Anda di halaman 1dari 43

TUGAS KONSEP NYERI

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Keperawatan Medikal Bedah Lanjut

Oleh

Theophylia Melisa Manumara (220120220001)

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


UNIVERSITAS PADJADJARAN
2023
PANDUAN PEMBELAJARAN

Mata Kuliah :Teori Keperawatan Medikal Bedah Lanjut


Topik : Konsep nyeri, pengkajian, dan pengelolaan nyeri
Faculty : Kusman
Ibrahim, PhD Email :
k.ibrahim@unpad.ac.id
Learning Outcomes
Setelah menyelesaikan pembelajaran ini, mahasiswa mampu:

1. Menjelaskan dasar fisiologi nyeri; definisi, nociception, transduction,


transmission, perception, modulation)
Jawaban :
a. Nyeri
Nyeri adalah suatu yang menyakitkan tubuh yang diungkapkan
secara subjektif oleh individu yang mengalaminya . Nyeri didefinisikan
sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang bila seorang pernah
mengalaminya. Nyeri dianggap nyata meskipun tidak ada penyebab fisik
atau sumber yang dapat didentifikasi. Meskipun beberapa nyeri
dihubungkan dengan status mental atau psikologis, pasien secara nyata
merasakan nyeri dalam banyak hal dan tidak hanya membayangkan saja.
Tetapi sensasi nyeri yaitu , akibat dari stimulasi fisik dan mental atau
stimulasi emosional (Potter & Perry, 2010).
Nyeri merupaakan kondisi berupa perasaan yang tidak
menyenangkan, bersifat sangat subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang
berbeda dalam hal skala ataupun tingkatannya, dan hanya orang
tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang
dialaminya (Tetty, 2015).
Nyeri dapat didefnisikan sebagai sesuatu yang sukar dipahami dan
fenomena yang kompleks meskipun universal, tetapi masih merupakan
misteri. Nyeri adalah salah satu mekanisme pertahanan tubuh manusia
yang menunjukkan adanya pengalaman masalah. Nyeri merupakan
keyakinan individu dan bagaimana respon individu tersebut terhadap sakit
yang dialaminya (Taylor, 2011).
b. Nociception
Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktifitas
atau sensivitas nosiseptor perifer yang merupakan resptor khusus yang
mengantarkan stimulus naxious (Andarmoyo, 2013). Nyeri Nosiseptif
dibagi menjadi :
1. Nyeri Somatik : berasal dari tulang, sendi, otot, kulit, atau jaringan
penghubung. Biasanya kualitas nyeri ini ditunjukkan dari nyeri yang
dirasakan atau denyutan yang terokalisasi dengan baik (Potter & Perry,
2010).
2. Nyeri visceral: Nyeri visceral ialah nyeri yang terjadi di dalam organ
tubuh manusia, seperti di dalam abdomen , lambung dan jantung. Nyeri
visceral biasanya juga disertai dengan mual dan muntah pada
seseorang(Farmer, 2014).
c. Transduction
Pada fase transduksi, stimulus atau rangsangan yang membahayakan
(misalnya, bahan kimia, suhu, listrik atau mekanis) memicu pelepasan
mediator biokimia (misal, prostaglandin, bradikini, histamin, substansi P)
yang mensensitisasinosiseptor (Mubarak dan Chayatin , 2012).
d. Transmission
Fase transmisi nyeri sendiri terdiri atas tiga bagian. Pada bagian
pertama, nyeri merambat dari serabut saraf perifer ke medula spinalis. Dua
jenis nosiseptor yang terlibat dalam proses tersebut adalah serabut C yang
mentransmisikan nyeri tumpul dan menyakitkan, serta serabut A-Delta
yang mentransmisikan nyeri tajam dan terlokalisasi. Bagian kedua adalah
transmisi nyeri dari medula spinalis menuju batang otak dan talamus
melalui jaras spinotalamikus (STt), merupakan suatu sistem diskriminatif
yang membawa informasi mengenai sifat dan lokasi stimulus ke talamus.
Selanjutnya, pada bagian ketiga, sinyal tersebut diteruskan ke korteks
sensorik somatik tempat nyeri dipersepsikan. Impuls yang ditransmisikan
melalui STt mengaktifkan respon otonomi dan limbik (Mubarak dan
Chayatin , 2012).
e. Perception
Jawaban : Pada fase ini, individu mulai menyadari adaya nyeri.
Tampaknya persepsi nyeri tersebut terjadi di struktur korteks sehingga
memungkinkan munculnya berbagai strategi perilaku-kognitif untuk
mengurangi komponen sensorik dan afektif nyeri (Mubarak dan Chayatin ,
2012).
f. Modulation
Jawaban : Fase ini disebut juga “sistem desenden”. Pada fase ini, neuron di
batang otak mengirimkan sinyal-sinyal kembali ke medula spinalis.
Serabut desenden tersebut melepaskan substansi seperti opioid, serotonin,
dan norepinefrin yang akan menghambat impuls asenden yang
membahayakan di bagian dorsal medula spinalis (Mubarak dan Chayatin ,
2012).

2. Menjelaskan tipe-tipe nyeri


Jawaban :
Secara umum nyeri dapat dibedakan menjadi 2 kategori yaitu nyeri akut dan
kronik, dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Nyeri Akut
Nyeri Akut merupakan nyeri yang berlangsung dari beberapa detik
hingga kurang dari 6 bulan biasanya dengan awitan tiba-tiba dan umumnya
berkaitan dengan cidera fisik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa
kerusakan atau cidera telah terjadi. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan
tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan
terjadinya penyembuhan. Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari enam
bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Salah satu nyeri akut yang
terjadi adalah nyeri pasca pembedahan (Meliala & Suryamiharja, 2007).
b. Nyeri Kronik
Nyeri kronik merupakan nyeri konstan atau intermitern yang
menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar
waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitakan
dengan penyebab atau cidera fisik. Nyeri kronis dapat tidak memiliki
awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena
biasanya nyeri ini sering tidak memberikan respon terhadap pengobatan
yang diarahkan pada penyebabnya (Strong J, Unruh AM, 2001). Nyeri
kronik ini juga sering di definisikan sebagai nyeri yang berlangsung
selama enam bulan atau lebih, meskipun enam bulan merupakan
merupakan suatu periode yang dapat berubah untuk membedakan nyeri
akut dan nyeri kronis (Potter et al., 2013).
Berdasarkan Andarmoyo (2013) nyeri dapat dibedakan berdasarkan
lokasinya yaitu sebagai berikut:
a. Nyeri Perifer
Nyeri ini ada tiga macam, yaitu :
1. Nyeri superfisial, yaitu nyeri yang muncul akibat rangsangan pada
kulit dan mukosa.
2. Nyeri viseral, yaitu rasa nyeri yang muncul akibat stimulasi dari
reseptor nyeri di rongga abdomen, cranium dan toraks.
3. Nyeri alih, yaitu nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang jauh
dari penyebab nyeri.
b. Nyeri Sentral
Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis, batang otak dan
thalamus.
c. Nyeri Psikogenik
Nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya. Dengan kata lain nyeri ini
timbul akibat pikiran si penderita itu sendiri.

