Anda di halaman 1dari 13

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Lahan rawa di Indonesia cukup luas dan tersebar di tiga pulau besar, yaitu di
Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Papua). Luas lahan rawa Indonesia ± 33,4
juta ha, yang terdiri atas lahan rawa pasang surut sekitar 20 juta ha dan lahan
lebak 13,4 juta ha. Pengembangan lahan rawa harus melalui perencanaan yang
matang dan dengan penerapan teknologi yang tepat, terutama dalam pengelolaan
tanah dan air. Pembukaan lahan rawa pasang surut bertujuan untuk peningkatan
kebutuhan pangan terutama beras, karena terjadinya kerusakan lahan dan
berkurangnya lahan subur di Jawa, sehingga perlu pemanfaatan lahan marginal di
luar Jawa secara optimal, khususnya pada lahan rawa, karena lahan pertanian yang
subur di Jawa setiap tahunnya berkurang luasannya Luas kawasan PLG adalah
1.133.607 ha, yang terdiri atas luas blok A 268.273 ha, blok B 156.409 ha, blok D
138475 ha, dan blok C 570.000 ha. Blok A, B, C, dan D bagian utara termasuk
dalam lahan pasang surut air tawar, sedangkan bagian selatan blok D, dan C
termasuk lahan pasang surut air laut/payau. Berdasarkan data tersebut di atas
maka strategi dalam perencanaan dan pengembangan kawasan PLG ada beberapa
aspek yang harus diperhatikan yaitu : 1) perlu adanya tata ruang kawasan
pengembangan, 2) gambut dengan ketebalan > 3 m dimanfaatkankan untuk
kawasan lindung atau konservasi, 3) lahan gambut yang ketebalan < 3 m untuk
kawasan budidaya seperti pertanian, perikanan, perkebunan, dan kehutanan (HTI),
dan 4) wilayah yang dilindungi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati.
Bila kebijakan pemanfaatan lahan ini dilakukan maka akan memudahkan dalam
melaksanakan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan tersebut. Berdasarkan hasil
penelitian yang laksanakan oleh Badan Litbang Pertanian di kawasan PLG tahun
1997 s/d 2000 menunjukan bahwa hasil tanaman padi di lahan sawah dan sayuran,
serta buah-buah di pekarangan cukup baik. Kendala utama adalah hama tikus, dan
banjir di saat puncak musim hujan. Bila jaringan tata air makro bisa berfungsi
dengan baik, hama penyakit dan bajir dapat dikendalikan maka lahan di kawasan
ini sangat potensial untuk usaha pertanian, tanaman pangan dan palawija, sayuran,
2

buah-buahan, dan perkebunan Lahan gambut secara alami keberadaannya


mengikuti suatu bentuk fisiografi tertentu dan tidak mengenal batas wilayah
administrasi. Di dalam pengelolaannya lahan gambut harus dipandang sebagai
satu kesatuan ekosistem yang utuh dengan kubah gambut sebagai pusatnya. ˆ
Gambut adalah media tempat tumbuh. Sebagai media tempat tumbuh gambut
memiliki sifat fisik dan kimia tertentu yang bersama-sama dengan faktor
lingkungan yang lain telah menghasilkan suatu ekosistem yang unik dengan
keanekaragaman hayati yang juga unik. Segala perlakuan terhadap gambut diluar
perlakuan sebagai media tempat tumbuh akan memberikan kemungkinan
munculnya pengaruh/dampak lingkungan negatif yang lebih besar dibandingkan
dengan manfaat yang diperoleh. (Widjaja,1998).
Pengelolaan lahan gambut diharapkan dapat memenuhi berbagi tuntutan dan
perkembangan keadaan. Terpenuhinya berbagai tuntutan dan perkembangan
keadaan tersebut antara lain tergambar dari pemenuhan atas asas-asas pengelolaan
sebagai berikut: ˆ Asas Kelestarian mengandung pengertian bahwa
pendayagunaan sumber daya lahan gambut diselenggarakan dengan menjaga
kelestarian fungsi sumber daya lahan gambut secara berkelanjutan. ˆ Asas
Keseimbangan mengandung pengertian keseimbangan antara fungsi sosial, fungsi
lingkungan hidup, dan fungsi ekonomi. ˆ Asas Kemanfaatan Umum mengandung
pengertian bahwa pengelolaan sumber daya lahan gambut dilaksanakan untuk
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan umum secara efektif dan
efisien. ˆ Asas Keterpaduan dan Keserasian mengandung pengertian bahwa
pengelolaan sumber daya lahan gambut dilakukan secara terpadu dalam
mewujudkan keserasian untuk berbagai kepentingan dengan memperhatikan sifat
alami lahan gambut yang dinamis. ˆ Asas eadilan mengandung pengertian bahwa
pengelolaan sumber daya lahan gambut dilakukan secara merata ke seluruh
lapisan masyarakat di wilayah tanah lahan gambut sehingga setiap warga negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk berperan dan menikmati
hasilnya secara nyata. ˆ Asas Kemandirian mengandung pengertian bahwa
pengelolaan sumber daya lahan gambut dilakukan dengan memperhatikan
3

