Anda di halaman 1dari 3

PENGOLAHAN AIR BALAS (BALLAST WATER TREATMENT)

PENDAHULUAN
Mungkin sesuatu yang tidak kita sadari bahwa dibalik melimpahnya resources dari lautan kita yang
begitu luas ternyata mengandung suatu ancaman pencemaran? Betapa tidak, sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia yang melintang pada 6°LU - 11°08'LS dan membujur di 97°' - 141°45'BT tentunya
perairan Indonesia tak luput dari lalu lalang transportasi laut yang begitu padat. Banyaknya kapal yang
melalui perairan tersebut mengandung konsekuensi logis, yaitu adanya potensi pencemaran baik di
pelabuhan, laut, maupun udara. Sebagai contoh, tumpahan minyak dari kapal tanker, tumpahan muatan
dari kapal pembawa bahan kimia (chemical tanker), pelepasan SO2, NO2, dan CO2 ke atmosper dari gas
buang mesin kapal, dan penyebaran biota laut yang invasif (invasive marine species) dari tanki balas.
Bahan pencemar (polutan) tersebut secara akumulatif akan merusak ekosistem alam semesta.
Tulisan ini akan mencoba sedikit mengulas tentang bagaimana kapal mencemari lingkungan perairan
dari sumber polutan yang terakhir, yaitu yang diakibatkan oleh air balas kapal, dan bagaimana cara
penanggulangannya.

SISTEM AIR BALAS DAN PERMASALAHANNYA


Seperti terlihat pada Gambar 1, bahwa ketika kapal-kapal barang seperti kapal kontainer atau tanker
membongkar muatan, air laut dipompa ke dalam kompartemen di lambung kapal, sedang ketika
mengangkut muatan, air laut di lambung kapal tadi dibuang ke laut. Air laut yang dipompakan ke
lambung atau dibuang ke laut tadi berfungsi sebagai alat untuk menstabilkan dan menyeimbangkan
kapal.

Gambar 1. Sistem Balas Kapal Menggunakan Air Laut

Gambar 2. Contoh Pertukaran Air Balas di Dunia

Gambar 2 mengilustrasikan lebih jelas tentang bagaimana pertukaran air balas terjadi. Sebuah kapal
dari Lautan India berlayar melalui Terusan Suez, membongkar muatan di Mediterania sehingga kapal
tersebut perlu mengisi tanki balas sebelum mengarungi Lautan Atlantic. Pertukaran air balas (ballast
water exchange) terjadi di Lautan Atlantik sehubungan dengan akan masuk ke kawasan Great Lakes.
Sehubungan dengan kapal mengangkut muatan terigu/gandum, maka air balas dibuang ke laut.
Dari aktifitas yang digambarkan di atas, di seluruh dunia ada kurang lebih 10 milyar ton meter kubik air
balas yang ditransfer kapal setiap tahunnya. Permasalahannya, air tersebut mengandung ribuan spesies
hewan laut maupun tanaman laut yang menimbulkan masalah bagi lingkungan laut, kesehatan manusia,
serta mengancam ekonomi kelautan yang bergantung pada ekosistim laut yang sehat.
Mnemiopsis leidy, spesies sejenis comb jellyfish yang menghuni estuari dari Amerika Serikat sampai ke
Tanjung Valdés di Argentina sepanjang pantai Lautan Atlantik telah menyebabkan kerusakan di Laut
Hitam. Pada tahun 1982, diidentifikasi bahwa populasi jenis ubur-ubur ini meningkat secara
eksponensial dan pada tahun 1988, merusak usaha penangkapan ikan setempat. Penangkapan ikan
Anchovy menurun drastis dari 204.000 ton di tahun 1984 menjadi hanya 200 ton di tahun 1993; ikan
Spart dari 24.600 ton di tahun 1984 menjadi 12.000 ton di tahun 1993; ikan Mackerel dari 4.000 ton di
tahun 1984 menjadi nol di tahun 1993. Sekarang ubur-ubur ini telah meluluhlantakkan zooplankton
termasuk larva ikan sehingga jumlahnya menurun secara drastis. Sekali invasive marine species seperti
ubur-ubur ini menempati suatu area baru, dia bisa menguasai daerah tersebut, menyebarkan jenis
penyakit baru, menciptakan material gen baru, merubah landscape dan menurunkan kemampuan
spesies lokal dalam mencari makanan. Untuk memperbaiki kerusakan lingkungan di daratan dan lautan
Amerika yang diakibatkan oleh spesies invasif ini dikeluarkan biaya sekitar 137 milyar dolar Amerika
setiap tahun.
Akibat lain dari datangnya spesies asing kedalam lingkungan baru, air balas yang dibuang ke laut dapat
menyebarkan penyakit menular dan penyakit yang mematikan, dan racun yang secara potensial dapat
menyebabkan masalah kesehatan bagi manusia dan kehidupan biota laut. Pembuangan air balas ke ling-
kungan perairan pantai berpotensi menyebabkan keracunan bagi biota laut dan mikroorganisme. Hal ini
menyebabkan berbagai masalah, seperti perubahan pola pertumbuhan, kerusakan siklus hormonal,
kecacatan dalam kelahiran, penurunan sistem kekebalan, dan menyebabkan kanker, tumor, dan
kelainan genetik atau bahkan kematian.
Spesies asing tersebut juga bisa merangsang pertumbuhan biota laut dan sebagai sumber makanan.
Seafood menjadi terkontaminasi dan tidak sehat untuk dikonsumsi manusia. Tidak mengherankan,
penyebaran penyakit Cholera adalah penyakit yang disebabkan polusi laut dari pengoperasian kapal.
Penelitian terakhir para ahli menyatakan bahwa bakteri penyebab Cholera, Vibrio Cholerae, dapat
menyebar melalui organisme laut yang hidup di air balas. Seafood sebangsa kerang-kerangan dan air
minum juga terkontaminasi ketika kapal membuang air balasnya.

