Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN RASA NYAMAN NYERI

OLEH:

KLARA MITA APRILIYANI

2008037

UNIVERSITAS WIDYA HUSADA SEMARANG

2020/2021
A. Konsep Gangguan Kebutuhan Dasar
1. Definisi
Nyeri adalah suatu sensori yang tidak menyenangkan dari suatu emosional
disertai kerusakan secara aktual maupun potenial atau kerusakan jaringan secara
menyeluruh (Ignativicius (1991) dalam Lukman & Ningsih, 2013). Nyeri adalah suatu
mekanisme protektif bagi tubuh, nyeri timbul bilamana jaringan rusak dan
menyebabkan individu tersebut bereaksi untung menghilangkan rasa nyeri tersebut.
(Lukman & Ningsih, 2013).
The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan
nyeri sebagai berikut nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.
Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif
(aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan
psikologis). Sedangkan nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma,
proses suatu penyakit atau akibat fungsi otot atau viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini
berkaitan dengan stress neuroendokrin yang sebanding dengan intensitasnya. Nyeri
akut akan disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai
dengan laju proses penyembuhan (Ni Putu Wardani, 2014).

2. Etiologi
Penyebab nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu penyebab yang
berhubungan dengan fisik dan berhubungan dengan psikis.
a. Secara fisik misalnya, penyebab nyeri adalah trauma (baik trauma mekanik, termis,
kimiawi, maupun elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah.
b. Secara psikis, penyebab nyeri dapat terjadi oleh karena adanya trauma psikologis.
Nyeri yang disebabkan oleh faktor psikis berkaitan dengan terganggunya serabut
saraf reseptor nyeri. serabut saraf resptor nyeri ini terletak dan tersebar pada lapisan
kulit dan pada jaringan-jaringan tertentu yang terletak lebih dalam (Asmadi, 2008).

3. Klasifikasi

Menurut Prasetyo (2010) klasifikasi nyeri di bagi menjadi:


a. Nyeri Akut

Nyeri akut terjadi setelah terjadinya cidera akut, penyakit, atau intervensi
bedah memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang bervariatif (ringan
sampai berat) dan berlangsug untuk waktu singkat. Nyeri akut merupakan signal
bagi tubuh akan cidera atau penyakit yang akan datang namun nyeri akut akan
menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah area pulih kembali. Nyeri akut
disebabkan oleh aktivitas nosireseptor dan biasanya berlangsung dalam wantu
yang singkat atau kurang dari 6 bulan, dan datang tiba-tiba. Nyeri akut dianggap
memiliki durasi terbatas dan bisa diprediksi, seperti nyeri pasca operasi, yang
biasanya akan menghilang ketika luka sembuh. Klien sebagian besar
menggunakan kata-kata “tajam”,“tertusuk”, dan tertembak untuk mendiskripsikan
nyerinya (Black & Hawks, 2014). Penyebab dari nyeri akut adalah agen cedera
fisiologis (misalnya: inflamasi), agen pencedera kimiawi (misalnya: bahan kimia
iritan), dan agen pencedera fisik (misalnya: abses, prosedur operasi, trauma).
Kondisi klinis terkait nyeri akut adalah kondisi pembedahan, cedera traumatis,
infeksi, sindrom koroner akut dan glaukoma. (PPNI, 2016).

b. Nyeri Kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap


sepanjang periode waktu. Nyeri kronik berlangsung diluar waktu penyembuhan
yang sering dikaitkan dengan penyebab atau cedera fisik. Nyeri kronik dapat
terjadi pada kanker tetapi nyeri jenis ini mempunyai penyebab yang dapat
diidentifikasi. Misal nyeri pada kanker timbul akibat kompresi saraf perifer, atau
meninges akibat kerusakan struktur ini setelah pembedahan, kemoterapi dan
infiltrasi tumor. (Smeltzer & Bare, 2013).
Menurut Black & Hawks (2014) menjelaskan bahwa nyeri kronik
biasanya dianggap sebagai nyeri yang berlangsung lebih dari 6 bulan (atau 1 bulan
lebih dari normal di masa-masa akhir kondisi yang menyebabkan nyeri) dan tidak
diketahui kapan berakhir kecuali nika terjadi penyembuhan yang lambat, seperti
pada luka bakar.
Sedangkan menurut PPNI (2016) nyeri kronik adalah pengalaman
sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau
fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan sampai
berat dan konstan, yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Penyebab dari nyeri
kronik adalah kondisi muskuloskeletal kronis, keruskan sistem saraf, penekanan
saraf, infiltrasi tumor, ketidakseimbangan nerotransmiter, neuromodulator, dan
reseptor, gangguan imunitas, ganguan metabolik. Kondisi klinis terkait nyeri
kronik misalnya arthritis rematoid, infeksi, cedera medula spinalis dan kondisi
pasca trauma.

