I. PENDAHULUAN
2.3. Perbedaan Lahan Gambut Alami dan Lahan Gambut yang Telah
Dikelola
Proses pembentukan lahan gambut di Indonesia terjadi sejak jaman holosin
melalui proses transformasi, translokasi dan penimbunan material dalam kondisi
jenuh air. Akibat penimbunan material tumbuhan berlangsung lebih cepat
dibanding dekomposisi oleh mikroorganisme, maka gambut semakin tebal dengan
bertambahnya waktu (Maas, 2012). Material gambut Indonesia utamanya terdiri
dari vegetasi berupa pohon-pohonan sehingga lebih bany ,k.;pk mengandung
lignin dibanding gambut di daerah iklim sedang. Penggunaan lahan gambut untuk
pengembangan pertanian sering dipertentangkan dengan issu lingkungan baik di
tingkat nasional, regional maupun global. Hal ini disebabkan karena alih fungsi
hutan gambut dan berbagai tindakan reklamasi seperti pembuatan drainase
berisiko terhadap terjadinya peningkatan pelepasan cadangan karbon (percepatan
laju dekomposisi) serta meningkatkan risiko kebakaran gambut. Hal ini Masganti
dan Markus Anda 3 seterusnya akan menurunkan fungsi lahan gambut sebagai
penyimpan air. Kehilangan keanekaragaman hayati juga merupakan salah satu
risiko pemanfaatan lahan gambut secara intensif. Berbagai teknologi tepat guna
sudah tersedia untuk meminimalkan risiko kerusakan lahan gambut. Bahasan
berbagai fungsi lingkungan lahan gambut dan cara pengelolaan lahan yang
mempengaruhi kehilangan fungsi.
6
4.2. Pembasahan
Praktikum mata kuliah Agroekosistem yang dilaksakan pada lahan Techno
Park Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Palangka
Raya dimana ada dua tempat pengamatan yaitu pada lahan gambut alami atau atau
lahan gambut yang belum dikelola dan lahan gambut yang sedang dikelola,
pengelolaan lahan gambut dibuka menggunakan alat berat eskapator. Pada
pengamaan di lahan gambut alami ada beberapa variabel pengamatan, diantaranya
yaitu vegetasi yang tumbuh di lahan tersebut adalah galam (Melaleuca
leucadendron Linn), akasia (Acacia longifolia), kelakai (Stenochlaena palustris),
mendong (Fimbristylis umbellaris), pakis (Diplazium esculentum), (Rhodomyrtus
tomentosa (Aiton) Hassk, alang-alang (Imperata cylindrica), krinyu (Chromolaena
Odorata L), dan teki (Cyperus rotundus L.). pH pada lahan gambut alami sangat
rendah yaitu 2,80, EC tanah gambut yaitu 0.063, tingkat kematangan tanah
8
tergolong fibrik (kematangan rendah), suhu tanah gambut yaitu 32 °C dan warna
tanah adalah very dusty red atau merah kehitaman dengan ɋ = 10 R, dan Value =
2,5. Pada lahan gambut yang dikelola tidak ada vegetasi yang tumbuh, karena
vegetasi yang tumbuh dibersihkan hingga ke akar. Pengamatan pH pada lahan
gambut yang dikelola adalah 3,29, EC tanah gambut adalah 0.080, tingkat
kematangan tanah tergelong fibrik (kematangan rendah), suhu tanah gambut
dikelola adalah 30 °C, dan warna tanah adalah very dusty red atau merah
kehitaman dengan ɋ = 10 R, dan Value = 2,5.
Pada lahan gambut alami, vegetasi didominasi oleh tumbuhan galam
(Melaleuca leucadendron Linn), kelakai (Stenochlaena palustris), dan pakis
(Diplazium esculentum). Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan-tumbuhan
tersebut hanya dapat tumbuh pada pH yang redah atau tanah yang masam ,
dimana pH tanah gambut alami yang diamati adalah 2,80, pH tersebut sangat
rendah untuk tanaman budidaya. Tumbuhan yang dapat hidup pada lahan gambut
tersebut dapat dijadikan sebagai indikator bahwa tanah gambut merupakan tanah
yang memiliki pH yang sangat rendah.
