Anda di halaman 1dari 10

5BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Nyeri
2.1.1 Definisi Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan baik aktual
maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
(International Association for The Study of Pain [IASP], dalam Treede,
2018).
Nyeri diartikan berbeda-beda antar individu, bergantung pada
persepsinya. Walaupun demikian, ada satu kesamaan mengenai persepsi
nyeri. Secara sederhana, nyeri dapat diartikan sebagai suatu sensasi yang
tidak menyenangkan, sehingga individu merasa tersiksa, menderita yag
pada akhirnya akan mengganggu aktifitas sehari-hari, psikis dan lain-lain
(Asmadi, 2008).

2.1.2 Klasifikasi Nyeri


Nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan
berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri dan waktu lamanya
serangan. Menurut Asmadi (2008), berdasarkan waktu lamanya serangan,
nyeri dibedakan menjadi :
1. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang dirasakan dalam waktu yang
singkat dan berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri
diketahui dengan jelas (Asmadi, 2008). Nyeri akut berlangsung tiba-
tiba dan umumnya berhubungan dengan adanya suatu trauma atau
cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan adanya suatu kerusakan
atau cedera yang baru saja terjadi (Muttaqin, 2008).
Menurut Muttaqin (2008), sensasi dari suatu nyeri akut biasanya
menurun sejalan dengan adanya proses penyembuhan. Nyeri akut
memiliki tujuan untuk memperingatkan adanya suatu cedera atau
masalah.
2. Nyeri Kronis
Nyeri kronis merupakan suatu keadaan yang berlangsung secara
konstan atau intermiten dan menetap sepanjang suatu periode waktu.
Nyeri ini berlangsung diluar waktu penyembuhan yang diperkirakan
dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik
(Muttaqin, 2008).
Nyeri kronis adalah nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan.
Nyeri kronis ini memiliki pola yang beragam dan berlangsung
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ragam pola tersebut terdiri
dari nyeri yang timbul dengan periode diselingi interval bebas dari
nyeri lalu timbul kembali lagi nyeri, dan bgitu seterusnya. Ada pula
pola nyeri kronis yang konstan, artinya rasa nyeri tersebut terus-
menerus terasa makin lama semakin meningkat intensitasnya walaupun
telah diberikan pengobatan. Misalnya, pada nyeri karena neoplasma
(Asmadi, 2008).
Menurut Muttaqin (2008), nyeri kronis dapat tidak mempunyai
awitan (onset) yang ditetapkan dengan teoat dan sering sulit untuk
diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respons terhadap
pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Individu yang
mengalami nyeri kronis seringkali mengalami periode remisi (gejala
hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan
meningkat). Sifat nyeri kronis yang tidak dapat diprediksi ini membuat
individu frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis.
Individu yang mengalami nyeri kronis seringkali tidak memperlihatkan
gejala yang berlebihan dan tidak beradaptasi terhadap nyeri tetapi
dampaknya lebih menderita seiring dengan perjalanan waktu karena
kelelahan mental dan fisik.
Nyeri kronis dibagi menjadi dua, yaitu nyeri kronik
nonmalignan dan malignan (Potter & Perry, 2005). Nyeri kronis
malignan merupakan nyeri yang timbul akibat cedera jaringan yang
tidak progresif atau yang menyembuh (Scheman, 2009 dalam Potter &
Perry, 2005), bisa timbul tanpa penyebab yang jelas misalnya nyeri
pinggang bawah, dan nyeri yang didasari atas kondisi kronis, misalnya
osteoarthritis (Tanra, 2005, dalam Potter & Perry, 2005).
Sementara nyeri kronik malignan yang disebut juga nyeri kanker
memiliki penyebab yang nyeri yang dapat diidentifikasi, yaitu terjadi
akibat perubahan pada saraf. Perubahan ini terjadi bisa karena
penekanan pada saraf akibat metastasis sel-sel kanker maupun
pengaruh zat-zat kimia yang dihasilkan oleh kanker itu sendiri
(Portenoy, 2007 dalam Potter & Perry, 2005).
Kebanyakan penderita nyeri kanker tidak berasal dari
pengalaman nyeri. Beberapa penderita mengalami nyeri psikologi yang
berasal dari proses keganasan. Bagaimanapun juga, banyak
pengalaman nyeri pada stadium akhir dari penyakitnya dan umumnya
berhubungan dengan metastasis. Sekitar 60% sampai 80% pasien
kanker yang dirawat di rumah sakit menderita nyeri yang sangat hebat
(Lewis, 1983 dalam Andarmoyo, 2013).