4. Faktor Persepsi dan Reaksi terhadap Nyeri


Menurut Prasetyo (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan reaksi
terhadap nyeri meliputi :
a. Usia

Usia merupakan variabel yang penting dalam mempengaruhi nyeri pada


individu. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan dalam memahami nyeri
dan prosedur pengobatan yang dapat menyebabkan nyeri. Karena anak kecil yang
belum dapat mengungkapkan kata-kata juga mengalami kesulitan dalam
mengungkapkan secara verbal dan mengekpresikan nyeri kepada kedua orangtua
ataupun pada perawat. Terkadang anak-anak enggan menungkapkan keberadaan
nyeri yang mereka alami dikarenakan mereka takut akan tindakan keperawatan
yang harus mereka terima nantinya. Sedangkan pada pasien lansia perawat harus
melakukan penkajian lebih rinci ketika lansia melaporkan adanya nyeri.

Seringkali lansia memiliki sumber nyeri lebih dari satu. Terkadang


penyakit yang berbeda-beda yang diderita lansia menimbulkan gejala yang sama,
sebagai contoh nyeri dada tidak selalu mengindikasikan serangan jantung, nyeri
dada dapat timbul karena gejala arthritis pada spinal dan gejala gangguan
abdomen. Sebagai lansia terkadang pasrah terhadap apa yang mereka rasakan,
mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi penuaan yang
tidak bisa dihindari.
b. Jenis Kelamin

Secara umum wanita dan pria tidak berbeda secara signifikan dalam
berespon terhadap nyeri. Hanya berbeda budaya yang menganggap bahwa seorang
anak laki-laki harus lebih berani dan tidak boleh menangis dibandingkan anak
perempuan dalam situasi sama ketika merasakan nyeri. Namun berdasar penelitian
terahir dalam memperhatikan hoemon seks pada mamalia berpengaruh terhadap
tingkat toleransi terhadap nyeri. Hormon seks testosteron menaikan ambang nyeri
pada percobaan binatang sedangkan estrogen meningkatkan pengenalan
sensitivitasan terhadap nyeri. Bagaimanapun manusia itu lebih kompleks dan
dipengaruhi oleh personal, sosial, budaya dan lain-lain.

c. Kebudayaan

Seringkali perawat berasumsi bahwa respon pada setiap klien dalam


maslah nyeri adalah sama, sehingga mereka mencoba mengira bagaimana klien
berespon terhadap nyeri. Sebagai contoh, apabila seorang perawat yakin bahwa
menangis dan merintih mengidentifikasikan suatu ketidakmampuan dalam
mengontrol nyeri, akibtanya pemberian terapi bisa jadi tidak cocok klien
berkebangsaan Maroko-Amerika, karena mereka tidak selalu mempersiapkan
pengalaman nyeri sebagai suatu yang berat atau mengharapkan perawat
melakukan intervensi.

d. Makna Nyeri

Nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seorang


beradaptasi terhadap nyeri. Seorang wanita yang merasakan nyeri saat bersalin
akan mempersepsikan nyeri secara berbeda dengan lainnya yang nyeri karena
dipukul suaminya.

e. Lokasi dan Tingkat Keparahan Nyeri

Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan tingkat keparahan


pada masing-masing individu. Nyeri sering dirasakan mungkin terasa ringan,
sedang atau bisa jadi merupakan nyeri yang berat. Dalam kaitannya dengan
kualitas nyeri, masing- masing individu juga bervariasi, ada yang melaporkan
nyeri seperti tertusuk, nyeri tumpul, berdenyut dan lain-lain. Misalnya individu
yang tertusuk jarum akan melaporkan nyeri yang berbeda dengan individu yang
tersiram air panas.

f. Perhatian Tingkat nyeri pada seseorang terhadap nyeri akan mempengarui


persepsi nyeri.

Perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan meningkatkan respon


nyeri sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan penurunan
respon nyeri. Konsep inilah yang mendasari berbagai terapi untuk menghilangkan
nyeri seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided imagery) dan masase.

g. Ansietas (kecemasan)

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas yang


dirasakan seseorang seringkali meningkatkan persepsi nyeri, akan tetapi nyeri
juga dapat menimbulkan perasaan cemas. Sebagai contoh seorang yang menderita
kanker kronis dan merasa takut akan kondisi penyakitnya akan meningkatkan
persepsi nyerinya.

h. Keletihan (kelelahan)

Keletihan / kelelahan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan


sensasi nyeri dan menurunkan kemampuan koping individu.

i. Pengalaman

Sebelumnya individu belajar dari penagalaman nyeri sebelumnya, akan


tetapi pengalaman yang dirasakan individu tersebut tidak berarti bahwa individu
tersebut akan mudah dalam menghadapi nyeri pada masa mendatang. Seseorang
yang terbiasa merasakan nyeri akan lebih mudah mengantisipasi nyeri daripada
individu yang mempunyai pengalaman sedikit akan nyeri.

j. Dukungan Keluarga dan Sosial

Seseorang yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan dukungan,


bantuan, perlindungan dari anggota keluarga lain atau teman dekat. Meskipun
nyeri masih dirasakan oleh klien, kehadiran orang dicintai akan meminimalkan
kesepian dan ketakutan sehingga klien tidak berfokus pada nyeri yang dirasakan.

5. Efek nyeri
Menurut Wahyudi & Wahid, (2016) menjelaskan efek nyeri adalah:
a. Tanda dan gejala fisik

Tanda fisiologis dapat menunjukan nyeri pada klien yang berupaya untuk tidak
mengeluh atau mengakui ketidaknyamanan. Sangat penting untuk engkaji tanda-
tanda vital dan pemeriksaan fisik termasuk mengobservasi keterlibatan saraf
otonom. Saat awitan nyeri akut, denyut jantung, tekanan darah dan frekuensi
pernapasan meningkat.

b. Efek perilaku

Pasien seringkali saat mengalami nyeri pasien sering meringis, mengerutkan dahi,
menggigit bibir, gelisah, imobilisasi, mengalami ketegangan otot, menghindari
kontak sosial dan hanya fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri.

c. Pengaruh pada aktivitas sehari-hari

Klien yang mengalami nyeri setiap hari kurang mampu berpartisipasi dalam
aktivitas rutin, seperti mengalami kesulitan dalam tindakan higine normal dan dapat
mengganggu aktivitas sosial dan berhubungan seksual.

