PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2012
penyakit kardiovaskuler lebih banyak menyebabkan kematian dari pada penyakit
lainnya. Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler
terbayak pada pasien rawat inap di rumah sakit. Infark miokard adalah kematian
sel miokard akibat iskemia yang berkepanjangan. Menurut WHO, infark miokard
diklasifikasikan berdasarkan dari gejala, kelainan gambara EKG dan enzim
jantung. Infark miokard dapat dibedakan menjadi infark miokard dengan elevaasi
gelombang ST (STEMI) dan infark miokard tanpa elevasi gelombang ST
(STEMI) (Thygesen et al, 2012).
ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spectrum
sindrom coroner akut (SKA) yang paling berat (Kumar dan Cano, 2009). Pada
pasien STEMI, terjadi penurunan aliran darah aliran darah coroner secara
mendadak akibat oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya.thrombus arteri coroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vaskuler, injuri vaskuler dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi,
dan akumulasi lipid (Alwi, 2014). Karakteristik gejala iskemia miokard yang
berhubungan dengan elevasi gelombang ST persisten yang dilihat berdasarkan
EKG dapat menentukan terjadinya STEMI. Saat ini, kejadian STEMI sekitar 25-
40% dari infark miokard, yang dirawat dirumah sakit sekitar 5-6% dan mortalitas
1 tahunnya sekitar 7-18% (O’Gara et al., 2013). Sekitar 865.000 penduduk
amerika menderita infark miokard akut pertahun dan sepertiganya menderita
STEMI (Yang et al., 2008).
Pada tahun 2018 ±478.000 pasien di Indonesia didiagnosa peenyakit jantung
coroner. Saat ini, prevekuensi STEMI meningkat dari 25% hingga 40% berdasarkan
presentasi infark miokard (Depkes RI, 2013). Penelitian oleh Torry et al tahun 2011-2012
di RSUP Muhammad Hoesin Palembang, angka kejadian STEMI paling tinggi dari
keseluruhan kejadian SKA yaitu 7.8%, sedangkan untuk NSTEMI hanya 1.1% dan 7%
pasien angina pectoris tidak stabil. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP
Muhammad Hoesin pada tahun 2018, STEMI juga merupakan kejadian tertinggi dari
keseluruhan SKA yaitu sebesar 66,7% (Budiana, 2018).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu menggambarkan aplikasi asuhan keperawatan pada kasus pada
pasien STEMI tentang terapi nonfarmakologis untuk keluhan meredahkan
nyeri.
2. Tujuan Khusus
a. Memaparkan gambaran umum masalah keperawatan pada pasien STEMI.
b. Memaparkan pengkajian yang dilakukan pada pasien stemi dengan
masalah nyeri.
c. Memaparkan diagnosa keperawatan yang didapatkan pada pasien stemi
dengan masalah nyeri.
C. Manfaat
1. Pelayanan Kesehatan
Dapat menambah masukan dan meningkatkan pemahaman perawat dalam
melakukan pelayanan palliative care. Dapat memberikan alternatif pilihan
terhadap tindakan pencegahan dan pengananan rasa nyeri dan cemas pada
pasien dengan masalah STEMI.
2. Institusi Pendidikan
Dapat menjadi dasar pengembangan materi asuhan keperawatan gawat
darurat dalam pelayanan palliative care terhadap pasien dengan masalah
STEMI serta cara mengatasinya dengan terapi nonfarmakologis pada pasien
gagal jantung yang dapat digunakan dalam proses pendidikan mahasiswa.
