Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2012
penyakit kardiovaskuler lebih banyak menyebabkan kematian dari pada penyakit
lainnya. Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler
terbayak pada pasien rawat inap di rumah sakit. Infark miokard adalah kematian
sel miokard akibat iskemia yang berkepanjangan. Menurut WHO, infark miokard
diklasifikasikan berdasarkan dari gejala, kelainan gambara EKG dan enzim
jantung. Infark miokard dapat dibedakan menjadi infark miokard dengan elevaasi
gelombang ST (STEMI) dan infark miokard tanpa elevasi gelombang ST
(STEMI) (Thygesen et al, 2012).
ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spectrum
sindrom coroner akut (SKA) yang paling berat (Kumar dan Cano, 2009). Pada
pasien STEMI, terjadi penurunan aliran darah aliran darah coroner secara
mendadak akibat oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya.thrombus arteri coroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vaskuler, injuri vaskuler dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi,
dan akumulasi lipid (Alwi, 2014). Karakteristik gejala iskemia miokard yang
berhubungan dengan elevasi gelombang ST persisten yang dilihat berdasarkan
EKG dapat menentukan terjadinya STEMI. Saat ini, kejadian STEMI sekitar 25-
40% dari infark miokard, yang dirawat dirumah sakit sekitar 5-6% dan mortalitas
1 tahunnya sekitar 7-18% (O’Gara et al., 2013). Sekitar 865.000 penduduk
amerika menderita infark miokard akut pertahun dan sepertiganya menderita
STEMI (Yang et al., 2008).
Pada tahun 2018 ±478.000 pasien di Indonesia didiagnosa peenyakit jantung
coroner. Saat ini, prevekuensi STEMI meningkat dari 25% hingga 40% berdasarkan
presentasi infark miokard (Depkes RI, 2013). Penelitian oleh Torry et al tahun 2011-2012
di RSUP Muhammad Hoesin Palembang, angka kejadian STEMI paling tinggi dari
keseluruhan kejadian SKA yaitu 7.8%, sedangkan untuk NSTEMI hanya 1.1% dan 7%
pasien angina pectoris tidak stabil. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP
Muhammad Hoesin pada tahun 2018, STEMI juga merupakan kejadian tertinggi dari
keseluruhan SKA yaitu sebesar 66,7% (Budiana, 2018).

Sumatera selatan merupakan provinsi dengan prevalensi penyakit jantung


tertinggi setelah provinsi banten dan Kalimantan selatan 1.0% , provinsi penyakit
jantung tertinggi Nusa Tenggara Timur 4.4%, Sulawesi tengah 3,8% dan aceh
2.3% (Dinkes RI, 2018). Berdasarkan hasil penelitian di Rumah sakit Muhammad
Hoesin pada tahun 2017 menyatakan bahwa kejadian SKA terbanyak adalah
STEMI dengan presentase sebesar 52% dari keselruhan SKA (Zahara,2017). Hasil
penelitia di RSUP DR Muhammad Hoesin pada tahun 2018 juga menunjukkan
bahwa STEMI didapatkan bahwa laki-laki lebih banyak yang menderita STEMI
(8,5%) dibandingkan perempuan dan usia terbanyak yaitu rentang 54,65±7,77
(Ilhami YR, 2018).
Penelitian Ruz, Lnnie dan Moser (2011) menyimpulkan bahwa pasien jantung
yang mengalami kecemasan dan nyeri memiliki resiko komplikasi lebih besar.
Komplikasi lanjut yang berulang iskemia berkepanangan, fibrilasi ventrikel, dan
takikardiventrikel.
Salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk menangani nyeri adalah
terapi Seft Emotional Freedom Technique. SEFT adalah pengmbangan dari
emotionl freedom technique (EFT). Intervensi EFT merupakan teknik mengatasi
emosi yang dilakukan degan cara mengetuk ringan ujung jari dengan stimulas
titik-titik meridian tertentu pada tubuh individu sambal merasakan masalah yang
sedang dihadap (Craig, 2003).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Mampu menggambarkan aplikasi asuhan keperawatan pada kasus pada
pasien STEMI tentang terapi nonfarmakologis untuk keluhan meredahkan
nyeri.
2. Tujuan Khusus
a. Memaparkan gambaran umum masalah keperawatan pada pasien STEMI.
b. Memaparkan pengkajian yang dilakukan pada pasien stemi dengan
masalah nyeri.
c. Memaparkan diagnosa keperawatan yang didapatkan pada pasien stemi
dengan masalah nyeri.

C. Manfaat
1. Pelayanan Kesehatan
Dapat menambah masukan dan meningkatkan pemahaman perawat dalam
melakukan pelayanan palliative care. Dapat memberikan alternatif pilihan
terhadap tindakan pencegahan dan pengananan rasa nyeri dan cemas pada
pasien dengan masalah STEMI.

2. Institusi Pendidikan
Dapat menjadi dasar pengembangan materi asuhan keperawatan gawat
darurat dalam pelayanan palliative care terhadap pasien dengan masalah
STEMI serta cara mengatasinya dengan terapi nonfarmakologis pada pasien
gagal jantung yang dapat digunakan dalam proses pendidikan mahasiswa.

3. Keilmuaan/Penelitian Keperawatan
Dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan
keperawatan, terutama yang berkaitan dengan implementasi inovasi yang
mandiri dan komprehesif dalam mengatasi masalah keluhan yang pada
pasien STEMI dengan cara memberikan therapy SEFT. Hasil asuhan
keperawatan maternitas ini sekaligus dapat menjadi landasan/ dasar bagi
pengembangan penelitian keperawatan yang bermutu bagi masyarakat luas
D. Metode Penelitian
Penelitian kuantitatif menggunakan pendekatan dan kuesioner studi kasus dengan
memberikan asuhan keperawatan pada 3 orang pasien dengan STEMI.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Jantung

Sistem kardiovaskuler terdiri dari jantung, pembuluh darah dan darah.


Fungsi utama pada sistem kardiovaskuler antara lain distribusi O2, nutrient, air,
elektrolit dan hormon keseluruh jaringan tubuh, transportasi CO2 dan produk
sisa metabolik, berperan dalam infrastruktur sistem imun dan termoregulasi.
Jantung terdiri dari atas empat ruang. Darah mengalir kedalam atrium kanan
melalui vena cava superior dan inferior. Atrium kanan dan kiri masing-masing
terhubung ke ventrikel melalui katup atriorventikuler (AV) mitral (dua daun
katup) dan trikuspidalis (tiga daun katup) aliran dari ventrikel kanan keluar
melalui katup pulmonal seminularis ke arteri pulmonalis dan aliran dari
ventrikel kiri memasuki aorta melalui katup aorta semilunaris. Daun katup dari
katup jantung dibentuk oleh jaringan ikat fibrosa, yang diselubungi oleh lapisan
tipis sel-sel yang serupa dan berbatasan dengan endokardium permukaan luar
miokardium dilapisi oleh epicardium yang merupakan lapisan sel mesotel.
Keseluruhan jantung terselubung dalam pericardium yang merupakan kantung
fibrosa tipis agar mncegah pelebaran jantung secara berlebihan (Aaronson et
al., 2013).

Gambar 2.1 Anatomi Jantung


B. Infark Miokard Akut
1. Pengertian Infark Miokard Akut
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi ketika jika aliran darah
coroner menurun secara mendadak akibat oklusi thrombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Thrombus arteri coroner terjadi
secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Sudoyo, 2010).

2. Etiologi
Terdapat dua faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit arteri coroner
yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable). Faktor risiko modifiable dapat
dikontrol dengan mengubah gaya hisup dan kebiasaan pribadi sedangkan
faktor risiko yang nonmodifiable merupakan konsekuensi genetic yang tidak
dapat dikontrol (Smeltzer, 2002). Menurut Muttaqin (2009) ada lima faktor
risiko yang dapat diubah yaitu : merokok, hipertensi, hiperglikemia,
kolesterol, dan pola tingkah laku.
a. Merokok
Merokok dapat menyebabkan keparahan dari penyakit coroner diantaranya
karbondioksida yang terdapat pada asap rokok akan lebih mudah dalam
mengikat hemoglobin dari pada oksigen, sehingga oksigen yang disuplai ke
jantung menjadi berkurang. Asam nikotinat pada tembakau memicu
pelepasan katekolamin yang menybabkan kontraksi arteri dan membuat
aliran darah dan oksigen jaringan menjadi terganggu. Merokok dapat
meningkatkan adhesi pada terombosit yang dapat mengakibatkan
kemungkinan peningkatan pembentukan thrombus.
b. Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi merupakan juga faktor risiko yang dapat
menyebabkan penyakit arteri coroner. Tekanan darah yang tinggi akan
dapat meningkatkan gradien tekanan yang harus dilawan oleh ventrikel kiri
saat memompa darah. Tekanan tinggi yang terus menerus menyebabkan
suplai kebutuhan oksigen meningkat.
c. Kolesterol darah tinggi
Tingginya kolesterol dengan kejadian penyakit arteri koroner memiliki
hubungan yang erat. Lemak yang tidak larur dalam air terikat dengan
lipoprotein yang larut dengan air yang memungkinkannya dapat diangkut
dalam sistem peredaran darah. Tiga komponen metabolism lemak,
kolesterol total, lipoprotein densitas rendah (Low density lipoprotein) dan
lipoprotein densitas tinggi (high density lipoprotein). Peningkatan kolesterol
dihubungkan dengan meningkatna risiko koronaria dan mempercepat
proses arterosklorosis. Sedangkan kolestreol HDL yang tinggi berperan
sebagai faktor pelindung terhadap penyakit arteri koronaria dengan cara
mengangkut LDL ke hati, mengalami biodegradasi dan kemungkinan
dieksresi (Price, 1995).
d. Hiperglikemia