6. Patofisiologi
(Tamsuri, 2010). Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya
rangsangan. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf
bebas dalam kulit yang berespons hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial
merusak. Reseptor nyeri disebut juga nyeri nosiseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri
(nosiseptor) ada yang bermialin dan ada yang tidak bermialin dari saraf eferen.
Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut
nyeri memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan
akhirnya sampai didalam massa berwarna abu-abu di medula spinalis. Sekali stimulus
nyeri mencapai korteks serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri dan
memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi
kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri. Semua kerusakan selular, yang
disebabkan oleh stimulus internal, mekanik, kimiawi, atau stimulus listrik yang
menyebabkan pelepasan substansi yang menghasilkan nyeri. Nosiseptor kutanius
berasal dari kulit dan subkutan. Nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah
untuk dilokalisasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam
dua komponen, yaitu:
a. Serabut A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang apalagi penyebab
nyeri dihilangkan.
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5-2m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit
dilokalisasi.
7. Patways
8. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
Menurut Wahyudi & Wahid (2016) menjelaskan bahwa penanganan nyeri secara
farmakologi adalah seperti berikut ini :
1) Analgesik Narkotik
Analgesik narkotik terdiri dari berbagai derativ opium seperti morfin dan
kodein. Narkotik memberikan efek penurunan nyeri dan kegembiraan karena
obat ini mengadakan ikatan dengan reseptor opiat dan mengaktifkan penekan
nyeri endogen pada susunan saraf pusat. Namun penggunaan obat ini
menimbulkan efek menekan pusat pernapasan dimedulla batang otak.
2) Analgesik Non Narkotik
Analgesik non narkotik seperti aspirin, asetaminifen dan ibuprofen selain
memiliki efek anti nyeri juga memiliki efek anti inflamasi dan antipiretik. Efek
samping obat ini paling umum terjadi gangguan pencernaan seperti adanya
ulkus gaster dan perdarahan gaster.
b. Non Farmakologi
Tindakan pengontrolan nyeri melalui tindakan non-farmakologi:
1) Membangun hubungan terapeutik perawat-klien Terciptanya hubungan
terapeutikantara klien dengan perawat akan memberikan pondasi dasar
terlaksananya asuhan keperawatan yang efektif pada klien yang mengalami
nyeri.
2) Bimbingan Antisipasi Menghilangkan kecemasan klien sangatlah perlu,
terlebih apabila dengan timbulnya kecemasan akan meningkatkan persepsi
nyeri klien.
3) Relaksasi
Relaksasi adalah suatu tindakan untuk “membebaskan” mental dan fisik dari
ketegangan dan stres, sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri.
4) Imajinasi terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah upaya untuk menciptakan kesan dalam pikiran
klien, kemudian berkonsentrasi pada kesan tersebut sehingga secara bertahap
dapat menurunkan persepsi klien terhadap nyeri.
5) Distraksi
Merupakan tindakan pengalihan perhatian klien ke hal-hal diluar nyeri, yang
dengan demikian diharapkan dapat menurunkan kewaspadaan klien terhadap
nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri.
6) Akupunktur
Akupunktur merupakan terapi pengobatan kuno dari Cina, di mana akupunktur
menstimulasi titik-titik tersebut pada tubuh untuk meningkatkan aliran energi
disepanjang jalur yang disebut jalur meridian.
7) Biofeedback
Metode elektrik yang mengukur respon fisiologis seperti gelombang pada otak,
kontraksi otot, atau temperatur kulit kemudian “mengembalikan” memberikan
informasi tersebut kepada klien.
8) Stimulasi kutaneus
Teknik ini berkerja dengan menstimulasi permukaan kulit untuk mengontrol
nyeri. Sebagai contoh tindakan ini adalah mandi air hangat/sauna, masase,
kompres dengan air dingin/panas, pijatan dengan menthol atau TENS
(Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation).
9) Akupresur
Terdapat beberapa teknik akupresur untuk membebaskan rasa nyeri yang dapat
dilakukan secara mandiri. Klien dapat mengguanan ibu jari atau jari unrtuk
memberikan tekanan pada titik akupresur untuk membebaskan ketegangan
pada otot kepala, bahu atau leher.
10) Psikoterapi
Psikoterapi dapat menurunkan persepsi pada nyeri pada beberapa klien,
terutama pada klien yang sangat sulit sekali mengontrol nyeri, pada klien yang
mengalami depresi, atau pada klien yang pernah mempunyai riwayat masalah
psikiatri.

9. Skala Nyeri
Intensitas nyeri (skala nyeri) adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang
dirasakan individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda (Tamsuri, 2007).
a. Face rating scale (FRS)

Pengukuran skala nyeri untuk anak pra sekolah dan sekolah, pengukuran skala
nyeri menggunakan face rating scale yaitu terdiri dari 6 wajah kartun mulai dari
wajah yang tersenyum untuk “tidak ada nyeri” hingga wajah yang menangis untuk
“nyeri berat”.
b. Skala Numerik (Numerical Rating Scale, NRS)

Skala Numerik (Numerical Rating Scale, NRS) digunakan sebagai pengganti alat
pendeskripsian kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan skala 0 sampai 10.
Angka 0 diartikan kondisi klien tidak merasakan nyeri, angka 10 mengindikasikan
nyeri paling berat yang dirasakan klien. Skala ini efektif digunakan untuk mengkaji
intensitas terapeutik

