tuberkulosis aktif.
Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, ada beberapa tipe penderita

yaitu:1
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau

sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian

kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan

positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik

sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan:


 Infeksi sekunder
 Infeksi jamur
 TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten

dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut

harus membawa surat rujukan/pindah.


d. Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2

minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita

tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif


e. Kasus Gagal
 Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi

positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
 Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif

menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran

radiologik ulang hasilnya perburukan


f. Kasus kronik

25
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah

selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik


g. Kasus bekas TB
 Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan

gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran

radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat

pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung


 Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun

setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada

perubahan gambaran radiologik.


Pada kasus, pasien merupakan pasien TB relaps karena pasien sebelumnya

pernah mendapat pengobatan tuberkulosis selama 6 bulan dan telah dinyatakan

sembuh kemudian kembali lagi berobat dengan keluhan batuk namun hasil

pemeriksaan dahak BTA negatif tetapi pada gambaran radiologik dicurigai lesi

aktif kembali.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3

bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari

paduan obat utama dan tambahan.1


Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
 Rifampisin
 INH
 Pirazinamid
 Streptomisin
 Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari:
 Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,

isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan


 Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,

isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg


3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
 Kanamisin
 Kuinolon

26
 Obat lain masih dalam penelitian; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
 Derivat rifampisin dan INH
Tabel 1. Dosis Obat Anti Tuberkulosis1

International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan

WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi

dosis tetap dalam pengobatan TB. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap

berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 2.1

Tabel 2. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap1

Tabel 3. Ringkasan Paduan Obat Anti Tuberkulosis1

27
Tabel 4. Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya1

28
Berikut pemeriksaan dalam terapi OAT yang penting diperhatikan:3
 Pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT, periksa hasil resistensi

OAT atau drug susceptibility test (DST) pada bulan kedua pengobatan, bila

terdapat resistensi ganti obat sesuai protokol MDR TB.


 Cek sputum pada BTA pada akhir fase intensif (akhir bulan ke-2 terapi pada

pasien baru dan akhir bulan ke-3 pada pasien yang sebelumnya telah

mendapat OAT).
 Jika masih positif, cek ulang sputum BTA pada akhir bulan ke-3 terapi pada

pasien baru dan akhir bulan ke-4 pada pasien yang sebelumnya telah

mendapat OAT.
 Jka masih positif, pasien dinyatakan gagal terapi. Pada pasien baru yang

belum pernah mendapat OAT stop kategori 1 atau mulai terapi kategori 2.

29
Cek kultur dan DST pada pasien baru cek bulan dan DST pasien yang

sebelumnya telah mendapat OAT.


 Jika hasil kutur dan DST positif ditemukan resistensi, maka pasien mulai

dulu protokol MDR-TB.


Pada kasus, pasien merupakan pasien TB relaps dengan BTA negatif tetapi

klinis dan radiologik mendukung diagnosis TB. Pasien pada kasus ini disarankan

untuk dilakukan pemeriksaan lajutan untuk mengetahui adanya resistensi OAT.


Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi:1
 Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat

pengobatan TB
 Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah penderitanya

sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak


 Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat pengobatan

sebelumnya.
Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap obat TB, yaitu:

Monoresistan adalah resistensi terhadap salah satu OAT, misalnya resistan

terhadap INH saja, atau rifampisin saja, dll; Polyresistan adalah resistensi

terhadap lebih dari satu OAT, selain isoniazid (H) bersama rifampisin (R),

misalnya resistensi terhadap H-E atau R-E, atau H-E-S, dll; Multi drug resistan

(MDR) adalah resistan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid (H) dan rifampicin

(R), secara bersamaan dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya :

HR, HRE, HRES; Ekstensif drug resistan (XDR) adalah TB MDR, disertai

resistensi terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan salah satu dari

OAT injeksi lini kedua (Capreomisin, Kanamisin, dan Amikasin); Total drug

resistan (Total DR) adalah resistensi terhadap semua OAT (lini pertama dan lini

kedua).4
Faktor risiko MDR diantaranya tidak patuh berobat, hasil monitoring

sputum BTA tetap positif pada akhir bulan ke-2 dan ke-3 setelah terapi, riwayat

30
perburukan dengan terapi OAT, terpajan pada lingkungan atau instalasi yang

prevalensi tinggi MDR, gagal terapi sebelumnya, kondisi komorbid seperti

malabsorbsi atau rapid-transit diare, memiliki dabetes mellitus tipe 2. 3 Pada kasus

pasien diketahui memiliki diabetes melitus tipe 2 yang baru terdiagnosis.


Pada pasien TB paru dengan diabetes melitus terdapat tatalaksana khusus

meliputi:1
 Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan regulasi baik/ gula darah terkontrol
 Bila gula darah tidak terkontrol, fase lanjutan 7 bulan : 2 RHZ(E-S)/ 7 RH
 DM harus dikontrol
 Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol ke

mata; sedangkan penderita DM sering mengalami komplikasi kelainan pada

mata
 Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin akan mengurangi efektiviti obat

oral anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan


 Perlu kontrol/pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk

mengontrol/mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan


Hubungan diabetes mellitus dengan tuberkulosis pertama kali dilaporkan

oleh Avicenna (Ibnu Sina) pada abad XI, yaitu TB merupakan penyebab kematian

utama penderita DM. Peningkatan risiko tuberkulosis aktif pada penderita DM

diduga akibat dari gangguan sistem imun yang ada pada penderita DM,

peningkatan daya lekat kuman Mycobacterium tuberculosis pada sel penderita

DM, adanya komplikasi mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati, dan