Pada penderita diabetes mellitus cenderung memiliki prevalensi


aterosklerosis yang lebih tinggi, hiperglikemia menyebabkan peningkatan
agresi trombosit yang dapat menyebabkan pembentukan thrombus.
e. Pola perilaku

Pola hidup yang kurang aktivitas serta stressor psikososial juga ikut berperan
dalam menimbulkan masalah pada jantung.

3. Patofisiologi Infark Miokard Akut

Infark miokard akut terjadi saat iskemia miokard yang terlokalisasi


menyebabkan perkembangan suatu regio nekrosis dengan batas yang jelas.
Infark miokard paling sering disebabkan oleh rupture lesi aterosklerosis pada
aretri coroner. Ini menyebabkan pembentukan thrombus yang menyumbat
arteri, sehingga menghentikan atau mengurangi pasokan darah ke jantung
(Aaronson dan Ward, 2013). Infark Miokard Akut terjadi ketika ada
perubahan iskemik abnormal miokardium disebabkan oleh ketidamampuan
perfusi coroner memenuhi permintaan kontraktil miokard.
Selain kenaikan dan/atau penurunan biomarker jantung, disertai pula bukti
iskemia miokard dengan setidaknya 1 dari berikut: (1) gejala iskemia
miokard, (2) pengembangan patologis gelombang Q pada elektrokardiogram
(EKG), (3) perubahan New ST-T atau terdapat blok cabang berkas kiri
(LBBB) baru, (4) kehilangan akut miokard yang layak atau kelainan baru
dinding daeraj gerak, (5) identifikasi suatu thrombus intrakoroner dengan
angiografi atau otopsi mendadak, (6) kematian jantung tak terduga dengan
gejala sugestif dari iskemia miokard dan diduga terjadi elevasi segmen ST
baru, LBBB, dengan adanya thrombus segar dengan angiografi koroner atau
otopsi (Rimawati et al, 2013). Studi yang dilakukan oleh DeWood dan
koleganya menunjukkan bahwa thrombosis coroner merupakan kejadian
kritikal yang menyebabkan infark miokard akut. Dari semua pasien yang
menunjukkan gejala dengan onset 4 jam dengan bukti EKG infark miokard
transmural, angiograi coroner menunjukkan bahwa 87% pasien memiliki
oklusi trombotik komplet pada arteri yang terkena infark. Insiden oklusi total
total menurun menjadi 65% pada 12-24 jam setelah onset gejala akibat
fibrimolisis spontan. Ditemukan thrombus yang masih baru pada bagian atas
plak yang mengalami rupture pada arteri yang terkena infark pada pasien yang
meninggal akibat infark miokard (Aaronon dan Ward, 2013). Plak pada
pembuluh darah coroner yang mengalami ruptur biasanya berukuran kecil dan
non-obstruktif inti yang banyak mengandung lipid dan ditutupi oleh elubung
fibrosa. Plak ini biasanya banyak mengandung lipid dan ditutupi oleh selubung
fibrosa. Plak ini biasanya banyak mengandung makrofag dan limfosit-T yang
dapat melepaskan metaloprotase dan sitokin yang melemahkan selubung
fibrosa yang menyebabkan plak mudah robek dan mengalami emosi karena
adanya tekanan dari aliran darah. Plak yang rupture memicu terjadinya
agrerasi trombosit dan membentuk thrombus di pembuluh darah yang
dilewatinya. Pasien yang mengalami iskemia dalam waktu yang lama dan
berat menyebabkan terbentuknya region nekrosis di dinding miokard. Zona
nekrosis ini dapa tetap reversible dengan bantuan referfusi. Zona yang
mengalami infark maupun tidak akan mengalami perubahan progresif dalam
hitungan jam, hari dan minggu setelah thrombosis coroner. Antara 4 sampai
12 jam setelah terjadinya kematian sel miokard akan terjadi nekrosis koagulasi
dan setelah 18 jam neutrophil memasuki zona infark dengan jumlah yang
mencapai puncak pada setelah hari kelima, kemudian menurun. Hal ini
menyebabkan miokardium menjadi kaku. Miokard yang kaku akan melunak
pada hari ke 4 sampai 7 dan berisiko mengalami ruptur kembali selama 2
minggu pertama. Jaringa granulasi kemudian memasuki zona infark dan
mengalami maturase secara progresif mengubah jaringan mati menjadi
jaringan parut. Setelah 2-3 bulan, infark sembuh dengan dinding ventrikel
yang nonkotraksi menipis, mengerasan berwarna abu-abu pucat (Aaronson
dan word, 2013).

4. Tanda dan gejala


Pada umumnya serangan IMA ini ditanddai oleh beberapa hal berikut:
a. Nyeri dada, dengan keluhan nyeri dada. Memiliki ciri nyeri yang khas yaitu
menjalar ke lengan kiri, bahu, leher sampai ke epigastrium akan tetapi pada
orang tertetu nyeri yang terasa hanya sedikit. Rasa nyeri ini dapat
digambarkan penderita sebagai perasaa tertekan benda berat, seperti
diremas-remas, terbakar atau ditusuk- tusuk. Rasa nyeri dapat hebat sekali
sehingga penderita gelisah,takut, berkeringat dingin dan lemas.
b. Sesak nafas, sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak
tekanan akhir diastolic ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa
menimbulkan hiperventilasi.
c. Gejala gastrointestinal, peningkatan aktivitas menyebabkan mual dan
muntah, biasanya lebih sering pada infark inferior dan stimulasi diafragma
pada infark inferior juga bisa menyebabkan cegukan.
d. Palpitasi, rasa pusing atau sinkoop dari aritmia ventrikel dan gejala akibat
emboli arteri (misalnya stroke,iskemia ekstremitas)
e. Wajah pucat abu dengan keringat, kulit dingin meskipun tanda-tanda klinis
dari syok tidak dijumpai
f. Nadi biasanya cepat, kecuali bila ada/hambatan AV yang komplit atau
inkonplit.

C. Konsep Nyeri ST Elevai Miocard Infark (STEMI)

1. Pengertian
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan sebagai akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan
potensial serta menyakitkan tubuh yang dapat diungkapkan oleh ndividu yang
mengalaminya. Ketika tubuh mengalami cedera atau kerusakan (Kozier 2010).
Nyeri STEMI merupakan nyeri yang ditimbulkan oleh adanya penurunan
aliran pada darah koroner yang menurun secara mendadak setelah oklusi
thrombus pada plak arterosklorosis yang sudah ada sebelumnya. Thrombus
arteri coroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini
dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid
(Sudoyo, 2006).

2. Fisiologi Nyeri
Stimulus yang mengenai tubuh (mekanik, termal, kimia) akan
menyebabkan pelepasan substansi kimia sepertihistamin, bradykinin, kalium.
Substansi tersebut menyebabkan nosiseptor bereaksi, apabila nosiseptor
mencapai ambang nyeri, maka akan timbul impuls saraf yang akan dibawa
oleh serabut saraf perifer.
Serabut saraf perifer yang akan membawa impuls saraf ada dua jenis, yaitu
serabut A-delta dan serabut C. impuls saraf akan di bawa sepanjang serabut
saraf sampai ke kornu dorsalis medula spinalis. Impuls saraf tersebut akan
menyebabkan kornu dorsalis mlepaskan neurotrasmiter (subtansi P). substansi
P ini menyebabkan transmisi sinapis dari saraf perifer ke saraf traktus
spinotalamus. Hal ini memungkinkan impuls saraf transmisikan lebih jauh
ke dalam sistem saraf pusat. Setelah impuls saraf sampai keotak, otak
mengolah impuls saraf kemudian akan timbul persepsi dari nyeri juga respon
reflek protektif terhadap nyeri.