3. Menjelaskan perbedaan nyeri akut dan kronis


a. Nyeri akut
Nyeri akut adalah suatu nyeri yang bersifat terlokalisir dan biasanya terjadi
secara tibatiba. Umumnya berkaitan dengan cedera fisik. Nyeri terasa
tajam seperti ditusuk,disayat, dicubit, dan pola serangan jelas. Nyeri ini
merupakan peringatan adanya potensial kerusakan jaringan yang
membutuhkan reaksi tubuh yang diperintah oleh otak dan merupakan
respon syaraf simaptis. Nyeri akut berdurasi singkat (kurang lebih 6 bulan)
dan akan menghilang tanpa pengobatan setelah area yang nusuk pulih
kembali (Prasetyo, 2010).
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
suatu periode waktu. Nyeri ini berlansung di luar waktu penyembuhan
yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau
cedera spesifik nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan (onset) yang
ditetapkan dengan tetap dan sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini
tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya. Meski nyeri akut dapat menjadi sinyal yang sangat penting
bahwa sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya, nyeri kronis biasanya
menjadi maasalah dengan sendirinya. Nyeri akut dapat dibagi menjadi 2
macam yaitu (Muttaqin, 2011).
4. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspresi nyeri
Jawaban :
Persepsi individu terhadap nyeri di pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
(Mubarak et al., 2015) :
a. Etnik dan nilai budaya
Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah suatu
yang alamiah. Kebudayaan lain cenderung untuk melatih perilaku yang
tertutup (introvert). Sosialisasi budaya menentukan perilaku psikologis
seseorang. Dengan demikian hal ini dapat memengaruhi pengeluaran fisiologis
opial endogen sehingga terjadilah persepsi nyeri. Latar belakang etnik dan
budaya merupakan faktor yang memengaruhi reaksi terhadap nyeri dan
ekspresinyeri. Sebagai contoh, individu dari budaya tertentu cenderung
ekspresif dalam mengungkapkan nyeri, sedangkan individu dari budaya lain
cenderung lebh memilih menahan perasaan mereka dan tidak ingin merepotkan
orang lain.
b. Tahap Perkembangan
Usia dan tahap perkembangan seseorang merupakan variable penting yang
akan memengaruhi reaksi dan ekspresi terhadap nyeri . Dalam hal ini anak-
anak cenderung kurang mampu mengungkapkan nyeri yang mereka rasakan
dibandingkan orang dewasa, dan kondisi ini dapat menghambat penanganan
nyeri untuk mereka. Disisi lain, prevalensi nyeri pada individu lansia lebih
tinggi karena penyaki akut atau kronis dan degenerative yang diderita.
Walaupun ambang batas nyeri tidak berubah karena penuaan, efek analgesic
yang diberikan menurun karena perubahan fisiologis yang terjadi.
c. Lingkungan dan individu pendukung
Lingkungan yang asing, tingkat kebisingan yang tinggi, pencahayaan dan
aktivitas yang tinggi di lingkungan tersebut dapat memperberat nyeri. Selain
itu, dukungan dari keluarga dan orang terdekat menjadi salah faktor penting
yang memengaruhi persepsi nyeri individu. Sebagai contoh, individu yang
sendirian, tanpa keluarga atau teman-teman yang mendukungnya, cenderung
merasakan nyeri yang lebih berat dibandingkan mereka yang dapat dukungan
keluarga dan orang-orang terdekat.
d. Pengalaman nyeri sebelumnya
Pengalaman masa lalu juga berpengaruh terhadap persepsi nyeri individu
dan kepekaannya terhadap nyeri. Individu yang pernah mengalami nyeri atau
menyaksikan penderitaan orang terdekatnya saat mengalami nyeri cenderung
merasa terancam dengan peristiwa nyeri yang akan terjadi dibandingkan
individu lain yang belum pernah mengalaminya. Selain itu, keberhasilan atau
kegagalan metode penanganan nyeri sebelumnya juga berpengaruh terhadap
harapan individu yang terhadap penangan nyeri saat ini.
e. Ansietas dan stress
Ansietas seringkali enyertai peristiwa nyeri yang terjadi. Ancaan yang
tidak jelas asalnya dan ketidakmampuan mengontrol nyeri atau peristiwa di
sekelilingnya dapat memperberat persepsi nyeri. Sebaliknya, individu yang
percaya bahwa mereka mampu mengontrol nyeri yang mereka rasakan akan
mengalami peurunan rasa takut dan kecemasan yang akan menurunkan
persepsi nyeri mereka.
f. Jenis kelamin
Beberapa kebudayaan yang memengaruhi jenis kelamin misalnya
menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh
menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang
sama. Namun secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna
dalam berespon terhadap nyeri.
g. Makna Nyeri
Individu akan mempersepsikan nyeri berbeda-beda apabila nyeri tersebut
memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan. Makna
nyeri memengaruhi pengalaman nyeri dan secara seseorang beradaptasi
terhadap nyeri.
h. Perhatian
Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mmengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan
nyeri yang meningkat sedangkan upaya pengalihan ( distraksi ) dihubungkan
dengan respon nyeri yang menurun.
i. Keletihan
Rasa kelelahan menyebabkan sensai nyeri semakin intensif dan
menurunkan kemampuan koping sehingga meningkatkan persepsi nyeri.
j. Gaya koping
Individu yang memiliki lokasi kendali internal mempersiapkan diri mereka
sebagai individu yang dapat mengendalikan linkungan mereka dan hasil akhir
suatu peristiwa nyeri. Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali
eksternal mempersepsikan faktor lain didalam lingkungan mereka seperti
perawat sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap hasil akhir dari
suatu peristiwa.
k. Dukungan keluarga dan sosial
Kehadiran orang-orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka
terhadap pasien mempengaruhi respon nyeri memerlukan dukungan, bantuan,
dan perlindungan walaupun nyeri tetap dirasakan, kehadiran orang yang
dicintai akan meminimalkan kesepian dan ketakutan.

5. Menjelaskan pengkajian nyeri meliputi a) history and physical assessment; b)


functional assessment; c) psychosocial assessment; and d) multidimensional
assessment.
Jawaban :
a. History and physical assessment & Psychosocial assessment
Nyeri memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan pasien. Oleh
karena itu, pengkajian nyeri harus merupakan proses yang komprehensif
yang tidak hanya melihat proses biologis nyeri, namun juga mengevaluasi
hubungan timbal balik antara kondisi fungsional dan psikososial pasien
dengan fenomena nyeri yang dialaminya. Proses pengkajian nyeri kronik
merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Pada dasarnya
pengkajian nyeri adalah suatu proses “dialog” antara pasien dan tenaga
kesehatan tentang tiga hal: deskripsi nyeri dan intensitasnya, respons
pasien terhadap nyeri, serta dampak nyeri terhadap kehidupan pasien.
Proses dialog ini merupakan titik awal diskusi rencana penatalaksanaan
yang disepakati oleh perawat dan pasien, serta didukung secara kolaboratif
dalam tim interprofesional. Seperti halnya prosedur diagnosis yang lain,
proses pengkajian nyeri ini mencakup tiga tahapan, yaitu anamnesis,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis nyeri mencakup beberapa komponen penting, misalnya
informasi tentang lokasi, onset, kualitas nyeri, serta faktor yang
mengurangi dan menambah nyeri. Informasi tentang penatalaksanaan yang
telah dilakukan, termasuk efektifitas dan efek sampingnya, serta perubahan
gejala dari waktu ke waktu juga perlu dicari. Informasi tentang bagaimana
nyeri tersebut mempengaruhi kondisi psikologis pasien, dan pada akhirnya
mempengaruhi kualitas hidup pasien, juga perlu diperoleh.

Untuk membantu mengingat hal-hal yang perlu dieksplorasi dalam


pengkajian nyeri, dapat digunakan mnemonic “PQRST”. P adalah
Provokes and Palliates, Q adalah Quality, R adalah Region and Radiation,
S adalah Severity, dan T adalah Time. Walaupuan memiliki elemen-
elemen untuk menggali aspek fungsional dan psikososial nyeri, fokus
mnemonic PQRST adalah aspek biomedis. Oleh karena itu, untuk menilai
kondisi fungsional dan psikososial penderita, kita dapat menambahkan
mnemonic ACT-UP. A adalah Activity, C adalah Coping, T adalah Think,
U adalah Upset, dan P adalah People. Mnemonic ACT-UP dikembangkan
sebagai alat bantu penapisan kondisi fungsional dan psikososial. Jadi
ACT-UP tidak menggantikan penggunaan instrumen pengkajian nyeri lain
yang lebih terperinci atau konsultasi dengan profesi lain seperti psikolog.

Sumber: diolah kembali dari Kopf A dan Patel NB. Guide to Pain
Management in Low-resource Setting; 2010
Sumber: diolah kembali dari Dansie EJ and Turk DC. Assessment of
patient with chronic pain. Br J Anaesth. 2013; 111: 19-25
Dituntun oleh hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dilakukan terhadap
sistem tubuh tertentu untuk melihat asal dan dampak nyeri terhadap fungsi
tubuh. Pemeriksaan ini membutuhkan pengetahuan tentang beragam
diagnosis banding penyakit, pengetahuan anatomi dan fisiologi. Skala
nyeri dapat memberikan informasi yang bermanfaat secara klinis namun
pada pasien-pasien dengan kondisi tertentu skala nyeri sulit digunakan.
Sebagai contoh, anak kecil, individu dengan gangguan kognitif atau
komunikasi seperti pasien dengan ventilator atau pasien dengan dementia
akan kesulitan melakukan penilaian nyeri yang sahih. Untuk mendapatkan
informasi yang lebih lengkap, dibutuhkan cara mengevaluasi nyeri yang
didasarkan pada perubahan fisiologi dan tidak membutuhkan komunikasi.
Penilaian fisiologis pada dasarnya dilakukan terhadap respons motoris,
sensoris dan autonom tubuh terhadap nyeri. Ekspresi wajah, gerakan, laju
nadi, laju pernafasan atau tekanan darah dapat memberikan informasi
tentang intensitas nyeri.
b. Functional assessment
Uni-dimensional: - Hanya mengukur intensitas nyeri - Cocok (appropriate)
untuk nyeri akut - Skala yang biasa digunakan untuk evaluasi outcome
pemberian analgetik - Skala assessment nyeri uni-dimensional ini
meliputi4 :

1. Visual Analog Scale (VAS)

Visual analog scale (VAS) adalah cara yang paling banyak


digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan
secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang
pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan
atau tanpa tanda pada tiap sentimeter (Gambar 1). Tanda pada kedua
ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan deskriptif. Ujung
yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang lain
mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat
vertikal atau horizontal. VAS juga dapat diadaptasi menjadi skala
hilangnya/reda rasa nyeri. Digunakan pada pasien anak >8 tahun dan
dewasa. Manfaat utama VAS adalah penggunaannya sangat mudah
dan sederhana. Namun, untuk periode pasca bedah, VAS tidak banyak
bermanfaat karena VAS memerlukan koordinasi visual dan motorik
serta kemampuan konsentrasi.