banyaknya intervensi medis pada pasien tersebut. Sebuah penelitian menunjukkan

adanya risiko aktivasi TB pada pasien DM, namun belum ada penelitian yang

mendukung adanya peningkatan infeksi primer TB pada penderita DM. Data

WHO menunjukkan bahwa DM akan meningkatkan risiko infeksi tuberkulosis 3

kali lebih besar dari populasi normal.5


Pasien dengan diabetes bersamaan mengalami hasil pengobatan TB yang

lebih buruk, tingkat kekambuhan yang lebih tinggi setelah pengobatan

31
tuberkulosis, dan risiko kematian yang lebih tinggi dari TBC dibandingkan

dengan pasien tuberkulosis saja. Diabetes dan tuberkulosis sering terjadi secara

bersamaan dan saling menyulitkan untuk pengobatan di berbagai tingkatan.

Organisasi Kesehatan Dunia dan Uni Internasional Tuberculosis paru

mengembangkan kerangka kerja kolaboratif untuk perawatan dan pengendalian

diabetes dan tuberkulosis dengan cara menekankan skrining dua arah pada kedua

penyakit tersebut secara rutin.6


Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakterisktik hiperglikemia kronik yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja isulin, atau kedua-duanya. Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi

empat kelompok, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe khusus yang lain, dan DM

pada kehamilan. Kecurigaan DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik

DM (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan sebabnya) dan keluhan lain (lemah badan, kesemutan, gatal, mata

kabur dan disfungsi ereksi pada laki-laki, serta pruritus vulvae pada perempuan).5

Kriteria diagnosis DM sebagai berikut.


Tabel 1. Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus5

Pada anamnesis pasien ditemukan gejala klasik DM yaitu sering kencing di

malam hari, sering haus, dan sering lapar. Pada pemeriksaan laboratorium

didapatkan GDP 147 mg/dl dan GD2PP 279 mg/dl sehingga pasien didiagnosis

menderita diabetes mellitus.

32
Penyakit TBC paru terjadi ketika daya tahan tubuh menurun. Dalam

perspektif epidemiologi yang melihat kejadian penyakit sebagai hasil interaksi

antar tiga komponen pejamu (host), penyebab (agent), dan lingkungan

(environment) dapat ditelaah faktor risiko dari simpul-simpul tersebut. Pada sisi

pejamu, kerentanan terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis sangat

dipengaruhi oleh daya tahan tubuh seseorang pada saat itu. Pengidap HIV AIDS

atau orang dengan status gizi yang buruk lebih mudah untuk terinfeksi dan

terjangkit TBC.2

Mikobakteri adalah bakteri berbentuk batang, aerob, yang tidak membentuk

spora. Walaupun tidak mudah diwarnai, sekali diwarnai bakteri ini menahan asam

atau alkohol sehingga disebut basil “tahan asam”. Pada jaringan tubuh,

Mycobacterium tuberculosis berupa batang lurus dan tipis berukuran sekitar 0,4 x

3 µm. Pada media artifisial, bakteri ini memilki bentuk kokoid dan filamentosa

yang terlihat dalam berbagai morfologi dari satu spesies ke spesies lain. Basil

tuberkulosis sejati ditandai oleh “sifat tahan asam” yaitu etil alkohol 95% yang

mengandung asam hidroklorida (asam-alkohol) dnegan cepat menghilangkan

warna semua bakteri kecuali mikobakteri. Sifat tahan asam ini bergantung kepada

integritas selubung lilin. Pewarnaan teknik Ziehl-Neelsen dilakukan untuk

identifikasi bakteri tahan asam.7


Metode pewarnaan tahan-asam Ziehl Neelsen:7
1. Fiksasi apusan dengan panas
2. Lumuri dengan karbolfuksin, panaskan selama 5 menit di atas ap langsung

(atau selama 20 menit di atas air panas). Jangan sampai mendidih atau

sediaan kering.
3. Bilas dengan air deionisasi

33
4. Lakukan dekolorisasi dengan asam-alkohol 3,0% (etanol 95% dan asam

klorida 3,0%) sampai hanya tersisa warna merah muda tipis


5. Bilas dengan air
6. Lakukan pewarnaan balik (counterstrain) selama 1 menit dengan biru

metilen Loeffler
7. Bilas dengan air terdeionisasi dan biarkan mengering.
Media kultur Mycobacterium tuberculosis yang sering digunakan adalah

Lowenstein-Jensen. Media ini mengandung garam tertentu, gliserol, dan substansi

organik kompleks (misal, telur segar atau kuning telur, tepung kentang, dna

bahan-bahan lainnya dalam berbagai kombinasi). Hijau malakit ditambahkan

untuk menghambat bakteri lain. Inokulum kecil dari spesimen pasien akan

tumbuh pada media ini dalam 3-6 minggu.7

Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis (panah) pada spesimen sputum yang telah


diproses dan diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelsen7

Mikobakteri adalah bakteri aerob obligat dan memperoleh energi dari

oksidasi banyak senyawa karbon sederhana. Peningkatan tekanan CO2

meningkatkan pertumbuhan bakteri. Waktu pembelahan basil tuberkulosis adalah

sekitar 18 jam dan berproliferasi baik pada suku 22-33oC. Dinding M.

tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).

Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks

34
(complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan

mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat

merupakan asam lemak berantai panjang (C78 – C90) yang dihubungkan dengan

arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan

fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah

polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang

kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu

apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna

tersebut dengan larutan asam–alkohol.1,7 Mikobakteri terkandung di dalam droplet

berdiameter <25µm ketika pasien yang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara.

Droplet akan menguap dan meninggalkan organisme yang cukup kecil untuk

terdeposit di dalam alveoli ketika dihirup. Ketika berada di dalam alveoli, sistem

imun pejamu akan merespon dengan mengeluarkan sitokin dan limfokin yang

mestimulasi monosit dan makrofag, mikobakteri mulai berkembang biak di dalam

makrofag. Beberapa dari makrofag tersebut meningkatkan kemampuan untuk

membunuh organisme, sednagkan yang lainnya dapat dibunuh oleh basil. Setelah

1-2 bulan pasca papapran, di paru terlihat lesi patogenik yang disebabkan oelh

infeksi. Resistensi dan hipersensitivitas pejamu sangat mempengaruhi

perkembangan penyakit dan tipe lesi yang terlihat. Basil tuberkulosis menyebar di

pejamu melalui penyebaran langsung, melalui saluran limfe dan aliran darah, serta

melalui bronki dan saluran pencernaan. Begitu mikobakteri memantapkan dirinya

di dalam jaringan, organisme ini terutama menetap secara intraseluler di dalam

monosit, sel retikuloendoteliat, dan sel raksasa. Lokasi intraseluler ini merupakan

35
salah satu dari beberapa sifat mikobakteri yang mempersulit kemoterapi dan

memudahkan reistensi mikroba.7


Paru pada penderita DM akan mengalami perubahan patologis, seperti

penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat

sekunder dari komplikasi mikroangopati sama seperti yang terjadi pada retinopati

dan nefropati. Gangguan neuropati dari syaraf otonom dapat berupa hipoventilasi

sentral dan sleep apneu. Selain itu juga dapat terjadi penurunan elastisitas rekoil

paru, penurunan kapasitas difusi karbon monoksida, dan peningkatan endogen

produksi karbondioksida. Kejadian infeksi paru pada penderita DM

merupakan akibat kegagalan sistem pertahanan tubuh, dalam hal ini paru

mengalami gangguan fungsi pada epitel pernapasan dan juga motilitas silia.

Gangguan fungsi dari endotel kapiler vaskular paru, kekakuan korpus sel darah

merah, perubahan kurva disosiasi oksigen akibat kondisi hiperglikemia yang lama

menjadi faktor kegagalan mekanisme pertahanan melawan infeksi. Sitokin yang

dihasilkan oleh sistem imun baik innate immunity maupun adaptive immunity

sangat berperan dalam pertahanan tubuh terhadap kuman Mycobacterium

tuberculosis yang kemudian dapat menginduksi imunitas seluler tipe 1, yang

merupakan respons utama tubuh untuk melawan TB. Terdapat peningkatan IFN-

pada pasien DM, demikian pula TNF-α. Hal ini menunjukkan gangguan respons

imun seluler. Seperti diketahui untuk optimalisasi respons imun

membutuhkan rangsangan kemokin yang lebih besar. Terdapat peningkatan

ambang batas untuk sekresi TNF-α, IL-6, IL-8 pada pasien dengan diabetes

mellitus. Dalam sebuah percobaan in vitro, monosit penderita DM diisolasi dan

diberi rangsangan lipopolisakarida (LPS) maka sekresi IL-1 dan IL-6 akan

turun dibandingkan pada monosit orang sehat. Dengan metode yang sama dari

36
monosit orang sehat yang dipapar dengan kadar gula tertentu menunjukkan

penurunan sekresi TNF-α dan IL-6. Makrofag dan monosit mengalami gangguan

kemotaksis dan fagositosis. Gangguan yang terjadi merupakan defek intrinsik oleh

karena pada percobaan in vitro monosit dari serum pasien tanpa DM, meskipun

dipapar gula, tetap memiliki fungsi yang normal. Penelitian Garud dkk di India

menunjukkan penurunan indeks fagositik makrofag pada penderita DM, dikatakan

indeks ini berhubungan terbalik dengan kadar gula dan HbA1C.5

37
Konsep dasar dan proses terjadinya penyakit dalam epidemiologi

berkembang dari rantai sebab akibat menuju suatu proses kejadian penyakit yaitu

proses interaksi antara manusia (pejamu) dengan berbagai sifatnya (biologis,

fisiologis, psikologis, sosiologis dan antropologis), dan dengan penyebab (agent)

serta lingkungan (enviroment). Menurut John Gordon, model segitiga

epidemiologi menggambarkan interaksi tiga komponen penyakit yaitu manusia

(Host), penyebab (Agent) dan lingkungan (Enviroment).8

Gambar diatas menunjukkan kondisi seimbang dimana tidak ada masalah

kesehatan karena terjadi keseimbangan antara host, agent dan environment.

