Anda di halaman 1dari 8

BUDAYA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS

PEMILIK UMKM DI KALIMANTAN TENGAH :


TELAAH DARI TIPOLOGI HOFSTEDE
PROPOSAL TESIS

OLEH:
ADHITIA TORIA JAYA
932014021

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS


UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
PENDAHULUAN

Profesor Geert Hofstede melakukan salah satu studi komprehensif tentang


bagaimana nilai-nilai di tempat kerja dipengaruhi oleh budaya. Ia mendefinisikan
budaya sebagai "pemrograman kolektif pikiran membedakan anggota satu
kelompok atau kategori orang dari orang lain". Enam dimensi budaya nasional
didasarkan pada penelitian yang luas dilakukan oleh Gert Jan Hofstede adalah
Power Distance Index (PDI), Individualism versus Collectivism (IDV),
Masculinity versus Femininity (MAS), Uncertainty Avoidance Index (UAI), Long
Term Orientation versus Short Term Normative Orientation (LTO), dan
Indulgence versus Restraint (IND).

Dalam penelitian.Curtis (2012), Country of origins mempengaruhi seseorang


dalam menentukan pengambilan keputusan etis dengan pendekatan power
distance milik hofstede di kalangan mahasiswa international di Inggris. Culture
nations di dua negara yaitu US dan norwegia dalam penelitian Beekun (2012)
yang diidentifikasi menggunakan tipologi Hofstede menunjukan bahwa masing-
masing negara memiliki pendekatan yang berbeda dalam pengambilan keputusan.
Penelitian lain milik Stedham (2012) yang menganalisis keputusan etis
menggunakan tipologi Hofstede pada orang Italia dan German menunjukan bahwa
kedua negara tersebut memegang persepsi masing-masing saat pengambilan
keputusan etis. Dalam penelitian yang akan dilaksanakan ini, penulis ingin
melihat fenomena tersebut jika dibawa ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia
yang sangat heterogen terlebih ke pemilik UMKM di Kalimantan Tengah. Dengan
mempertimbangkan hal tersebut, penulis akan membawa enam kultur dalam
tipologi budaya hofstede Power Distance Index (PDI), Individualism versus
Collectivism (IDV), Masculinity versus Femininity (MAS), Uncertainty
Avoidance Index (UAI), Long Term Orientation versus Short Term Normative
Orientation (LTO), dan Indulgence versus Restraint (IND). kedalam proses
pengambilan keputusan yang etis dalam proses bisnisnya dan
memperhadapkannya pada pendekatan analisis praktis modified five question
approach.

1
Dalam pengambilan keputusan etis seorang pemilik dipengaruhi oleh nilai
kebenaran atas tindakan yang ingin dilakukannya. Dalam pembentukan nilai
kebenaran tersebut, terdapat pula peran dari kebudayaan. Nilai kebudayaan dalam
analisis kebudayaan implisit menyampaikan bahwa kebudayaan dalam bentuknya
yang tidak nampak namun secara tersirat membentuk nilai dan norma dalam
kehidupan seseorang. Keberagaman latar belakang pemilik UMKM di Kalimantan
Tengah mengantarkan pada pendekatan yang berbeda dari pemilik tersebut dalam
menentukan keputusan etis dalam kinerja UMKM mereka. Keputusan etis disini
adalah keputusan yang diambil oleh pemilik UMKM dengan pertimbangan
dampaknya terhadap orang lain. Dengan adanya keberagaman dalam pengambilan
keputusan tersebut akan menciptakan persaingan yang berbeda antara satu orang
dengan yang lain.