No Worst
Pain Possible
Pain
Gambar 1. Visual Analog Scale (VAS)

2. Verbal Rating Scale (VRS)

Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 untuk

menggambarkan tingkat nyeri. Dua ujung ekstrem juga digunakan pada

skala ini, sama seperti pada VAS atau skala reda nyeri (Gambar 2).

Skala numerik verbal ini lebih bermanfaat pada periode pascabedah,

karena secara alami verbal / kata-kata tidak terlalu mengandalkan

koordinasi visual dan motorik. Skala verbal menggunakan kata - kata dan

bukan garis atau angka untuk menggambarkan tingkat nyeri. Skala yang

digunakan dapat berupa tidak ada nyeri, sedang, parah. Hilang/redanya

nyeri dapat dinyatakan sebagai sama sekali tidak hilang, sedikit

berkurang, cukup berkurang, baik/ nyeri hilang sama sekali. Karena skala

ini membatasi pilihan kata pasien, skala ini tidak dapat membedakan

berbagai tipe nyeri.

Gambar 2. Verbal Rating Scale (VRS)

3. Numeric Rating Scale (NRS)

Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif terhadap

dosis, jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik daripada VAS
terutama untuk menilai nyeri akut. Namun, kekurangannya adalah

keterbatasan pilihan kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak

memungkinkan untuk membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan

dianggap terdapat jarak yang sama antar kata yang menggambarkan efek

analgesik.

Gambar 3. Numeric Rating Scale (NRS)

4. Wong Baker Pain Rating Scale

Digunakan pada pasien dewasa dan anak >3 tahun yang tidak

dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka

Gambar 4. Wong Baker Pain Rating Scale

c. Multidimensional
Mengukur intensitas dan afektif (unpleasantness) nyeri, Diaplikasikan
untuk nyeri kronis, Dapat dipakai untuk penilaian klinis Skala
multidimensional ini meliputi:
a. McGill Pain Questionnaire (MPQ) (lampiran 1)

Terdiri dari empat bagian:

1) gambar nyeri

2) indeks nyeri (PRI)

3) pertanyaan pertanyaan mengenai nyeri terdahulu dan

lokasinya
4) indeks intensitas nyeri yang dialami saat ini. Terdiri dari 78 kata

sifat/ajektif, yang dibagi ke dalam 20 kelompok. Setiap set

mengandung sekitar 6 kata yang menggambarkan kualitas nyeri

yang makin meningkat. Kelompok 1 sampai 10 menggambarkan

kualitas sensorik nyeri (misalnya, waktu/temporal, lokasi/spatial,

suhu/thermal). Kelompok 11 sampai 15 menggambarkan kualitas

efektif nyeri (misalnya stres, takut, sifat-sifat otonom).

Kelompok 16 menggambarkan dimensi evaluasi dan kelompok 17

sampai 20 untuk keterangan lain-lain dan mencakup kata-kata

spesifi k untuk kondisi tertentu. Penilaian menggunakan angka

diberikan untuk setiap kata sifat dan kemudian dengan

menjumlahkan semua angka berdasarkan pilihan kata pasien

maka akan diperoleh angka total.

b. The Brief Pain Inventory (BPI) (lampiran 2)

Adalah kuesioner medis yang digunakan untuk menilai nyeri.

Awalnya digunakan untuk mengassess nyeri kanker, namun sudah

divalidasi juga untuk assessment nyeri kronik.

c. Memorial Pain Assessment Card

Merupakan instrumen yang cukup valid untuk evaluasi efektivitas

dan pengobatan nyeri kronis secara subjektif. Terdiri atas 4 komponen

penilaian tentang nyeri meliputi intensitas nyeri, deskripsi nyeri,

pengurangan nyeri dan mood. (Gambar 5)


Gambar 5. Memorial Pain Assessment Card

d. Catatan harian nyeri (Pain diary)

Adalah catatan tertulis atau lisan mengenai pengalaman pasien

dan perilakunya. Jenis laporan ini sangat membantu untuk memantau

variasi status penyakit sehari- hari dan respons pasien terhadap terapi.

Pasien mencatat intensitas nyerinya dan kaitan dengan perilakunya,

misalnya aktivitas harian, tidur, aktivitas seksual, kapan menggunakan

obat, makan, merawat rumah dan aktivitas rekreasi lainnya. Penilaian

nyeri pada pasien anak

Daftar Lampiran

Lampiran 1. McGill Pain Questionnaire (MPQ)


Nama Pasien : Tanggal :
Rasa Tidak Ada Ringan Sedang Berat
Cekat-cekot 0) 1) 2) 3)
Menyentak 0) 1) 2) 3)
Menikam (seperti pisau) 0) 1) 2) 3)
Tajam (seperti silet) 0) 1) 2) 3)
Keram 0) 1) 2) 3)
Menggigit 0) 1) 2) 3)
Terbakar 0) 1) 2) 3)
Ngilu 0) 1) 2) 3)
Berat/Pegal 0) 1) 2) 3)
Nyeri Sentuh 0) 1) 2) 3)
Mencabik-cabik 0) 1) 2) 3)
Melelahkan 0) 1) 2) 3)
Memualkan 0) 1) 2) 3)
Menghukum-kejam 0) 1) 2) 3)

Lampiran 2. Brief Pain Inventory (short form)

Brief Pain Inventory (Short Form)


Study ID# Hospital#
Do not write above this line
Date: Time:
Name:
Last First Middle Initial
1) Throughout our lives, most of us have had pain from time to time (such as
minor headaches, sprains, and toothaches). Have you had pain other than these
everyday kinds of pain today?
1. Yes 2. No
2) On the diagram, shade in the areas where you feel pain. Put an X on the area
that hurts the most.

3) Please rate your pain by circling the one number that best describes your
pain at its WORST in the past 24 hours.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
No pain Pain as bad as
you can imagine
4) Please rate your pain by circling the one number that best describes your
pain at its LEAST in the past 24 hours.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
No pain Pain as bad as
you can imagine
5) Please rate your pain by circling the one number that best describes your
pain on the AVERAGE.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
No pain Pain as bad as
you can imagine

6) Please rate your pain by circling the one number that tells how much pain you
have RIGHT NOW.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
No pain Pain as bad as
you can imagine
7) What treatments or medications are you receiving for your pain?

8) In the past 24 hours, how much relief have pain treatments or medications
provided? Please circle the one percentage
that most shows how much RELIEF you have received.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
No Complete
relief relief

9) Circle the one number that describes how, during the past 24 hours, pain has
interfered with your:
A. General activity:

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Does not Completely
interfere interferes

B. Mood:

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Does not Completely
interfere interferes

C. Walking ability:

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Does not Completely
interfere interferes
D. Normal work (includes both work outside the home and housework):

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Does not Completely
interfere interferes

E. Relations with other people:

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Does not Completely
interfere interfer
F. Sleep:

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Does not Completely
interfere interferes

G. Enjoyment of life:

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Does not Completely
interfere interferes

Lampiran 3. NIPS (Neonatal Infant Pain Scale)

Assessment nyeri
Ekspresi wajah Wajah tenang, ekspresi netral
0 – Otot relaks Otot wajah tegang, alis berkerut (ekspresi wajah negatif)
1 – Meringis
Tangisan Tenang, tidak menangis
0 – Tidak menangis Mengerang lemah intermiten
1 – Merengek Menangis kencang, melengking terus menerus
2 – Menangis keras (catatan: menangis tanpa suara diberi skor bila bayi
diintubasi)
Pola napas Bernapas biasa
0 – Relaks Terikan ireguler, lebih cepat disbanding biasa, menahan
1 – Perubahan nafas napas, tersedak
Tungkai Tidak ada kekakuan otot, gerakan tungkai biasa
0 – Relaks Tegang kaku
1 – Fleksi / Ekstensi
Tingkat kesadaran Tenang tidur lelap atau bangun
0 – Tidur / bangun Sadar atau gelisah
1 - Gelisah