REGULASI SISTEM AIR BALAS


Regulasi air balas yang diundangkan oleh IMO (International Maritime Organisation) bertujuan untuk
meminimalkan resiko masuknya spesies baru ke daerah perairan lain. Standard D-1 (Ballast Water
Exchange) yang masih berlaku sampai saat ini dilaksanakan dengan membilas air balas sebanyak tiga
kali di laut yang berjarak lebih dari 200 nautical mile dari pantai dengan kedalaman lebih dari 200
meter. Metode ini sangat efektif sebab organisma dari perairan pantai sepertinya tidak bisa survive di
lautan lepas atau sebaliknya, organisma dari lautan lepas tidak akan bisa bertahan di perairan pantai.
Tetapi metoda ini mengandung beberapa kelemahan, yaitu (1) sedimen dan residu dari dasar tanki
balas sangat sulit untuk dihilangkan secara keseluruhan, (2) organisma yang menempel pada sisi-sisi
tangki balas atau penyangga struktur kapal dalam tangki balas tidak bisa dikeluarkan, dan (3) tidak bisa
melakukan pembilasan jika badai atau ombak besar terjadi selama dalam pelayaran. Sehingga
organisma yang berada di dalam tangki balas mungkin terikut dibilas pada saat kapal mendekati
pelabuhan.
Standar yang lain adalah Standard D-2 (ballast water treatment). Standar ini mensyaratkan adanya
treatment bagi air balas yang ditemukan adanya kandungan lebih dari 10 mikroorganisme per meter
kubik yang berukuran lebih dari atau sama dengan 50 mikron. Dengan adanya pengolahan (water
treatment) ini maka tidak akan ada lagi mikroorganisma yang lolos ke lingkungan baru, sehingga
kerusakan lingkungan dapat dicegah.

TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR BALAS


Mengingat hebatnya pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh air balas, maka Konvensi
Internasional untuk Kontrol dan Managemen Air Balas yang diadakan pada tahun 2004, mewajibkan
semua kapal yang menggunakan air balas untuk menerapkan Standard D-2 atau melengkapi dengan
pengolahan air balas (water treatment) pada tahun 2016. Teknologi pada pengolahan air balas yang
disyaratkan oleh IMO harus bebas bahan aditif, bahan kimia dan racun.
Gambar 3. Prinsip Kerja Pengolahan Air Balas

Salah satu teknologi terkini yang digunakan dalam pengolahan air balas adalah menggunakan AOT
(Advanced Oxidation Technology). Teknologi AOT ini menggunakan Titanium Dioxide Catalyst yang akan
menghasilkan radikal ketika disinari. Radikal yang bertahan hidup hanya beberapa mili detik ini akan
berfungsi sebagai pembunuh membran sel dari mikroorganisme.
Seperti ditunjukkan pada Gambar 3, bahwa ketika pengisian tangki balas (ballasting), air dari laut
dilewatkan filter 50 mikro meter untuk menyaring partikel-partikel besar untuk menghindari sedimentasi
dan mikroorganisme yang tidak diinginkan. Kemudian air dialirkan melalui Wallenius AOT yang
memproduksi radikal yang berfungsi membunuh mikroorganisme yang masih bisa lolos dari filter
sebelumnya. Ketika membuang air balas ke laut (deballasting), air dari tangki balas dialirkan melalui
Wallenius AOT untuk yang kedua kalinya, sehingga menetralkan air balas dari mikroorganisme yang
berbahaya.

PENUTUP
Spesies laut yang invasif (invasive marine species) adalah salah satu ancaman terhebat bagi perusakan
lingkungan. Tidak seperti sumber pencemar yang lain seperti tumpahan minyak yang masih bisa
dilakukan upaya penanggulangannya, sekali tercemar oleh spesies invasif maka sangat sulit untuk
ditanggulangi.
Untuk pencegahan terjadinya masalah ini, sangatlah tepat IMO selaku otoritas kemaritiman
internasional memberlakukan konvensi sistem air balas di kapal. Pemberlakuan Standard D-2 untuk
seluruh kapal nanti di tahun 2016 diharapkan dapat mencegah munculnya spesies invasif, sehingga
kerusakan lingkungan yang berdampak negatif terhadap biota laut dan kesehatan manusia serta
ekonomi bisa dihindari.

Anda mungkin juga menyukai