Dengan memperhatikan berbagai hal yang telah disampaikan, maka


bagaimana pandangan milik Hofstede kedalam pengambilan keputusan etis dalam
proses bisnis di Kalimantan Tengah. Penelitian ini diharapkan mampu
memberikan gambaran mengenai bagaimana budaya yang beragam dan dalam hal
ini melalui tipologi Hofstede dapat memberikan perspektif pada pengambialn
keputusan etis di kalangan pemilik UMKM. Keberadaan UMKM di Kalimantan
Tengah dengan keberagaman budaya akan memberikan berbagai pandangan yang
berbeda terhadap pengambilan keputusan etis terkait dengan pelaksanaan
bisnisnya.

LANDASAN TEORI

TIPOLOGI HOFSTEDE

Hofstede (1980; 1991) mengidentifikasi empat model karakteristik untuk menilai


sebuah kultur di masyarakat lintas negara. Hofstede menemukan bahwa manager
dan karyawan memiliki empat dimensi nilai kultur nasional yang berbeda-beda.
Keenam kultur tersebut pertama Power Distance Index (PDI) Dimensi ini
mengungkapkan sejauh mana anggota yang kurang kuat dari masyarakat
menerima dan menduga bahwa kekuasaan didistribusikan tidak merata. Masalah
mendasar di sini adalah bagaimana masyarakat menangani ketidaksetaraan antara

2
orang-orang. Orang-orang di masyarakat menunjukkan tingkat Jarak Kekuasaan
besar menerima tatanan hirarkis di mana setiap orang memiliki tempat dan yang
tidak membutuhkan justifikasi lebih lanjut. Dalam masyarakat dengan Jarak
Kekuasaan rendah, orang berusaha untuk menyamakan distribusi kekuasaan dan
permintaan justifikasi bagi ketidaksetaraan kekuasaan. Kedua Individualism
versus Collectivism (IDV) Sisi yang tinggi dari dimensi ini, yang disebut
individualisme, dapat didefinisikan sebagai preferensi untuk kerangka sosial
rajutan yang longgar di mana individu diharapkan untuk mengurus diri mereka
sendiri dan hanya keluarga mereka. Disisi lain, kolektivisme, mewakili preferensi
untuk kerangka rajutan yang erat dalam masyarakat di mana individu dapat
mengharapkan kerabat atau anggota tertentu dalam kelompok mereka untuk
menjaga mereka dalam pertukaran untuk loyalitas tidak perlu diragukan lagi.
Posisi masyarakat pada dimensi ini tercermin dalam apakah citra diri masyarakat
didefinisikan dalam hal "aku" atau "kami.". Ketiga Masculinity versus
Femininity (MAS) Sisi maskulinitas dari dimensi ini merupakan preferensi dalam
masyarakat untuk berprestasi, kepahlawanan, ketegasan dan imbalan material
untuk sukses. Masyarakat pada umumnya lebih kompetitif. Berlawanan dari itu,
feminitas, merupakan preferensi untuk kerjasama, kesopanan, merawat kualitas
lemah dan hidup. Masyarakat pada umumnya lebih berorientasi konsensus. Dalam
konteks bisnis Maskulinitas melawan Feminitas kadang-kadang juga berkaitan
dengan budaya "tangguh dibandingkan lembut". Keempat Uncertainty
Avoidance Index (UAI) Dimensi Penghindaran Ketidakpastian mengungkapkan
sejauh mana anggota masyarakat merasa tidak nyaman dengan ketidakpastian dan
ambiguitas. Masalah mendasar di sini adalah bagaimana masyarakat berkaitan
dengan fakta bahwa masa depan tidak dapat diketahui: kita harus mencoba untuk
mengontrol masa depan atau hanya membiarkan hal itu terjadi? Negara dengan
UAI kuat kaku terhadap keyakinan dan perilaku dan tidak toleran terhadap
perilaku yang tidak lazim dan ide-ide. Sedangkan yang UAI rendah
mempertahankan sikap lebih santai di mana praktek dianggap lebih dari prinsip-
prinsip. Kelima Long Term Orientation versus Short Term Normative
Orientation (LTO) Setiap masyarakat harus menjaga beberapa link dengan masa
lalu sendiri ketika berhadapan dengan tantangan masa kini dan masa depan.

