Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia

Volum 2 Nomor 2 bulan September 2017. Page 18 - 24


p-ISSN: 2477-5940 e-ISSN: 2477-8435

Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia is licensed under


A Creative Commons Attribution-Non Commercial 4.0 International License

PENDIDIKAN MITIGASI BENCANA DI SEKOLAH DASAR


(SEBUAH KAJIAN ANALISIS ETNOPEDAGOGI)
Putu Eka Suarmika 1) , Erdi Guna Utama 2)
1)
PGSD Universitas Abdurachman Saleh Situbondo, Jawa Timur
E-mail: eka_suarmika@yahoo.com
2)
PGSD STKIP Singkawang, Kalimantan Barat
E-mail: erdi.guna.utama@gmail.com

Abstrak. Dalam etnopedagogi, unsur utama adalah kearifan lokal masyarakat yang diintegrasikan ke dalam
pendididikan. Kearifan lokal atau local wisdom dapat dipahami sebagai suatu pemahaman kolektif, pengetahuan, dan
kebijaksanaan yang mempengaruhi suatu keputusan penyelesaian atau penanggulangan suatu masalah kehidupan.
Pendidikan mitigasi bencana berbasis kearifan lokal dapat dilaksanakan pada Kurikulum 2013 dengan (1)
mengidentifikasi kearifan lokal dalam mitigasi bencana dan (2) mengintegrasikan dalam pembelajaran. Sejak usia dini
anak didekatkan dengan bencana dan menjaga serta memperlakukan lingkungan dengan baik, maka akan membentuk
anak yang tangguh dalam menghadapi bencana dan mencintai lingkungan untuk kehidupan yang berkelanjutan.

Kata Kunci: etnopedagogi, mitigasi bencana, pendidikan, sekolah dasar

Menurut Hayat & Yusuf (2015), kebijakan pendidikan


I. PENDAHULUAN telah bergeser dari input-oriented yang memandang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional peningkatan mutu pendidikan dilakukan dengan semata-
(RPJPN) Periode 2005-2025, ditegaskan Visi pembangunan mata meningkatkan mutu masukan pendidikan – ke
nasional adalah: “mewujudkan manusia dan masyarakat outcome-based yang melihat bahwa mutu pendidikan harus
yang mandiri, maju, adil dan makmur”. Bangsa yang dimulai dengan expected outcome yang jelas dari suatu
“mandiri” diukur dari kapasitasnya dalam mewujudkan lembaga pendidikan. Perbaikan dan peningkatan mutu
kualitas hidup dan kehidupan yang sejajar dan sederajat masukan dan proses pendidikan harus merupakan upaya
dengan bangsa lain dengan mengandalkan pada kekuatan penjabaran untuk mencapai expented outcome. Oleh karena
sendiri. Masyarakat Indonesia yang “maju” diukur dari itu, standarisasi expected outcome dalam bentuk kompetensi
kualitas manusianya yang dapat mewujudkan keadilan dan menjadi titik awal untuk standarisasi masukan dan proses
kemakmuran yang tercermin dalam system dan kelembagaan pendidikan. Dalam globalisasi, terutama dalam pasar kerja,
ekonomi, social, politik, dan hukum. Manusia dan telah terjadi mutual recognition antarnegara tentang
masyarakat Indonesia yang berkeadilan dapat ditunjukkan kualifikasi lulusan atau outcome sehingga meniscayakan
dengan struktur dan mekanisme dalam mencegah berbagai adannya proses nasionalisasi dan transnasinalisasi
nilai, perilaku, masyarakat, maupun antarwilayah, sedangkan kompetensi lulusan lembaga pendidikan. Kompetensi
“makmur” dapat diukur dari terpenuhinya seluruh kebutuhan lulusan ini bergeser dari local specific ke global universal
hidup berkelanjutan. (Suryadi, 2014). sebagai survival kit untuk dapat bertahan di era mendatang
Untuk memenuhi visi pembangunaan nasional Dengan demikian, selain kompetensi yang bersifat global,
membutuhkan sumber daya yang berkualitas. Sumber daya pendidikan dalam pendekatan literasi juga harus menimbang
yang berkualitas dapat dibentuk hanya dalam pendidikan. kearifan lokal. Undang-Undang Sisdiknas (UU 20/2003)
Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan sebenarnya juga menggariskan paradigma baru ini dalam
priotas utama untuk mewujudkan manusia dan masyarakat pendidikan kita, yaitu pendidikan yang berbasis keunggulan
Indonesia yang memiliki karakter dan kepribadian serta lokal untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah
memiliki kemampuan menguasai cabang-cabang ilmu berdasarkan potensi yang relevan dan dimiliki oleh
pengetahuan, teknologi, dan seni untuk memperkuat daya masyarakat lokal. Hal ini tidak saja berkaitan dengan muatan
saing perekonomian global. lokal dalam kurikulum (Pasal 37:1), melainkan juga
mempersiapkan siswa mengenali potensi daerahnya masing-