kemampuan dan keunggulan sumber daya setempat. ˆ Asas Transparansi dan


Akuntabilitas mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumber daya lahan
gambut dilakukan secara terbuka dan bertanggungjawab. (Suriadikarta2001).
Dalam mempelajari Agroeksistem rawa gambu kita akan mengeahui beberapa
cara / teknik dalam pemanfaaan dalam kegidupan,kesejahteraan hidup,menjaga
lingkungan, juga cara untuk pengeloloaan nya.

1.2. Tujuan Praktikum


1. Untuk mengetahui vegetasi yang dapat hidup di lahan atau tanah gambut.
2. Untuk mengetahui pengeloloaan sistem air pada lahan gambut
3. Untuk mengetahui Potensi lahan gambu dalam pertanian.
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pngertian Lahan Gambut


Lahan gambut adalah bentang lahan yang tersusun oleh tanah hasil
dekomposisi tidak sempurna dari vegetasi pepohonan yang tergenang air sehingga
kondisinya anaerobik. Material organik tersebut terus menumpuk dalam waktu
lama sehingga membentuk lapisan-lapisan dengan ketebalan lebih dari 50 cm.
Tanah jenis banyak dijumpai di daerah-daerah jenuh air seperti rawa, cekungan,
atau daerah pantai. Sebagian besar lahan gambut masih berupa hutan yang
menjadi habitat tumbuhan dan satwa langka. Hutan gambut mempunyai
kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Karbon tersimpan
mulai dari permukaan hingga di dalam dalam tanah, mengingat kedalamannya
bisa mencapai lebih dari 10 meter.

2.2. Pengelolaan Lahan Gambut Secara Berkelanjutan


Lahan gambut tropis memiliki keragaman sifat fisik dan kimia yang besar,
baik secara spasial maupun vertikal. Karakteristiknya sangat ditentukan oleh
ketebalan gambut, substratum atau tanah mineral dibawah gambut, kematangan,
dan ada tidaknya pengayaan dari luapan sungai disekitarnya. Karakteristik lahan
seyogianya dijadikan acuan arah pemanfaatan lahan gambut untuk mencapai
produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan. Sesuai dengan Keppres No. 32/1990
gambut dengan ketebalan >3 m diperuntukkan kawasan konservasi. Hal ini
disebabkan makin tebal lapisan gambut, maka gambut tersebut semakin rapuh
(fragile). Dengan mempertahankannya sebagai kawasan konservasi, maka
fungsinya sebagai penyangga hidrologi tetap terjaga. Gambut dengan kedalaman
< 3 m dapat dimanfaatkan untuk pertanian dengan syarat lapisan mineral dibawah
gambut bukan pasir kuarsa atau liat berpirit, dan tingkat kematangan bukan fibrik.
Lebih lanjut Departemen Pertanian merekomendasikan untuk tanaman pangan dan
hortikultura diarahkan pada gambut dangkal (< 100 cm), dan untuk tanaman
tahunan pada gambut dengan ketebalan 2–3 m (Sabiham et al., 2008). Dasar
pertimbangannya adalah, gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif lebih
tinggi dan risiko lingkungan lebih rendah dibandingkan gambut dalam.
5