3. Efek nyeri
Menurut smeltzer & Bare (2001), efek membahayakan dari nyeri
dibedakan berdasarkan klasifikasi nyeri, yaitu nyeri akut dan nyeri kronis.
Nyeri akut mempunyai efek yang membahayakan diluar ketidaknyamanan
yang disebabkannya. Selain merasa ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri
akut yang tidak reda dapat mempengaruhi sistem pulmonary,kardiovaskuler,
gastrointestinal, endokin dan imunologik. Nyeri kronis sering mengakibatkan
depresi dan ketidakmampuan. Pasien mungkin tidak mampu untuk
melanjutkan aktivitas dan melakukan hubungan interpersonal.

4. Mekanisme Terjadinya Nyeri STEMI


Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis
mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik
memicu trombogenesis, sehingga menjadi thrombus mural pada lokasi rupture
yang mengakibatkan oklusi arteri coroner. Selanjutnya pada lokasi rupture
plak, berbagai agonis (kolage, ADP, epinefrin dan serotonin) memicu aktivasi
trombosit yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboxon
A2 mentsimulasi sintesis progtaglandin, selanjutnya prostaglandin dapat
meningkatkan kepekaan reseptor nyeri akibat rangsangan mekanik atau kimia
dengan menurunkan nilai polimodal nosiseptor dari serat syaraf C.
prostaglandin tidak secara langsung menyebabkan nyeri, yaitu menyebabkan
senstivitas bradykinin dan substansi nyeri lain meningkat. Pada tahap
modulasi stimulasi nyeri menuju sum-sum tulang belakang dan akan terjadi
substansi P yang akan menstimulasi sel mast untuk mensekresi histamine dan
serotine dari trombosit (satoto, 2014; Sulistyowaty, 2009).
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Reaksi fisik sesorang terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang
spesifik dan sering dapat diperkirakan. Reaksi orang terhadap nyeri dibentuk
oleh berbagai faktor yang saling berintraksi mencakup umur, social budaya,
status emosional, pengalaman nyeri masa lalu, sumber nyeri dan dasar
pengetahuan. Kemampuan untuk mentoleransi nyeri dapat menurun dengan
pengulangan episode nyeri, kelemahan, marah, cemas dan gangguan tidur.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain:
(Potter & Perry 2005, Le mone & Burke 2008)
a. Pengalaman Nyeri Masa Lalu
Semakin sering individu mengalami nyeri, makin takut pula individu
tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan oleh nyeri
tersebut. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri,
akibatnya ia ingin nyerinya segera reda dan sebelum nyeri tersebut menjadi
lbih parah. Individu dengan pengalaman nyeri berulang dapa mengetahui
ketakutan peningkatan nyeri dan pengobatannya tidak adekuat.
b. Kecemasan
Ditinjau dari aspek fsikologis kecemasan yang berhubungan dengan nyeri
dapat meningkatkan pesepsi pasien terhadap nyeri. Kcemasan dapat
menyebabkan menurunnya kadar serotonin. Serotonin merupakan
neurotransmitter yang memiliki andil dalam memodulasi nyeri pada
susunan saraf pusat. Hal ini yang mengakibatkan peningkatan sensasi
nyeri.
c. Umur
Umumnya lansia mengangap nyeri sebagai komponen alamiah dari proses
penuaan dan dapat diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan.
Di lain pihak normalnya konddisi nyeri hebat pada dewasa muda dapat
dirasakan sebagai keluhan ringan pada dewasa tua. Pada lansia mengalami
perubahan neurofisiologi dan mungkin mengalami penurunan persepsi
sensori stimulus serta peningkatan ambang nyeri. Selain itu, proses
penyakit kronis yang lebih umum terjadi pada lansia seperti penyakit
gangguan kardiovaskuler, diabetes militus dapat mengganggu transmisi
implus saraf normal.
d. Jenis Kelamin
Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan
tingkat kerentanan memegang peranan tersendiri. Berbagai penyakit terntu
ternayata erat hubungannya dengan jenis kelamin dengan berbagai sifat
tertentu. Penyakit yang hanya dijumpai pada jenis kelamin tertentu,
terutama yang berhubungan erat dengan alat reproduksi atau yang seara
genetic berperan dalam perbedaan jenis kelamin.

6. Pengukuran Skala Nyeri


Skala nyeri merupakan tindakan pelaporan nyeri secara kuantitatif. Untuk
mendapatkan penilaian intensitas nyeri yang paling valid dan dapat
dipercaya,skala yang digunakan harus disesuaikan dengan usia. Skala yang
digunakan untuk mengukur instensitas nyeri antara lain.

a. Visual Analog Scale (VAS)

Terdapat skala sejenis yang merupakan garis lurus, tanpa angka. Bisa
bebas mengekspresikan nyeri, kearah kiri menuju tidak sakit, arah
kanan sakit tak tertahankan dengan tengah kira-kira yang sedang
(Potter & Perry, 2005).

Gambar 2.2 Visual Analog Scale (VAS)


b. Numeric Pain Scale

Skala ini sudah biasa dipergunakan dan telah divalidasi. Berat


ringannya rasa sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan
mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala numerik dari 0
hingga 10, di bawah ini, nol (0) merupakan keadaan tanpa atau bebas
nyeri, sedangkan 1-3 adalah nyeri ringan, 4-6 adalah nyeri sedang, 7-9
adalah nyeri berat terkontrol dan 10 adalah nyeri berat tidak terkontrol
(Brunner & Suddart, 2002).

Gambar 2.3 Numeric Pain Scale


D. Spiritual Emotional Freedom Thechnique (SEFT)

1. Pengertian SEFT (Spiritual Emotional Freedom Thechnique)


Terapi SEFT merupakan salah satu teknik terapi yang dinamakan energy
psychology untuk mengatasi masalah psikologis dan fisik, yaitu dengan
melakukan totok ringan (tapping) pada titik syaraf atau meridian tubuh.
Spiritual yang dimaksud dalam terapi SEFT adalah doa yang diafirmasikan
oleh subjek pada saat akan dimulai hingga sesi terapi berakhir (Zainuddin,
2006).
Terapi SEFT merupakan tehnik penyembuhan yang memadukan
keampuhan energi psikologi dengan doa dan spiritualitas. Energi psikologis
adalah ilmu yang menerapkan berbagai prinsip dan teknik berdasarkan konsep
sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku
seseorang. SEFT adalah terapi dengan menggunakan gerakan sederhana yang
dilakukan untuk membantu menyelesaikan permasalahan fisik maupun
psikologis, meningkatkan kinerja dan prestasi, meraih kedamaian serta
kebermaknaan hidup (Zainuddin, 2006).

2. Keunggulan therapy SEFT


Keunggulan terapi SEFT yaitu metodenya mudah dan sederhana, sehingga
orang awam pun dapat menerapkannya, dapat diterapkan untuk diri sendiri,
sehingga dapat menyembuhkan diri sendiri saat mengalami gangguan
kesehatan. Meningkatkan motivasi karena sebagian kegagalan yang dialami
seseorang dalam berbagai hal yang seringkali disebabkan oleh masalah
psikis yang ada dalam diri, sehingga muncul perasaan kurang percaya diri
atau mengalami gangguan pengendalian emosi. Hal tersebut yang dapat
menyebabkan gangguan dalam sistem tubuh, yang membuat terapi ini efektif
adalah doa, tanpa adanya campur tangan Tuhan, maka segala sesuatu tidak
akan berjalan sesuai kehendak, dan campur tangan Tuhan itu bisa terjadi dari
doa yang dipanjatkan (Zainuddin, 2006).
Energi memasuki tubuh manusia melalui titik-titik akupuntur menuju ke
seluruh bagian tubuh, sistem organ, sel-sel dan jaringan lewat jalur meridian
masing-masing yang khusus. Jika pergerakan energi kehidupan yang melewati
jalur meridian khusus ini terhambat atau ada blocking, maka akan timbul
keluhan atau ketidaknyamanan tubuh. Blocking energy tersebut umumnya
akibat stres fisik maupun stres psikologis yang semuanya berpusat
padapikiran dan sikap hati. Pikiran dan sikap hati negatif menyebabkan
blocking energy dan menimbulkan rasa seperti khawatir, takut, marah, sedih
dan kesepian. Lima pikiran dan sikap hati yang negatif itulah yang sejatinya
menghalangi manusia menikmati kesehatan yang holistik atau kesehatan
paripurna dalam aspek fisik, mental, emosional, estetika, sosial, ekonomi dan
spiritual. Blocking energy kehidupan di organ tubuh, jaringan dan sel-sel akan
melemahkan organ, jaringan dan sel-sel tersebut yang akan menyebabkan
daya tahan terhadap penyakit menjadi menurun drastis (Zainuddin, 2006).