18
Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia
Volum 2 Nomor 2 bulan September 2017. Page 18 - 24
p-ISSN: 2477-5940 e-ISSN: 2477-8435

masing sehingga mereka dapat bekerja yang sesuai dengan etnopedagogi di UPI menurut Suratno (2010) dapat
kebutuhan local karena sifat pendidikannya yang mengarah dipandang sebagai suatu pesan terkait dengan dengan istilah
pada kecakapan hidup dalam timbangan kearifan lokal budaya-karakter (aspek etno), dan pendidikan keguruan
(Hayat & Yusuf, 2015). (aspek pedagogi). Alwasilah, et.al (2009) mengemukakan
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam konteks budaya secara umum, etnopedagogi menaruh
merupakan wilayah yang mempunyai keunikan dan perhatian khusus terhadap local genius dan local wisdom
keistimewaan yang khas di dunia. Dengan jumlah pulau dengan mengungkap nilai-nilai budaya Sunda sebagai model
lebih dari 17.000 buah dan panjang garis pantai lebih dari awal. Ajip Rosidi (2009) dalam Suratno (2010)
80.000 km merupakan jumlah pulau terbesar dan garis pantai mengingatkan bahwa nilai budaya Sunda modern telah
terpanjang di dunia. Dari segi keaneka ragaman hayati berbaur dengan budaya lainnya. Beberapa postulat
menduduki peringkat ketiga setelah Brasilia dan Kolombia. dikemukakan terkait karakter masyarakat Sunda: hurip,
Dari segi kegunungapian merupakan lokasi gunung api yang waras, cageur, bageur, bener, pinter, ludeung, silih asah,
paling aktif di dunia dan merupakan pertemuan lempeng silih asuh, silih asih, sineger tengah, singer, motekar dan
tektonik di dunia yang berpotensi menimbulkan bencana rapekan. Dapat dikatakan bahwa Etnopedagogi memandang
letusan vulkanik, gempa, dan tsunami. Pada posisi yang pengetahuan atau kearifan lokal (local knowledge, local
demikian Indonesia merupakan wilayah dengan predikat wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang
dilalui sabuk api atau ring of fire. Dari predikat tersebut dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat.
dalam sepuluh tahun terakhir ditandai dengan bencana Dalam perspektif hakikat pendidikan, baik Alwasilah
gempa dan tsunami Aceh (2004), gempa Yogyakarta (2006), maupun Kartadinata memandang bahwa pendidikan tidak
Tasikmalaya (2009), Sumatra Barat (2010), gempa dan terlepas dari aspek sosial dan kultural. Pendidikan bersifat
tsunami Mentawai (2010), tanah longsor Wassior di Papua deliberatif dalam arti masyarakat mentransmisikan dan
Barat (2010) dan letusan Gunung Merapi Yogyakarta (2010) mengabadikan gagasan kehidupan yang baik yang berasal
yang membawa korban ratusan jiwa dan ratusan triliun dari kepercayaan masyarakat yang fundamental mengenai
rupiah dalam nilai ekonomi. Letusan Gunung Merapi yang hakikat dunia, pengetahuan dan tata nilai . Oleh karena itu,
tak kunjung reda, makin mempertegas predikat NKRI diperlukan reorientasi landasan ilmiah mengenai pendidikan
sebagai negara sabuk api (Suharjo, 2015). yang hirau terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sesuatu yang
Masyarakat menjadi objek utama saat terjadi bencana, selama ini luput dari perhatian dikarenakan kurangnya studi
seharusnya masyarakat mempunyai kemampuan untuk tentang landasan budaya pendidikan. Keutamaan pendidikan
mengetahui kerentanan yang ada, sehingga dapat menjadi hendaknya jangan sampai tereduksi menjadi hal-hal yang
pelaku (subjek) utama dalam usaha-usaha pengurangan superficial, sebagaimana terjadi kini pada rezim standarisasi,
risiko bencana, sehingga kerugian dapat diminimalisir. Hal sehingga mengabaikan tujuan luhur dari pendidikan itu
itu hanya dapat terjadi jika masyarakat mempunyai sendiri, yaitu pendidikan yang membudayakan (Suratno,
perencanaan untuk mengurangi risiko bencana dan 2010).
mempunyai pengetahuan serta mengerti tentang apa yang Berdasarkan analisis terhadap dimensi budaya dan
seharusnya dilakukan pada saat bencana belum terjadi pendidikan, Alwasilah et al. (2009, dalam Suratno,2010)
(prabencana), pada saat tanggap darurat, dan pada saat pasca memandang Etnopedagogi sebagai praktik pendidikan
bencana. Pentingnya peningkatan pemahaman dan ketahanan berbasis kearifan local dalam berbagai ranah serta
terhadap bencana itu harus ditanamkan kepada masyarakat menekankan pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber
sekitar, terutama anak di usia dini yang masih belum inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi
mengerti tentang hal-hal apa yang harus mereka lakukan saat kesejahteraan masyarakat, yakni kearifan lokal tersebut
peristiwa bencana tidak terduga terjadi (Desfandi,2014). terkait dengan bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan,
Pendidikan menjadi salah satu sarana yang efektif untuk diterapkan, dikelola dan diwariskan. Etnopedagogi sebagai
mengurangi risiko bencana dengan memasukkan materi praktik pendidikan berbasis kearifan lokal nampaknya
pelajaran tentang bencana alam sebagai pelajaran wajib bagi sejalan dengan temuan Alexander (2000, dalam Suratno,
setiap siswa di semua tingkatan, terutama di sekolah-sekolah 2010) yang menunjukkan terdapat hubungan yang erat
yang berada di wilayah risiko bencana. Kurikulum yang antara pedagogi dengan kehidupan sosial budaya
berbasis kearifan lokal, diharapkan dapat diterima dan dapat masyarakatnya. Hal demikian juga sejalan dengan
dengan mudah di pahami oleh siswa. pandangan Bernstein (Bernstein & Solomon, 1999, dalam
Berdasarkan rasional diatas, maka tujuan dari tulisan ini Suratno, 2010) yang menyatakan”How a society selects,
adalah pentingnya pendidikan mitigasi bencana berbasis classifies, distributes, transmits and evaluates the
kearifan lokal untuk sekolah dasar . educational knowledge it considers to be public, reflects
both the distribution of power and principles of social
II. PEMBAHASAN control‟.
A. Etnopedagogi Menurut Suratno (2010) tentang upayanya untuk
Ide tentang etnopedagogi di Indonesia muncul di kampus memposisikan etnopedagogi secara lebih strategis, pertama,
UPI melalui pemikiran Alwasilah,et.al (2009) dan etnopedagogi dapat berperan dalam pendidikan berbasis nilai
Kartadinata (2010) dalam Suratno (2010). Istilah budaya bagi pengajaran dan pembelajaran dalam konteks