2.3. Perbedaan Lahan Gambut Alami dan Lahan Gambut yang Telah
Dikelola
Proses pembentukan lahan gambut di Indonesia terjadi sejak jaman holosin
melalui proses transformasi, translokasi dan penimbunan material dalam kondisi
jenuh air. Akibat penimbunan material tumbuhan berlangsung lebih cepat
dibanding dekomposisi oleh mikroorganisme, maka gambut semakin tebal dengan
bertambahnya waktu (Maas, 2012). Material gambut Indonesia utamanya terdiri
dari vegetasi berupa pohon-pohonan sehingga lebih bany ,k.;pk mengandung
lignin dibanding gambut di daerah iklim sedang. Penggunaan lahan gambut untuk
pengembangan pertanian sering dipertentangkan dengan issu lingkungan baik di
tingkat nasional, regional maupun global. Hal ini disebabkan karena alih fungsi
hutan gambut dan berbagai tindakan reklamasi seperti pembuatan drainase
berisiko terhadap terjadinya peningkatan pelepasan cadangan karbon (percepatan
laju dekomposisi) serta meningkatkan risiko kebakaran gambut. Hal ini Masganti
dan Markus Anda 3 seterusnya akan menurunkan fungsi lahan gambut sebagai
penyimpan air. Kehilangan keanekaragaman hayati juga merupakan salah satu
risiko pemanfaatan lahan gambut secara intensif. Berbagai teknologi tepat guna
sudah tersedia untuk meminimalkan risiko kerusakan lahan gambut. Bahasan
berbagai fungsi lingkungan lahan gambut dan cara pengelolaan lahan yang
mempengaruhi kehilangan fungsi.
6

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum Agroekosistem dengan materi Pengelolaan Lahan Gambut
dilaksanakan pada hari Sabtu, 7 Desember 2019 pada pukul 08.00-selesai WIB.
Bertempat di Lahan Techno Parck, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian, Universitas Palangka Raya.

3.2. Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan pada Praktikum Agroekosistem dengan materi
Pengelolaan Lahan Gambut adalahkertas lakmus .Sedangkan alat yang digunakan
adalah pH meter, EC meter, thermometer.

3.3. Cara kerja


Cara kerja digunakan pada Praktikum Agroekosistem dengan materi
Pengelolaan Lahan Gambut adalah :
1. Menyiapkan alat dan bahan.
2. Mengamati jenis lahan gambut yang tersedia.
3. Mengamati vegetasi yang tumbuh pada kawasan gambut yang telah ditentukan.
4. Mengukur pH pada masing-masing kawasan.
5. Mengukur EC pada masing-masing kawasan.
6. Menentukan tingkat kematangan gambut.
7. Mengukur suhu pada setiap kawasan pengamatan.
8. Menentukan warna tananh gambut yang tersedia.
7

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan


Tabel 1. Pengamatan pada Lahan Gambut Alami (Tidak Terganggu) dan
Lahan Gambut Dikelola (terganggu)

Kematangan Suhu Warna


No Lahan Vegetasi pH EC
Gambut °C Tanah
1 Gambut Galam 2,80 0.063 Fibrik 32 ɋ = 10
alami (dominan), R,
akasia, kelakai, Value =
mendong, 2,5
pakis, (very
karamunting, dusty
alang-alang, red)
krinyu, dan
teki.
2 Gambut - 3,29 0.080 Fibrik 30 ɋ = 10
dikelola R,
Value =
2,5
(very
dusty
red)

4.2. Pembasahan
Praktikum mata kuliah Agroekosistem yang dilaksakan pada lahan Techno
Park Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Palangka
Raya dimana ada dua tempat pengamatan yaitu pada lahan gambut alami atau atau
lahan gambut yang belum dikelola dan lahan gambut yang sedang dikelola,
pengelolaan lahan gambut dibuka menggunakan alat berat eskapator. Pada
pengamaan di lahan gambut alami ada beberapa variabel pengamatan, diantaranya
yaitu vegetasi yang tumbuh di lahan tersebut adalah galam (Melaleuca
leucadendron Linn), akasia (Acacia longifolia), kelakai (Stenochlaena palustris),
mendong (Fimbristylis umbellaris), pakis (Diplazium esculentum), (Rhodomyrtus
tomentosa (Aiton) Hassk, alang-alang (Imperata cylindrica), krinyu (Chromolaena
Odorata L), dan teki (Cyperus rotundus L.). pH pada lahan gambut alami sangat
rendah yaitu 2,80, EC tanah gambut yaitu 0.063, tingkat kematangan tanah
8