Tabel 2.1 Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis


Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis
Tujuan Memperingatkan Tidak ada
adanya cedera atau
masalah
Awitan (Onset) Mendadak Terus menerus dan
intermiten
Intensitas Ringan sampai berat Ringan sampai berat
Durasi < 6 Bulan >6 Bulan
Respon Otonom - Konsisten dengan Tidak ada respon
respon stres otonom
simpatis
- Frekuensi jantung ↑
- Volume sekuncup ↑
- Tekanan darah ↑
- Dilatasi pupil ↑
- Tegangan otot ↑
- Motilitas
gastrointestinal ↓
- Aliran saliva ↓
Komponen Psikologis Cemas Depresi, mudah
dan Respon Lainnya marah, menarik diri,
tidur terganggu,
libido menurun,
nafsu makan
menurun
Contoh Nyeri bedah, trauma Nyeri Kanker,
Artritis
Sumber; Smeltzer dan Bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner and Suddarth, edisi 8, Jakarta: EGC, 2002.

2.1.3 Patofisiologi Nyeri


2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri
Menurut Andarmoyo (2013) terdapat berbagai faktor yang
memengaruhi persepsi individu terhadap nyeri. Faktor-faktor tersebut
antara lain:
1. Usia
Usia mempunyai peranan yang penting dalam mempersepsikan dan
mengekspresikan rasa nyeri. Anak yang masih kecil mempunyai
kesulitan memahami nyeri dan penyebab nyeri sebab mereka belum
dapat mengucapkan kata-kata untuk mengungkapkan secara verbal dan
mengekspresikan nyeri kepada orangtua atau petugas kesehatan
(Andarmoyo, 2013).
Pada pasien lansia diperkirakan lebih dari 85% mempunyai
sedikitnya satu masalah kesehatan kronis yang dapat menyebabkan
nyeri. Lansia cenderung untuk mengabaikan nyeri dan menahan nyeri
yang berat dalam waktu yang lama karena menganggap bahwa nyeri
yang dirasakan adalah bagian dari proses penuaan yang normal yang
tejadi pada setiap lansia (Smeltzer & Bare, 2002 dalam Andarmoyo,
2013).
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara
bermakna dalam merespons terhadap nyeri (Gill, 1990 dikutip dari
Potter & Perry, 2005). Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang
merupakan suatu faktor dalam pengekspresian nyeri. Beberapa
kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya, menganggap
bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis,
sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama
(Potter & Perry, 2005).
3. Kebudayaan
Budaya mempercayai dan mempengaruhi nilai individu dalam
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan
diterima oleh budaya mereka, termasuk bagaimana reaksi mereka
terhadap nyeri (Davidhizar & Giger, 2004; Lasch, 2002 dalam Potter &
Perry, 2009).
Budaya dan etnisitas berpengaruh pada bagaimana seseorang
merespons terhadap nyeri. Sejak dini, pada masa kanak-kanak, individu
belajar dari sekitar mereka respons nyeri yang bagaimanayang dapat
diterima atau tidak diterima.
4. Makna nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri memengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal
ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belaknag budaya individu
tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-
beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan,
hukuman dan tantangan. Misalnya, seorang wanita yang sedang
bersalin akan mempersepsikan nyeri berbeda dengan seorang wanita
yang mengalami nyeri akibat cedera karena pukulan pasangannya.
Derajat dan kualitas nyeri akan dipersepsikan klien berhubungan
dengan makna nyeri (Potter & Perry, 2006).
5. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
memengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan
dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan (distraksi)
dihubungkan dengan respons nyeri yang menurun (Gill, 1990 dalam
Potter & Perry, 2006).
6. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas
seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan suatu perasaan ansietas. Paice (1991) dikutip dari Potter
& Perry (2006), melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri
mengaktifkan bagian sistem limbic yang diyakini mengendalikan emosi
seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbic dapat memprotes reaksi
emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri
(Andarmoyo, 2013).
7. Pengalaman terdahulu
Apabila individu sejak lama sering mengalami nyeri tanpa pernah
sembuh atau menderita nyeri yang berat maka ansietas atau bahkan rasa
takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri
dengan jenis yang sama berulang-ulang, tetapi kemudian nyeri tersebut
dengan berhasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut
mengiterpretasikan sensasi nyeri. Akibatnya klien akan lebih siao untuk
melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan
nyeri (Potter & Perry, 2005). Apabila seorang klien tidak pernah
merasakan nyeri, persepsi pertama nyeri dapat mengganggu koping
terhadap nyeri (Andarmoyo, 2013).
8. Keletihan
Keletihan/kelelahan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan
persepsi nyeri. Rasa kelelahan akan menyebabkan sensasi nyeri
semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Apabila
keletihan disertai kesulitan tidur, persepsi nyeri bahkan dapat terasa
lebih berat lagi. Nyeri seringkali berkurang setelah individu mengalami
suatu periode tidur yang lelap (Potter & Perry, 2006).
9. Gaya koping
Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian maupun
keseluruhan/total. Klien seringkali menemukan berbagai cara untuk
mengembangkan koping terhadap efek fiskk dan psikologis nyeri.
Penting untuk memahami sumber-sumber koping klien selama ia
mengalami nyeri. Sumber-sumber seperti berkomunikasi dengan
keluarga pendukung, melakukan latihan atau menyanyi dapat
digunakan dalam rencana asuhan keperawatan dalan upaya mendukung
klien dan mengurangi nyeri sampai tingkat tertentu (Potter & Perry,
2006).
10. Keluarga dan dukungan sosial
Faktor lain yang bermakna memengaruhi respons nyeri ialah
kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka
terhadap klien. Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung
pada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan,
bantuan atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan,
kehadiran orang yang dicintai klien akan meminimalkan kesepian dan
ketakutan. Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali
pengalamn nyeri membuat klien semakin tertekan. Kehadiran orangtua
sangat penting bagi anak-anak yang sedang mengalami nyeri (Potter &
Perry, 2006).