Interpretasi:
Skor 0 tidak perlu intervensi
Skor 1-3 intervensi non-farmakologis
Skor 4- 5 terapi analgetik non-opioid
Skor 6-7 terapi opioid

Lampiran 4. FLACC Behavioral Tool (Face, Legs, Activity, Cry and


Consolability)
Indikasi: anak usia <3tahun atau anak dengan gangguan kognitif atau pasien anak
yang tidak dapat di nilai dengan skala lain.
0 1 2
Face = wajah Tidak ada Menyeringai, Menyeringai lebih
perubahan berkerut, menarik sering, tangan
ekspresi (senyum) diri, tidak tertarik mengepal,
menggigil,
gemetar
Legs = tungkai Posisi normal atau Tidak nyaman, Mengejang/
relaksasi gelisah, tegang tungkai dinaikkan
ke atas
Activity= aktivitas Posisi nyaman dan Menggeliat, Posisi badan
normal, gerakan tegang, badan melengkung, kaku
ringan bolak balik, atau menghentak
bergerak tiba tiba, tegang,
pelan, terjaga dari menggesekkan
tidur badan
Cry = tangisan Tidak Mengerang, Menangis keras
menangis/merintih merengek, menjerit,
(posisi terjaga atau kadangkala mengerang,
tertidur menangis, terisak,
pulas) rewel menangis rewel
setiap saat
Consolability Tenang, relaks, Minta dipeluk, Tidak nyaman dan
ingin bermain rewel tidak ada kontak
mata
Interpretasi:
Skor total dari lima parameter di atas menentukan tingkat keparahan nyeri dengan
skala 0-10. Nilai 10 menunjukan tingkat nyeri yang hebat.
6. Menjelaskan skala umum pengkajian nyeri: The numeric scale, The Wong-Baker
scale (also known as the FACES scale), The FLACC scale,
Jawaban :
a. Skala Penilaian Numerik (NRS)
Skala penilaian numerik atau numeric rating scale (NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Klien menilai nyeri
dengan menggunakan skala 0-10 (Meliala & Suryamiharja, 2007).
Perawat dapat menanyakan kepada klien tentang nilai nyerinya dengan
menggunakan skala 0 sampai 10 atau skala yang serupa lainnya yang
membantu menerangkan bagaimana intensitas nyerinya. Nyeri yang
ditanyakan pada skala tersebut adalah sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi nyeri untuk mengevaluasi keefektifannya (Mc Kinney et al,
2000). Jika klien mengerti dalam penggunaan skala dan dapat
menjawabnya serta gambaran-gambaran yang diungkapkan atau
ditunjukkan tersebut diseleksi dengan hati-hati, setiap instrumen tersebut
dapat menjadi valid dan dapat dipercaya (Potter et al., 2013). Skala
penilaian numerik atau numeric rating scale (NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Skala penialaian numerik lebih
sering digunakan sebagai pengganti alat deskripsi nyeri. Klien menilai
nyeri degan menggunakan skala 0-10 (Taylor, 2011). Skala ini paling
efektif digunakan untuk mengukur intensitas nyeri sebelum dan sesudah
diberikan intervensi terapeutik (Potter et al., 2013).
b. Skala Wajah dan Barker
Skala nyeri enam wajah dengan eskpresi yang berbeda,
menampilkan wajah bahagia hingga wajah sedih. Digunakan untuk
mengekspresikan rasa nyeri pada anak mulai usia 3 (tiga) tahun (Potter &
Perry, 2005 dalam Handayani, 2015).

Gambar 2.4 Skala Wajah dan Barker


Sumber :(Potter& Perry, 2005 dalam Handayani, 2015)
c. Faces Pain Scale-Revised (FPS-
R)
Faces Pain Scale-Revised (FPS-R) adalah versi terbaru dari FPS,

FPS-R menampilkan gambar enam wajah bergaris yang disajikan dalam


orientasi horizontal. Pasien diinstruksikan untuk menunjuk ke wajah yang

paling mencerminkan intensitas nyeri yang mereka rasakan. Ekspresi wajah

menunjukkan lebih nyeri jika skala digeser ke kanan,dan wajah yang

berada di ujung sebelah kanan adalah nyeri hebat. Untuk anak sekolah

berusia 4 - 12 tahun, skala pengukuran nyeri paling valid dan mampu

mengukur nyeri akut dimana pengertian terhadap kata atau angka tidak

diperlukan. Kriteria nyeri diwakilkan dalam enam sketsa wajah (dari

angka tujuh / FPS sebenarnya) yang mewakili angka 0 - 5 atau 0 -10. Anak

- anak memilih satu dari enam sketsa muka yang memilih mencerminkan

yang mereka rasakan. Skor tersebut nyeri menjadi nyeri ringan (0 - 3),

nyeri sedang (4- 6) dan nyeri berat (7- 10) (Balga et al., 2013).

d. FLACC ( face, actifity, legs, cry, consolability)


Pada anak-anak dilakukan pengukuran skala nyeri dengan penilaian nyeri
FLACC (face, actifity, legs, cry, consolability). Skala FLACC di gunakan
untuk pengkajian rasa nyeri anak saat anak belum mampu menjelaskan
rasa nyeri yang di alaminya, hal ini memudahkan dalam menilai skala
nyeri. Alat ini mampu mengukur lima parameter seperti aktifitas, ekspresi
wajah, tungkai, menangis dan kemampuan hiburan anak. Semakin tinggi
angka maka menunjukan semakin tinggi rasa nyeri (S. C. T. Kyle, 2015).
7. Menjelaskan prinsip-prinsip pengelolaan nyeri (A,B,C,D,E)
Jawaban :
Prinsip pengelolaan nyeri antara lain mengkaji nyeri itu sendiri baik menggunakan
pengkajian (PQRST) atau menggunakan (ACTUP) sehingga dapat mengevaluasi
nyeri yang dirasakan. Kemudian berikan intervensi keperawatan sesuai dengan
kondisi pasien baik dengan terapi farmakologi maupun terapi nonfarmakologi.