tergolong fibrik (kematangan rendah), suhu tanah gambut yaitu 32 °C dan warna
tanah adalah very dusty red atau merah kehitaman dengan ɋ = 10 R, dan Value =
2,5. Pada lahan gambut yang dikelola tidak ada vegetasi yang tumbuh, karena
vegetasi yang tumbuh dibersihkan hingga ke akar. Pengamatan pH pada lahan
gambut yang dikelola adalah 3,29, EC tanah gambut adalah 0.080, tingkat
kematangan tanah tergelong fibrik (kematangan rendah), suhu tanah gambut
dikelola adalah 30 °C, dan warna tanah adalah very dusty red atau merah
kehitaman dengan ɋ = 10 R, dan Value = 2,5.
Pada lahan gambut alami, vegetasi didominasi oleh tumbuhan galam
(Melaleuca leucadendron Linn), kelakai (Stenochlaena palustris), dan pakis
(Diplazium esculentum). Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan-tumbuhan
tersebut hanya dapat tumbuh pada pH yang redah atau tanah yang masam ,
dimana pH tanah gambut alami yang diamati adalah 2,80, pH tersebut sangat
rendah untuk tanaman budidaya. Tumbuhan yang dapat hidup pada lahan gambut
tersebut dapat dijadikan sebagai indikator bahwa tanah gambut merupakan tanah
yang memiliki pH yang sangat rendah.
Tanah merupakan komponen utama dan penting bagi daya dukung suatu
kemampuan lahan terhadap pemanfaatannya oleh manusia. Tanah adalah lapisan
permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh &
berkembangnya perakaran penopang tegak tumbuhnya tanaman dan menyuplai
kebutuhan air dan udara, secara kimiawi berfungsi sebagai gudang dan penyuplai
hara atau nutrisi (senyawa organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur
lainnya) geografi tanah. Tanah gambut disebut juga tanah Histosol (tanah organik)
asal bahasa Yunani histories artinya jaringan. Histosol sama halnya dengan tanah
rawa, tanah organik dan gambut. Histosol mempunyai kadar bahan organik sangat
tinggi sampai kedalaman 80 cm (32 inches) kebanyakan adalah gambut (peat)
yang tersusun atas sisa tanaman yang sedikit banyak terdekomposisi dan
menyimpan air. Tanah gambut umumnya terbagi menjadi tiga tingkat kematangan
yakni fibrik tingkat kematangan rendah, hemik tingkat kematangan sedang dan
saprik dengan tingkat kematang tinggi oleh karena ini ada beberapa alasan yang
dapat memicu perbedaan lahan gambut yang subur dan tidak subur, diantaranya
9

ialah pada lahan gambut subur tingkat pH lebih lebih tinngi dibanding gambut
tidak subur, yang membuat perbedaan salah satunya dari bahan induk pembentuk
tanah gambut subur bahan induknya lebih cenderung pada gambut endapan yang
berasal dari bahan organik hanyutan dari bagian hulu berupa leli liar, rumput air,
plankton dan lain-lain yang diendapkan di muara sungai dan gambut yang dekat
dengan cekungan sungai atau pantai disebut gambut eutrofik karena memiliki
tingkat kesuburan yang tinggi. Sedangkan gambut tidak subur berasal dari bahan
induk pepohonan dan semak-semak serta tempatnya berada di pedalaman dan
hanya bergantung dengan curuh hujan (Agus, 2008).
Pengelolaan tata air di lahan gambut merupakan faktor kunci terwujudnya
sistem pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Prinsip utama dari pengaturan
tata air di lahan gambut adalah harus mampu menekan terjadinya penurunan
fungsi lingkungan dari lahan gambut, namun tetap bisa memenuhi syarat tumbuh
tanaman yang dibudidayakan. Tindakan drainase pada lahan gambut dilakukan
untuk menciptakan media tanam yang sesuai dengan kebutuhan tanaman yang
dibudidayakan dan mengurangi asam organik sampai batas yang tidak meracuni
tanaman, tindakan drainase yang dilakukan secara tepat juga berdampak terhadap
terjadinya perubahan sifat fisik sehingga menjadi lebih kondusif untuk
perkembangan tanaman. Namun demikian pola dan tingkat drainase yang
dilakukan harus memperhatikan karakteristik gambut yang sangat spesifik, agar
dapat menekan laju degradasi lahan yang diakibatkan oleh tindakan drainase,
sehingga fungsi lingkungan dari lahan gambut tetap terjaga dengan baik. Selain
memperhatikan kondisi lahan gambut yang bersifat spesifik dan kebutuhan
tanaman yang dibudidayakan, sistem pengelolaan tata air pada lahan gambut juga
sangat ditentukan pola tanam yang diterapkan. Dengan menerapkan tata
pengelolaan air yang tepat, berbagai bentuk pola tanam (pola tanaman semusim,
pola tanam tanaman tahunan, maupun pola tanam tahunan-semusim) bisa
diterapkan pada lahan gambut. Kearifan lokal dalam pengelolaan air yang telah
lama dilakukan petani lokal di lahan gambut dapat dijadikan dasar pengelolaan
tata air di lahan gambut, karena telah terbukti dapat mewujudkan pendayagunaan
sumberdaya alam dan sosial secara bijaksana yang mengacu pada keseimbangan
10

dan kelestarian lingkungan. Namun demikian, penerapan prinsip-prinsip kearifan


lokal pada skala yang lebih luas harus didukung oleh bantuan finansial dari
pemerintah karena dibutuhkan biaya yang relatif tinggi. Prinsip-prinsip
kelembagaan dalam pengelolaan tata air di lahan gambut yang telah berkembang
dalam petani tradisonal harus tetap dipertahankan (Noor M dkk, 2007).
11