3. Keilmuaan/Penelitian Keperawatan
Dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan
keperawatan, terutama yang berkaitan dengan implementasi inovasi yang
mandiri dan komprehesif dalam mengatasi masalah keluhan yang pada
pasien STEMI dengan cara memberikan therapy SEFT. Hasil asuhan
keperawatan maternitas ini sekaligus dapat menjadi landasan/ dasar bagi
pengembangan penelitian keperawatan yang bermutu bagi masyarakat luas
D. Metode Penelitian
Penelitian kuantitatif menggunakan pendekatan dan kuesioner studi kasus dengan
memberikan asuhan keperawatan pada 3 orang pasien dengan STEMI.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Jantung
2. Etiologi
Terdapat dua faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit arteri coroner
yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable). Faktor risiko modifiable dapat
dikontrol dengan mengubah gaya hisup dan kebiasaan pribadi sedangkan
faktor risiko yang nonmodifiable merupakan konsekuensi genetic yang tidak
dapat dikontrol (Smeltzer, 2002). Menurut Muttaqin (2009) ada lima faktor
risiko yang dapat diubah yaitu : merokok, hipertensi, hiperglikemia,
kolesterol, dan pola tingkah laku.
a. Merokok
Merokok dapat menyebabkan keparahan dari penyakit coroner diantaranya
karbondioksida yang terdapat pada asap rokok akan lebih mudah dalam
mengikat hemoglobin dari pada oksigen, sehingga oksigen yang disuplai ke
jantung menjadi berkurang. Asam nikotinat pada tembakau memicu
pelepasan katekolamin yang menybabkan kontraksi arteri dan membuat
aliran darah dan oksigen jaringan menjadi terganggu. Merokok dapat
meningkatkan adhesi pada terombosit yang dapat mengakibatkan
kemungkinan peningkatan pembentukan thrombus.
b. Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi merupakan juga faktor risiko yang dapat
menyebabkan penyakit arteri coroner. Tekanan darah yang tinggi akan
dapat meningkatkan gradien tekanan yang harus dilawan oleh ventrikel kiri
saat memompa darah. Tekanan tinggi yang terus menerus menyebabkan
suplai kebutuhan oksigen meningkat.
c. Kolesterol darah tinggi
Tingginya kolesterol dengan kejadian penyakit arteri koroner memiliki
hubungan yang erat. Lemak yang tidak larur dalam air terikat dengan
lipoprotein yang larut dengan air yang memungkinkannya dapat diangkut
dalam sistem peredaran darah. Tiga komponen metabolism lemak,
kolesterol total, lipoprotein densitas rendah (Low density lipoprotein) dan
lipoprotein densitas tinggi (high density lipoprotein). Peningkatan kolesterol
dihubungkan dengan meningkatna risiko koronaria dan mempercepat
proses arterosklorosis. Sedangkan kolestreol HDL yang tinggi berperan
sebagai faktor pelindung terhadap penyakit arteri koronaria dengan cara
mengangkut LDL ke hati, mengalami biodegradasi dan kemungkinan
dieksresi (Price, 1995).
d. Hiperglikemia
Pola hidup yang kurang aktivitas serta stressor psikososial juga ikut berperan
dalam menimbulkan masalah pada jantung.
1. Pengertian
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan sebagai akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan
potensial serta menyakitkan tubuh yang dapat diungkapkan oleh ndividu yang
mengalaminya. Ketika tubuh mengalami cedera atau kerusakan (Kozier 2010).
Nyeri STEMI merupakan nyeri yang ditimbulkan oleh adanya penurunan
aliran pada darah koroner yang menurun secara mendadak setelah oklusi
thrombus pada plak arterosklorosis yang sudah ada sebelumnya. Thrombus
arteri coroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini
dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid
(Sudoyo, 2006).
2. Fisiologi Nyeri
Stimulus yang mengenai tubuh (mekanik, termal, kimia) akan
menyebabkan pelepasan substansi kimia sepertihistamin, bradykinin, kalium.
Substansi tersebut menyebabkan nosiseptor bereaksi, apabila nosiseptor
mencapai ambang nyeri, maka akan timbul impuls saraf yang akan dibawa
oleh serabut saraf perifer.
Serabut saraf perifer yang akan membawa impuls saraf ada dua jenis, yaitu
serabut A-delta dan serabut C. impuls saraf akan di bawa sepanjang serabut
saraf sampai ke kornu dorsalis medula spinalis. Impuls saraf tersebut akan
menyebabkan kornu dorsalis mlepaskan neurotrasmiter (subtansi P). substansi
P ini menyebabkan transmisi sinapis dari saraf perifer ke saraf traktus
spinotalamus. Hal ini memungkinkan impuls saraf transmisikan lebih jauh
ke dalam sistem saraf pusat. Setelah impuls saraf sampai keotak, otak
mengolah impuls saraf kemudian akan timbul persepsi dari nyeri juga respon
reflek protektif terhadap nyeri.