8. Menjelaskan pengelolaan nyeri; Pharmacologic (termasuk WHO Analgesic Ladder)


dan non- pharmacologic
Jawaban :
a. Pharmacologic (termasuk WHO Analgesic Ladder)
1. Analgesik narkotik
Opiote merupakan obat yang paling umum digunakan untuk
mengatasi nyeri pada klien, untuk nyeri sedang hingga nyeri berat.
2. Analgesik local
Analgesik lokal bekerja dengan memblokade konduksi saraf saat
diberikan langsut ke serabut saraf.
3. Analgesik yang dikontrol klien
Sistem analgesik yang dikontrol klien terdiri dari infus yang diisi
narkotik menurut resep, dipasang dengan pengatur pada lubang
injeksi intravena. Penggunakan narkotik yang dikendalikan klien
dipakai pada klien dengan nyeri pascabedah , nyeri kanker, krisis sel.
4. Obat-obat Nonsteroid (NSAIDs)
Obat-obat yang termaksud dalam kelompok ini menghambat agresasi
platelet, kontraindikasi meliputi klien dengan gangguan koagulasi
atau klien dengan terapi antikoagulan. Contohnya : Ibuprofen,
Naprosen, Indometasin, Tolmetin, pirocixam, serta keterolac
(toradol). Selain itu terdapat pula golongan NSAIDs yang lain seperti
asam mefenamat, meclofenomate, serta phenlybutazone, dll.
b. Intervensi Keperawatan Mandiri (Non farmakologi)
Intervensi keperawatan mandiri menurut (Bangun & Nur’aeni, 2013)
merupakan tindakan pereda nyeri yang dapat dilakukan perawat secara
mandiri tanpa tergantung pada petugas medis lain dimana dalam
pelaksanaanya perawat dengan pertimbangan dan keputusannya sendiri.
Banyak pasien dan anggota tim kesehatan cenderung untuk memandang obat
sebagai satu-satunya metode untuk menghilangkan nyeri. Namun banyak
aktifitas keperawatan nonfarmakologi yang dapat membantu menghilangkan
nyeri, metode pereda nyeri nonfarmakologi memiliki resiko yang sangat
rendah. Meskipun tidakan tersebut bukan merupakan pengganti obat-obatan
(Potter et al., 2013).
1. Masase dan Stimulasi Kutaneus
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum.
Sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase dapat
membuat pasien lebih nyaman (Potter et al., 2013). Sedangkan
stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan
selama 3-10 menit untuk menghilangkan nyeri, bekerja dengan
cara melepaskan endofrin, sehingga memblok transmisi
stimulus nyeri (Potter et al., 2013).
2. Efflurage Massage
Effleurage adalah bentuk masase dengan menggunakan
telapak tangan yang memberi tekanan lembut ke atas
permukaan tubuh dengan arah sirkular secara berulang
(Parulian et al., 2013). Langkahlangkah melakukan teknik ini
adalah kedua telapak tangan melakukan usapan ringan, tegas
dan konstan dengan pola gerakan melingkari abdomen, dimulai
dari abdomen bagian bawah di atas simphisis pubis, arahkan ke
samping perut, terus ke fundus uteri kemudian turun ke
umbilicus dan kembali ke perut bagian bawah diatas simphisis
pubis, bentuk pola gerakannya seperti “kupu-kupu”. Masase ini
dilakukan selama 3–5 menit dan berikan lotion atau
minyak/baby oil tambahan jika dibutuhkan (Kozier et al.,
2018).
3. Distraksi
Distraksi yang memfokuskan perhatian pasien pada
sesuatu selain pada nyeri dapat menjadi strategi yang sangat
berhasil dan mungkin merupakan mekanisme terhadap teknik
kognitif efektif lainnya. Distraksi diduga dapat menurunkan
persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden,
yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang
ditransmisikan ke otak (Potter et al., 2013).
4. Terapi Musik
Terapi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik
dan mental dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi,
ritme, harmoni, bentuk dan gaya yang diorganisir sedemikian
rupa hingga tercipta musik yang bermanfaat untuk kesehatan
fisik dan mental (Eka, 2011). Perawat dapat menggunakan
musik dengan kreatif di berbagai situasi klinik, pasien
umumnya lebih menyukai melakukan suatu kegiatan
memainkan alat musik, menyanyikan lagu atau mendengarkan
musik. Musik yang sejak awal sesuai dengan suasana hati
individu, merupakan pilihan yang paling baik (Karendehi et al.,
2015).
5. GIM (Guided Imagery Music)
GIM (Guided Imagery Music) merupakan intervensi
yang digunakan untuk mengurangi nyeri. GIM
mengombinasikan intervensi bimbingan imajinasi dan terapi
musik. GIM dilakukan dengan memfokuskan imajinasi pasien.
Musik digunakan untuk memperkuat relaksasi. Keadaan
relaksasi membuat tubuh lebih berespons terhadap bayangan
dan sugesti yang diberikan sehingga pasien tidak berfokus pada
nyeri (Suarilah, 2014).
6. Hidroterapi Rendam Kaki Air Hangat
Salah satu terapi nonfarmakologi adalah hidroterapi
rendam kaki air hangat. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Widiastuti pada tahun 2015 tentang pengaruh hidroterapi
rendam kaki air hangat terhadap 17 pasien post operasi di RS
Islam Sultan Agung Semarang terdapat penurunan intensitas
nyeri dari sebelum diberikan 4,06 dan setelah diberikan
intensitas nyeri menjadi 2,71 dan terdapat pengaruh hodroterapi
rendam kaki air hangat terhadap penurunan nyeri pasien post
operasi dengan nilai p value 0,003 (p value <0,05).
7. Teknik Relaksasi Nafas
Dalam Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu
bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat
mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas
dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan
bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan, selain dapat
menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi bernafas dalam
juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan
oksigenasi darah. Teknik relaksasi nafas dalam dapat
mengendalikan nyeri dengan meminimalkan aktivitas simpatik
dalam system saraf otonom (Fitriani, 2013). Pasien dapat
memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan
nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan
menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi
(hirup) dan ekhalasi (hembus) (Potter et al., 2013).
8. Imajinasi Terbimbing (Guided Imagery)
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi
seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk
mencapai efek positif tertentu. Sebagai contoh, imajinasi
terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri
atas penggabungan nafas berirama lambat dengan suatu
bayangan mental relaksasi dan kenyamanan (Potter et al.,
2013).
9. Aromaterapi
Aromaterapi merupakan penggunaan ekstrak minyak
esensial tumbuhan yang digunakan untuk memperbaiki mood
dan kesehatan (Primadiati, 2012). Mekanisme kerja perawatan
aromaterapi dalam tubuh manusia berlangsung melalui dua
sistem fisiologis, yaitu sirkulasi tubuh dan sistem penciuman.
Wewangian dapat mempengaruhi kondisi psikis, daya ingat,
dan emosi seseorang. Beberapa jenis aromaterapi yang
digunakan dalam menurunkan intensitas nyeri adalah
aromaterapi lemon dan aromaterpi lavender. Aromaterapi
lemon merupakan jenis aroma terapi yang dapat digunakan
untuk mengatasi nyeri dan cemas. Zat yang terkandung dalam
lemon salah satunya adalah linalool yang berguna untuk
menstabilkan sistem saraf sehingga dapat menimbulkan efek
tenang bagi siapapun yang menghirupnya (Purwandari, 2009)
10. Kompres Dingin
Metode sederhana yang dapat di gunakan untuk
mengurangi nyeri yang secara alamiah yaitu dengan
memberikan kompres dingin pada area nyeri, ini merupakan
alternatif pilihan yang alamiah dan sederhana yang dengan
cepat mengurangi rasa nyeri selain dengan memakai obat-
obatan. Terapi dingin menimbulkan efek analgetik dengan
memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri
yang mencapai otak lebih sedikit (Rahmawati, 2013).
11. Kompres Hangat
Kompres hangat adalah suatu metode dalam
penggunaan suhu hangat yang dapat menimbulkan efek
fisiologis (Anugraheni & Wahyuningsih, 2013). Kompres
hangat dapat digunakan pada pengobatan nyeri dan
merelaksasikan otot-otot yang tegang (Price & Wilson, 2005).
Kompres hangat dilakukan dengan mempergunakan buli-buli
panas atau kantong air panas secara konduksi dimana terjadi
pemindahan panas dari buli-buli ke dalam tubuh sehingga akan
menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan akan terjadi
penurunan ketegangan otot sehingga nyeri yang dirasakan akan
berkurang atau hilang (Potter et al., 2013).
12. Tehnik Akupresur
Akupresur disebut juga akupunktur tanpa jarum, atau
pijat akupunktur. Teknik ini menggunakan tenik penekanan,
pemijatan, dan pengurutan sepanjang meridian tubuh atau garis
aliran energi. Teknik akupresur ini dapat menurunkan nyeri.
Sedangkan teknik akupresur titik pada tangan yaitu dilakukan
pada titik yang terletak sepanjang lipatan tangan ketika jari-jari
menyatu pada telapak tangan. Titik ini membantu pelepasan
endorphin ke dalam tubuh sehingga sangat membantu untuk
menurunkan nyeri saat kontraksi(Suroso & Mulati, 2013).