19
Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia
Volum 2 Nomor 2 bulan September 2017. Page 18 - 24
p-ISSN: 2477-5940 e-ISSN: 2477-8435

teaching as cultural activity (Stigler & Hiebert, 1999) dan dalam pengurangan resiko bencana. Kearifan lokal yang
the culture of teaching. Di sisi lain, etnopedagogi berperan berlaku di suatu masyarakat memberikan dampak positif
dalam menciptakan secara berantai kader-kader yang bagi masyarakat dalam menghadapi dan mensikapi bencana
memiliki kecerdasan kultural dan konteks pendidikan guru. yang datang. Kearifan lokal merupakan ekstraksi dari
Oleh karena diperlukan tindakan untuk mengangkat berbagai pengalaman yang bersifat turun temurun dari nenek
kembali nilai-nilai kearifan local sebagai sumber inovasi moyang atau orang-orang terdahulu yang telah mengalami
dalam bidang pendidikan berbasis budaya masyarakat lokal, kejadian bencana. (Muh Aris Marfai, 2012 dalam
dengan cara melakukan pemberdayaan melalui adaptasi Suparmini,.dkk 2013).
pengetahuan lokal, termasuk reinterpretasi nilai-nilai Menurut Marfai dan Khasanah (2008) ;Muh Aris Marfai
kearifan lokal, dan revitalisasinya sesuai dengan kondisi (2012) dalam Suparmini,.dkk 2013) adaptasi yang dilakukan
kontemporer. Selain itu diperlukan kerjasama yang kuat manusia terhadap lingkungannya termasuk di dalamnya
antara pemerintah daerah, perguruan tinggi dan budayawan lingkungan fisik dan proses alam seperti terjadinya bencana
untuk revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal maupun menunjukkan adanya interelasi antara manusia dan
mengembangkan konsep-konsep akademik, melakukan uji lingkungan. Dalam hubungan yang saling terkait ini
coba model-model etnopedagogi dalam pembelajaran perubahan pada suatu komponen akan menyebabkan
(Anan-Nur, 2010 dalam Sarbaini 2016). perubahan lain dan sebaliknya. Dalam konteks ini
Menurut Klara,dkk,.(2015), “Ethnopedagogy, an integral pendekatan human ecology menekankan atau menunjukkan
part of pedagogy, has a problem, a subject, and the result. adanya hubungan saling terkait (interplay) antara lingkungan
Pedagogical, although to achieve their goals, dan proses-proses fisik yang berlangsung di dalamnya dan
ethnopedagogy as an integral branch of knowledge uses sistem-sistemn sosial/budaya. Dalam proses interaksinya
components of ethnic culture as a specific means upbringing dengan lingkungan sekitar kemudian tercipta budaya dan
activities. Thus, there is a pedagogical essence of kearifan lokal.
ethnopedagogy”. Ethnopedagogy, merupakan bagian B. Pendidikan mitigasi bencana berbasis kearifan lokal
integral dari pedagogi, memiliki masalah, subjek, dan tujuan. Bencana telah menjadi isu pembangunan, karena hasil
Ethnopedagogy sebagai cabang integral dari pengetahuan pembangunan yang telah dirintis puluhan bahkan ratusan
menggunakan komponen budaya etnis spesifik berarti dalam tahun dapat musnah atau rusak seketika dengan adanya
kegiatan pendidikan. Dengan demikian, ada esensi bencana, perekonomian masyarakat dan negara pun banyak
pedagogis dalam ethnopedagogy. mengalami kemuduran, banyak prasarana dan sarana
Dalam etnopedagogi, unsur utama adalah kearifan lokal ekonomi, sosial dan budaya yang rusak. Masyarakat yang
masyarakat yang diintegrasikan ke dalam pendididikan. terkena bencana seringkali harus menata ulang
Kearifan atau wisdom dapat dipahami sebagai suatu kehidupannya dari awal, mereka harus pindah ke tempat lain,
pemahaman kolektif, pengetahuan, dan kebijaksanaan yang dan mulai penghidupan di tempat baru .
mempengaruhi suatu keputusan penyelesaian atau Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia
penanggulangan suatu masalah kehidupan. Kearifan dalam merupakan negara dengan potensi bahaya (hazard potency)
hal ini merupakan perwujudan seperangkat pemahaman dan yang sangat tinggi. Beberapa potensi tersebut antara lain
pengetahuan yang mengalami proses perkembangan oleh adalah gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung api,
suatu kelompok masyarakat setempat atau komunitas yang tanah longsor, angin ribut, kebakaran hutan dan lahan,
terhimpun dari proses dan pengalaman panjang dalam letusan gunung api. Potensi bencana yang ada di Indonesia
berinteraksi dalam satu sistem dan dalam satu ikatan dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu
hubungan yang saling menguntungkan (Purba, (2002),Muh potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya
Aris Marfai, (2012) dalam Suparmini,dkk, 2013 ). ikutan (collateral hazard). Potensi bahaya utama (main
Kearifan lokal merupakan produk budaya pada masa lalu hazard potency) ini dapat dilihat antara lain pada peta
yang dapat secara terus-menerus dijadikan sebagai pegangan potensi bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan
hidup serta memiliki sifat bijaksana bernilai baik yang bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona gempa
tertanam dalam suatu budaya dan diterapkan oleh seluruh yang rawan, peta potensi bencana tanah longsor, peta potensi
masyarakat setempat (Wagiran, 2011 dalam Rissa,dkk, bencana letusan gunung api, peta potensi bencana tsunami,
2015). Ini berarti bahwa kearifan lokal merupakan bagian peta potensi bencana banjir, dan lain-lain. Dari indikator-
dari budaya yang terdapat pada suatu daerah. Tetapi indikator di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia
meskipun bernilai budaya lokal tetapi nilai yang terkandung memiliki potensi bahaya utama (main hazard potency) yang
di dalam kearifan lokal dianggap sangat universal atau tinggi. Hal ini tentunya sangat tidak menguntungkan bagi
berlaku secara luas. Jadi, walaupun kearifan lokal hanya negara Indonesia (Permendagri No 33 Tahun 2006).
dilaksanakan oleh masyarakat setempat dalam lingkup asal Pendidikan kebencanaan yang dapat dilaksanakan di
kearifan lokal muncul tetapi nilai yang terkandung dalam sekolah dasar adalah mitigasi bencana dengan
kearifan lokal tersebut dapat digunakan secara umum memanfaatkan kearifan lokal setempat. Mitigasi
(Rissa,dkk, 2015). didefinisikan sebagai : “Upaya yang ditujukan untuk
Kearifan lokal yang diwujudkan dalam bentuk perilaku mengurangi dampak dari bencana baik bencana alam,
adaptif terhadap lingkungan mempunyai peranan penting bencana ulah manusia maupun gabungan dari keduanya