3. Efek nyeri
Menurut smeltzer & Bare (2001), efek membahayakan dari nyeri
dibedakan berdasarkan klasifikasi nyeri, yaitu nyeri akut dan nyeri kronis.
Nyeri akut mempunyai efek yang membahayakan diluar ketidaknyamanan
yang disebabkannya. Selain merasa ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri
akut yang tidak reda dapat mempengaruhi sistem pulmonary,kardiovaskuler,
gastrointestinal, endokin dan imunologik. Nyeri kronis sering mengakibatkan
depresi dan ketidakmampuan. Pasien mungkin tidak mampu untuk
melanjutkan aktivitas dan melakukan hubungan interpersonal.
Terdapat skala sejenis yang merupakan garis lurus, tanpa angka. Bisa
bebas mengekspresikan nyeri, kearah kiri menuju tidak sakit, arah
kanan sakit tak tertahankan dengan tengah kira-kira yang sedang
(Potter & Perry, 2005).
3. Manfaat SEFT
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari metode terapi SEFT menurut
Iskandar (2010), yaitu :
a. Dapat menyembuhkan penyakit-penyakit fisik maupun psikologis terutama
yang disebabkan oleh emosi misalnya marah, takut, ngeri, depresi dan
kesepian.
c. Tahap Tapping
SEFT-ter memberikan sentuhan pada bagian-bagian tubuh dan terfokus
pada titik- titik simpul saraf, untuk mengembalikan fungsi saraf yang
terganggu. Tapping adalah mengetuk ringan dengan dua ujung jari pada
titik-titik tertentu di tubuh sambil melakukan tune-in. Titik ini adalah titik
kunci dari The Major Energy Meridians yang jika diketuk beberapa kali
akan berdampak pada ternetralisirnya gangguan emosi atau rasa sakit yang
dirasakan, karena aliran energi tubuh berjalan dan seimbang kembali.
d. Tahap Konseling
SEFT-er memberikan kesempatan kepada subjek menceritakan perasaan
setelah dilakukan tahap pertama sampai ketiga, dan SEFT-er memberikan
umpan balik atas pernyataan tersebut.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa terapi SEFT
merupakan salah satu teknik terapi untuk mengatasi masalah psikologis dan
fisik, yaitu dengan melakukan totok ringan (tapping) pada titik syaraf atau
meridian tubuh yang meliputi beberapa tahap, yaitu tahap the set-up, tahap
the tune- in, tahap tapping dan tahap konseling.
BAB III
A. Pengkajian Keperawatan
1. Kasus 1, Ny. LD
Ny. LD usia 65 tahun di bawa ke RSMH karena sejak 5 hari SMRS mengeluh
nyeri dada sebelah kiri tetapi tidak menjalar, nyeri timbul mendadak seperti
dibawa ke IGD RSMH di IRD penyakit dalam pada tanggal 24 April 2017,
dengan keluhan utama nyeri dada sebelah kiri tetapi tidak menjalar, nyeri
porsi dengan diet nasi biasa dengan menu yang bervariasi dengan jenis
Pasien juga mengatakan minum air putih sebanyak 7-8 gelas perhari.
Pola nutrisi pasien setelah sakit yaitu makan 3 x sehari 1/3 porsi.
Pola eliminasi pasien sebelum sakit yaitu BAB 1-2 kali sehari
berwarna kuning jernih. Pola eliminasi pasien saat sakit yaitu pasien
terpasang pampers. Urin terlihat berwarna kuning dengan jumlah urine
output 200 cc. Pasien belum buang air besar pada saat pengkajian.
cucu dan mengikuti senam lansia. Pola aktivitas pasien saat sakit yaitu
MAP 126,6 mmHg, HR 163 x/menit, RR 35x/menit, suhu 36,5 ºC, CRT
≤ 3 detik.