3. Manfaat SEFT
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari metode terapi SEFT menurut
Iskandar (2010), yaitu :
a. Dapat menyembuhkan penyakit-penyakit fisik maupun psikologis terutama
yang disebabkan oleh emosi misalnya marah, takut, ngeri, depresi dan
kesepian.

b. Sangat efektif menyembuhkan atau menghilangkan masalah psikosomatis,


seperti merokok, phobia, traumatik, latah, makan berlebihan dan suka
menunda pekerjaan
c. Menjaga warisan nenek moyang agar bisa hidup harmonis dengan kekuatan
alam, mempraktikkan persahabatan dan persaudaraan antar manusia alam
sekitar.
4. Prosedur SEFT
Ada beberapa prosedur SEFT menurut Zainuddin (2006), yaitu:
a. Tahap the set-up
Pada tahap ini SEFT-er berusaha mengumpulkan data dari subjek dengan
melihat mimik wajah, keadaan fisik atau memberikan beberapa pertanyaan
kepada subjek untuk mengetahui apa sebenarnya yang dirasakan oleh
subjekdan memastikan agar aliran energi tubuh terarahkan dengan tepat.
Langkah ini dilakukan untuk menetralisir perlawanan psikologis (pikiran
negatif spontan atau keyakinan bawah sadar negatif).
b. Tahap the tune- in
SEFT-er membawa subjek memasuki alam masa lalu dengan mengingat
segala peristiwa yang pernah terjadi dan menimbulkan gangguan setelah
itu, SEFT-er melakukan tune-in dengan cara merasakan rasa sakit yang
dialami, kemudian mengarahkan pikiran ke tempat rasa sakit dan sambil
melakukan hal tersebut, hati dan mulut mengatakan, “saya ikhlas, saya
pasrah..Yaa Allah..”. Untuk masalah emosi, dilakukan tune-in dengan cara
memikirkan sesuatu atau peristiwa spesifik tertentu yang dapat
membangkitkan emosi negatif yang ingin subjek hilangkan. Ketika terjadi
reaksi negatif hati dan mulut mengatakan, “yaa Allah..saya ikhlas..saya
pasrah..”.

c. Tahap Tapping
SEFT-ter memberikan sentuhan pada bagian-bagian tubuh dan terfokus
pada titik- titik simpul saraf, untuk mengembalikan fungsi saraf yang
terganggu. Tapping adalah mengetuk ringan dengan dua ujung jari pada
titik-titik tertentu di tubuh sambil melakukan tune-in. Titik ini adalah titik
kunci dari The Major Energy Meridians yang jika diketuk beberapa kali
akan berdampak pada ternetralisirnya gangguan emosi atau rasa sakit yang
dirasakan, karena aliran energi tubuh berjalan dan seimbang kembali.
d. Tahap Konseling
SEFT-er memberikan kesempatan kepada subjek menceritakan perasaan
setelah dilakukan tahap pertama sampai ketiga, dan SEFT-er memberikan
umpan balik atas pernyataan tersebut.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa terapi SEFT
merupakan salah satu teknik terapi untuk mengatasi masalah psikologis dan
fisik, yaitu dengan melakukan totok ringan (tapping) pada titik syaraf atau
meridian tubuh yang meliputi beberapa tahap, yaitu tahap the set-up, tahap
the tune- in, tahap tapping dan tahap konseling.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN STEMI

A. Pengkajian Keperawatan

1. Kasus 1, Ny. LD
Ny. LD usia 65 tahun di bawa ke RSMH karena sejak 5 hari SMRS mengeluh

nyeri dada sebelah kiri tetapi tidak menjalar, nyeri timbul mendadak seperti

ditusuk-tusuk, tidak berkurang dengan istirahat dan sesak nafas. Pasien

dibawa ke IGD RSMH di IRD penyakit dalam pada tanggal 24 April 2017,

dengan keluhan utama nyeri dada sebelah kiri tetapi tidak menjalar, nyeri

timbul mendadak seperti ditusuk-tusuk, tidak berkurang dengan istirahat,

batuk, dan sesak nafas, dilakukan anamnesa dan berbagai pemeriksaan.

a. Hasil Pengkajian Riwayat Biologis

1.1. Pola Nutrisi

Pola nutrisi pasien sebelum sakit yaitu makan 4 x sehari setengah

porsi dengan diet nasi biasa dengan menu yang bervariasi dengan jenis

menu mulai dari nasi, sayur-sayuran, lauk pauk dan buah-buahan.

Pasien juga mengatakan minum air putih sebanyak 7-8 gelas perhari.

Pola nutrisi pasien setelah sakit yaitu makan 3 x sehari 1/3 porsi.

1.2. Pola Eliminasi

Pola eliminasi pasien sebelum sakit yaitu BAB 1-2 kali sehari

berwarna kuning dengan konsistensi padat dan BAK 5 kali sehari

berwarna kuning jernih. Pola eliminasi pasien saat sakit yaitu pasien
terpasang pampers. Urin terlihat berwarna kuning dengan jumlah urine

output 200 cc. Pasien belum buang air besar pada saat pengkajian.

1.3. Pola Aktivitas

Pola aktivitas pasien sebelum sakit yaitu menonton televisi, mengasuh

cucu dan mengikuti senam lansia. Pola aktivitas pasien saat sakit yaitu

pasien bedrest dan belum dapat melakukan aktivitas secara mandiri

sehingga sebagian aktivitas pasien dibantu oleh perawat dengan tingkat

ketergantungan pasien partial care.

b. Hasil Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada saat pengkajian tanggal 24 April

2017 didapatkan hasil :

1. Pengukuran tanda-tanda vital : tekanan darah 180/100 mmHg dengan

MAP 126,6 mmHg, HR 163 x/menit, RR 35x/menit, suhu 36,5 ºC, CRT

≤ 3 detik.

2. Kesadaran pasien compos mentis dengan GCS= E4M6V5

3. Pada sistem penglihatan bentuk pupil bulat, visus belum bisa dikaji,

ukuran pupil isokor, reaksi cahaya +/+, akomodasi belum bisa dikaji

4. Pada sistem THT hidung simetris, bersih, tidak memiliki kesulitan

menelan, telinga bersih.

5. Pada sistem pernafasan pasien terpasang O2 nasal kanul 3 L/menit.

Irama nafas pasien tidak teratur, bunyi paru vesikuler, terdapat suara

nafas tambahan ronchi, batuk ada, sputum ada tetapi sedikit, tidak

terdapat retraksi dinding dada.


6. Pada sistem kardiovaskuler didapatkan HR 163x/menit, CRT ≤ 3 detik,

akral teraba dingin.

7. Sistem pencernaan diet cair susu 4x200cc dan peptisol 3x200cc dengan

total kalori 1500 kkal/hari.

8. Sistem perkemihan pasien menggunakan pampers. Urin terlihat

berwarna kuning dengan jumlah urine output 200 cc. Pasien belum

buang air besar pada saat pengkajian.

9. Pada sistem integument dan integritas kulit : kulit berwarna kuning

langsat dan turgor kulit kurang elastis. Tidak terdapat luka dan edema .

Baal pada plantar kaki.

c. Data Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 24 April 2017 didapatkan kadar


Hb 11,9 gr/dl, leukosit 15,9 rb/ul, eritrosit 4,31 rb/ul, SGOT 32, SGPT
31, troponin 832, CK-MB 30 dan ureum 49 . Pada tanggal 24 April
2017 juga dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya dan di dapatkan
hasil EKG: Irama sinus, HR: 163x/menit, axis normal, gelombang P
normal, interval PR 0,12 detik, kompleks QRS 0,06 detik, R/S di V1<1,
S di V1+R Di V5/V6 <35, ST elevasi lead II, III, AVF, V1-V6 dengan
kesan sinus takikardi, infark luas. Pada pemeriksaan radiologi tanggal
24 April 2017 di dapatkan hasil: Tulang-tulang/ jaringan lemak tak
tampak kelainan, cor membesar, pulmo tampak sefalisasi VLM, trachea
tak tampak pemadatan paratrachea, mediastinum : di tengah dan tak
melebar, diafragma normal, sudut costophrenicus lancip dan didapatkan
Kesan : CM + Congestif Pulmo.
2. Terapi Penunjang
Arixtra 2,5 mg setiap 24 jam (SC), Furosemid 20 mg setiap 24 jam
(PO), Bisoprolol 2,5 mg setiap 24 jam (PO), Clopidogrel 75 mg setiap
24 jam (PO), Aspilet 80 mg setiap 24 jam (PO), Nitral 5 mg bila perlu
(SL), Laxodyn sy 15 mg setiap 8 jam (PO), Lansoprazole 30 mg setiap
24 jam (PO), Ceftriaxone 1 gram setiap 12 jam (IV), Novorapid 8 unit
setiap 8 jam (SC), Lovemir 8 unit setiap 24 jam (SC), Isosorbid dinitrate
5 mg setiap 8 jam (PO), Atervastatin 10 mg setiap 24 jam (PO),
Ambroxol 15 ml setiap 8 jam (PO), Trizedon NR setiap 24 jam (PO),
dan terapi cairan : NaCl 0,9% (500 cc) GTT 10x/menit
2. Kasus 2, Tn. AG
Tn. AG usia 51 tahun diantar ke RSMH karena SMRS pasien mengatakan mengalami

keram di bagian dada depan setelah mengangkat batu semen ±0,5 kg. Pasien dibawa

ke IGD RSMH di IRD penyakit dalam pada tanggal 17 Mei 2017, dilakukan

anamnesa dan berbagai pemeriksaan, dengan keluhan utama nyeri dada sebelah kiri

dan kanan tetapi tidak menjalar, nyeri timbul mendadak seperti dicengkram,

tidak berkurang dengan istirahat, nyeri muncul tiba-tiba baik saat istirahat

maupun sedang beraktivitas, batuk, dan sesak nafas.