20
Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia
Volum 2 Nomor 2 bulan September 2017. Page 18 - 24
p-ISSN: 2477-5940 e-ISSN: 2477-8435

dalam suatu negara atau masyarakat (Permendagri No 33 bencana dan mencegah terjadinya bencana alam dengan
Tahun 2006). Mitigasi yang diterapkan dalam pembelajaran menggunakan kearifan lokal setempat dimana siswa tersebut
di sekolah dasar adalah bagaimana siswa mengenal potensi berada.

KURIKULUM Identifikasi mitigasi bencana


2013 berbasis kearifan lokal dan
(Pendekatan mengitegrasikan dalam
Saintifik dan pembelajaran
Tematik)

Proses pembelajaran
Pemetaan dengan model Membentuk manusia
Kompetensi kooperatif, inquiry yang tangguh dalam
pada masing dan problem based menghadapi bencana
Tema learning untuk alam sejak usia dini
mengembangkan
keterampilan berpikir
tingkat tinggi (HOTS)

Model pendidikan mitigasi bencana berbasis kearifan lokal

Terdapat dua langkah dalam menerapkan pendidikan Indonesia memiliki banyak kearifan lokal dalam
mitigasi bencana di Sekolah dasar, yaitu : mencegah bencana, dikarenakan terdiri dari banyak suku
a. Identifikasi kearifan local dalam mitigasi bencana yang mendiami wilayah nusantara ini. Beberapa contoh
kearifan lokal di beberapa daerah