10. Pemeriksaan Penunjang


Berdasarkan Ni Putu Wardani (2014), Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
bertujuan untuk mengatahui penyebab dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti:
a. Pemeriksaan laboratorium
b. Pemeriksaan penunjang lainnya:
1) Pemeriksaan USG untuk data penunjang apabila ada nyeri tekan abdomen.
2) Rontgen untuk mengetahui tulang atau organ dalam yang abnormal Deprivasi
tidur
3) CT-Scan mengetahui adanya pembuluh darah yang pecah di otak
4) EKG
5) MRI (Hidayat, 2008)

11. Komplikasi
Berdasarkan Ni Putu Wardani (2014), komplikasi nyeri ada 2:
a. Gangguan pola istirahat tidur
b. Syok neurogenic

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Identitas
a. Identitas pasien berupa nama, tanggal lahir, umur, jenis kelamin, status, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor RM, diagnosa medis.
b. Identitas penanggung jawab berupa nama, tanggal lahir, jenis kelamin, status,
agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, hubungan dengan pasien.
c. Catatan medis.

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
b. Riwayat kesehatan sekarang
c. Riwayat kesehatan dahulu
d. Riwayat kesehatan keluarga

3. Pengkajian Fungsional Gordon


a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan.
b. Pola nutrisi
c. Pola eliminasi
d. Pola istirahat dan tidur
e. Pola personal hygiene
f. Pola aktivitas dan latihan
g. Pola manajemen kesehatan
h. Pola konsep diri
i. Pola hubungan dan peran
j. Pola seksual dan reproduksi

4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum dan kesadaran umum
b. Tanda-tanda vital berupa tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu
c. Pemeriksaan fisik
d. Data penunjang
e. Program terapi
f. Data fokus

5. Pengkajian status nyeri dilakukan dengan pendekatan


a. P (Provocate) : Respon paliatif meliputi factor pencetus nyeri
b. Q (Quality) : Kualitas nyeri meliputi nyeri uka post operasil
c. R (Region) : Lokasi nyeri, meliputi nyeri luka post operasi
d. S (Skala) : Skala nyeri ringan, sedang, berat atau sangat nyeri
e. T (Time) : Waktu meliputi kapan, berapa lama dan terakhir dirasakan

6. Diagnosa Keperawatan
Gangguan rasa nyaman (nyeri) – SDKI 0077
Defisit perawatan diri – SDKI 0109
7. Intervensi Keperawatan
Diagnose Tujuan dan KH Intervensi Rasional

Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor TTV dan 1. Mengetahui KU dan


rasa keperawatan diharapkan nyeri mengkaji KU pasien perkembangan pasien
nyaman dapat teratasi dengan KH: 2. Kaji skala nyeri pasien 2. Mengetahui skala nyeri
(nyeri) 1.Skala nyeri dalam rentang 1-3 3. Ajarkan teknik relaksasi pasien
2. TTV dalam rentang normal nafas dalam 3. Membantu pasien dalam
3. Mengatakan rasa nyaman telah mengontrol nyeri dan
berkurang membantu mengurangi nyeri
4. Melaporkan bahwa nyeri 4. Memberi posisi nyaman 4. Agar pasien rileks
berkurang

Deficit Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor kemampuan 1. Mengetahui keadaan dan


perawatan keperawatan diharapkan, defisit klien untuk perawatan perkembangan klien
diri perawatan diri tidak diri yang mandiri.
terjadi dengan KH: 2. Dorong untuk 2. Meningkatkan
1. Klien terbebas dari bau badan. melakukan secara kemampuan klien
2. Menyatakan kenyamanan mandiri, atau beri
terhadap kemampuan untuk bantuan ketika klien
melakukan ADLs. tidak mampu
3. Dapat melakukan ADLS melakukannya.
dengan mandiri 3. Ajarkan klien/ 3. Meningkatkan koping
keluarga untuk keluarga demi
mendorong kemandirian klien
kemandirian 4. Melatih klien untuk
4. Berikan aktivitas rutin melakukan aktivitas
sehari- hari sesuai
kemampuan.
8. Implementasi
Beberapa prosedur tindakan keperawatan sesuai dengan intervensi yang telah dibuat
sebelumnya.

9. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan cara menilai kemampuan dalam merespon tindakan yang
telah diberikan oleh perawat

Anda mungkin juga menyukai