a. Hasil Pengkajian Riwayat Biologis

1.1. Pola Nutrisi

Pola nutrisi pasien sebelum sakit yaitu pasien makan 2 kali sehari

dengan menu yang bervariasi dengan jenis menu mulai dari nasi,

sayur-sayuran, lauk pauk dan buah-buahan. Pasien setiap pagi hanya

mengkonsumsi segelas kopi. Pasien juga minum 7-8 gelas setiap hari

bahkan kadang-kadang lebih. Pola nutrisi pasien setelah sakit yaitu


pasien makan 3 x sehari dengan 1/3 porsi. Pasien mendapatkan diet

jantung 3 dengan total kalori 1500 kkal/hari.

2.2. Pola Eliminasi

Pola eliminasi pasien sebelum sakit yaitu BAK 6x dalam sehari dan

biasanya 2x BAK saat malam hari dengan urin berwarna kuning jernih.

Pasien BAB 1 x sehari dengan konsistensi keras dan berwarna kuning

kehitaman. Pola eliminasi pasien saat sakit yaitu urine yang

dikeluarkan berwarna kuning jernih dengan jumlah urine lebih kurang

200cc/3jam. Saat dikaji pasien mengatakan belum BAB sejak pagi

tadi.

2.3. Pola Aktivitas

Pola aktivitas pasien sebelum sakit yaitu menjadi staff TU di Unsri dan

melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Pola aktivitas pasien

saat sakit yaitu pasien bedrest dan belum dapat melakukan aktivitas

secara mandiri sehingga sebagian aktivitas pasien dibantu oleh perawat

dengan tingkat ketergantungan pasien partial care.

b. Hasil Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada saat pengkajian tanggal 17 Mei

2017 didapatkan hasil :

1. Pengukuran tanda-tanda vital: tekanan darah 110/70 mmHg dengan

MAP 83,3 mmHg, HR 59 x/menit, RR 28 x/menit, suhu 36,5 ºC, CRT

≤ 3 detik.

2. Kesadaran pasien compos mentis dengan GCS= E4M6V5


3. Pada sistem penglihatan bentuk pupil bulat, visus belum bisa

dikaji, Ukuran pupil isokor, reaksi cahaya +/+, akomodasi belum bisa

dikaji

4. Pada sistem THT hidung simetris, bersih, tidak memiliki kesulitan

menelan, telinga bersih.

5. Pada sistem pernafasan pasien terpasang O2 nasal kanul 3 L/menit.

Irama nafas pasien tidak teratur, bunyi paru vesikuler, terdapat suara

nafas tambahan ronchi dan tidak terdapat retraksi dinding dada.

6. Pada sistem kardiovaskuler didapatkan HR 59 x/menit, CRT ≤ 3 detik,

akral teraba dingin.

7. Sistem pencernaan diet cair susu 4x200cc dan peptisol 3x200cc dengan

total kalori 1500kkal/hari.

8. Sistem perkemihan pasien menggunakan pampers. Urin terlihat

berwarna kuning dengan jumlah urine output 200 cc. Pasien belum

buang air besar pada saat pengkajian.

9. Pada sistem integument dan integritas kulit : kulit berwarna coklat

kemerahan dan turgor kulit kering dan kurang elastis. Tidak terdapat

luka, edema dan Baal.

c. Data Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 14 Mei 2017 didapatkan kadar

Hb 14,4 gr/dl, leukosit 11,6 rb/ul, eritrosit 4,53 rb/ul, SGOT 26, SGPT

13, troponin T 240, CK-MB 37, kretinin 1,23 mg/dL. Pada tanggal 17
Mei 2017 juga dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya dan di

dapatkan hasil terjadi kardiomegali, pembesaran jantung kiri. Hasil

EKG sinus bradycardia, septal infarct

2. Terapi Penunjang

Isosorbid Dinitrate 5 mg setiap 8 jam per oral , Nitrocap retord forte 5

mg setiap 12 jam per oral , Aspilet 80 mg setiap 24 jam per oral ,

Clopidogrel 15 ml setiap 8 jam per oral , Atrovastatin 20 mg setiap 24

jam per oral , Omeprazole 20 mg setiap 24 jam per IV, Arixtra 2,5 ml

setiap 24 jam per subcutan dan terapi cairan IVFD dextrose 5% gtt

20x/menit.

3. Kasus, Tn. MH
Tn. MH usia 39 tahun diantar ke RSMH karena ± 3 jam sebelum masuk RS

pada malam harinya Tn. Mh merasakan nyeri dada. Nyeri dada menjalar ke

lengan sebelah kiri. Lalu Tn. Mh meminum obat yang dibawah lidah namun

nyeri tidak hilang. Pasien dibawa ke IGD RSMH di IRD penyakit dalam pada

tanggal 1 Mei 2017, dilakukan anamnesa dan berbagai pemeriksaan, dengan

keluhan utama nyeri dada sebelah kiri menjalar ke lengan kiri, nyeri timbul

mendadak seperti dicengkram, tidak berkurang dengan istirahat.

a. Hasil Pengkajian Riwayat Biologis

1.1. Pola Nutrisi

Pola nutrisi pasien sebelum sakit yaitu Tn. Mh mengatakan nafsu

makan baik, tidak ada alergi pada makanan tertentu, menyukai

gorengan. Tn. Mh makan sebanyak 3x dalam sehari beserta dengan


cemilan dalam sela waktu makan. Tn. Mh minum sebanyak 7 hingga 8

gelas air putih dan biasanya pasien juga mengkonsumsi kopi. Pola

nutrisi pasien setelah sakit yaitu pasien makan 3 x sehari dengan

diberi makanan diet bubur yang diindikasikan pada pasien jantung.

Pasien juga mengurangi makanan yang digoreng.

1.2. Pola Eliminasi

Pola eliminasi pasien sebelum sakit yaitu Tn. Mh mengatakan tidak

mempunyai keluhan BAB dan BAK. Tn. Mh biasanya BAB 1x dengan

warna kekuningan dan konsistensi padat dan BAK 3-5x dalam sehari

dengan warna kuning jernih. Pola eliminasi pasien saat sakit yaitu

BAK 6x sehari. Urine yang dikeluarkan berwarna kuning jernih

dengan jumlah urine lebih kurang 200cc/3jam. Saat dikaji pasien

mengatakan belum BAB sejak pagi tadi.

1.3. Pola Aktivitas

Pola aktivitas pasien sebelum sakit yaitu bekerja mengangkat barang

dan berjalan jauh serta melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.

Pola aktivitas pasien saat sakit yaitu pasien bedrest dan terpasang

monitor sehingga sebagian aktivitas pasien dibantu oleh perawat

dengan tingkat ketergantungan pasien partial care.

b. Hasil Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada saat pengkajian tanggal 1 Mei 2017

didapatkan hasil :
1. Pengukuran tanda-tanda vital: tekanan darah 110/80 mmHg dengan

MAP 90 mmHg, HR 88 x/menit, RR 22 x/menit, suhu 36,5 ºC, CRT ≤ 3

detik.

2. Kesadaran pasien compos mentis dengan GCS= E4M6V5

3. Pada sistem penglihatan bentuk pupil bulat, visus belum bisa dikaji,

ukuran pupil isokor, reaksi cahaya +/+, akomodasi belum bisa dikaji

4. Pada sistem THT hidung simetris, bersih, tidak memiliki kesulitan

menelan, telinga bersih.

5. Pada sistem pernafasan pasien terpasang O2 nasal kanul 3 L/menit.

Irama nafas pasien tidak teratur, bunyi paru vesikuler, terdapat suara

nafas tambahan ronchi dan tidak terdapat retraksi dinding dada.