3
Masyarakat memprioritaskan dua gol eksistensial berbeda. Masyarakat yang
mendapat skor rendah pada dimensi ini, misalnya, lebih memilih untuk
mempertahankan tradisi waktu dihormati dan norma-norma saat melihat
perubahan masyarakat dengan kecurigaan. Mereka dengan budaya yang nilai yang
tinggi, di sisi lain, mengambil pendekatan yang lebih pragmatis: mereka
mendorong penghematan dan upaya pendidikan modern sebagai cara untuk
mempersiapkan masa depan. Dalam konteks bisnis dimensi ini berhubungan
dengan sebagai "(jangka pendek) normatif vs (jangka panjang) pragmatis" (PRA).
Dalam lingkungan akademik terminologi monumentalism vs Flexhumility
kadang-kadang juga digunakan. Keenam Indulgence versus Restraint (IND)
Indulgensi merupakan masyarakat yang memungkinkan kepuasan relatif bebas
dari dasar manusia dan berkaitan dengan menikmati hidup dan bersenang-senang.
Restraint masyarakat yang menekan pemuasan kebutuhan dan mengatur dengan
cara norma-norma sosial yang ketat.

ANALISIS KEBUDAYAAN IMPLISIT

Kebudayaan imaterial, yaitu kebudayaan yang bentuknya tidak nampak


sebagai suatu “benda” namun dia “tersirat” dalam nilai dan norma budaya suatu
masyarakat.

PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS

Pengambilan keputusan etis membantu orang membuat pilihan yang sulit


ketika dihadapkan dengan dilema etika, situasi di mana tidak ada jawaban yang
jelas mengenai benar atau salah. Keputusan etis adalah suatu keputusan yang pada
dasarnya tidak merugikan orang lain dan berjalan dengan baik. Rest (1986)
menjelaskan bahwa pengambilan keputusan etis dilakukan melalui empat tahap
yang berkaitan, pertama Moral awareness yang menyatakan sebuah isu yang akan
diambil keputusannya terkait dengan permasalahan etika. Kedua Moral judgement
menganalisa setiap kemungkinan tindakan yang akan dilakukan dan menyatakan
bahwa tindakan tersebut benar secara moral. Ketiga Moral motivation yaitu
komitmen untuk melakukan tindakan moral. Kelima Moral character adalah
tekad untuk tetap malksanakan tindakan tersebut walaupun terdapat halangan.

4
Setiap tahap dalam proses pengambilan keputusan etis tersebut terpengeruh oleh
atribut individual dari seorang yang akan mengambil keputusan.

Dalam mengambil keputusan etis dikenal pendekatan analisis praktis yaitu


modified five question approach yang menantang setiap kebijakan yang diusulkan
atau keputusan yang akan diambil dengan menggunakan lima pertanyan yaitu :
Profitabilitas, legalitas, kejujuran, dampak pada hak masing-masing pemangku
kepentingan dan lingkungan, serta demosntrasi kebajikan yang diharapkan oleh
para pemangku kepentingan.

Pengambilan keputusan etis disini adalah pengambilan keputusan yang etis


terkait dengan proses bisnis yang dilakukan oleh UMKM. Proses bisnis ini
dimulai dari bagaimana pemilik UMKM merencanakan produksi dan penjualan,
melakukan perencanaan dalam pengembangan produk, serta sumber permodalan.

TIPOLOGI HOFSTEDE DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS

Dengan mengaitkan antara tipologi serta empat tahap dalam pengambilan


keputusan etis dan menggunakan pendekatan analisis praktis modified five
question approach, penulis akan membuat daftar pertanyaan terstruktur untuk
menjelaskan bagaimana kebudayaan terlibat dalam pengambilan keputusan etis.