No Daerah Bentuk kearifan local


1 Jawa Pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para tani pedesaan yang didasarkan
pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Berkaitan
dengan kearifan tradisional maka pranoto mongso ini memberikan arahan kepada petani untuk
bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak
memanfaatkan lahan seenaknya sendiri meskipun sarana prasarana mendukung seperti
misalnya air dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat
menjaga keseimbangannya.
Nyabuk gunung merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk
menurut garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng bukit Sumbing dan Sindoro. Cara
ini merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut garis
kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di Dieng yang bercocok tanam dengan
membuat teras yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya longsor.
2 Sulawesi Komunitas adat Karampuang dalam mengelola hutan mempunyai cara tersendiri dan menjadi
bagian dari sistem budaya mereka. Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan
alam dirinya sehingga untuk menjaga keseimbangan ekosistem di dalamnya terdapat aturan-
aturan atau norma-norma tersendiri yang harus dipatuhi oleh semua warga masyarakat.
Komunitas Karampuang masih sangat terikat dan patuh terhadap aturan-aturan adatnya, yang
penuh dengan kepercayaan, pengetahuan dan pandangan kosmologi, berkaitan dengan
pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan. Agar tetap terjaga. Dewan Adat karampuang
sebagai symbol penguasa tradisional, sepakat untuk mengelola hutan adat yang ada dengan
menggunakan pengetahuan yang bersumber dari kearifan lokal yang mereka miliki.
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat adat ini masih menyimpan mitos dan pesan leluhur
yang berisi larangan, ajakan, sanksi dalam mengelola hutan mereka..

21
Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia
Volum 2 Nomor 2 bulan September 2017. Page 18 - 24
p-ISSN: 2477-5940 e-ISSN: 2477-8435

3 Serawai, Bengkulu Pada masyarakat Serawai, Bengkulu terdapat Keyakinan celako kumali yaitu tata nilai tabu
dalam berladang dan tradisi tanam tanjak. Konsep ini akan dapat memberikan nilai tambah
bagi terwujudnya kelestarian lingkungan.
4 Masyarakat Undau Masyarakat ini mengembangkan kearifan lingkungan dalam pola ruang permukiman, dengan
mengklasifikasi hutan dan pemanfaatan-nya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan
Mau, Kalimantan
menerapkan masa bera dan mereka mengenal tabu, sehingga penggunaan teknologi dibatasi
Barat pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.
5 Baduy dalam Masyarakat Baduy percaya bahwa mereka adalah orang yang pertama kali diciptakan sebagai
pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi. Segala gerak laku masyarakat Baduy harus
berpedoman kepada buyut yang telah ditentukan dalam bentuk pikukuh karuhun. Seseorang
tidak berhak dan tidak berkuasa untuk melanggar dan mengubah tatanan kehidupan yang telah
ada dan sudah berlaku turun temurun. Pikukuh itu harus ditaati oleh masyarakat Baduy dan
masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy. Ketentuan-ketentuan itu diantaranya
adalah :
1) Dilarang masuk hutan larangan (leuweung kolot) untuk menebang pohon, membuka ladang
atau mengambil hasil hutan lainnya
2) Dilarang menebang sembarangan jenis tanaman, misalnya pohon buah-buahan, dan jenis-
jenis tertentu
3) Dilarang menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, dan obat
pemberantas hama penyakit dan menuba atau meracuni ikan
4) Berladang harus sesuai dengan ketentuan adat, dll