Tanah merupakan komponen utama dan penting bagi daya dukung suatu
kemampuan lahan terhadap pemanfaatannya oleh manusia. Tanah adalah lapisan
permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh &
berkembangnya perakaran penopang tegak tumbuhnya tanaman dan menyuplai
kebutuhan air dan udara, secara kimiawi berfungsi sebagai gudang dan penyuplai
hara atau nutrisi (senyawa organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur
lainnya) geografi tanah. Tanah gambut disebut juga tanah Histosol (tanah organik)
asal bahasa Yunani histories artinya jaringan. Histosol sama halnya dengan tanah
rawa, tanah organik dan gambut. Histosol mempunyai kadar bahan organik sangat
tinggi sampai kedalaman 80 cm (32 inches) kebanyakan adalah gambut (peat)
yang tersusun atas sisa tanaman yang sedikit banyak terdekomposisi dan
menyimpan air. Tanah gambut umumnya terbagi menjadi tiga tingkat kematangan
yakni fibrik tingkat kematangan rendah, hemik tingkat kematangan sedang dan
saprik dengan tingkat kematang tinggi oleh karena ini ada beberapa alasan yang
dapat memicu perbedaan lahan gambut yang subur dan tidak subur, diantaranya
9
ialah pada lahan gambut subur tingkat pH lebih lebih tinngi dibanding gambut
tidak subur, yang membuat perbedaan salah satunya dari bahan induk pembentuk
tanah gambut subur bahan induknya lebih cenderung pada gambut endapan yang
berasal dari bahan organik hanyutan dari bagian hulu berupa leli liar, rumput air,
plankton dan lain-lain yang diendapkan di muara sungai dan gambut yang dekat
dengan cekungan sungai atau pantai disebut gambut eutrofik karena memiliki
tingkat kesuburan yang tinggi. Sedangkan gambut tidak subur berasal dari bahan
induk pepohonan dan semak-semak serta tempatnya berada di pedalaman dan
hanya bergantung dengan curuh hujan (Agus, 2008).
Pengelolaan tata air di lahan gambut merupakan faktor kunci terwujudnya
sistem pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Prinsip utama dari pengaturan
tata air di lahan gambut adalah harus mampu menekan terjadinya penurunan
fungsi lingkungan dari lahan gambut, namun tetap bisa memenuhi syarat tumbuh
tanaman yang dibudidayakan. Tindakan drainase pada lahan gambut dilakukan
untuk menciptakan media tanam yang sesuai dengan kebutuhan tanaman yang
dibudidayakan dan mengurangi asam organik sampai batas yang tidak meracuni
tanaman, tindakan drainase yang dilakukan secara tepat juga berdampak terhadap
terjadinya perubahan sifat fisik sehingga menjadi lebih kondusif untuk
perkembangan tanaman. Namun demikian pola dan tingkat drainase yang
dilakukan harus memperhatikan karakteristik gambut yang sangat spesifik, agar
dapat menekan laju degradasi lahan yang diakibatkan oleh tindakan drainase,
sehingga fungsi lingkungan dari lahan gambut tetap terjaga dengan baik. Selain
memperhatikan kondisi lahan gambut yang bersifat spesifik dan kebutuhan
tanaman yang dibudidayakan, sistem pengelolaan tata air pada lahan gambut juga
sangat ditentukan pola tanam yang diterapkan. Dengan menerapkan tata
pengelolaan air yang tepat, berbagai bentuk pola tanam (pola tanaman semusim,
pola tanam tanaman tahunan, maupun pola tanam tahunan-semusim) bisa
diterapkan pada lahan gambut. Kearifan lokal dalam pengelolaan air yang telah
lama dilakukan petani lokal di lahan gambut dapat dijadikan dasar pengelolaan
tata air di lahan gambut, karena telah terbukti dapat mewujudkan pendayagunaan
sumberdaya alam dan sosial secara bijaksana yang mengacu pada keseimbangan
10
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Keanekaragaman vegetasi yang dapat hidup di lahan atau tanah gambut
memiliki karakteristik dan ciri-ciri tersendiri. Ada beberapa jenis tanaman atau
vegetasi asli yang dapat ditemukan di lahan gambut yaitu ramin (Gonystylus
Bancanus), jelutung rawa (Dyera Costulata), punak (Tetramerista Glabra),
bungur (Lagerstroemia Speciosa), dan meranti rawa (Shorea Pauciflora).