2.1.5 Dampak Nyeri


2.1.6 Alat Ukur Nyeri
Terdapat beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur nyeri
pada pasien kanker. Instrumen tersebut antara lain:
1. Numeric Rating Scale (Skala Numerik)
Skala penilaian numerik (Numerical rating scale, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini,
klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling
efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah
intervensi (Andarmoyo, 2013).
Numeric rating Scale terdiri dari rentang angka 0-10. Numeric
rating scale dapat digunakan untuk menilai intensitas nyeri 24 jam
terakhir. Hasil dari penilaian dapat dikategorikan ke dalam 3 kategori.
Skala 0 berarti tidak ada nyeri, skala 1-3 nyeri ringan, 4-6 nyeri
sedang, 7-10 merupakan nyeri berat. Nilai reabilitas dengan cronbach
alpha untuk nyeri kronik yaitu Coefficient alpha = 0.89 –0.98.
Instrumen ini mudah digunakan pasien dan mudah digunakan untuk
perawat dalam melakukan monitoring nyeri secara langsung atau
melalui telepon (Swarm, R., et al, 2010 dalam Munawaroh, K., 2017).

Gambar 1. Numeric Rating Scale

2. Visual Analog Scale (Skala Analog Visual)


Skala analog visual ( Visual Analog Scale) merupakan suatu
garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan
memiliki alat pendeskripsian verbal pada setiap ujungnya
(Andarmoyo, 2013). Pasien diminta untuk menunjuk titik pada garis
yang menunjukkan letak nyeri terjadi sepanjang garis tersebut. Ujung
kiri biasanya menandakan “tidak ada” atau “tidak nyeri”, sedangkan
ujung kanan biasanya menandakan “berat” atau “nyeri yang paling
buruk” (Smeltzer, 2002).
Skala ini memberikan klien kebebasan penuh untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran
keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian daripada dipiksa memilih
satu kata atau satu angka (McGuire, 1884 dalam Potter & Perry,
2006).
Tidak ada nyeri Nyeri paling hebat
Gambar 2. Visual Analog Scale

3. Verbal Descriptor Scale (Skala Deskriptif)


Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor scale, VDS)
merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
objekti. Pendeskripsian VDS diranking dari ” tidak nyeri” sampai
”nyeri yang tidak tertahankan”(Andarmoyo, 2013). Perawat
menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih
intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Alat ini memungkinkan klien
memilih sebuah ketegori untuk mendeskripsikan nyeri (Andarmoyo,
2013).

Gambar 3. Verbal Descriptor Scale

4. Brief Pain Inventory


Brief pain inventory (BPI) digunakan untuk mengkaji keparahan
dari nyeri yang bersifat kronik dan derajat gangguan dari fungsi tubuh
tertentu. Instrumen ini terdiri dari menggunakan numeric rating scale
0-10. Instrumen ini dapat diisi sendiri oleh pasien, atau ditanyakan
saat wawancara, bahkan saat dilakukan follow up melalui telepon.
Lokasi dan karakteristik dari nyeri juga didokumentasikan
menggunakan instrumen ini. BPI mengkaji efek nyeri terhadap
kehidupan seperti : aktivitas umum, berjalan, bekerja, berhubungan
dengan oranglain, perasaan, tidur, dan menikmati kehidupan. BPI
mengkaji pasien terkait perasaan terhadap nyeri yang dirasakan akibat
dari terapi yang dijalani pasien. BPI merupakan instrumen yang
reliabel dengan nilai cronbach alpha 0,95 dan valid digunakan untuk
mengkaji nyeri kronik (Munawaroh, 2017).

2.2 Konsep Kanker


2.3 Pro Self Pain Control

Anda mungkin juga menyukai