Buyut dan pikukuh karuhun dilafalkan dangan bahasa sunda kolot dalam bentuk ujaran yang
akan disampaikan pada saat upacara-upacara adat atau akan diceritakan oleh orang tua kepada
anak-anaknya.Ujaran- ujaran itu dianggap sebagai prinsip hidup masyarakat Baduy.
Kearifan lokal masyarakat Baduy berkaitan dengan mitigasi bencana gempa bumi, tanah
longsor, banjir, dan kebakaran tercermin dalam (1) tradisi perladangan, yakni dengan aturan
pemilihan lokasi ladang (huma), waktu berladang, tata cara membuka dan membakar lahan,
hingga peralatan yang diperbolehkan untuk digunakan.Tradisi perladangan menghindarkan
dari bahaya longsor, dan kebakaran. (2) Aturan dan pikukuh dalam membuat bangun
bangunan rumah, jembatan, lumbung, dan sebagainya dengan bahan bambu, ijuk, dan kirey
tanpa paku. Bangunan didirikan di atas tanah menyesuaikan kontur tanah, didirikan di atas
umpak, tidak diperbolehkan mengubah kontur tanah. Hal itu merupakan mitigasi terhadap
bencana gempa, longsor, banjir, dan kebakaran. (3) Pembagian zona hutan dalam tiga wilayah
sebagai wujud nyata pelestarian ekosistem dan merupakan mitigasi terhadap bencana longsor,
banjir, erosi, dan bencana lainnya
Sumber : Suparmini,.dkk, (2013)
Selain contoh diatas, salah satu bentuk kearifan lokal lainnya di Aceh terselamatkan saat tsunami terjadi (Resapati
dalam mitigasi bencana yang terdapat pemukiman di kaki W, 2010 dalam Desfandi 2014).
Gunung Merapi yang setiap saat dapat terancam bencana Bentuk lain dari kearifan lokal masyarakat jawa adalah,
letusan, serta pemukim di pantai yang juga setiap saat dapat keengganan orang Jawa untuk menebang pohon besar lebih
terancam bencana gempa dan tsunami dengan kentongan. karena pohon itu ada yang menungggu. Bila ada yang berani
Kentongan menjadi sangat penting untuk menyampaikan menebangnya akan kesambet atau kesurupan. Sikap dan
informasi akan datangnya bencana secara cepat dan luas. perilaku yang didasari oleh kepercayaan tersebut, bila dikaji
Sistem ini juga telah teruji, kentongan telah mampu secara ilmiah sebetulnya memiliki nilai tinggi dari sudut
menyampaikan pesan secara sambung-menyambung pandang ekologis. Soalnya keberadaan pohon besar yang tua
(tundan) (Suhardjo, 2011). dan rindang tersebut tidak hanya member keteduhan,
Smong adalah kearifan lokal masyarakat di Pulau menyegarkan (mengubah CO2 menjadi O2) mengurangi
Simeulue dalam membaca fenomena alam pantai telah panas atau temperature udara, dan menahan longsor, tetapi
menyelamatkan banyak masyarakat dari bencana tsunami. berperan dalam menjaga dan menyerap air (Budihardjo,
Teriakan smong merupakan peringatan dini yang diartikan 2015 dalam Inoguchi., dkk, 2015).
adanya situasi dimana air laut surut dan masyarakat harus Dengan berbagai contoh bentuk kearifan lokal dalam
lari ke bukit. Ini adalah pengetahuan yang diperoleh dari mitigisi bencana diatas, sebelum diterapkan dalam
leluhur belajar dari kejadian bencana yang pernah terjadi pembelajaran di kelas perlu diidentifikasi bentuk-bentuk
puluhan tahun lalu. Smong ini yang menyelamatkan kearifan lokal sesuai dengan daerah atau lokasi siswa
masyarakat di pulau sangat dekat dengan pusat gempa. tersebut berada. Pada tahap ini guru bersama siswa
Smong bagi masyarakat pulau Simeulue disosialisasikan mengidentifikasi kearifan local dalam mitigasi bencana yang
turun temurun melalui dongeng dan legenda oleh tokoh ada di lingkungan siswa. Disinilah peran guru membimbing
masyarakat sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya siswa untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kearifan lokal
di hati masyarakat pulau itu. Dengan pengetahuan yang yang ada di daerahnya.
dimiliki orang Simeulue banyak masyarakat pesisir pantai