3. Pada sistem penglihatan bentuk pupil bulat, visus belum bisa dikaji,
ukuran pupil isokor, reaksi cahaya +/+, akomodasi belum bisa dikaji
Irama nafas pasien tidak teratur, bunyi paru vesikuler, terdapat suara
nafas tambahan ronchi, batuk ada, sputum ada tetapi sedikit, tidak
7. Sistem pencernaan diet cair susu 4x200cc dan peptisol 3x200cc dengan
berwarna kuning dengan jumlah urine output 200 cc. Pasien belum
langsat dan turgor kulit kurang elastis. Tidak terdapat luka dan edema .
c. Data Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
keram di bagian dada depan setelah mengangkat batu semen ±0,5 kg. Pasien dibawa
ke IGD RSMH di IRD penyakit dalam pada tanggal 17 Mei 2017, dilakukan
anamnesa dan berbagai pemeriksaan, dengan keluhan utama nyeri dada sebelah kiri
dan kanan tetapi tidak menjalar, nyeri timbul mendadak seperti dicengkram,
tidak berkurang dengan istirahat, nyeri muncul tiba-tiba baik saat istirahat
Pola nutrisi pasien sebelum sakit yaitu pasien makan 2 kali sehari
dengan menu yang bervariasi dengan jenis menu mulai dari nasi,
mengkonsumsi segelas kopi. Pasien juga minum 7-8 gelas setiap hari
Pola eliminasi pasien sebelum sakit yaitu BAK 6x dalam sehari dan
biasanya 2x BAK saat malam hari dengan urin berwarna kuning jernih.
tadi.
Pola aktivitas pasien sebelum sakit yaitu menjadi staff TU di Unsri dan
saat sakit yaitu pasien bedrest dan belum dapat melakukan aktivitas
≤ 3 detik.
dikaji, Ukuran pupil isokor, reaksi cahaya +/+, akomodasi belum bisa
dikaji
Irama nafas pasien tidak teratur, bunyi paru vesikuler, terdapat suara
7. Sistem pencernaan diet cair susu 4x200cc dan peptisol 3x200cc dengan
berwarna kuning dengan jumlah urine output 200 cc. Pasien belum
kemerahan dan turgor kulit kering dan kurang elastis. Tidak terdapat
c. Data Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Hb 14,4 gr/dl, leukosit 11,6 rb/ul, eritrosit 4,53 rb/ul, SGOT 26, SGPT
13, troponin T 240, CK-MB 37, kretinin 1,23 mg/dL. Pada tanggal 17
Mei 2017 juga dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya dan di
2. Terapi Penunjang
jam per oral , Omeprazole 20 mg setiap 24 jam per IV, Arixtra 2,5 ml
setiap 24 jam per subcutan dan terapi cairan IVFD dextrose 5% gtt
20x/menit.
3. Kasus, Tn. MH
Tn. MH usia 39 tahun diantar ke RSMH karena ± 3 jam sebelum masuk RS
pada malam harinya Tn. Mh merasakan nyeri dada. Nyeri dada menjalar ke
lengan sebelah kiri. Lalu Tn. Mh meminum obat yang dibawah lidah namun
nyeri tidak hilang. Pasien dibawa ke IGD RSMH di IRD penyakit dalam pada
keluhan utama nyeri dada sebelah kiri menjalar ke lengan kiri, nyeri timbul
gelas air putih dan biasanya pasien juga mengkonsumsi kopi. Pola
warna kekuningan dan konsistensi padat dan BAK 3-5x dalam sehari
dengan warna kuning jernih. Pola eliminasi pasien saat sakit yaitu
Pola aktivitas pasien saat sakit yaitu pasien bedrest dan terpasang
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada saat pengkajian tanggal 1 Mei 2017
didapatkan hasil :
1. Pengukuran tanda-tanda vital: tekanan darah 110/80 mmHg dengan
detik.