6. Pada sistem kardiovaskuler didapatkan HR 88 x/menit, CRT ≤ 3 detik,

akral teraba dingin.

7. Sistem pencernaan diet cair susu 4x200cc dan peptisol 3x200cc dengan

total kalori 1500kkal/hari.

8. Sistem perkemihan pasien menggunakan pampers. Urin terlihat

berwarna kuning dengan jumlah urine output 200 cc. Pasien belum

buang air besar pada saat pengkajian.

9. Pada sistem integument dan integritas kulit : kulit pasien sawo matang,

turgor kulit elastis, tidak terdapat luka, edema dan Baal.


c. Data Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 1 Mei 2017 didapatkan

kreatinin 1,03 mg/dl. Pada tanggal 5 Mei 2017 juga dilakukan

pemeriksaan diagnostik lainnya dan di dapatkan hasil stemi inferior

lateral.

2. Terapi Penunjang

Terapi cairan : NaCl 0,9% (500 cc) GTT 10x/menit, Brilinta 90 mg per

12 jam (PO), Bisoprolol 2,5 mg (PO), Aspilet 80 mg per 24 jam (PO),

Simvastin 20 mg per 24 jam (PO), Isosorbid dinitrate 5 mg (jika perlu)

(sublingual), Nitrocaf retard farte 5 mg per 12 jam (PO), Rampril 2,5 mg

per 24 jam (PO), Lansoprazole 30 mg per 24 jam (PO), Antasid sirup 15

ml per 8 jam (PO), dan Clopidogrel 75 mg per 12 jam (PO).

Maka Point Of Intevest yang didapat berdasarkan 3 kasus tersebut


adalah nyeri

Pasien Kelolaan
No Masalah Keperawatan
Ny. LD Tn. AG Tn MH
1. Nyeri √ √ √

B. Analisa data dan Diagnosa Keperawatan

1. Kasus 1, Ny. LD

a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia di tandai dengan sindrom


koroner akut

1) Data subjektif yang didapatkan adalah pasien mengeluh ; P: nyeri


dada, Q: ditusuk-tusuk, R:sebelah kiri, S: 4, T: Hilang timbul atau
timbul mendadak

2) Data Objektif yang didapatkan adalah selama di ruamh sakit pasien


tampak meringis kesakitan pada bagian dada, pasien tampak pucat
dan keringat dingin.

2. Kasus 2, Tn. AG

a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia di tandai dengan sindrom


koroner akut

1) Data subjektif yang didapatkan adalah pasien mengeluh ; P: nyeri


dada, Q: dicengkram, R:sebelah kiri dan kanan, S: 4, T: Hilang timbul
atau timbul mendadak

2) Data Objektif yang didapatkan adalah selama di ruamh sakit pasien


tampak meringis kesakitan pada bagian dada, pasien tampak pucat
dan keringat dingin.

3. Kasus 3, Tn MH

a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia di tandai dengan sindrom


koroner akut

1) Data subjektif yang didapatkan adalah pasien mengeluh ; P: nyeri


dada menjalar ke lengan kiri, Q: dicengkram, R:sebelah kiri, S: 4, T:
Hilang timbul atau timbul mendadak

2) Data Objektif yang didapatkan adalah selama di ruamh sakit pasien


tampak meringis kesakitan pada bagian dada, pasien tampak pucat
dan keringat dingin.
C. Intervensi Keperawatan

1. Kasus 1 Ny. LD, Kasus 2 Tn. AG, Kasus 3 Tn. MH

a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia di tandai dengan sindrom koroner


akut

1) Intervensi

a) Manajemen Nyeri

Definisi

- Mengidentifikasi dan mengelola pengalaman sensori atau


emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau
fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas
ringan hingga berat dan konstan

Tindakan

Observasi

- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,


intensitas nyeri

- Identifikasi skala nyeri

- Identifikasi respons nyeri non verbal

- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri

- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri

- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri

- Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup

- Monitor keberhasilan terapi komplomenter yang sudah diberikan

- Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri(mis.
Tens, hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain)

- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu


ruangan, pencahayaan, kebisingan)

- Fasilitasi istirahat dan tidur

- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi


meredakan nyeri

Edukasi

- Jeleskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri

- Jelaskan strategi meredakan nyeri

- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri

- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat

- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi (Ajarkan pengguanan teknik nonfarmakologis (SEFT) dan


anjurkan untuk melakukan tarik nafas dalam sesering mungkin)

- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2) Nyeri akut luaran utama adalah tingkat nyeri

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam maka


tingkatan nyeri menurun dengan kriteria hasil

Menurun (5)

- Keluhan nyeri 5

- Meringis 5
- Sikap protektif 5

- Gelisah 5

Membaik (5)

- Frekuensi nadi 5

- Pola napas 5

- Tekanan darah 5

D. Implementasi Keperawatan

1. Kasus 1 Ny. LD, Kasus 2 Tn. AG, Kasus 3 Tn. MH

a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia di tandai dengan sindrom koroner


akut

1) Intervensi

a) Manajemen Nyeri

Definisi

- Mengidentifikasi dan mengelola pengalaman sensori atau


emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau
fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas
ringan hingga berat dan konstan

Tindakan

Observasi

- Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,


intensitas nyeri

- Mengidentifikasi skala nyeri

- Mengidentifikasi respons nyeri non verbal


- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri

- Mengidentifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri

- Mengidentifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri

- Mengidentifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup

- Memonitoring keberhasilan terapi komplomenter yang sudah


diberikan

- Memonitoring efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik

- Memberikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa


nyeri(mis. Tens, hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)

- Mengontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu


ruangan, pencahayaan, kebisingan)

- Memfasilitasi istirahat dan tidur

- Mempertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan


strategi meredakan nyeri

Edukasi

- Menjeleskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri

- Menjelaskan strategi meredakan nyeri

- Menganjurkan memonitor nyeri secara mandiri

- Menganjurkan menggunakan analgetik secara tepat

- Mengajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri


(Mengajarkan pengguanan teknik nonfarmakologis (SEFT) dan
menganjurkan untuk melakukan tarik nafas dalam sesering mungkin)
Kolaborasi

- Melakukan kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2) Nyeri akut luaran utama adalah tingkat nyeri

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam maka


tingkatan nyeri menurun dengan kriteria hasil

Menurun (5)

- Keluhan nyeri 5

- Meringis 5

- Sikap protektif 5

- Gelisah 5

Membaik (5)

- Frekuensi nadi 5

- Pola napas 5

- Tekanan darah 5

E. Evaluasi Keperawatan

1. Kasus 1, Ny. LD

1) Subjektif: Ny. LD mengatakan nyeri dada sebelah kiri tetapi tidak menjalar
sudah menurun, dikarenakan diatasi dengan menggunakan teknik therapy
SEFT, Ny. LD mengatakan berhasil untuk mengurangi nyeri dengan therapy
SEFT tersbut.

2) Objektif: skala nyeri menurun, tidak tampak meringis dan gelisah, sikap protektif
sudah tidak ada, HR 93x/menit, CRT ≤ 3 detik, akral teraba hangat, tekanan
darah 130/80 mmHg, pola napas eupnea dengan frekuensi RR 20x/menit,
suhu 36,5 ºC.

3) Analisa : Nyeri akut berhubungan dengan iskemia di tandai dengan


sindrom koroner akut teratasi

4) Planning : Intervensi manajemen nyeri dihentikan

2. Kasus 2, Tn. AG

1) Subjektif: Tn. AG mengatakan nyeri dada sebelah kiri dan kanan tetapi tidak
menjalar sudah menurun, dikarenakan diatasi dengan menggunakan teknik
therapy SEFT, Tn. AG mengatakan berhasil untuk mengurangi nyeri dengan
therapy SEFT tersbut.

2) Objektif: skala nyeri menurun, tidak tampak meringis dan gelisah, sikap protektif
sudah tidak ada, HR 79x/menit, CRT ≤ 3 detik, akral teraba hangat, tekanan
darah 120/80 mmHg, pola napas eupnea dengan frekuensi RR 18x/menit,
suhu 36,5 ºC.

3) Analisa : Nyeri akut berhubungan dengan iskemia di tandai dengan


sindrom koroner akut teratasi

4) Planning : Intervensi manajemen nyeri dihentikan

3. Kasus 3, Tn MH

1) Subjektif: Tn. MH mengatakan Nyeri dada sebelah kiri menjalar ke lengan


kiri sudah menurun, dikarenakan diatasi dengan menggunakan teknik therapy
SEFT, Tn. MH mengatakan berhasil untuk mengurangi nyeri dengan therapy
SEFT tersbut.

2) Objektif: skala nyeri menurun, tidak tampak meringis dan gelisah, sikap protektif
sudah tidak ada, HR 90x/menit, CRT ≤ 3 detik, akral teraba hangat, tekanan
darah 120/80 mmHg, pola napas eupnea dengan frekuensi RR 20x/menit,
suhu 36,5 ºC.