22
Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia
Volum 2 Nomor 2 bulan September 2017. Page 18 - 24
p-ISSN: 2477-5940 e-ISSN: 2477-8435

b. Mengitegrasikan potensi bencana dan kearifan local tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam
dalam mitigasi bencana dalam pembelajaran beriteraksi dengan keluarga, teman dan guru); 3)
Dalam surat edaran Mendiknas Nomor pengetahuan (memahami pengetahuan factual dengan
70a/MPN/SE/2010 tentang pengarusutamaan pengurangan mengamati , mendengar, melihat, membaca dan menanya
risiko bencana di sekolah dijelaskan bahwa kebijakan ini berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan
menggarisbawahi tiga poin penting dalam implementasi Tuhan dan kegiatanya, dan benda-benda yang dijumpainya
strategi mitigasi bencana di sekolah antara lain: (1) di rumah, disekolah dan tempat bermain) ; dan 4)
pemberdayaan peran kelembagaan dan kapasitas komunitas keterampilan (menyajikan pengetahuan factual dalam bahasa
sekolah; (2) integrasi Pengurangan Resiko Bencana (PRB) yang jelas dan logis, dalam karya yang estetis, dalam
ke dalam kurikulum sekolah; dan (3) pembentukan gerakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan
kemitraan dan jaringan antara beragam pihak guna berakhlak mulia).
mendukung implementasi inisiatif PRB di sekolah. Mengintegrasikan kearifan lokal dalam mitigasi bencana
Sosialisasi ini dapat dilaksanakan pada kegiatan pada kurikulum 2013, dapat membentuk sikap spiritual yang
intrakulikuler yang diintegrasikan dalam beberapa mata tinggi tentang kebesaran Tuhan Yang maha Esa. Hal ini
pelajaran maupun kegiatan ekstrakurikuler di sekolah terkait dengan temuan penelitian Adiyoso dan Kanegae
dengan berbagai alternatif yang disarankan dalam pedoman (2013), jumlah jawaban yang lebih besar dari anak-anak
pengarusutaman pengurangan resiko bencana. Kurikulum sekolah terhadap penyebab tsunami menunjukkan bahwa
tersebut merupakan kurikulum pendidikan lingkungan hidup peran agama dalam memahami fenomena alam sangat
dan mitigasi bencana sesuai standar yang ditetapkan BSNP penting. Dalam mengembangkan materi terkait pengurangan
yang diintegrasikan dengan kurikulum yang digunakan oleh risiko bencana di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia,
sekolah. Porsi peranan pemerintah dalam pelaksanaan keyakinan bahwa bencana disebabkan karena hukuman
kurikulum tersebut yaitu 40 % dari pemerintah pusat dan Tuhan harus lebih diberikan perhatian. Biar bagaimanapun,
60 % dari pemerintah daerah. keyakinan tersebut tidak akan secara signifkan
Potensi bencana dapat dintegrasikan ke dalam Kurikulum mempengaruhi pengurangan risiko bencana yang efektif jika
2013, dengan melihat empat kompetensi inti. Langkah yang orang memiliki kemauan untuk membangun kesiapsiagaan
dapat dilakukan guru adalah pemetaan kompetensi dasar yang tepat. Sangat penting untuk mengembangkan
pada masing-masing tema dan menentukan indikator dengan pengetahuan bencana berdasarkan perspektif keagamaan.
melihat potensi bencana yang dapat terjadi di wilayah siswa Sikap sosial pada siswa akan terbentuk dengan
itu berada dan kearifan local dalam mitigasi bencana. mengitegrasikan kearifan lokal dalam mitigasi bencana.
Menurut Shaw.,dkk (2009) “For the prevention of Karena dengan kearifan lokal, siswa menjadi peduli akan
disasters, we should understand disaster mechanisms and pentingnya menjaga lingkungan, pentingnya perilaku
locality. We can learn about locality from the community disiplin, dan bagaimana beriteraksi dengan teman ketika
and mechanism from school lectures”. Untuk pencegahan terjadi bencana.
bencana, kita harus memahami mekanisme bencana dan Pembentukan pengetahuan siswa dengan menggunakan
wilayah. Kita bisa belajar tentang wilayah dari masyarakat kearifan lokal dalam pembelajaran merupakan salah satu
dan mekanisme dari pembelajaran di sekolah. bentuk pendekatan kontekstual. Jhonson (2014), pendekatan
Pencegahaan bencana dapat dilakukan di sekolah dengan kontekstual adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan
menggunakan kearifan local dari masyarakat setempat. menolong para siswa melihat makna di dalam materi
Shaw., dkk (2009) menerapkan model KIDA (Knowledge, akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan
Interest, Desire, Action) dalam pendidikan kebencanaan. subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan
Knowledge (memberi kesadaran tentang bahaya dan resiko keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi,
bencana), Interest (menumbuhkan rasa ingin tahu tentang social, dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini,
bahaya dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana), system tersebut meliputi delapan komponen berikut:
Desire (menjadikan siswa aktif dalam kesiapsiagaan bencana) membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan
dan Action (mengambil langkah-langkah yang dipersiapkan pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur
dalam menghadapi bencana). sendiri, melakukan kerja sama, berpikir kritis dan kreatif,
Berdasarkan kajian Selby dan Kagawa (2012), terdapat membantu individu untuk tumbuh dan berkembang,
beberapa pendekatan dalam mengitegrasikan bencana alam mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian
ke dalam kurikulum yaitu : 1) The textbook-driven 2) The autentik.
pilot project approach; 3) The centralized competency- Selain itu pembentukan pengetahuan siswa sangat
based approach ; 4)The centrally developed special subject dipengaruhi berbagai factor yang mencangkup kehidupan
(dedicated space) approach; 5) The symbiosis approach manusia. Brofenbrenner dalam Faizah (2008),
dan ; 6)The special event approach. Kurikulum yang perkembangan anak dipengaruhi oleh konteks mikro system
berlaku di Indonesia adalah kurikulum 2013. Pada (keluarga, sekolah dan teman sebaya), konteks mesosistem
kurikulum 2013 terdapat empat kompetensi inti yaitu : 1) (hubungan keluarga dan sekolah, sekolah dengan sebaya,
sikap spiritual (menerima dan menjalankan agama yang dan sebaya dengan individu), konteks ekosistem (latar sosial
dianutnya): 2) sikap social (memiliki perilaku jujur, disiplin, orang tua dan kebijakan pemerintah), dan konteks

23
Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia
Volum 2 Nomor 2 bulan September 2017. Page 18 - 24
p-ISSN: 2477-5940 e-ISSN: 2477-8435