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Keanekaragaman vegetasi yang dapat hidup di lahan atau tanah gambut
memiliki karakteristik dan ciri-ciri tersendiri. Ada beberapa jenis tanaman atau
vegetasi asli yang dapat ditemukan di lahan gambut yaitu ramin (Gonystylus
Bancanus), jelutung rawa (Dyera Costulata), punak (Tetramerista Glabra),
bungur (Lagerstroemia Speciosa), dan meranti rawa (Shorea Pauciflora).
Beberapa jenis tanaman tersebut dapat beradaptasi dengan baik terhadap kondisi
lahan gambut sehingga mampu menjadikan lahan gambut sebagai habitatnya.
Pengelolaan tata air di lahan gambut merupakan faktor kunci terwujudnya
sistem pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Perubahan penggunaan lahan
khususnya dari hutan gambut menjadi lahan pertanian perlu disertai dengan
tindakan drainase, karena dalam kondisi alaminya gambut dalam keadaan
tergenang, sementara sebagian besar tanaman budidaya tidak tahan genangan.
tujuan utama dilakukannya drainase adalah untuk menurunkan muka air tanah,
sehingga tercipta kondisi aerob, minimal sampai kedalaman perakaran tanaman
yang dibudidayakan, sehingga kebutuhan tanaman akan oksigen bisa terpenuhi.
Lahan gambut merupakan lahan strategis untuk pembangunan pertanian
karena kaya akan keanekaragaman hayati, memiliki atau dapat memberikan
berbagai jasa lingkungan seperti pengatur tata air, penyerap dan penyimpan
karbon agar perubahan iklim lokal maupun global dapat terkendali kepada kita
semua serta makhluk hidup lainnya. Selain itu, lahan gambut juga menjadi sumber
bagi produksi dan penghasilan petani. Namun, kondisi lahan gambut Indonesia
saat ini semakin memprihatinkan seiring dengan meningkatnya tekanan dan
kerusakan yang dialami. Kondisi ini akan terus memburuk apabila tidak diatasi
dengan upaya pencegahan kerusakan dan perbaikan terhadap lahan gambut yang
telah terdegradasi. Rehabilitasi merupakan salah satu upaya yang sangat penting
dalam memperbaiki lahan gambut yang telah terdegradasi.
12

5.2. Saran
Untuk kegiatan praktikum Agroekosistem selanjutnya diharapkan setiap
mahasiswa mempelajari dan memahami teori praktikumnya terlebih dahulu agar
dalam kegiatan praktikum dilapangan lebih mudah pelaksanaannya dan
mempermudah mahasiswa dalam pembuatan laporan hasil praktikum.
13

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk pertanian dan
aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre
(ICRAF). Bogor. Indonesia. 36 hal
Diterbitkan pada Buku Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai
Penelitian Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. 2011.

Haryono. 2013. Lahan Rawa Lumbung Pangan Masa Depan Indonesia. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. IAARD Press. Jakarta.
Herman. 2011. Tinjauan Sosial Ekonomi Pemanfaatan Lahan Gambut.
Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Hlm 89-102. Balitra-BBSDLP,
Badan Litbang Pertanian.
Noor M., M. Alwi, dan K. Anwar. 2007. Kearifan lokal dalam perspektif
kesuburan tanah dan konservasi air di lahan gambut. Dalam :Monograf
Kearifan Budaya Lokal Dalam Petanian di Lahan Rawa. Mukhlis, I.
Noor, M, Noor dan R.S. Simatupang (Eds.). Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian.
Suriadikarta, D.A. dan G. Sjamsidi. 2001. Teknologi Peningkatan Produktivitas
Tanah Sulfat Masam. Laporan Akhir. Proyek Sumber Daya Lahan Tanah
dan Iklim.
Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah., 1998. Pengembangan lahan pasang
surut ; potensi, prospek, dan kendala serta teknologi pengelolaannya untuk
pertanian. Dalam Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan
Komda HITI, 16-17 Desember 1998.

Anda mungkin juga menyukai