9. Jelaskan definisi dan etiologi dan patofisiologi kasus pemicu!


Jawaban :
a. Definisi
Berdasarkan analisis penulis mengenai kasus pemicu, penulis dapat
menyimpulkan bahwa vertigo merupakan suatu kondisi yang dialami oleh
individu seperti adanya rasa sakit pada salah satu bagian kepala, tidak fokus
dalam melihat lingkungan sekitarnya seakan-akan lingkungan disekitarnya
berputar-putar yang dapat menimbulkan rasa pusing, adanya perasaan mual dan
muntah yang disebabkan karena adanya beberapa faktor, salah satunya yaitu
adanya benturan di bagian kepala yang menyebabkan gangguan pada salah satu
persarafan di otak.
Menurut yayan A. Israr (2016) Vertigo adalah perasaan seolah-olah penderita
bergerak atau berputar, atau seolah-olah benda di sekitar penderita bergerak atau
berputar, yang biasanya disertai dengan mual dan kehilangan keseimbangan
vertigo bisa berlangsung hanya beberapa saat atau bisa berlanjut sampai beberapa
jam bahkan hart. Penderita kadang merasa lebih baik jika berbaring diam, tetapi
vertigo bisa terus berlanjut meskipun penderita tidak bergerak sama sekali.
b. Etiologi
Berdasarkan kasus pemicu, penyebab dari terjadinya vertigo pada Ibu B yaitu
karena ibu B pernah mengalami jatuh di kamar mandi dan bagian kepala dari ibu
B terkena tembok yang mana ketika pada bagian area kepala terkena benturan
maka akan besar kemungkinan untuk terjadinya gangguan bagian otak yaitu pada
saraf kranial VIII (saraf vestibulokoklear). Saraf kranial ini berfungsi indra
pendengaran, keseimbangan tubuh, dan postur tubuh. Sehingga ketika saraf
kranial ini terganggu maka akan menyebabkan terjadinya vertigo.
Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang
menghubungkan antara telinga dengan otak dan di dalam otak sendiri. Vertigo
juga berhubungan dengan kelainan lainnya, selain kelainan pada telinga, saraf
yang menghubungkan telinga dalam dengan otak, serta di otak, misalnya kelainan
penglihatan atau perubahan tekanan darah yang terjadi secara tiba-tiba (Putri &
Sidharta, 2016). Faktor yang mempengaruhi vertigo dibagi menjadi :
1. Usia : usia lanjut terjadi berbagai perubahan struktural berupa degenerasi
dan atrofi pada sistem vestibular, visual dan proprioseptif dengan akibat
gangguan fungsional pada ketiga sistem tersebut. Usia lanjut dengan
gangguan keseimbangan memiliki risiko jatuh 2-3 kali dibanding usia
lanjut tanpa gangguan keseimbangan. Tiap tahun berkisar antara 20-30%
orang yang berusia lebih dari 65 tahun sering lebih banyak berada di
rumah saja karena masalah mudah jatuh (Laksmidewi et al., 2016).
2. Stress berat : Tekanan stres yang terlampau besar hingga melampaui daya
tahan individu, maka akan timbul gejala-gejala seperti sakit kepala,
gampang marah, dan tidak bisa tidur. Salah satu respons yang muncul dari
akibat stres adalah gangguan pemenuhan kebutuhan tidur (Fransisca,
2013)
3. Keadaan lingkungan : motion sickness (mabuk darat, mabuk laut).
4. Gaya hidup, Obat-obata: alkohol, Gentamisin.
5. Kelainan sirkulasi : transient ischemic attack (gangguan fungsi otak
sementara karena berkurangnya aliran darah ke salah satu bagian otak)
pada arteri vertebral dan arteri basiler.
6. Kelainan di telinga : Endapan kalsium pada salah satu kanalis
semisirkularis di dalam telinga bagian dalam (menyebabkan bening
paroxysmal positional vertigo).
c. Patofisiologi
Berdasarkan analisis penulis pada kasus pemicu, penyebab terjadinya vertigo
yaitu karena adanya cedera pada kepala. Cedera pada bagian kepala dapat
mengakibatkan dislokasi rantai tulang pendengaran pada fraktur longitudinal dan
merusak meatus acusticus eksternus yang mengakibatkan kerusakan pada nervus
VIII pada fraktur transversal. Nervus VIII atau biasa yang disebut dengan saraf
vestibulokoklear berperan dalam proses mendengar dan menjaga keseimbangan
tubuh. Keseimbangan merupakan sebuah sistem yang saling berintegrasi yaitu
sistem visual, vestibular, sistem propioseptik dan cerebelar. Ketiga terjadi
benturan pada saraf ini, maka tubuh secara otomatis akan mengalami gangguan
pada sistem keseimbangan tubuh (vestibuler) sehingga timbulah tanda dan gejala
seperti bergerak dan berputar. Selain itu juga ketika terjadi cedera kepala, maka
besar kemungkinan akan terjadi perpindahan cairan cerebrospinal (CSF) dari
ventrikel ke ruang subaraknoid serebral dalam jumlah yang berlebih sehingga
karena cairan yang berpindah berlebihan maka terjadilah edema otak yang
kemudian memicu adanya peningkatan pada tekanan intracranial. Tekanan
intrakranial sendiri ialah suatu kondisi jumlah total dari tekanan yang diberikan
oleh otak, darah, dan cairan cerebrospinal (cerebrospinal fluid/ CSF) di dalam
ruang kranium yang kaku berlebihan. Peningkatan TIK ini juga akan
mengganggu aliran darah dan oksigen ke otak dimana ketika aliran darah dan
oksigen ke otak menurun maka akan terjadi hipoksia jaringan bahkan bisa sampai
ke iskemik, infark, dan nekrosis jika tidak ditangani dengan tepat. Selain itu juga
ketika terjadi hipoksia maka metabolisme anaerob akan terbentuk dan pembuluh
darah pun akan bervasodilatasi. Karena terjadi vasodilatasi pada pembuluh darah
maka secara otomatis sel dalam tubuh akan berespon dan melepaskan mediator-
mediator kimia seperti prostaglandin dan sitokinin yang kemudian akan
merangsang ke pusat nyeri di otak yaitu bagian thalamus. Selanjutnya korteks
otak akan meneruskan rasa nyeri yang kemudian akan dipersepsikan melaui tanda
dan gejala nyeri yaitu nyeri pada salah satu bagian kepala yang muncul pada
pasien dengan vertigo maka akan timbul diagnose keperawatan nyeri akut. Selain
itu juga ketika nyeri atau sakit kepala terjadi dapat menimbulkan disorientasi dan
menurunkan kesadaran sehingga terdapat risiko untuk jatuh dengan demikian
timbullah diagnose keperawatan risiko jatuh. Ketika aliran darah dan oksigen ke
otak juga menurun maka akan terjadi penurunan pada fungsi otak yang dapat
menyebabkan kerusakan pada bagian neuromotorik. Ketika terjadi kerusakan
pada neuromotorik maka terjadi kelemahan pada otot-otot progresif sehingga
ketika terjadi kelemahan pada otot maka pasien akan mengalami keterbatasan
dalam melakukan aktivitasnya dan perlu untuk dibantu sehingga masalah
keperawatan yang muncul yaitu gangguan mobilitas fisik. Gangguan mobilitas
fisik juga menimbulkan perasaan cemas karena dengan adanya keterbatasan fisik
maka aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga menjadi terbatas
sehingga timbul masalah diagnose keperawatan ansietas.

10. Jelaskan faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan kasus pemicu!
Jawaban :
Berdasarkan kasus pemicu yang menjadi faktor resiko yang berhubungan
dengan kejadian vertigo antara lain ibu B mempunyai Riwayat jatuh di kamar mandi
dengan kepala membentur tembok bak mandi yang dapat mengakibatkan adanya
gangguan pada salah satu saraf kranial yaitu saraf kranial VIII (saraf
vestibulokoklear). Selain itu juga faktor kelelahan karena ibu B bekerja di pasar yang
sesungguhnya menyita waktu dan tenaga sehingga ibu sering merasa kelelahan yang
berlebihan yang dapat menimbulkan vertigo.
Faktor resiko seseorang terkena vertigo atau munculnya tanda dan gejala
vertigo yang berulang antara lain karena rasa kelelahan yang berlebihan, adanya rasa
lesu pada tubuh, adanya masalah pada bagian sistem pencernaan, adanya rasa nyeri
otot, memiliki penyakit hipertensi (darah tinggi) dan hipotensi (darah rendah)
(Triyanti, Natalistiwi, dan Supono, 2018).

11. Jelaskan pengkajian apa lagi yang perlu dilakukan pada kasus pemicu?
Jawaban :
Pengkajian yang perlu dilakukan antara lain pengkajian nyeri, pengkajian fisik head
to toe, dan pengkajian psikososial.

12. Diagnosa keperawatan apa saja yang terdapat pada kasus pemicu!
Berdasarkan analisis pada kasus pemicu, terdapat beberapa diagnosa keperawatan
antara lain :
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik d.d tampak meringis/kesakitan
2. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan sensori persepsi d.d cemas saat bergerak,
Gerakan terbatas, fisik lemah, dan nyeri saat bergerak.
3. Resiko jatuh d.d gangguan keseimbangan
4. Ansietas b.d krisis situasional d.d merasa khawatir dengan aktibat dari kondisi
yang dihadapi, tampak gelisah, mengeluh pusing.
13. Bagaimana intervensi keperawatan untuk kasus tersebut? Sertakan evidence-based (minimal satu artikel) yang mendukung intervensi
tersebut!
Jawaban :
Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Nyeri akut b.d agen pencedera Setelah dilakukan Manajemen nyeri Manajemen nyeri
fisik d.d tampak intervensi keperawatan Observasi Observasi
meringis/kesakitan selama 1 x 24 jam, maka 1. Observasi lokasi, karakteristik, 1. Mengetahui secara komperhensif
tingkat nyeri menurun durasi, frekuensi, kualitas, dan mengenai nyeri yang dirasakan.
dengan kriteria hasil : intensitas nyeri. 2. Menilai tingkat nyeri yang
1. Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri. dirasakan.
menurun (5) 3. Identifikasi faktor yang 3. Menganjurkan aktivitas yang
2. Gelisah menurun memperberat dan memperingan dapat dilakukan dan aktivitas
(5) nyeri. yang tidak dapat dilakukan.
4. Identifikasi pengetahuan dan 4. Menilai tingkat pemahaman
keyakinan tentang nyeri. mengenai nyeri.
5. Identifikasi keberhasilan terapi 5. Melihat keefektifan dari terapi
komplementer yang sudah komplementer yang diterima.
diberikan 6. Menilai dampak dari penggunaan
6. Monitor efek samping penggunaan analgesik.
analgesic
Terapeutik Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis 1. Tidak bergantung pada konsumsi
untuk mengurangi rasa nyeri. obat-obatan secara medis.
2. Kontrol lingkungan yang 2. Mengurangi rasa nyeri.
memperberat rasa nyeri (cahaya
dan suhu ruangan).
Edukasi Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan 1. Meningkatkan pengetahuan
pemicu nyeri. mengenai konsep nyeri.
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri 2. Meningkatkan pemahaman
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mengenai cara meredakan nyeri.
mandiri. 3. Meningkatkan kemampuan
4. Anjurkan menggunakan analgesic individu dalam mengelola nyeri.
secara tepat 4. Meredakan nyeri.
5. Anjurkan teknik nonfarmakologis 5. Meningkatkan kemampuan dan
untuk mengurangi rasa nyeri. pemahaman mengenai teknik
Kolaborasi nonfarmakologi dalam
1. Kolaborasi pemberian analgesic, menurunkan rasa nyeri.
jika perlu. Kolaborasi
1. Menurunkan tingkat nyeri.