3) Analisa : Nyeri akut berhubungan dengan iskemia di tandai dengan


sindrom koroner akut teratasi

4) Planning : Intervensi manajemen nyeri dihentikan


BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Kasus Berdasarkan Teori dan Hasil Penelitian

Hasil pengkajian pada ketiga pasien kelolaan dengan STEMI di temukan


keluhan yang sama yaitu lebih sering mengalami nyeri yang hilang timbul.
Perasaan nyeri dan disebabkan karena Infark miokard akut dengan elevasi ST
(STEMI) terjadi ketika jika aliran darah coroner menurun secara mendadak
akibat oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.
Thrombus arteri coroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana
injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan
akumulasi lipid (Sudoyo, 2010). Tanda dan gejala yang muncul pada STEMI ini
yaitu nyeri atau ketidaknyamanan di dada kiri. Bisa menjalar kelengan kiri,
punggung, sesak nafas,mual dan mntah,diaphoresis namun tidak bekaitan dengan
suhu tubuh di ruangan, jantung berdebar-debar, mudah lelah. Pada ketiga pasien
didapatkan masalah keperawatan berupa nyeri berhubungan dengan iskemi
miokard akibat sumbatan arteri coroner, Ketidakefektipan pola nafas
berhubungan dengan keletihan otot pernafasan dan deformitas dinding dada,
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen ditandai dengan kelemahan dalam aktivitas, ansietas
berhubngan dengan STEMI. Point of interest pada ketiga pasien tersebut adalah
nyeri berhubungan dengan iskemia di tandai dengan sindrom koroner akut
dengan STEMI.
Intervensi yang diberikan kepada ketiga pasien STEMI dengan keluhan
nyeri, Ny. LD , Tn. .AG, Tn. MH memberikan terapi nonfarmakologi yang
diberikan yaitu Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) yang dapat
menurunkan frekuensi nyeri. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian. Yuniarsih,
S.M. 2014. Perbandingan Intervensi Spiritual Dan Spiritual Emotional Freedom
Technique Seft Terhadap Penurunan Inten-sitas Nyeri Dan Kecemasan Ibu
Bersalin Kala I Di Puskesmas Poned Kota Pekalongan. Penurunan nyeri pada
pasien AMI diatas selaras dengan penggunaan relaksasi Islami berupa SEFT
yang pernah dilakukan oleh Hakam (2009) dengan hasil penurunan nyeri pada
pasien yang diberikan terapi relaksasi dikombinasikan dengan analgesik lebih
baik daripada pasien yang diberikan analgesik saja. Senada dengan penelitian
tersebut, hasil penelitian lain (Yuniarsih, 2014) menunjukkan penurunan nyeri
pada pasien yang diberikan terapi SEFT. Penelitian lain (Sitepu, 2009)
menerapkan terapi dzikr selama 30 menit untuk menghilangkan rasa sakit pasca
operasi pada 6-8 jam dan 24-30 jam pada pasien Muslim dengan hasil penurunan
yang signifikan antara sebelum dan sesudah terapi (p<0.01).
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Crawford & Henry (2003)
yang menyatakan bahwa hasil analisis pemberian terapi Spiritual Emotional
Freedom Technique (SEFT) untuk menurunkan kecemasan dan nyeri pada pasien
SKA menggunakan kuesiner The Depressiom Anxiety Stres Scales 21 dengan
data dianalisis dengan Wilcoxon dan Mann Wthney didapatkan nilai P<0.05
menunjukkan nilai yang bermakna setalah diberikan terapi Spiritual Emotional
Freedom Technique (SEFT).
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Maria (2017) yang
menyatakan bahwa hasil analisis pemberian terapi Spiritual Emotional Freedom
Technique (SEFT) untuk menurunkan kecemasan dan nyeri pada pasien CHF
menggunakan uji parametric yakni independent t test menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan penurunan kecemasan dan nyeri yang bermakna (p value
=0,0001) disimpulkan bahwa terapi SEFT berpengaruh terhadap penurunan
kecemasan pada pasien Congestive Heart Flailure.

Selain penggunaan alternatif pemberian terapi Spiritual Emotional Freedom


Technique (SEFT) sebagai penurun kecemasan dan nyeri, STEMI ini bisa juga
diatasi dengan memodifikasi aktivitas. Neil & Nelson (2006) juga
mengungkapkan bahwa penatalaksanaan STEMI ini bisa diatasi dengan cara
lebih banyak istirahat, hal ini akan membantu mengurangi keletihan yang dapat
menimbulkan nyeri dan kecemasan. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian
Rinata (2015) yang menyatakan bahwa sebanyak 10 (66,6%) dari 15 pasien
STEMI yang mengalami kecemasan dan nyeri mengaku lebih memilih untuk
istirahat dan dan melakukan Tarik nafas dalam. Hal ini dianjurkan dan didukung
oleh pendapat Tiran (2009) yang mengungkapkan bahwa Istirahat dan tarik nafas
dalam penting untuk mengurangi dampak keletihan bagi pasien STEMI. Banyak
pasien STEMI secara spontan melakukan tarik nafas dalam, termasuk libur dari
kerja jika memungkinkan dan pengaturan rekreasi untuk meredakan stres yang
terkait harus dianjurkan.
Menurut Neil & Nelson (2006), penatalaksanaan yang efektif dalam
mengatasi kecemasan dan nyeri diantaranya adalah Tarik nafas dalam dan
mengurang beban berat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rinata (2015)
yang menyatakan dari 60% kejadian pasien yang mengalami STEMI, sebagian
besar melakukan penangan berupa ketepatan dalam mengatur pola makan,
istirahat serta mengonsumsi obat anti nyeri baik herbal maupun farmakologis.
Selain pencegahan nyeri dan kecemasan dengan cara nonfarmakologis,
pengobatan farmakologis juga menjadi salah satu pilihan kebanyakan pasien
STEMI untuk mengatasi rasa nyeri. Pada saat terjadi stemi Oleh karena itu
diberikan obat antikoagulan antiplatelet. Beta-blocker, nitrat, statin,angiotensin-
converting-enzyme (ACE). (Archer dkk, 2014, dalam Setiawati & Ramadhian,
2016).
Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) dapat memberikan
ketenangan, mengurangi rasa takut dan mendekatkan diri kepada tuhan dan
menguatan keyakinan spiritual, keyakinan kepada tuhan untuk menyembuhkan
penyakitnya. Terapi spiritual menimbulkan respon relaksasi dan kesehatan dapat
menimbulkan keyakinan dalam perawatan diri dan bermanfaat terhadap
kecemasan pada pasien terminal yang dapat menimbulkan ketenangan (Syed,
2003). Kondisi relaks yang dihasilkan melalui proses relaksasi dapat memberikan
pengaruh terhadap skala nyeri didasarkan pada teori Gate Control (Ganong,
2002) yang menjelaskan bahwa nyeri yang terjadi pada seseorang akibat adanya
rangsang tertentu dapat diblok ketika terjadi interaksi antara stimulus nyeri dan
stimulus pada serabut yang mengirimkan sensasi tidak nyeri diblok pada sirkuit
gerbang penghambat. Pemblokan ini dapat dilakukan melalui pengalihan
perhatian ataupun dengan tindakan relaksasi (Andersen et. al, 2005)
Keaadaan psikologis yang tenang akan mempengaruhi sistem limbik dan saraf
otonom yang menimbulkan rileks, aman dan menyenangkan sehingga
merangsang pelepasan zat kimia gamma amino butric acid, enchepalin dan beta
endorphin yang akan mengelimnasi neurotranmiter rasa nyeri maupun
kecemasan sehingga menciptakan ketenangan dan memperbaiki suasana hati
(mood) pasien. Endorphin adalah polipeptida yang mengandung 30 unit asam
amino yang mengikat pada reseptor opiate diotak dan dapat menimbulkan
perasaan euphoria, lepaskan nafsu makan, medulasi hormone dan memiliki sifat
menghilangkan rasa sakit. Endorphin adalah neurotransmitter yang berinteraksi
dengan neuron reseptor morfin untuk mengurangi rasa sakit. Pada gangguan
nyeri kronis, endorphin ditemukan dalam jumlah tinggi (Bailey, 2006).
Hasil intervensi pada tiga kasus (Ny. LD , Tn .AG, Tn. MH) pada pasien
STEMI,respon rerata tingkat nyeri sesudah diberikan intervensi terapi SEFT
menunjukkan ada pengaruh intervensi SEFT terhadap penurunan nyeri pada
pasien STEMI. Intervensi spiritual yang berorientasi religious menunjukkan
aktifitas fisiologis terhadap pengurangan nyeri. Intervensi SEFT dapat membantu
pasien STEMI untuk menerima penyakit dideritanya dengan pendekatan
spiritual dan memberikan ketenangan pada pasien, sehingga akan menimbulkan
respons relaksasi terhadap ketiga pasien dengan kasus STEMI.
Hasil penelitian dari tiga kasus intervensi (Ny. LD , Tn. AG, Tn. MH)
menunjukkan beberapa faktor-faktor pembeda dari setiap pasien yang dapat
mempengaruhi nyeri pada pasien STEMI yaitu sifat nyeri PQRST dan lama
menderita stemi. Sifat nyeri yang dirasakan seperti Ny. LD , Tn. AG, Tn. MH.
Ny. LD merasakan yaitu rasa sakit seperti nyeri dada sebelah kiri tetapi tidak
menjalar, nyeri timbul mendadak seperti ditusuk-tusuk, tidak berkurang dengan
istirahat, lain halnya dengan Tn. AG yaitu merasakan nyeri dada sebelah kiri dan
kanan tetapi tidak menjalar, nyeri timbul mendadak seperti dicengkram, tidak
berkurang dengan istirahat, nyeri muncul tiba-tiba baik saat istirahat maupun
sedang beraktivitas, berbeda dengan Tn. MH merasakan nyeri dada sebelah kiri
menjalar ke lengan kiri, nyeri timbul mendadak seperti dicengkram, tidak
berkurang dengan istirahat. Faktor pembeda dari setiap pasien yang
mempengaruhi kecemasan dan nyeri yaitu lama menderita stemi lama menderita
stemi juga akan menyebabkan pasien dengan stemi sering dilakukan rawat ulang
serta lama hari rawat dapat mempengaruhi nyeri seseorang yang sedang dirawat
juga keluarga dari pasien tersebut.
Dixhoorn dan White (2005) mengemukakan bahwa terapi SEFT (Spiritual
Emotional Freedom Thrapy) yang dilakukan secara intensif kurang lebih selama
15 menit dapat meningkatkan relaksasi dan memberikan kontribusi untuk
pencegahan terjadi kecemasan dan nyeri yang berlebihan pada perisiwa pasien
dengan STEMI. Penelitian ini sejalan dengan ketiga pasien STEMI (Ny. LD , Tn.
AG, Tn. MH di ruang CVCU rumah sakit Muhammad hoesin Palembang
dilakukan secara intensif selama 15 menit selama empat hari, dengan prinsip
kerja yaitu menstimulus titik-titik kunci pada 12 jalur energi tubuh dilakukan
dengan cara mengetuk ringan ujung jari dengan stimulus titik-titik meridian
tertentu pada tubuh individu sambil dirasakan masalah yang sedang dihadapi
respon yang diberikan adalah relaksasi. Relaksasi merupakan terapi integrative
yang dapat menenangkan pikiran dengan mengurangi aktivitas sistem saraf
simpatik. Respon nyeri dari ketiga pasien STEMI (Ny. LD , Tn. AG, Tn. MH
dapat ditandai dengan membaiknya tekanan darah relaksasi diciptakan dengan
lingkungan yang nyaman dan tenang. Relaksasi dapat menimbulkan suasana
positif, menurunkan respon nyeri yang mempegaruhi oleh interkasi pada
psychoneuroendocrine.
Evaluasi dari ketiga pasien kelolaan dengan STEMI mengatakan bahwa
dengan menggunakan Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) dapat
menurunkan kecemasan dan nyeri pada pasien STEMI.
B. Implikasi Keperawatan

Berdasarkan hasil evidance base, implikasi keperawatan yang bisa dilakukan


pada pasien STEMI dengan masalah nyeri di ruang CVCU Rumah Sakit
Muhammad Hoesin Palembang adalah Spiritual Emotional Freedom Technique
(SEFT) dilakukan secara intensif selama 15 menit selama empat hari, dengan
prinsip kerja yaitu menstimulus titik-titik kunci pada 12 jalur energi tubuh
dilakukan dengan cara mengetuk ringan ujung jari dengan stimulus titik-titik
meridian tertentu pada tubuh individu sambil dirasakan masalah yang sedang
dihadapi. respon yang diberikan adalah relaksasi. Relaksasi merupakan terapi
integrative yang dapat menenangkan pikiran dengan mengurangi aktivitas sistem
saraf simpatik. dengan memodifikasi aktivitas seperti, beban terlalu berat, lebih
banyak istirahat, Tarik nafas dalam dan mengkonsumsi suplemen vitamin
anjuran dokter. Dari ketiga pasien dengan kasus STEMI didapatkan masalah
keperawatan berupa nyeri berhubungan dengan iskemia di tandai dengan
sindrom koroner akut, berhubngan dengan STEMI. Point of interest pada ketiga
pasien tersebut adalah nyeri berhubungan dengan iskemia di tandai dengan
sindrom koroner akut berhubngan dengan STEMI. Intervensi dan implementasi
yang dilaksanakan untuk mengatasi masalah keperawatan nyeri berhubungan
dengan iskemia di tandai dengan sindrom koroner akut berhubngan dengan
STEMI adalah mendiskusikan pengalaman pasien terhadap nyeri, mendiskusikan
dengan pasien faktor-faktor yang penyebab nyeri pada STEMI, mendiskusikan
aktivitas yang disukai dan tidak disukai pasien, menganjurkan pasien untuk
mengendalikan faktor lingkungan, mengidentifikasikan strategi yang telah
berhasil dilakukan pasien dalam mengurangi nyeri, mengajarkan penggunaan
teknik nonfarmakologi dengan menggunakan (SEFT) dari ketiga pasien semua
mengatakan bahwa dengan menggunakan terapi SEFT dapat menurunkan nyeri
dan kecemasan pada pasien STEMI.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari ketiga pasien dengan kasus STEMI didapatkan masalah keperawatan


berupa nyeri akut berhubungan dengan iskemia di tandai dengan sindrom
koroner akut berhubngan dengan STEMI. Point of interest pada ketiga pasien
tersebut adalah nyeri akut berhubungan dengan iskemia di tandai dengan
sindrom koroner akut berhubngan dengan STEMI. Intervensi dan
implementasi yang dilaksanakan untuk mengatasi masalah keperawatan
nyeri akut berhubungan dengan iskemia di tandai dengan sindrom koroner
akut berhubngan dengan STEMI adalah mendiskusikan pengalaman pasien
terhadap nyeri, mendiskusikan dengan pasien faktor-faktor yang penyebab
nyeri dan kecemasan pada STEMI, mendiskusikan aktivitas yang disukai dan
tidak disukai pasien, menganjurkan pasien untuk mengendalikan faktor
lingkungan, mengidentifikasikan strategi yang telah berhasil dilakukan pasien
dalam mengurangi nyeri, mengajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi
dengan menggunakan (SEFT) dari ketiga pasien semua mengatakan bahwa
dengan menggunakan terapi SEFT dapat menurunkan nyeri dan kecemasan
pada pasien STEMI

B. Saran

1. Bagi dinas kesehatan


Dinas kesehatan sebagai instansi yang bertanggung jawab penuh
terhadap kesehatan masyarakat di Indonesia yang dapat memberikan
kesempatan dan kemudahan bagi semua terapis untuk dapat membuka
praktik dalam pemberian pelayanan kesehatan berbasis trapi
nonfarmakologis dengan memperhatikan kaidah-kaidah kelayakan dan
kompetensi yang dimiliki terapis

2. Bagi Institusi Pendidikan

Institusi pendidikan hendaknya memulai mengembangkan


pembelajaran terapi nonfarmakologis kepada mahasiswa keperawatan agar
mahasiswa keperawatan disamping mampu memberikan asuhan
keperawatan yang sesuai dengan standar pelayanan juga mampu
memberikan terapi nonfarmakologis sebagai pendamping pemberian
asuhan keperawatan kepada pasien.

Institusi pendidikan hendaknya memulai mengembangkan


pembelajaran terapi nonfarmakologis kepada mahasiswa keperawatan agar
mahasiswa keperawatan disamping mampu memberikan asuhan
keperawatan yang sesuai dengan standar pelayanan juga mampu
memberikan terapi nonfarmakologis sebagai pendamping pemberian
asuhan keperawatan kepada pasien.

3. Bagi Mahasiswa
Selama menempuh pendidikan keperawatan, diharapkan mahasiswa
keperawatan juga mengembangkan dan mempelajari mengenai terapi
nonfarmakologis agar mahasiswa keperawatan disamping mampu
memberikan asuhan keperawatan yang sesuai dengan standar pelayanan
juga mampu untuk memberikan terapi nonfarmakologis sebagai
pendamping pemberian asuhan keperawatan kepada pasien dimanfaatkan
sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan pada perawatan
paliativecare.

Anda mungkin juga menyukai