 Power Distance Index (PDI) dan Pengambilan Keputusan


 Individualism versus Collectivism (IDV) dan Pengambilan Keputusan
 Masculinity versus Femininity (MAS) dan Pengambilan Keputusan
 Uncertainty Avoidance Index (UAI) dan Pengambilan Keputusan
 Long Term Orientation versus Short Term Normative Orientation
(LTO) dan Pengambilan Keputusan
 Indulgence versus Restraint (IND) dan Pengambilan Keputusan

DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini berbentuk Eksploratori dengan teknik studi kasus, dalam hal ini
akan berfokus pada 5 UMKM pada kluster hasil olahan makanan. 5 UMKM ini
dipilih berdasarkan latar belakang suku dari sang pemilik. Pemelihan ini
dilakukan atas dasar bahwa antara suku yang satu dan yang lain akan memiliki

5
kebudayaan yang berbeda. Dengan berdasar pada teori analisis kebudayaan
implisit, budaya akan membentuk pola pikir dan pendekatan dalam pengambilan
keputusan dalam strategi tindakan.

Penelitian ini akan menggunakan Deskriftif Kualitatif. Tujuannya adalah


menjelaskan bagaimana suatu kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam
mengambil keputusan etis terhadap UMKM yang dikelolanya. Dalam penelitian
ini saya akan menggunakan teknik wawancara yang saya lakukan dengan
wawancara terstukrur dan tidak terstruktur. Untuk wawancara terstruktur, saya
mengarahkan pada bagaimana pemilik UMKM mengambil keputusan mereka
dengan pendekatan mereka sendiri. Untuk wawancara tidak terstruktur saya
masuk dalam aspek budaya, dimana saya akan berbincang dengan pemilik untuk
mereka dapat bercerita mengenai latar belakang suku dan budaya. Dari hasil
wawancara tidak terstruktur tersebut saya kemudian akan mencoba memulai
kembali wawancara terstruktur mengenai kebiasaan dalam suku dan budaya
mereka dalam melakukan aktifitas dan mengambil keputusan.

Penelitian ini akan dilakukan pada awal tahun 2016 dengan lokasi penelitian
berada di Provinsi Kalimantan Tengah dan saya batasi pada satu kota
(Palangkaraya) dan dua kabupaten (Kapuas dan Katingan).

DAFTAR PUSTAKA

Beekun, R.I. & Westerman, J.W., 2012. Spirituality and national culture as
antecedents to ethical decision-making: a comparison between the United
States and Norway. Journal of Business Ethics, 110(1), pp.33–44.

Brooks, Leomar J & Paul Dunn,2011, Bussines & Professional Ethics for
directors, executives & accountants, Cengage Learning, Salemba
Empat,Jakarta

Curtis, M.B., Conover, T.L. & Chui, L.C., 2012. A Cross-Cultural Study of the
Influence of Country of Origin, Justice, Power Distance, and Gender on
Ethical Decision Making. Journal of International Accounting Research,
11(1), pp.5–34.

Petersen, J.A., Kushwaha, T. & Kumar, V., 2014. Marketing Communication


Strategies and Consumer Financial Decision Making: The Role of National
Culture. Journal of Marketing, 79(1), pp.44–63.

6
Rausch, A., Lindquist, T. & Steckel, M., 2014. A Test of U . S . versus Germanic
European Ethical Decision-Making and Perceptions of Moral Intensity :
Could Ethics Differ within Western Culture ? journal of managerial issues,
XXVI(3), pp.259–285.

Stedham, Y. & Beekun, R.I., 2013. Ethical judgment in business: culture and
differential perceptions of justice among Italians and Germans. Business
Ethics-a European Review, 22(2), pp.189–201.

Vitell, S.J. & Barnes, J.H., 1993. The Effects of Culture on Ethical Decision-
Making : An Application of Hofstede ’ s Typology. Journal of Business
Ethics, 12(1984), pp.753–760.

Anda mungkin juga menyukai