3. Gangguan mobilitas fisik b.d Setelah dilakukan Dukungan mobilisasi Dukungan mobilisasi
gangguan sensori persepsi d.d intervensi keperawatan Observasi Observasi
cemas saat bergerak, Gerakan selama 2 x 24 jam, maka 1. Identifikasi adanya nyeri atau 1. Mengetahui adanya gangguan
terbatas, fisik lemah, dan nyeri mobilitas fisik keluhan fisik lainnya. pada bagian tubuh yang
saat bergerak. meningkat, dengan 2. Identifikasi tolerenasi fisik menyebabkan nyeri.
kriteria hasil : melakukan pergerakan. 2. Mengetahui tingkat kemampuan
1. Nyeri menurun 3. Monitor kondisi umum selama otot gerak pasien.
(5) melakukan mobilisasi. 3. Mengetahui adanya keterbatasan
2. Kecemasan Terapeutik dalam melakukan mobilisasi
menurun (5) 1. Fasilitasi melakukan pergerakan. Terapeutik
3. Gerakan terbatas 2. Libatkan keluarga untuk 1. Meningkatkan kekuatan otot-otot
menurun (5) membantu pasien dalam ekstermitas.
4. Kelemahan fisik meningkatkan pergerakan 2. Meningkatan kerja sama keluarga
menurun (5) Edukasi dalam membantu pergerakan
1. Anjurkan melakukan mobilisasi pasien
dini. Edukasi
1. Meningkatkan kemampuan
kekuatan otot pasien.

4. Resiko jatuh d.d gangguan Setelah dilakukan Manajemen Keselamatan Lingkungan Manajemen Keselamatan
keseimbangan intervensi keperawatan Observasi Lingkungan
selama 1 x 24 jam, maka 1. Identifikasi kebutuhan keselamatan Observasi
tingkat jatuh menurun, (Kondisi fisik, fungsi kognitif). 1. Mengetahui kebutuhan
dengan kriteria hasil : 2. Monitor perubahan status keselamatan yang dibutuhkan.
1. Jatuh saat berdiri keselamatan lingkungan. 2. Mencegah terjadinya bahaya
menurun(5) Terapeutik terhadap keselamatan lingkungna
2. Jatuh saat 1. Hilangkan bahaya keselamatan pasien.
berjalan menurun lingkungan ( fisik, biologi, dan Terapeutik
(5) kimia). 1. Meningkatkan keselamatan di
3. Jatuh di kamar 2. Modifikasi lingkungan untuk daerah lingkungan pasien.
mandi menurun meminimalkan bahaya dan risiko. 2. Mencegah terjadinya bahaya
(5) 3. Sediakan alat bantu keamanan jatuh.
lingkungan. 3. Meningkatkan keselamatan
Edukasi lingkungan.
1. Ajarkan individu, keluarga, dan Edukasi
kelompok risiko tinggi bahaya 1. Meningkatkan pemahaman dan
lingkungan. keterampilan pasien dalam
mencegah risiko tinggi jatuh.
5. Ansietas b.d krisis Setelah dilakukan Reduksi Ansietas Reduksi Ansietas
situasional d.d merasa intervensi keperawatan 1. Identifikasi saat tingkat ansietas 1. Mengetahui adanya faktor
khawatir dengan aktibat dari selama 2 x 24 jam berubah (mis, kondisi. Waktu, dan penyebab perubahan tingkat
kondisi yang dihadapi, tingkat ansietas stressor). ansietas.
tampak gelisah, mengeluh menurun, dengan kriteria 2. Monitor tanda-tanda ansietas 2. Mengetahui adanya tanda-tanda
pusing. hasil : (verbal dan nonverbal). ansietas.
1. Perilaku gelisah Terapeutik Terapeutik
menurun (5) 1. Ciptakan suasana terapeutik untuk 1. Meningkatkan kepercayaan
2. Keluhan pusing menumbuhkan kepercayaan. antara pasien dan perawat.
menurun (5) 2. Pahami situasi yang membuat 2. Mengurangi situasi yang
3. Perasaan ansietas. menyebabkan ansietas.
ketidakberdayaan 3. Dengarkan dengan penuh 3. Meningkatkan pengungkapan
membaik (5) perhatian. perasaan pasien.
4. Motivasi mengidentifikasi situasi 4. Meningkatkan kemampuan
yang memicu kecemasan. pasien dalam mengenal penyebab
Edukasi ansietas.
1. Anjurkan keluarga untuk tetap Edukasi
Bersama pasien, jika perlu. 1. Meningkatkan suasana yang
2. Anjurkan melakukan kegiatan menyenangkan pasien.
yang tidak kompetitif, sesuai 2. Meningkatkan kemampuan
kebutuhan. menghalau ansietas.
3. Anjurkan mengungkapkan 3. Menurunkan tingkat ansietas.
perasaan dan persepsi. 4. Meningkatkan kemampuan dalam
4. Latih penggunaan mekanisme mengahadapi ansietas..
pertahanan diri yang tepat. 5. Meningkatkan oksigen dalam
5. Latih teknik relaksasi. tubuh sehingga dapat mengurangi
ansietas.
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat Kolaborasi
antiansietas, jika perlu 1. Menghilangkan ansietas
Evidence Based Pratice
Diagnosa Evidence Based
Nyeri akut b.d agen pencedera fisik d.d Judul : Dizziness In Older People
tampak meringis/kesakitan Penulis : Sielski, Grzegorz; Sielska,
Małgorzata; Podhorecka, Marta; Gębka,
Dominika; Sucharska-Szymkowiak, Marta; Ciesielska,
Natalia; Rolka, Łukasz; Porzych, Katarzyna; Kędziora-
Kornatowska, Kornelia
Tahun : 2015
Pembahasan :
Obat -obatan yang digunakan dalam perawatan pusing
adalah didefinisikan dalam farmakologi sebagai
antivertiginosa. Ini obat obatan yang memiliki
mekanisme aksi yang berbeda, dan Oleh karena itu, sulit
untuk merekomendasikan satu hal tertentu pengobatan.
Seorang pasien dengan gejala parah pusing biasanya
menerima terapi obat yang diresepkan, yang dapat
mengurangi kemampuan saraf pusat sistem untuk
mengkompensasi. Sebagian besar obat yang digunakan
untuk mengobati pusing memiliki efek penghambatan di
pusat sistem saraf dan dapat membatasi kemampuan
pusat sistem saraf untuk beradaptasi dengan perubahan
yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dan respons
yang benar terhadap rehabilitasi.
Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan Judul : An update on vestibular physical therapy
sensori persepsi d.d cemas saat bergerak, Penulis : Ahmad H. Alghadir, Zaheen A. Iqbal, Susan L.
Gerakan terbatas, fisik lemah, dan nyeri Whitney
saat bergerak. Penulis : 2013
Latihan rehabilitasi vestibular yang agresif harus
disediakan untuk pasien yang mungkin berisiko
ketidakseimbangan yang persisten setelah operasi.
Setelah penghinaan vestibular, Sebagian besar pasien
dapat secara efektif memanfaatkan kompensasi sentral
mekanisme pemulihan. Mobilisasi dini dapat mengurangi
perubahan pasien yang mengalami rasa takut jatuh dan
kecemasan dari Gejala pusing mereka. Cass et al77
melaporkan bahwa 60% dari Pasien yang berpartisipasi
dalam program latihan vestibular setelah operasi
menunjukkan peningkatan keseimbangan yang objektif
fungsi, dengan 25% pasien meningkat menjadi normal.
Skor keseimbangan pada tes organisasi sensorik
posturografi dinamis terkomputerisasi. Latihan vestibular
meningkatkan kompensasi vestibulospinal pada pasien
dengan gangguan vestibular perifer akut. Latihan
adaptasi vestibular menghasilkan peningkatan postural
stabilitas dan dalam persepsi ketidakseimbangan yang
berkurang baik tahap kronis dan akut. Banyak pasien
dengan kerugian vestibular bilateral mendapat manfaat
dari latihan individual program dengan meningkatkan
fungsi fisik dan mengurangi tingkat handicap yang
memiliki harga sendiri. Studi lain juga memiliki
menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam gejala,
kecacatan, keseimbangan, stabilitas postural dan kualitas
hidup pada orang dengan hipofungsi vestibular unilateral
kronis setelah disesuaikan dengan program Latihan.
Resiko jatuh d.d gangguan keseimbangan Judul : Vertigo and Dizziness Understanding and
Managing Fall Risk
Penulis : Jennifer C. Alyono
Tahun : 2018
Intervensi kaki dan alas kaki. Bunion atau kelainan
bentuk mungkin memerlukan konsultasi podiatri. Pilihan
alas kaki juga penting: sepatu dengan tinggi tumit rendah,
area kontak tinggi dengan tanah, selain itu juga
modifikasi rumah perlu dilakukan untuk mencegah
terjadinya risiko jatuh dengan beberapa cara antara lain
menghapus bahaya perjalanan di dalam rumah, seperti
melempar karpet dan furnitur rendah, menghilangkan
bahaya perjalanan di luar rumah, seperti trotoar yang
retak dan
akar pohon yang terbuka, meningkatkan iluminasi malam
hari, memasang pegangan tangan di kamar mandi dan
tangga.
Ansietas b.d krisis situasional d.d Judul : Self-Regulation of Breathing as a Primary
merasa khawatir dengan aktibat dari Treatment for Anxiety
kondisi yang dihadapi, tampak gelisah, Penulis : Jerath, R., Crawford, M. W., Barnes, V. A., &
mengeluh pusing. Harden, K.
Tahun : 2015
Emosi dan respirasi terkait erat dalam kompleks. Loop
Umpan Balik. Memahami keterkaitan antara respirasi dan
emosi ini sangat penting untuk lebih memahami cara
mengobati kecemasan, stres, depresi, dan Gangguan
emosional. Banyak efek merugikan dari keadaan
emosional negatif dan dominasi simpatik ANS telah
terbukti ditimbulkan oleh berbeda. Bentuk meditasi,
relaksasi, dan teknik pernapasan. Teknik meditasi dan
pernapasan mengurangi stres, kecemasan, depresi, dan
keadaan emosi negatif lainnya. Mekanisme yang
mendasari dimana ini dan manfaat lainnya terjadi kurang
dipahami. Kami mengusulkan bahwa ANS adalah
dimodulasi dengan bernafas sehingga dominan simpatik.
Negara seperti stres dan kecemasan, teknik pernapasan
dan meditasi yang lebih lambat dapat mengubah
dominasi simpatik. Dominasi parasimpatis. Napas yang
lambat dan dalam ini dan. Sinkronisasi kardiorespirasi
dapat menyebabkan homeostatis. Peningkatan potensial
membran seluler dan generalisasi penurunan rangsangan
intrinsik alat pacu jantung seperti jantung dan amigdala,
menyebabkan penghambatan fisiologis emosi negatif.
Kami mengusulkan bahwa teknik pernapasan ini dapat
digunakan sebagai perawatan lini pertama dan tambahan
untuk stres, kecemasan, depresi, dan beberapa emosional
gangguan. Gangguan ini terutama diperlakukan obat
yang mempengaruhi neurotransmiter di otak, daripada
perawatan yang mempengaruhi seluruh tubuh dan otak.
Perubahan homeostatik yang meluas terjadi selama stres
dan kecemasan sehingga perawatan yang menggeser
ANS dari simpatik ke keadaan parasimpatis bisa sangat
efektif. Sepanjang artikel ini kami telah menunjukkan
bahwa emosi bisa mempengaruhi respirasi dan respirasi
juga dapat mempengaruhi emosi, namun hubungan yang
mapan ini tidak digunakan perawatan konvensional.
Teknik pernapasan dan meditasi sederhana, mudah, dan
hemat biaya namun mereka tidak
banyak digunakan sebagai perawatan.

