Standar Pelayanan Minimal atau yang lebih dikenal dengan SPM merupakan kebijakan
pemerintah yang digulirkan bersamaan dengan reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah
berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan ini
diintrodusir dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom tertanggal 6 Mei 2000 pada
Penjelasan pasal 3 ayat (2) yang menyatakan bahwa “pelaksanaan kewenangan wajib merupakan
pelayanan minimal...sesuai dengan standar yang ditentukan Provinsi berdasarkan pedoman yang
ditetapkan oleh Pemerintah. Peraturan Pemeritah ini tidak secara eksplisit menyebutkan istilah
standar pelayanan minimal (SPM) tetapi secara implisit telah menjadi embrio kebijakan SPM;
Peraturan Pemerintah ini kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
Nomor 100/757/OTDA/2002, tertanggal 8 Juli 2002 yang ditujukan kepada Gubernur dan
Bupati/Walikota se-Indonesia mengenai Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan
Minimal (SPM).
Kebijakan SPM tersebut terus dipertahankan dan ditindaklanjuti meskipun UU No. 22/1999 telah
diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Manifestasi dari tetap dipertahankannya kebijakan SPM adalah adanya ketentuan pasal 11 ayat
(4) UU No. 32/2004 yang menyatakan bahwa “penyelenggaraan urusan yang bersifat wajib yang
berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh
Pemerintah”. Sebagai bentuk tindak lanjut kebijakan SPM adalah diterbitkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tertanggal 28 Desember 2005 tentang Pedoman Penyusunan
Standar Pelayanan Minimal yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor
6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal
tertanggal 7 Februari 2007.
Gambaran di atas menunjukkan adanya komitmen yang besar dari pemerintah untuk
melaksanakan kebijakan SPM guna meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai cerminan negara
kesejahteraan (welfare state) berdasarkan paradigma Good Governance . Kondisi ini berbeda
dengan praktek penyelenggaraan kebijakan SPM di lapangan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota). Dalam praktek penyelenggaraan kebijakan SPM
terindikasi masih banyak daerah yang belum menindaklanjuti kebijakan SPM dalam
penyelenggaraan pemerintahannya baik dalam kegiatan perencanaan, implementasi maupun
evaluasi kebijakan Daerah. Salah satu faktor penyebabnya adalah:
Pertama, masih banyaknya aparat pemerintah daerah khususnya aparat Kabupaten dan Kota yang
belum memahami kebijakan SPM secara benar sehingga timbul anggapan bahwa kebijakan SPM
bukan merupakan kebijakan yang menjadi prioritas;
Kedua, dengan pemahaman yang tidak benar tersebut maka kebijakan SPM tidak dimasukkan
dalam perencanaan pembangunan Daerah, bahkan tidak mendapat alokasi anggaran yang
memadai;
Ketiga, kebijakan SPM sebagai indikator kesejahteraan tidak dijadikan sebagai unsur penilaian
kinerja pemerintahan Daerah sehingga SPM tidak dijadikan salah satu indikator keberhasilan
Kepala Daerah. Dengan kondisi yang demikian maka SPM cenderung diabaikan baik oleh
pemerintah daerah, DPRD maupun masyarakat.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas dan dalam rangka turut mensukseskan kebijakan SPM,
penulis memandang perlu menyajikan tulisan singkat ini mengenai Kebijakan Standar Pelayanan
Minimal di Indonesia. Tulisan ini dimaksudkan untuk menjembatani perumus kebijakan yang
ada di Pusat dengan pelaksana kebijakan yang ada di Daerah serta untuk mensosialisasikan
kebijakan SPM secara lebih luas.
TUJUAN SPM
Tujuan SPM adalah mengurangi kesenjangan pelayanan kesehatan antar daerah. SPM disusun
sebagai alat pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin:
Akses; dan
Mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan
urusan wajib (PP no 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapanan
Standar Pelayanan Minimal. Pasal 3 ayat 1).
Isu operasional tentang SPM
Pelaksanaan SPM dipengaruhi oleh :
1) Kemauan dan Kemampuan pemerintah daerah
2) Keberadaan sistem informasi dan datanya, dan
3) Tersedianya sumber dana pemerintah pusat sebagai penjamin terakhir (Pasal 7 dan 16 PP
65).
Pasal 16 PP No. 65 :
1) Pemerintah wajib mendukung pengembangan kapasitas pemerintah daerah yang belum
mampu mencapai SPM
2) Pemerintah dapat melimpahkan tanggung jawab pengembangan kapasitas Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota yang belum mampu mencapai SPM kepada Gubernur sebagai
Wakil Pemerintah di Daerah
3) Dukungan pengembangan kapasitas Pemerintah Daerah berupa fasilitasi, pemberian
orientasi umum, petunjuk tenis, bimbingan teknis pendidikan dan pelatihan atau bantuan
teknis lainnya
4) Dukungan di atas mempertimbangkan kemampuan kelembagaan, personil, dan keuangan
negara serta keuangan daerah.
SPM DI BIDANG KESEHATAN
Peraturan Menteri Kesehatan RI No 741 tahun 2008, tentang Standar
Pelayanan Minimal bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota
Batasan :
1. Standar pelayanan minimal bidang kesehatan selanjutnya disebut SPM Kesehatan adalah tolok
ukur kinerja pelayanan kesehatan yang diselenggarakan daerah kabupaten/kota
2. Pasal 3 : di luar jenis pelayanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2), kabupaten/kota
tertentu wajib menyelenggarakan jenis pelayanan sesuai kebutuhan, karateristik dan potensi
daerah
3. Pasal 4 : SPM kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 diberlakukan juga
bagi daerah khusus ibukota jakarta
4. Kabupaten/kota menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai SPM kesehatan
Standar pelayanan minimal adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur mengenai jenis dan
mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga
secara minimal. Sebagai sebuah kebijakan yang baru diperkenalkan, standar pelayanan minimal
sudah selayaknya didukung oleh peraturan perundang-undangan yang memadai mulai dari
undang-undang, peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri terkait. Di sisi lain sebagai
sebuah kebijakan baru, standar pelayanan minimal sedang dalam proses pencarian bentuk dan
sosialisasi yang membutuhkan waktu tidak sedikit, mengingat perlunya kesamaan pemahaman
antara perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan di lapangan, terlebih lagi seringnya terjadi
proses penyesuaian kebijakan yang disebabkan oleh dinamika masyarakat yang menjadi obyek
kebijakan. Oleh sebab itu pelembagaan suatu kebijakan tidak terlepas dari proses perkembangan
dalam rangka beradaptasi dengan lokus kebijakan. Proses adaptasi kebijakan tersebut pada
umumnya terwadahi dalam bentuk ketentuan peralihan yaitu suatu periode waktu sebuah
kebijakan mempersiapkan lokus kebijakan. Di sisi lain obyek kebijakan diberi kesempatan untuk
melakukan adaptasi terhadap pemberlakuan kebijakan
d. Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Cakupan Desa Siaga Aktif 80% pada
Tahun 2015.