Beberapa jenis tanaman tersebut dapat beradaptasi dengan baik terhadap kondisi
lahan gambut sehingga mampu menjadikan lahan gambut sebagai habitatnya.
Pengelolaan tata air di lahan gambut merupakan faktor kunci terwujudnya
sistem pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Perubahan penggunaan lahan
khususnya dari hutan gambut menjadi lahan pertanian perlu disertai dengan
tindakan drainase, karena dalam kondisi alaminya gambut dalam keadaan
tergenang, sementara sebagian besar tanaman budidaya tidak tahan genangan.
tujuan utama dilakukannya drainase adalah untuk menurunkan muka air tanah,
sehingga tercipta kondisi aerob, minimal sampai kedalaman perakaran tanaman
yang dibudidayakan, sehingga kebutuhan tanaman akan oksigen bisa terpenuhi.
Lahan gambut merupakan lahan strategis untuk pembangunan pertanian
karena kaya akan keanekaragaman hayati, memiliki atau dapat memberikan
berbagai jasa lingkungan seperti pengatur tata air, penyerap dan penyimpan
karbon agar perubahan iklim lokal maupun global dapat terkendali kepada kita
semua serta makhluk hidup lainnya. Selain itu, lahan gambut juga menjadi sumber
bagi produksi dan penghasilan petani. Namun, kondisi lahan gambut Indonesia
saat ini semakin memprihatinkan seiring dengan meningkatnya tekanan dan
kerusakan yang dialami. Kondisi ini akan terus memburuk apabila tidak diatasi
dengan upaya pencegahan kerusakan dan perbaikan terhadap lahan gambut yang
telah terdegradasi. Rehabilitasi merupakan salah satu upaya yang sangat penting
dalam memperbaiki lahan gambut yang telah terdegradasi.
12
5.2. Saran
Untuk kegiatan praktikum Agroekosistem selanjutnya diharapkan setiap
mahasiswa mempelajari dan memahami teori praktikumnya terlebih dahulu agar
dalam kegiatan praktikum dilapangan lebih mudah pelaksanaannya dan
mempermudah mahasiswa dalam pembuatan laporan hasil praktikum.
13
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk pertanian dan
aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre
(ICRAF). Bogor. Indonesia. 36 hal
Diterbitkan pada Buku Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai
Penelitian Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. 2011.
Haryono. 2013. Lahan Rawa Lumbung Pangan Masa Depan Indonesia. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. IAARD Press. Jakarta.
Herman. 2011. Tinjauan Sosial Ekonomi Pemanfaatan Lahan Gambut.
Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Hlm 89-102. Balitra-BBSDLP,
Badan Litbang Pertanian.
Noor M., M. Alwi, dan K. Anwar. 2007. Kearifan lokal dalam perspektif
kesuburan tanah dan konservasi air di lahan gambut. Dalam :Monograf
Kearifan Budaya Lokal Dalam Petanian di Lahan Rawa. Mukhlis, I.
Noor, M, Noor dan R.S. Simatupang (Eds.). Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian.
Suriadikarta, D.A. dan G. Sjamsidi. 2001. Teknologi Peningkatan Produktivitas
Tanah Sulfat Masam. Laporan Akhir. Proyek Sumber Daya Lahan Tanah
dan Iklim.
Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah., 1998. Pengembangan lahan pasang
surut ; potensi, prospek, dan kendala serta teknologi pengelolaannya untuk
pertanian. Dalam Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan
Komda HITI, 16-17 Desember 1998.