14. Bagaimana kriteria evaluasi asuhan keperawatan pada kasus pemicu?


Diagnosa Kriteria Hasil
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik d.d tampak 1. Keluhan nyeri menurun (5)
meringis/kesakitan. 2. Gelisah menurun (5)
2. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan sensori 1. Nyeri menurun (5)
persepsi d.d cemas saat bergerak, Gerakan terbatas, 2. Kecemasan menurun (5)
fisik lemah, dan nyeri saat bergerak. 3. Gerakan terbatas menurun (5)
4. Kelemahan fisik menurun (5)
3. Resiko jatuh d.d gangguan keseimbangan. 1. Jatuh saat berdiri menurun(5)
2. Jatuh saat berjalan menurun (5)
3. Jatuh di kamar mandi menurun (5)

4. Ansietas b.d krisis situasional d.d merasa khawatir 1. Perilaku gelisah menurun (5)
dengan aktibat dari kondisi yang dihadapi, tampak 2. Keluhan pusing menurun (5)
gelisah, mengeluh pusing. 3. Perasaan ketidakberdayaan membaik (5)
KASUS PEMICU
Ibu B, berusia 45 tahun, dirawat dengan keluhan Badan lemas, gelisah, nyeri kepala pada
bagian kanan, perasaan berputar bila berdiri. Ibu B pernah terjatuh di kamar mandi dengan
kepala membentur tembok bak mandi 6 bulan yang lalu dan sering mengalami vertigo
kurang lebih 2 bulan sebelum masuk RS. Ibu B. Sangat cemas dengan penyakitnya karena
ia tidak bisa lagi bekerja berjualan di pasar dan meninggalkan anaknya yang masih kecil.
Pada pengkajian fisik didapat data; tampak meringis kesakitan, TD 100/70 mmHg, RR 20
x/menit, Nadi 80 x/menit, Suhu 36,5 C.

DAFTAR PUSTAKA
Alghadir, A. H., Iqbal, Z. A., & Whitney, S. L. (2013). An update on vestibular physical
therapy. Journal of the Chinese Medical Association, 76(1), 1-8.
Alyono, J. C. (2018). Vertigo and dizziness: understanding and managing fall
risk. Otolaryngologic Clinics of North America, 51(4), 725-740.
Dewi, N. K. A. S. (2020). Gambaran Asuhan Keperawatan Pada Pasien Vertigo Dalam
Pemenuhan Kebutuhan Rasanyaman Di Wilayah Upt Puskesmas Dawan I Klungkung
Tahun 2020 (Doctoral dissertation, Poltekkes Denpasar Jurusan Keperawatan).
Diah Ayu Prameswari, D. (2021). Asuhan keperawatan pada pasien vertigo dalam
pemenuhan kebutuhan Aman dan Keselamatan (Doctoral dissertation, Universitas
Kusuma Husada Surakarta).
Fransisca. (2013). Pengaruh terapi akupresur terhadap vertigo di klinik sinergy mind health
Surakarta
Laksmidewi, dkk (2016). Bali Neurology Update. Denpasar: Udayana University
Melinda, V. V. (2021). Asuhan Keperawatan Gerontik pada Ny. M dengan Vertigo di
Ruang Kunti Panti Pelayanan Sosial Lanjut Usia Bisma Upakara Pemalang (Doctoral
dissertation, Universitas Pekalongan).
Putri, C. M., & Sidharta, B. (2016). Hubungan antara cedera kepala dan terjadinya vertigo
di rumah sakit Muhammadiyah lamongan. Saintika Medika, 12(1), 1-6.
Sielski, G., Sielska, M., Podhorecka, M., Gębka, D., Sucharska-Szymkowiak, M.,
Ciesielska, N., ... & Kędziora-Kornatowska, K. (2015). Dizziness in older people.
Soenarto, dkk. 2019. Pengkajian Nyeri Kronik Modul Pelatihan Keterampilan Dasar Untuk
Mahasiswa Dan Profesional Kesehatan. Jakarta : SIMUBEAR
Triyanti, N. C. D. I., Nataliswati, T., & Supono, S. (2018). Pengaruh Pemberian Terapi
Fisik Brandt Daroff Terhadap Vertigo Di Ruang UGD Rsud Dr. R Soedarsono
Pasuruan. Journal of Applied Nursing (Jurnal Keperawatan Terapan), 4(1), 59-64.
Widiyanthi, R. 2021. Pemantauan Tekanan Intrakrnial
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/5817/4379 (Diakses Kamis, 23
Februari 2023 Pukul 12.00 WIB)
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/4603/3/BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf
http://repository.unissula.ac.id/23637/2/40901800025_fullpdf.pdf
http://repository.unikal.ac.id/156/3/BAB%20II%20Vamela.pdf
https://eprints.umm.ac.id/77940/4/BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai