PENDAHULUAN
Menurut Takwin (2006) pada dasarnya sejak kanak – kanak manusia sudah
memilki kecenderungan dan kemampuan berpikir kritis. Sebagai makhluk rasional
dan pemberi makna, manusia selalu terdorong untuk memikirkan hal – hal yang ada
di sekelilingnya.Selanjutnya menurut Rubenfeld dan Scheffer
(Suriyana&Fatmawati, 2019) faktor yang mempengaruhi seseorang pemikir kritis
salah satunya adalah genetika. Berdasarkan uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa
setiap siswa memiliki kemampuan berpikir kritis, namun tidak berhenti disitu saja
sebagai seorang guru tentunya perlu meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada
siswa, salah satunya menggunakan model pembelajaran. Namun pada
kenyataannya tidak semua model dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritis,hal ini dapat terlihat dari penelitian Santosa (2018) bahwa siswa yang
memiliki kemampuan berpikir kritis yang tinggi sangat cocok untuk diterapkan
model induktif namun siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang rendah
lebih cocok diberikan model pembelajaran langsung. Begitu pula pada Nurlaeli
(2018) bahwa model pembelajaran PBL kurang efektif digunakan pada siswa yang
memiliki AQ rendah, hal ini nampak pada hasil penelitian bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis matematis antara siswa yang
diberi perlakuan model pembelajaran PBL dan model pembelajaran konvensional
pada siswa yang memiliki AQ rendah. Sesuai dengan pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa tidak semua model pembelajaran cocok pada setiap anak
kaitannya untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis, guru perlu meninjau
terlebih dahulu proses berpikir kritis untuk dapat menentukan model pembelajaran
yang tepat bagi siswa.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dilaksanakan penelitian
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses berpikir kritis siswa climber.
2. Untuk mengetahui proses berpikir kritis siswa camper.
3. Untuk mengetahui proses berpikir kritis siswa quitter.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan informasi kepada guru dan calon guru mengenai proses berpikir
kritis siswa ditijaun dari Adversity Quotient. Dengan informasi tersebut
diharapkan dapat menjadi gambaran kepada guru sejauh mana proses berpikir
kritis siswa ditijaun dari Adversity Quotient sehingga dapat menjadi salah satu
tolak ukur keberhasilan guru dalam mengajar, untuk selanjutnya bisa menjadi
pedoman dalam memperbaiki perencanaan pembelajaran matematika.
2. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pemerintah dan pengelola
pendidikan untuk melakukan perbaikan sistem evaluasi yang dilakukan pada
siswa khususnya untuk mengukur kemampuan siswa dalam memecahkan
masalah matematika.
3. Sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan penelitian yang berkaitan
dengan proses berpikir kritis siswa.