Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan berjalannya waktu ilmu pengetahuan terus berkembang


khususnya pada abad 21 ini. Berkembangnya ilmu pengetahuan menuntut
pendidikan untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas
tinggi agar mampu memecahkan masalah baik masalah dalam kehidupan sehari-
hari maupun dalam pembelajaran. Pembelajaran untuk menghadapi abad ke-21 ini
juga dimasukkan dalam Kurikulum 2013 di sistem pendidikan Indonesia, terkait hal
tersebut menurut Prawitasari (2018) yang mengutip pendapat Dirjen GTK bahwa
terdapat empat kompetensi dasar yang wajib dimiliki setiap peserta didik salah
satunya adalah kompetensi untuk berpikir kritis (critical thinking). Namun ternyata
pendidikan di Indonesia belum optimal dalam meningkatkan kemampuan berpikir
kritis, hal ini terlihat dari turunnya nilai UNBK SMP yang diakibatkan oleh
penerapan sistem HOTS (Prawitasari, 2018). Kurangnya kemampuan berpikir kritis
di Indonesia ini juga bisa dilihat dari hasil tes PISA (Programme for International
Student Assessment) 2018, pada tes tersebut Indonesia menduduki peringkat 7 dari
bawah dengan skor rata – rata PISA di bidang Matematika sebesar 379 jauh di
bawah skor rata – rata Organitation for Economic Co-operation and Development
(OECD) yaitu sebesar 489, ini artinya hasil tes PISA Indonesia mengalami
penurunan mengingat pada tahun 2015 Indonesia menduduki peringkat 9 dari
bawah dengan skor rata-rata pada bidang Matematika sebesar 386 dan skor rata-
rata OECD sebesar 490. Selanjutnya untuk mata pelajaran Matematika, presentase
siswa yang berada pada level 5 hanya 0,4 % saja, yang lebih memprihatinkan lagi
tidak ada siswa yang mencapai level 6, hal ini ditunjukkan dengan presentase siswa
yang berada pada level 6 sebesar 0%.
Untuk lebih jelasnya lagi tiap tingkatan soal pada PISA memiliki
indikatornya sendiri, berikut adalah indikator pada tingkat 5 dan tingkat 6 pada
subjek Matematika. Pada tingkat 5 siswa bisa bekerja dengan model untuk situasi
yang kompleks, mengetahui kendala yang dihadapi, dan melakukan dugaan-
dugaan, memilih, membandingkan, dan mengevaluasi strategi untuk memecahkan
masalah yang rumit yang berhubungan dengan model ini, bekerja dengan
menggunakan pemikiran dan penalaran yang luas, menguhubungkan pengetahuan
dan keterampilan matematikanya dengan situasi yang dihadapi, melakukan refleksi
dari apa yang ia kerjakan dan mengkomunikasikannya. Pada tingkat 6 siswa bisa
melakukan konseptualisasi dan generalisasi dengan menggunakan informasi
berdasarkan penelaahan dalam suatu model situasi yang kompleks,
menghubungkan sumber informasi berbeda dengan fleksibel dan
menerjemahkannya, berpikir dan bernalar secara matematika,menerapkan
pemahamannya secara mendalam disertai dengan penguasaan teknis operasi
matematika, mengembangkan strategi dan pendekatan baru untuk menghadapi
situasi baru, merumuskan dan mengkomunikasikan apa yang mereka temukan,
melakukan penafsiran dan berargumentasi. Pada tingkat 5 dan tingkat 6, siswa
mulai dihadapkan dengan soal yang lebih kompleks sehingga membutuhkan
kemampuan berpikir kritis yang lebih. Pada tingkat 5 siswa dapat melakukan tahap
mengenalkan dan memecahkan masalah, mengevaluasi, mensintesis serta
menyimpulkan, sedangkan pada tahap 6 siswa dapat menganalisis, mensintesis dan
menyimpulkan. Tahapan menganalisis, mensintesis, mengenalkan dan
memecahkan masalah, menyimpulkan serta mengevaluasi adalah tahap berpikir
kritis menurut Angelo (1995).
Selanjutnya, seperti yang telah diketahui bahwa matematika adalah salah
satu pelajaran yang bisa meningkatkan kemampuan berpikir kritis serta telah
diajarkan di Indonesia dari jenjang pendidikan dasar. Namun terlepas dari hal
tersebut ternyata masih banyak siswa yang memiliki prestasi belajar yang rendah,
dilihat dari nilai pada mata pelajaran ini. Hal itu dapat ditunjukkan dari Hasil Ujian
Nasional (UN) yang dikeluarkan oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik)
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada laman website
resminya, yang menampilkan bahwa rata – rata nilai UN tahun pelajaran 2018/2019
di jenjang SMP pada mata pelajaran matematika memiliki nilai paling rendah di
antara mata pelajaran lainnya yaitu sebesar 45.52.
Rendahnya prestasi belajar matematika dapat dikaitkan dengan temuan
penelitian Leonard dan Amanah (2014) bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
antara kemampuan berpikir kritis siswa terhadap prestasi belajar matematika, yang
diartikan semakin baik kemampuan kritis siswa maka semakin baik prestasi belajar
matematikanya. Menurut Ennis (1993) mendefinisikian bahwa berpikir kritis
sesungguhnya adalah suatu proses berpikir yang terjadi pada seseorang serta
bertujuan untuk membuat keputusan- keputusan yang masuk akal mengenai sesuatu
yang dapat ia yakini kebenarannya serta yang akan dilakukan nanti. Menurut
Angelo (1995) berpikir kritis dikategorikan sebagai penerapan kemampuan berpikir
tingkat tinggi seperti ketrampilan menganalisis, mensintesis, mengenalkan dan
memecahkan masalah, menyimpulkan dan mengevaluasi.