makrosistem (pengaruh lingkungan budaya, norma, agama, DAFTAR PUSTAKA


dan lingkungan sosial di mana anak dibesarkan. Kearifan
lokal merupakan konteks makrosistem dalam pembentukan Adiyoso, W., Kanegae, H. 2013. Efektifitas Dampak Penerapan Pendidikan
pengetahuan siswa. Kebencanaan di Sekolah terhadap Kesiapsiagaan Siswa
Mitigasi bencana merupakan bentuk dalam bersikap Menghadapi Bencana Tsunami Di Aceh. Indonesia.
http://perpustakaan.bappenas.go.id/. diunduh 19 November 2016.
menghadapi bencana, baik pada saat pencegahan bencana, Desfandi, M. 2014. Urgensi Kurikulum Pendidikan Kebencanan Berbasis
saat terjadi bencana, dan setelah terjadi bencana. Menurut Kearifan Lokal Di Indonesia.
Adiyoso dan Kanegae (2013), memberikan pengetahuan http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/SOSIO-
mengenai bencana dalam program pendidikan bencana FITK/article/view/1261. Diunduh 24 Desember 2016.
Faizah, D.U. 2008. Keindahan Belajar Dalam Perspektif Pedagogi:
bukanlah tugas yang begitu berat. Tantangannya adalah Memaknai Pengembangan Dan Pergelutan Masa Inisiatif TK dan
bagaimana program pendidikan bencana dapat mendorong Masa Industri di Kelas Awal SD.Cindy Grafika
masyarakat untuk memperbarui informasi, meningkatkan Hayat, B., Yusuf, S. 2015. Bencmark Internasional Mutu Pendidikan.
tingkat persepsi risiko, menjaga kesadaran, serta melakukan Jakarta. Bumi Aksara.
Inoguchi, T., Newman, E., Paoletto, G., 2015. Kota Dan Lingkungan
dan memperbarui persiapan yang tepat terhadap bencana di Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi. Jakarta.
masa mendatang. Sebagai tindak lanjut, perlu dikembangkan LP3ES Indonesia.
berbagai pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang Johnson, E. B.(2014). Contextual Teaching And Learning: Menjadikan
akan mampu mencapai tujuan utama dari pengurangan risiko Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan Dan Bermakna.
Bandung, Kaifa.
bencana: membuat orang memiliki budaya kesiapsiagaan Klara, K., et al. 2015. Ethnic Pedagogy as an Integrative, Developing
bencana. Metode ceramah dalam pendekatan pembelajaran Branch of Pedagogy.
akan kurang efektif kecuali didukung oleh metode yang http://www.mcser.org/journal/index.php/mjss/article. Diunduh 25
berbeda termasuk simulasi permainan, kunjungan lapangan, Desember 2016.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 33 Tahun 2006 Tentang Pedoman
percobaan dan pelatihan rutin bencana Umum Mitigasi Bencana.
Peran guru pada tahap ini adalah mengitegrasikan Rissa, K.A., Suliyanah., Hasan, S. 2015. Melatih Sikap Tanggap Bencana
kearifan lokal dalam mitigasi bencana dalam bentuk bahan Siswa Melalui Pembelajaran Yang Mengintegrasikan Nilai
ajar atau sumber belajar. Mengintegraisikannya kedalam Kearifan Lokal . www.google.co.id/. Diunduh 22 Desember 2016.
Sarbaiani. 2016. Pendidikan Berbasis Etnopedagogi :Baiman, Bauntung dan
rencana pelaksanaan pembelajaran yang diawali dengan Batuah Eksplorasi Konsepsi dan Konten Pendidikan Urang Banjar.
pemetaan kompetensi inti dan kompetansi dasar yang http://eprints.unlam.ac.id/1260/1/2016%20PROCEEDING%20SE
terdapat pada masing-masing tema. Guru tidak lagi MINT%20ETHNOPEDAGOGY%20NOV,14,2015.pdf. Diunduh
berpatokan pada buku ajar tetapi menggunakan sumber 23 Desember 2016.
Selby, D., Kagawa, F. 2012. Disaster Risk Reduction In School Curicula:
belajar lain yaitu kearifan lokal. Dengan kearifan lokal Case Studies From Thirty
banyak nilai-nilai yang dapat diajarkan kepada siswa. Countries.https://www.unicef.org/education/files/DRRinCurricula-
Mapping30countriesFINAL.pdf. Diunduh 23 Desember 2016
III. KESIMPULAN Shaw, R.,et al. 2009. 1-2-3 of Disaster Education.
www.unisdr.org/files/12088 123sm.pdf. Diunduh 23 Desember
Bencana merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, 2016.
jadi tidak perlu takut dalam menghadapi bencana. Indonesia Suhadrjo, D. 2011. Arti Penting Pendidikan Mitigasi Bencana Dalam
Mengurangi Resiko Bencana. http:/download portalgaruda.org.
Negara yang terkurung dalam lingkaran bencana alam dan Diunduh 14 Desember 2016.
memiliki banyak suku, ras dan agama sudah barang tentu Suparmini., Setyawati., Sumunar, S.R.D. 2013. Mitigasi Bencana Berbasis
terdapat banyak kearifan lokal dalam hal mitigasi bencana. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy. Laporan Penelitian. Universitas
Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia dengan Negeri Yogyakarta.
http://eprints.uny.ac.id/24057/1/Laporan%20Penelitian-
berbasis budaya. Mitigasi%20Baduy.pdf. Diunduh 22 Desember 2016.
Kearifan lokal dalam mitigasi bencana alam layak Suratno, T. 2010. Memaknai Etnopedagogi Sebagai Landasan Pendidikan
digunakan dalam pembelajaran di Sekolah Dasar dengan Guru Di Universitas Pendidikan Indonesia.
mengitegrasikan ke dalam Kurikulum 2013 dengan berbasis http://file.upi.edu/Direktori/PROCEEDING/UPI-
UPSI/2010/Book_3. Diunduh 22 Desember 2016.
tematik dan pendekatan saintifik. Mengitegrasikan kearifan Suryadi, A. 2014. Pendidikan Indonesia Menuju 2025 Outlook:
lokal dalam pembelajaran, memberikan suasana belajar yang Permasalahan, Tantangan & Alternatif Kebijakan. Bandung.
bermakna. Kebermaknaan yang dimaksud adalah siswa Remaja Rosdakarya Offset.
belajar sesuai dengan konteks siswa tersebut berada dan
pecapain
Guru dan siswa memiliki peran penting dalam
kesiapsiagaan menghadapi bencana, memberikan
pengetahuan yang benar tentang bencana kepada
masyarakat. Sejak usia dini diajarkan tentang pentingnya
mitigasi bencana akan membentuk manusia Indonesia yang
tangguh dalam menghadapi bencana alam

24

Anda mungkin juga menyukai