Penyakit dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan antar ketiga

komponen tersebut. Model ini lebih dikenal dengan model triangle epidemiologi

atau triad epidemilogi dan cocok untuk menerangkan penyebab penyakit infeksi

sebab peran agent (yakni mikroba) mudah diisolasikan dengan jelas dari

lingkungan.8,9

38
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang dalam

ilmu epidemiologi dikenal dengan segitiga epidemiologi yaitu Agent-Host-

Environment (AHE). Segitga epidemiologi ini sangat umum digunakan oleh para

ahli dalam menjelasakan kosep berbagai permasalahan kesehatan termasuk salah

satunya adalah terjadinya penyakit. Hal ini sangat komprehensif dalam

memprediksi suatu penyakit. Terjadinya suatu penyakit sangat tergantung dari

keseimbangan dan interaksi ketiganya.10,11


1. Agent
Agent dapat berasal dari berbagai unsur seperti unsur biologis yang

disebabkan oleh mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, parasit, protozoa,

metazoa, dll), unsur nutrisi karena bahan makanan yang tidak memenuhi standar

gizi yang ditentukan, unsur kimiawi yang disebabkan karena bahan dari luar tubuh

maupun dari dalam tubuh sendiri (karbon monoksida, obat-obatan, arsen,

pestisida, dll), unsur fisika yang disebabkan oleh panas, benturan, dll, serta unsur

psikis atau genetik yang terkait dengan heriditer atau keturun. Demikian juga

dengan unsur kebiasaan hidup (rokok, alkohol, dll), perubahan hormonal dan

unsur fisioloigis seperti kehamilan, persalinan, dll. Pada kasus kali ini, agen

39
disebabkan oleh agen biologi yaitu bakteri Microbacterium tuberculosis yang

menyebabkan pasien ini menderita penyakit TB.10,11


2. Host
Host atau penjamu ialah keadaan manusia yang sedemikan rupa sehingga

menjadi faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit. Faktor ini di sebabkan oleh

faktor intrinsik. Faktor penjamu yang biasanya menjadi faktor timbulnya suatu

penyakit sebagai berikut:10,11,12


a. Umur. Misalnya, usia lanjut lebih rentan untuk terkena penyakit karsinoma,

jantung dan lain-lain daripada yang usia muda.


b. Jenis kelamin (seks). Misalnya, penyakit kelenjar gondok, kolesistitis,

diabetes melitus cenderung terjadi pada wanita serta kanker serviks yang

hanya terjadi pada wanita atau penyakit kanker prostat yang hanya terjadi

pada laki-laki atau yang cenderung terjadi pada laki-laki seperti hipertensi,

jantung, dll.
c. Ras, suku (etnik). Misalnya pada ras kulit putih dengan ras kulit hitam yang

beda kerentanannya terhadap suatu penyakit.


d. Genetik (hubungan keluarga). Misalnya penyakit yang menurun seperti

hemofilia,buta warna, sickle cell anemia, dll.


e. Status kesehatan umum termasuk status gizi, dll. Pada laporan kasus kali ini

didapatkan status gizi pasien baik, dimana didapatkan IMT pasien 22 kg/m2.
f. Bentuk anatomis tubuh
g. Fungsi fisiologis atau faal tubuh
h. Keadaan imunitas dan respons imunitas
i. Kemampuan interaksi antara host dengan agent
j. Penyakit yang diderita sebelumnya
k. Kebiasaan hidup dan kehidupan sosial dari host sendiri. Pada kasus ini pasien

memiliki interaksi yang cukup sering dengan teman pasien yang memiliki

keluhan serupa dengan pasien namun tidak pernah berobat.

Karakteristik host terbagi menjadi 3 yaitu

a. Resistensi: kemampuan Host untuk bertahan hidup terhadap infeksi

(agent)

40
b. Imunitas: kemampuan Host mengembangkan sistem kekebalan tubuh, baik

didapat maupun alamiah


c. Infectiousness: potensi Host yg terinfeksi untuk menularkan penyakit yang

diderita kepada orang lain

Pada laporan kasus ini, pasien mengalami sakit karena terdapat masalah

pada kebiasaan hidup dan kehidupan sosial dari host sendiri dimana pasien

memiliki interaksi yang cukup sering dengan teman pasien yang memiliki

keluhan serupa dengan pasien namun tidak pernah berobat. Selain itu juga

terdapat faktor infectiousness dimana pasien memiliki risiko untuk

menularkan penyakit yang diderita kepada orang lain. Oleh karena itu pada

laporan kasus kali ini juga dilakukan screening terhadap keluarga pasien yang

tinggal di rumah yang sama dengan pasien dan dilakukan intevensi untuk

mencegah penularan lebih lanjut dari pasien kepada orang-orang disekitarnya.


10,11,12

3. Environment
Faktor lingkungan adalah faktor yang ketiga sebagai penunjang terjadinya

penyakit, hal ini karena faktor ini datangnya dari luar atau bisa disebut dengan

faktor ekstrinsik. Faktor lingkungan ini dapat dibagi menjadi:10,11


a. Lingkungan Biologis (flora & fauna)
Mikro organisme penyebab penyakit reservoar, penyakit infeksi (binatang,

tumbuhan). Vektor pembawa penyakit tumbuhan dan binatang sebagai sumber

bahan makanan, obat dan lainnya


b. Lingkungan Fisik
Yang dimaksud dengan lingkungan fisik adalah yang berwujud geografik dan

musiman. Lingkungan fisik ini dapat bersumber dari udara, keadaan tanah,

geografis, air sebagai sumber hidup dan sebagai sumber penyakit, zat kimia atau

polusi, radiasi, dll.


c. Lingkungan Sosial Ekonomi

41
Yang termasuk dalam faktor lingkungan soial ekonomi adalah sistem ekonomi

yang berlaku yang mengacu pada pekerjaan sesorang dan berdampak pada

penghasilan yang akan berpengaruh pada kondisi kesehatannya. Selain itu juga

yang menjadi masalah yang cukup besar adalah terjadinya urbanisasi yang

berdampak pada masalah keadaan kepadatan penduduk rumah tangga, sistem

pelayanan kesehatan setempat, kebiasaan hidup masyarakat, bentuk organisasi

masyarakat yang kesemuanya dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan

terutama munculnya bebagai penyakit.

Berdasarkan aspek psikososial keluarga, diketahui bahwa keadaan

ekonomi keluarga kurang. Pada laporan kasus kali ini dari hasil anamnesis dan

kunjungan lansung ke rumah pasien, didapatkan kondisi perumahan pasien di

sekitar sungai , kumuh dan gaya hidup yang tidak higenis dimana untuk kegiatana

mandi, buang air besar, buang air kecil dan mencuci baju menggunakan air sungai

di sekitar rumah pasien. Rumah pasien terbuat dari kayu sehingga kondisi rumah

cenderung lembab, serta kurangnya ventilasi yang mengakibatkan kurangnya

sirkulasi udara pada rumah pasien.12

Individu dengan status ekonomi yang rendah memiliki risiko status gizi

yang kurang sehingga mempengaruhi sistem imun, lingkungan rumah yang padat

penduduk, rumah dengan ventilasi yang kurang, kelembaban rumah yang tinggi,

dan polusi udara di dalam ruangan, sehingga memiliki risiko yang lebih besar

untuk terinfeksi TB. Lingkungan tempat tinggal pasien dan keadaan rumah pasien

yang lembab serta kurang penerangan dari cahaya matahari juga menjadi risiko

terhadap penyakit TB yang diderita pasien. Ventilasi bermanfaat untuk menjaga

udara di dalam ruangan agar tidak lembab. Kurangnya ventilasi akan

42
menyebabkan kadar oksigen kurang, kadar karbondioksida bertambah, suhu

ruangan naik, dan kelembaban ruangan meningkat.13,14 Kelembaban yang tinggi

dapat meningkatkan jumlah kuman tuberkulosis. Untuk menurunkan kelembaban

ruangan, cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah harus cukup. Cahaya

matahari dapat membunuh bakteri-bakteri patogen, salah satunya adalah

Mycobacterium tuberculosis. Penelitian Rosiana (2013), menunjukkan bahwa

responden yang intensitas pencahayaan di rumah tidak memenuhi syarat, yaitu

luas penghawaan/ventilasi yang permanen minimal 10% luas lantai, memiliki

risiko 3,9 kali lebih besar menderita TB daripada responden yang intensitas

pencahayaannya memenuhi syarat. Kondisi rumah pasien pada laporan kasus kali

ini berada pada lingkungan kumuh, dan kurang ventilasi sehingga menjadi salah

satu faktor eksternal yang mengakibatnya sakit pada pasien ini dan menjadi faktor

risiko terjadinya relaps pada pasien laporan kasus kali ini.13,14

Kalimantan adalah pulau yang kaya akan Sumber Daya alam hayatinya.

Luas pulau Kalimantan adalah 743.330 km². Propinsi Kalimantan Selatan secara

geografis terletak di antara 114 19" 33" BT-116 33' 28 BT dan 1 21' 49" LS 1 10"

14" LS, dengan luas wilayah 37.377,53 km² atau hanya 6,98 persen dari luas

pulau Kalimantan. Salah satu ibu kota di Kalimantan adalah banjarmasin yang

pada umumnya wilayahnya adalah tanah rawa dan lahan basah. Lahan basah

adalah daerah buatan atau alami berair yang bersifat tetap atau sementara. Airnya

bersifat stagnan/menetap atau pun mengalir. Airnya bersifat tawar, asin, payau.

Lahan basah mencakup kawasan mangrove, kawasan lumpur lepas pantai

(mudfat), lahan gambut, dataran banjir, waduk dan sawah.14

43
Lahan basah mempunyai manfaat untuk lingkungan sekitarnya. Seperti

menjamin persediaan air bersih, berguna untuk menyimpan sementara air limpas

berlebih, dapat mengukuhkan garis tepi laut sehingga mencegah erosi, pada

beberapa kejadian, lahan basah dapat membantu mendampar lahan, menunjang

kehidupan satwa liar. Tetapi karena dilihat pemanfaatan lahan basah kurang baik

maka daerah lahan basah juga identik dianggap sebagai sumber penyakit seperti

tempat berkembang biaknya nyamuk. Sehingga banyak menimbulkan penyakit

contohnya malaria, demam berdarah, demam kuning, dan penyakit yang berkaitan

dengan lahan basah lainya, seperti salah satunya TB.

Rehabilitasi Paru
European Respiratory Society (ERS) pada tahun 1997 dan American

Thoracic Society (ATS) pada tahun 1999 telah melaporkan peran rehabilitasi paru

pada penyakit pernapasan kronis. ATS mendefinisikan rehabilitasi paru sebagai

intervensi berbasis bukti (Evidence Based Medicine), multidisiplin, dan

komprehensif pada penyakit pernapasan kronis yang bergejala sehingga

mengganggu aktivitas sehari-hari yang terdiri dari 3 aspek yaitu pendekatan

multidisiplin melibatkan kolaborasi aktif antara penderita, keluarga, dan penyedia

layanan kesehatan16. Program bersifat individual disesuaikan kebutuhan penderita

yang diintegrasikan dengan perawatan yang mencakup berbagai strategi intervensi

dalam manajemen seumur hidup dengan tetap memperhatikan fungsi fisik,

psikologis, dan sosial.16, 17, 18


Tujuan rehabilitasi paru yaitu mengembalikan keterbatasan ventilasi kepada

fungsi independen tingkat tertinggi yang dapat mengurangi gejala, biaya

44
perawatan,

mengoptimalkan status fungsional, meningkatkan partisipasi, toleransi latihan,

status kesehatan, pencegahan perburukan penyakit, komplikasi dan eksaserbasi.

Peningkatan kualitas hidup penderita dengan memperhatikan faktor psikologis

(seperti mengatasi cemas dan depresi) juga turut menjadi perhatian. Intervensi ini

dapat menstabilkan dan mengembalikan manifestasi sistemik penyakit paru. 16


Rehabilitasi paru diindikasikan pada penyakit paru kronis stabil dengan

gejala sisa yang persisten, keterbatasan aktivitas, dan atau tidak mampu

menyesuaikan diri dengan penyakit meskipun manajemen medis telah optimal.

Selain TB Paru, program ini bermanfaat pada penyakit paru interstitial lainnya

terutama TB paru relaps, fibrosis kistik, bronkiektasis, kelainan dinding dada dan

penyakit paru kronis. Selain itu juga bermanfaat pada penyakit neuromuskular,

pasca operasi reduksi volume paru, fibrosis paru idiopatik, pasca tuberkulosis, dan

penyakit paru restriktif. Berikut gambar siklus batuk yang disertai sesak napas dan

peran rehabilitasi paru dalam menghambatnya. Siklus berputar tiada habisnya

memperburuk kondisi penderita. Rehabilitasi paru mengurangi keluhan sesak

napas sehingga dapat memperbaiki fungsi paru.19,20

Gambar 1 Sirkulus vitiosus peran rehabilitasi paru dalam perbaikan sesak23

45
Pemilihan jenis rehabilitiasi paru penderita TB tergantung gangguan faal

parunya. Secara garis besar komponen program rehabilitasi paru adalah sama,

yaitu

exercise training / latihan fisik, edukasi, intervensi psikologis dan kebiasaan

sehari-hari, dukungan nutrisi, latihan pernapasan, terapi fisik, terapi oksigen dan

bronkodilator. Komponen diatas diperankan oleh kerjasama tim yang terdiri dari

dokter spesialis paru, spesialis penyakit dalam, perawat, fisioterapis, ahli gizi,

terapis okupasional, pekerja sosial, dan psikolog.21,22,23

1. Exercise training atau latihan fisik berupa latihan ketahanan dan kekuatan

anggota gerak bawah dan atas. Penderita dengan penyakit paru cenderung

untuk membatasi gerak karena gerakan akan menambah keluhan sesak, batuk

atau lainnya. Penderita akan lebih banyak pasif dan berakibat atrofi otot.

Latihan fisik meningkatkan daya tahan, fungsi pernapasan, membantu kinerja

aktifitas sehari-hari, mengurangi tekanan sistemik, memperbaiki profil lipid,

melawan depresi, mengurangi cemas dan mempermudah tidur.22 Latihan fisik

ditekankan pada intensitas, spesifisitas dan reversibilitas. Latihan fisik yang

semakin sering memberikan hasil yang lebih baik. Bila latihan fisik dihentikan

dapat menyebabkan hilangnya efek latihan (reversible).21 Latihan fisik anggota

gerak bawah ditekankan kepada kekuatan dan daya tahan otot. Latihan anggota

gerak atas berupa latihan lengan dengan alat (seperti ergometri lengan) atau

latihan lengan tanpa alat (seperti mengangkat beban bebas, pena atau

meregangkan karet gelang).24 Berikut panduan ATS tentang latihan fisik pada

penyakit paru kronis, dalam hal ini tidak menutup kemungkinan rehabilitasi

paru pada sequelae TB.16

46
a. Minimal 20 sesi (dibagi 2-3 kali/minggu) untuk mencapati manfaat

fisiologis
b. Dapat dilakukan di rumah, poliklinik atau rumah sakit
c. Intensitas latihan yang tinggi menghasilkan manfaat fisiologis yang lebih

besar
d. Interval lebih sering diterapkan pada penderita dengan gejala yang lebih

banyak dan berat


e. Diterapkan pada anggota gerak atas dan bawah
f. Melatih daya tahan dan kekuatan otot memberikan efek lebih

menguntungkan.

2. Edukasi diberikan secara individual tergantung kondisi dan kelainan penderita.


Kesuksesan rehabilitasi paru dipengaruhi pemahaman penderita dan keluarga

terhadap penyakit sehingga diharapkan adanya peran aktif penderita dan

dukungan keluarga. Edukasi yang diajarkan adalah strategi bernapas, fungsi

pernapasan normal, patofisiologi penyakit paru, penggunaan obat yang benar

(termasuk oksigen), tehnik higine saluran napas, manfaat latihan, menjaga

aktifitas fisik, diet sesuai, menghindari iritan (termasuk rokok), pencegahan

dan terapi dini infeksi saluran napas akut, indikasi berobat, kontrol cemas,

tehnik relaksasi dan manajemen stress.21,23


3. Masalah psikososial seperti cemas, depresi, memberikan kontribusi pada beban

pernapasan penderita. Intervensi psikososial dan perilaku difokuskan untuk

manajemen stress, mengontrol panik, mengurangi cemas, melawan rasa rendah

diri dan rasa tanpa harapan. Penderita memerlukan dukungan keluarga dalam

mengatasi masalah psikososialnya.23,24


4. Dukungan nutrisi diberikan bersamaan dengan tehnik rehabilitasi paru yang

lain. Status gizi dan kelemahan otot perifer mempengaruhi hasil rehabilitasi.

Nutrisi yang buruk tampak pada rendahnya berat badan dan abnormalitas

komposisi tubuh seperti lingkar lengan kecil yang berkontribusi terhadap

47
morbiditas terkait penurunan kekuatan otot pernapasan, toleransi latihan dan

status kesehatan. Nutrisi yang baik berkontribusi positif terhadap kekuatan otot

pernapasan.16,24
5. Breathing exercise merupakan suatu teknik yang digunakan untuk

membersihkan jalan napas, merangsang terbukanya sistem collateral,

meningkatkan distribusi ventilasi dan meningkatkan volume paru. Tehnik

pernapasan penting untuk mengontrol laju respirasi, pola pernapasan dan

mengurangi air trapping khususnya pada gangguan obstruksi. Ekshalasi

penderita ini sering tidak adekuat sehingga karbon dioksida tersisa dalam paru

yang akan memicu retensi CO2. Tehnik pernapasan diafragma dan Pursed lips

breathing diharapkan dapat membantu meningkatkan ekshalasi tersebut.

Tehnik pernapasan ini bertujuan untuk memperbaiki keluhan, mengontrol

sesak, mengatur pola napas, mencegah kompresi dinamik saluran napas,

meningkatkan sinkronisasi otot perut-dada saat bernapas dan meningkatkan

pertukaran gas.24 Manuver pernapasan diafragma atau napas perut dilakukan

dengan cara mengembangkan dinding dada saat inspirasi dikombinasikan

dengan memperlambat pengeluarannya saat ekspirasi. Yang ditekankan adalah

bagaimana merangsang bagian sistem saraf pusat yang menyebabkan tubuh

rileks. Tehniknya dengan menarik napas yang dalam dan meregangkan

diafragma, bukan napas dangkal yang sekedar meregangkan tulang kosta.

Pernapasan diafragma dapat dilakukan pada posisi terlentang atau posisi

Trendelenberg.21 Pursed lips breathing diajarkan pada penderita paru terutama

penderita sequelae TB relaps dengan kelainan obstruksi. Manuvernya berupa

inspirasi udara dari hidung kemudian ekspirasi melalui mulut. Ekspirasi

dilakukan dalam 4-6 detik dengan mengerutkan bibir dan penyempitan mulut

48
atau seperti posisi mencium atau bersiul. 21 Tujuannya untuk memperlambat

ekspirasi, mempertahankan tekanan positif untuk menjaga saluran napas tetap

terbuka dan tidak kolaps. Hasilnya adalah berkurangnya hipoksemia,

penurunan penggunaan oksigen suplemen, dan pengurangan sesak. Pursed lip

breathing merupakan salah satu latihan pernapasan guna mengurangi sesak

napas dan mengurangi kerja dari suatu pernapasan, yang dibarengi dengan

pernapasan diafragma dan latihan ini dapat dilakukan dengan meniup lilin,

meniup bola pingpong, dan membuat gelembung di dalam air minum dengan

menggunakan pipa hisap. Latihan ini berfokus pada pengontrolan inspirasi dan

ekspirasi juga dengan pola ekspirasi yang panjang dengan cara bibir mencucu.

Selain itu, breathing control merupakan latihan pernapasan yang dapat

meningkatkan volume paru, mempertahankan alveolus agar tetap

mengembang, meningkatkan oksigenasi, membantu membersihkan sekresi

mukosa, mobilitas sangkar toraks dan meningkatkan kekuatan, daya tahan dan

koordinasi otot-otot respirasi, meningkatkan efektifitas mekanisme batuk,

mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal spine,

koreksi pola-pola napas yang abnormal, dan meningkatkan relaksasi.21,24


6. Mobilisasi sangkar toraks adalah suatu bentuk latihan aktive movement pada

trunk dan extremitas yang dilakukan dengan deep breathing yang bertujuan

untuk meningkatkan mobilitas trunk dan shoulder yang mempengaruhi

respirasi serta memperkuat kedalaman inspirasi dan ekspirasi. Mobiliasi

sangkar toraks dapat dilakukan dengan bantuan pergerakan dari bahu dan

tulang belakang. Mobilisasi sangkar toraks melibatkan gerakan kompleks dari

anggota gerak atas selain itu antara sternum, torakal vertebra, serta otot-otot

pernapasan. Mekanisme mobilisasi sangkar toraks adalah meningkatkan

49
panjang otot interkostalis dengan melakukan kontraksi yang efektif dari

anggota gerak atas.24,25


7. Coughing exercise atau batuk efektif merupakan suatu metode batuk dengan

benar, dimana pasien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah dan

dapat mengeluarkan dahak secara maksimal dari jalan napas dan area paru.

Selain itu coughing exercise menekankan inspirasi maksimal yang dimulai dari

ekspirasi. Adapun tujuan dilakukannya tindakan coughing exercise adalah

merangsang terbukanya sistem kolateral, meningkatkan distribusi ventilasi, dan

meningkatkan volume paru serta memfasilitasi pembersihan saluran napas

yang memungkinkan pasien untuk mengeluarkan sekresi mukus dari jalan

napas, dan tidak lupa sebaiknya pada pasien membuang mukus dikamar mandi

dan tidak sembarangan, dikarenakan dapat menyebabkan kuman TB

menyebar.24
8. Terapi fisik dada penting untuk mengalirkan sekret saluran napas bagi

penderita yang sulit mengeluarkan dahak. Tehniknya berupa postural drainage,

perkusi dada dan vibrasi, dan kontrol batuk. Postural drainage memanfaatkan

gravitasi untuk membantu mengalirkan sekret. Perkusi dada dilakukan secara

hati-hati pada penderita osteoporosis atau kelainan tulang. Batuk adalah teknik

yang efektif untuk menghilangkan kelebihan lendir dari saluran udara yang

lebih besar. Tehnik kontrol batuk berupa menghirup udara sedalam mungkin,

lalu menahan napas selama beberapa detik kemudian batuk dua atau

tiga kali dengan mulut terbuka. Penderita disarankan mengompres perut bagian

atas untuk membantu batuk.21


9. Oksigen jangka panjang dan bronkodilator. Oksigen terapi jangka lama sering

diberikan pada penderita dengan gangguan kardiorespirasi. Di Jepang lebih

dari 80.000 penderita gangguan kardiorespirasi menggunakan oksigen terapi

50
jangka panjang, sekitar 20% diantaranya penderita pasca TB dengan gangguan

fungsi paru.20 Oksigen suplemen kontinyu jangka lama meningkatkan survival

dan menurunkan mortalitas dan morbiditas penderita dengan penyakit paru

kronis seperti sequelae TB ataupun TB relaps. Sementara pemberian oksigen

yang intermiten pada penderita yang tidak hipoksia (misalnya hanya saat

latihan) belum diketahui bukti manfaatnya.24 Disebutkan dalam literatur bahwa

rehabilitasi paru tidak banyak memberikan perubahan terhadap fungsi paru

kecuali bila ditambahkan bronkodilator.25 Pemberian bronkodilator pada

sequelae TB dengan gangguan obstruksi dapat meningkatkan kemungkinan

intensitas latihan yang lebih tinggi.21 Pemberian bronkodilator aerosol pada

penderita sequelae TB memberikan respons yang baik, sekitar 13,3% pada

sequelae TB susceptible OAT dan 25% pada sequelae MDR-TB.15 Belum ada

data yang menyebutkan lama rehabilitasi paru yang akan memberi manfaat

pada penderita sequelae TB. Beberapa penelitian melaporkan lama waktu yang

berbeda berkisar 8 sampai 9 minggu.20 Manfaat rehabilitasi paru akan dirasakan

selama penderita menjalani rehabilitasi. Rehabilitasi paru seumur hidup

meningkatkan pengurangan gejala dan perbaikan kualitas hidup. 21,25

Penyakit TB merupakan infeksi multi sistemik yang spesifik, yang dapat

menyebabkan manifestasi klinis yang beragam pada tiap sistem organ, sehingga,

presentasi klinis penyakit ini juga cukup beragam. Telah banyak penelitian yang

melaporkan prevalensi tinggi DM pada TB dan dikaitkan dengan risiko kematian

dan sulitnya pengobatan.9 Pasien pada laporan kasus kali ini memiliki riwayat

diabetes melitus yang sudah dibuktikan dengan hasil lab yaitu kadar GDS 279

mg/dl.

51
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang dapat menyebabkan

penurunan sistem imunitas selular. Derajat hiperglikemi juga berperan dalam

menentukan fungsi mikrobisida pada makrofag. Pajanan kadar gula darah sebesar

200 mg/dl secara signifikan dapat menekan fungsi penghancuran oksidatif dari

makrofag Selain terjadi kerusakan pada proses imunologi, pada pasien DM juga

terdapat gangguan fisiologis paru seperti hambatan dalam proses pembersihan

sehingga memudahkan penyebaran infeksi pada inang.26

Diabetes melitus mempengaruhi kemotaksis, fagositosis, dan antigen

presenting oleh fagosit. Kurang teraktivasinya makrofag alveolar penderita TB

paru dengan DM mengurangi interaksi antara imfosit sel-T dengan makrofag,

sehingga terjadi defek eliminasi M-Tb. Defek fungsi sel-sel imun dan mekanisme

pertahanan pejamu menyebabkan penderita DM lebih rentan terserang infeksi

termasuk TB paru.26, 27

Risiko pengembangan tuberkulosis aktif terjadi melalui dua proses, dimulai

dengan paparan awal dan infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang diikuti

oleh perkembangan penyakit selanjutnya. Peradangan yang disebabkan oleh

sitokin seperti IL6 dan TNFα sebagai tanggapan terhadap infeksi TB dapat

menyebabkan peningkatan resistensi insulin dan penurunan produksi insulin,

sehingga menyebabkan hiperglikemia. Selain itu, Isoniazid dan rifampisin

memiliki efek hiperglikemik. Juga pirazinamida dapat menyebabkan kontrol DM

yang sulit. Rifampisin menginduksi metabolisme dan menurunkan tingkat

sulfonilurea darah, yang menyebabkan hiperglikemia.27,28

52
Pasien tuberkulosis yang aktif dapat memperburuk kadar gula darah dan

meningkatkan risiko sepsis pada penderita diabetes. Hormon stres dapat

terstimulasi oleh gabungan dari demam, kuman TB, dan malnutrisi.28

53

Anda mungkin juga menyukai