3. Pada sistem penglihatan bentuk pupil bulat, visus belum bisa dikaji,
ukuran pupil isokor, reaksi cahaya +/+, akomodasi belum bisa dikaji
Irama nafas pasien tidak teratur, bunyi paru vesikuler, terdapat suara
7. Sistem pencernaan diet cair susu 4x200cc dan peptisol 3x200cc dengan
berwarna kuning dengan jumlah urine output 200 cc. Pasien belum
9. Pada sistem integument dan integritas kulit : kulit pasien sawo matang,
1. Pemeriksaan Laboratorium
lateral.
2. Terapi Penunjang
Terapi cairan : NaCl 0,9% (500 cc) GTT 10x/menit, Brilinta 90 mg per
Pasien Kelolaan
No Masalah Keperawatan
Ny. LD Tn. AG Tn MH
1. Nyeri √ √ √
1. Kasus 1, Ny. LD
2. Kasus 2, Tn. AG
3. Kasus 3, Tn MH
1) Intervensi
a) Manajemen Nyeri
Definisi
Tindakan
Observasi
Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri(mis.
Tens, hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
Edukasi
Menurun (5)
- Keluhan nyeri 5
- Meringis 5
- Sikap protektif 5
- Gelisah 5
Membaik (5)
- Frekuensi nadi 5
- Pola napas 5
- Tekanan darah 5
D. Implementasi Keperawatan
1) Intervensi
a) Manajemen Nyeri
Definisi
Tindakan
Observasi
Terapeutik
Edukasi
Menurun (5)
- Keluhan nyeri 5
- Meringis 5
- Sikap protektif 5
- Gelisah 5
Membaik (5)
- Frekuensi nadi 5
- Pola napas 5
- Tekanan darah 5
E. Evaluasi Keperawatan
1. Kasus 1, Ny. LD
1) Subjektif: Ny. LD mengatakan nyeri dada sebelah kiri tetapi tidak menjalar
sudah menurun, dikarenakan diatasi dengan menggunakan teknik therapy
SEFT, Ny. LD mengatakan berhasil untuk mengurangi nyeri dengan therapy
SEFT tersbut.
2) Objektif: skala nyeri menurun, tidak tampak meringis dan gelisah, sikap protektif
sudah tidak ada, HR 93x/menit, CRT ≤ 3 detik, akral teraba hangat, tekanan
darah 130/80 mmHg, pola napas eupnea dengan frekuensi RR 20x/menit,
suhu 36,5 ºC.
2. Kasus 2, Tn. AG
1) Subjektif: Tn. AG mengatakan nyeri dada sebelah kiri dan kanan tetapi tidak
menjalar sudah menurun, dikarenakan diatasi dengan menggunakan teknik
therapy SEFT, Tn. AG mengatakan berhasil untuk mengurangi nyeri dengan
therapy SEFT tersbut.
2) Objektif: skala nyeri menurun, tidak tampak meringis dan gelisah, sikap protektif
sudah tidak ada, HR 79x/menit, CRT ≤ 3 detik, akral teraba hangat, tekanan
darah 120/80 mmHg, pola napas eupnea dengan frekuensi RR 18x/menit,
suhu 36,5 ºC.
3. Kasus 3, Tn MH
2) Objektif: skala nyeri menurun, tidak tampak meringis dan gelisah, sikap protektif
sudah tidak ada, HR 90x/menit, CRT ≤ 3 detik, akral teraba hangat, tekanan
darah 120/80 mmHg, pola napas eupnea dengan frekuensi RR 20x/menit,
suhu 36,5 ºC.
A. Kesimpulan
B. Saran
3. Bagi Mahasiswa
Selama menempuh pendidikan keperawatan, diharapkan mahasiswa
keperawatan juga mengembangkan dan mempelajari mengenai terapi
nonfarmakologis agar mahasiswa keperawatan disamping mampu
memberikan asuhan keperawatan yang sesuai dengan standar pelayanan
juga mampu untuk memberikan terapi nonfarmakologis sebagai
pendamping pemberian asuhan keperawatan kepada pasien dimanfaatkan
sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan pada perawatan
paliativecare.