Pengolahan Air Balas
Pengolahan Air Balas
PENDAHULUAN
Mungkin sesuatu yang tidak kita sadari bahwa dibalik melimpahnya resources dari lautan kita yang
begitu luas ternyata mengandung suatu ancaman pencemaran? Betapa tidak, sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia yang melintang pada 6°LU - 11°08'LS dan membujur di 97°' - 141°45'BT tentunya
perairan Indonesia tak luput dari lalu lalang transportasi laut yang begitu padat. Banyaknya kapal yang
melalui perairan tersebut mengandung konsekuensi logis, yaitu adanya potensi pencemaran baik di
pelabuhan, laut, maupun udara. Sebagai contoh, tumpahan minyak dari kapal tanker, tumpahan muatan
dari kapal pembawa bahan kimia (chemical tanker), pelepasan SO2, NO2, dan CO2 ke atmosper dari gas
buang mesin kapal, dan penyebaran biota laut yang invasif (invasive marine species) dari tanki balas.
Bahan pencemar (polutan) tersebut secara akumulatif akan merusak ekosistem alam semesta.
Tulisan ini akan mencoba sedikit mengulas tentang bagaimana kapal mencemari lingkungan perairan
dari sumber polutan yang terakhir, yaitu yang diakibatkan oleh air balas kapal, dan bagaimana cara
penanggulangannya.
Gambar 2 mengilustrasikan lebih jelas tentang bagaimana pertukaran air balas terjadi. Sebuah kapal
dari Lautan India berlayar melalui Terusan Suez, membongkar muatan di Mediterania sehingga kapal
tersebut perlu mengisi tanki balas sebelum mengarungi Lautan Atlantic. Pertukaran air balas (ballast
water exchange) terjadi di Lautan Atlantik sehubungan dengan akan masuk ke kawasan Great Lakes.
Sehubungan dengan kapal mengangkut muatan terigu/gandum, maka air balas dibuang ke laut.
Dari aktifitas yang digambarkan di atas, di seluruh dunia ada kurang lebih 10 milyar ton meter kubik air
balas yang ditransfer kapal setiap tahunnya. Permasalahannya, air tersebut mengandung ribuan spesies
hewan laut maupun tanaman laut yang menimbulkan masalah bagi lingkungan laut, kesehatan manusia,
serta mengancam ekonomi kelautan yang bergantung pada ekosistim laut yang sehat.
Mnemiopsis leidy, spesies sejenis comb jellyfish yang menghuni estuari dari Amerika Serikat sampai ke
Tanjung Valdés di Argentina sepanjang pantai Lautan Atlantik telah menyebabkan kerusakan di Laut
Hitam. Pada tahun 1982, diidentifikasi bahwa populasi jenis ubur-ubur ini meningkat secara
eksponensial dan pada tahun 1988, merusak usaha penangkapan ikan setempat. Penangkapan ikan
Anchovy menurun drastis dari 204.000 ton di tahun 1984 menjadi hanya 200 ton di tahun 1993; ikan
Spart dari 24.600 ton di tahun 1984 menjadi 12.000 ton di tahun 1993; ikan Mackerel dari 4.000 ton di
tahun 1984 menjadi nol di tahun 1993. Sekarang ubur-ubur ini telah meluluhlantakkan zooplankton
termasuk larva ikan sehingga jumlahnya menurun secara drastis. Sekali invasive marine species seperti
ubur-ubur ini menempati suatu area baru, dia bisa menguasai daerah tersebut, menyebarkan jenis
penyakit baru, menciptakan material gen baru, merubah landscape dan menurunkan kemampuan
spesies lokal dalam mencari makanan. Untuk memperbaiki kerusakan lingkungan di daratan dan lautan
Amerika yang diakibatkan oleh spesies invasif ini dikeluarkan biaya sekitar 137 milyar dolar Amerika
setiap tahun.
Akibat lain dari datangnya spesies asing kedalam lingkungan baru, air balas yang dibuang ke laut dapat
menyebarkan penyakit menular dan penyakit yang mematikan, dan racun yang secara potensial dapat
menyebabkan masalah kesehatan bagi manusia dan kehidupan biota laut. Pembuangan air balas ke ling-
kungan perairan pantai berpotensi menyebabkan keracunan bagi biota laut dan mikroorganisme. Hal ini
menyebabkan berbagai masalah, seperti perubahan pola pertumbuhan, kerusakan siklus hormonal,
kecacatan dalam kelahiran, penurunan sistem kekebalan, dan menyebabkan kanker, tumor, dan
kelainan genetik atau bahkan kematian.
Spesies asing tersebut juga bisa merangsang pertumbuhan biota laut dan sebagai sumber makanan.
Seafood menjadi terkontaminasi dan tidak sehat untuk dikonsumsi manusia. Tidak mengherankan,
penyebaran penyakit Cholera adalah penyakit yang disebabkan polusi laut dari pengoperasian kapal.
Penelitian terakhir para ahli menyatakan bahwa bakteri penyebab Cholera, Vibrio Cholerae, dapat
menyebar melalui organisme laut yang hidup di air balas. Seafood sebangsa kerang-kerangan dan air
minum juga terkontaminasi ketika kapal membuang air balasnya.
Salah satu teknologi terkini yang digunakan dalam pengolahan air balas adalah menggunakan AOT
(Advanced Oxidation Technology). Teknologi AOT ini menggunakan Titanium Dioxide Catalyst yang akan
menghasilkan radikal ketika disinari. Radikal yang bertahan hidup hanya beberapa mili detik ini akan
berfungsi sebagai pembunuh membran sel dari mikroorganisme.
Seperti ditunjukkan pada Gambar 3, bahwa ketika pengisian tangki balas (ballasting), air dari laut
dilewatkan filter 50 mikro meter untuk menyaring partikel-partikel besar untuk menghindari sedimentasi
dan mikroorganisme yang tidak diinginkan. Kemudian air dialirkan melalui Wallenius AOT yang
memproduksi radikal yang berfungsi membunuh mikroorganisme yang masih bisa lolos dari filter
sebelumnya. Ketika membuang air balas ke laut (deballasting), air dari tangki balas dialirkan melalui
Wallenius AOT untuk yang kedua kalinya, sehingga menetralkan air balas dari mikroorganisme yang
berbahaya.
PENUTUP
Spesies laut yang invasif (invasive marine species) adalah salah satu ancaman terhebat bagi perusakan
lingkungan. Tidak seperti sumber pencemar yang lain seperti tumpahan minyak yang masih bisa
dilakukan upaya penanggulangannya, sekali tercemar oleh spesies invasif maka sangat sulit untuk
ditanggulangi.
Untuk pencegahan terjadinya masalah ini, sangatlah tepat IMO selaku otoritas kemaritiman
internasional memberlakukan konvensi sistem air balas di kapal. Pemberlakuan Standard D-2 untuk
seluruh kapal nanti di tahun 2016 diharapkan dapat mencegah munculnya spesies invasif, sehingga
kerusakan lingkungan yang berdampak negatif terhadap biota laut dan kesehatan manusia serta
ekonomi bisa dihindari.