Selain membutuhkan kemampuan berpikir kritis, dibutuhkan pula


kemampuan bertahan dalam menghadapi rintangan untuk memecahkan suatu
masalah yang dikenal sebagai Adversity Quotient (AQ). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Stoltz (2004: 8) bahwa AQ dapat memberitahu Anda seberapa jauh
Anda mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan Anda megatasinya.
Stoltz mengelompokkan orang ke dalam 3 kategori yaitu AQ rendah ( Quitter), AQ
sedang (Camper) dan AQ tinggi(Climber). Kategori Quitter adalah sekelompok
orang yang berhenti dan menolak kesempatan yang diberikan oleh tantangan,
orang-orang dengan kategori ini mengabaikan, menutupi atau meninggalkan
motivasi untuk menghandapi tantangan. Kategori Campers adalah sekolompok
orang yang menanggapi dan menghadapi tantangan namun berhenti ketika sudah
merasa cukup walaupun belum menyelesaikan tantangan yang ada. Kategori
Climbers adalah sekelompok orang yang terus berusaha dalam menghadapi dan
menyelesaikan tantangan serta tidak peduli dengan keuntungan atau kerugian, nasib
buruk atau nasib baik. Kelompok orang ini selalu memikirkan kemungkinan –
kemungkinan yang ada dalam menyelesaikan tantangan dengan tidak pernah
membiarkan hambatan sebagai penghalangnya. Selanjutnya dalam penelitian yang
dilakukan oleh Leonard dan Amanah (2014) diperoleh bahwa terdapat pengaruh
yang signifikan antara Adversity Quotient (AQ) terhadap prestasi belajar
matematika, yang diartikan semakin baik adversity quotient siswa maka semakin
baik prestasi belajar matematikanya.

Kemampuan berpikir kritis dan Adversity Quotient diperlukan siswa untuk


mampu memecahkan masalah matematika. Hal ini sesuai dengan temuan Leonard
dan Amanah (2014) bahwa ada pengaruh yang signifikan antara Adversity Quotient
(AQ) dan kemampuan berpikir kritis secara bersama-sama terhadap prestasi belajar
matematika, yang diartikan semakin baik adversity quotient dan kemampuan
berpikir kritis siswa maka semakin baik prestasi belajar matematikanya.

Menurut Takwin (2006) pada dasarnya sejak kanak – kanak manusia sudah
memilki kecenderungan dan kemampuan berpikir kritis. Sebagai makhluk rasional
dan pemberi makna, manusia selalu terdorong untuk memikirkan hal – hal yang ada
di sekelilingnya.Selanjutnya menurut Rubenfeld dan Scheffer
(Suriyana&Fatmawati, 2019) faktor yang mempengaruhi seseorang pemikir kritis
salah satunya adalah genetika. Berdasarkan uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa
setiap siswa memiliki kemampuan berpikir kritis, namun tidak berhenti disitu saja
sebagai seorang guru tentunya perlu meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada
siswa, salah satunya menggunakan model pembelajaran. Namun pada
kenyataannya tidak semua model dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritis,hal ini dapat terlihat dari penelitian Santosa (2018) bahwa siswa yang
memiliki kemampuan berpikir kritis yang tinggi sangat cocok untuk diterapkan
model induktif namun siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang rendah
lebih cocok diberikan model pembelajaran langsung. Begitu pula pada Nurlaeli
(2018) bahwa model pembelajaran PBL kurang efektif digunakan pada siswa yang
memiliki AQ rendah, hal ini nampak pada hasil penelitian bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis matematis antara siswa yang
diberi perlakuan model pembelajaran PBL dan model pembelajaran konvensional
pada siswa yang memiliki AQ rendah. Sesuai dengan pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa tidak semua model pembelajaran cocok pada setiap anak
kaitannya untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis, guru perlu meninjau
terlebih dahulu proses berpikir kritis untuk dapat menentukan model pembelajaran
yang tepat bagi siswa.

Berdasarkan uraian di atas, Peneliti tertarik untuk meneliti mengenai proses


berpikir kritis siswa berdasarkan teori Angelo ditinjau dari Adversity Quotient
(AQ).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan rumusan
masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana proses berpikir kritis siswa climber?
2. Bagaimana proses berpikir kritis siswa camper?
3. Bagaimana proses berpikir kritis siswa quitter?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dilaksanakan penelitian
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses berpikir kritis siswa climber.
2. Untuk mengetahui proses berpikir kritis siswa camper.
3. Untuk mengetahui proses berpikir kritis siswa quitter.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan informasi kepada guru dan calon guru mengenai proses berpikir
kritis siswa ditijaun dari Adversity Quotient. Dengan informasi tersebut
diharapkan dapat menjadi gambaran kepada guru sejauh mana proses berpikir
kritis siswa ditijaun dari Adversity Quotient sehingga dapat menjadi salah satu
tolak ukur keberhasilan guru dalam mengajar, untuk selanjutnya bisa menjadi
pedoman dalam memperbaiki perencanaan pembelajaran matematika.
2. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pemerintah dan pengelola
pendidikan untuk melakukan perbaikan sistem evaluasi yang dilakukan pada
siswa khususnya untuk mengukur kemampuan siswa dalam memecahkan
masalah matematika.
3. Sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan penelitian yang berkaitan
dengan proses berpikir kritis siswa.

Anda mungkin juga menyukai