Anda di halaman 1dari 7

ILMU & TEKNOLOGI

Generasi Ketiga BBM dari Kolam Hijau

Para ahli IPB mengembangkan ganggang renik menjadi biofuel. Lebih efektif dibandingkan
dengan buah jarak dan lebih ramah lingkungan. Calon pengganti minyak bumi?

Sebuah kolam berkuran 5 x 18 meter terhampar di belakang kampus Institut Pertanian Bogor
(IPB), Baranangsiang, Bogor. Di dalam kolam ada lima unit bak yang diletakkan berjejer
tertutup kaca. Airnya menghijau seperti dipenuhi lumut tebal. Toh, Ir. Mujizat Kawaroe, MSi, 43
tahun, dosen di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan IPB, betah
berlama-lama di sana. Ia sedang melakukan penelitian tentang bioenergi.

Kolam berukuran 5 x18 meter itu sebenarnya lokasi uji coba pembiakan ganggang renik. "Budi
daya" ganggang itu dilakukan tim peneliti Surfactan and Bioenergy Research Center (SBRC)
IPB, tempat Mujizat menjadi salah satu anggotanya. Boleh jadi, kolam itu ikut menentukan
masa depan ketersediaan bahan bakar alternatif di Indonesia.

Mujizat dan rekan-rekan timnya sedang mengembangkan bahan bakar energi alternatif dari
ganggang renik. Karena itu, ganggang justru dibiarkan tumbuh subur. Inilah bioteknologi yang
sedang giat dikembangkan para ahli; membiakkan ganggang renik (mikroalga) untuk diubah
menjadi biofuel. Warna hijau di bak-bak budi daya Mujizat itu adalah warna ganggang, bukan
lumut.

Mikroalga adalah koloni tumbuhan renik yang hidup di seluruh wilayah perairan tawar, payau,
ataupun yang asin (laut). Ganggang mikro yang tak kasatmata itu lazim disebut fitoplankton.
''Mikroalga pada saat ini menjadi salah satu sumber energi baru alternatif yang sangat
potensial,'' kata Mujizat. Sejauh ini, para ahli mengenal setidaknya empat kelompok utama
mikroalga yang potensial dapat diolah menjadi biofuel. Yakni diatom (Bacillariophyceae),
ganggang hijau (Chlorophyceae), ganggang emas (Chrysophyceae), dan ganggang biru
(Cyanophyceae).

''Keempatnya bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku biofuel,'' tutur Mujizat. Tentu saja, ketika
bumi dilanda krisis energi, cara apa pun bakal ditempuh ilmuwan untuk mengatasinya. Sebagai
ahli tumbuhan laut, Mujizat memilih meneliti dan mengembangkan mikrogalga sebagai energi
alternatif sejak 2005.

Mikroalga memenuhi kriteria untuk dapat dibudidayakan sebagai penghasil BBM (bahan bakar
minyak). ''Kandungan minyaknya tinggi, tahan perubahan lingkungan, dan memiliki laju
pertumbuhan tinggi,'' kata Mujizat. Pembiakan mikrogalga juga sedang dilakukan di banyak
negeri, seperti di Amerika Serikat, Spanyol, Jerman, dan Belanda (lihat: Bakteri, Bahan Bakar
Masa Depan). ''Tapi, di luar negeri, pengembangannya kurang optimal karena kurang sinar
matahari yang penting untuk pertumbuhan alga,'' ujar Mujizat.
Awalnya, Mujizat melakukan penelitian sendiri dengan membiakkan ganggang di belakang
gedung SBRC IPB. Karena belum ada sponsor, ia terpaksa memakai honor penelitiannya untuk
biaya. ''Totalnya mencapai Rp 150 juta. Mula-mula ini memang penelitian pribadi,'' kata Mujizat.
Lama-kelamaan, ada satu-dua sponsor yang datang membantu. PT Freeport Indonesia,
misalnya, menyumbang koleksi mikroalga dari perairan Arafura, Papua.

Selain Arafura, Mujizat juga meneliti mikroalga lainnya dari sejumlah perairan, seperti di
Kepulauan Seribu, perairan Manado, hingga Pulau Batam, selama dua tahun terakhir. Sejauh
ini, ia menemukan setidaknya 11 jenis mikroalga. Yang dianggapnya potensial sebagai
penghasil bahan bakar nabati adalah Chlorella, yang memiliki kandungan minyak mentah
(crude alga oil) mencapai 32%, Dunaliella (23%), Isochrysis galbana (35%), dan
Nannochloropsis oculata (68%).

Tahap selanjutnya adalah membiakkan jasad renik tersebut. Walaupun cepat tumbuh,
membiakkan ganggang yang berkualitas baik tidaklah gampang. Awalnya, bibit-bibit ganggang
renik itu disimpan dalam botol-botol pireks di ruangan khusus berukuran 2 x 2 meter. Suhu
ruangan diatur mencapai 18 derajat celsius, yang diterangi dengan beberapa lampu neon
berdaya 20 watt. ''Ini agar bibit-bibit itu tak terkontaminasi unsur lain,'' tutur Mujizat. Pada
kondisi ini, mikroba lain tertekan, sedangkan mikroalga berkembang.

Hingga tahap ini, menurut Mujizat, jumlah sel alga yang tumbuh relatif sedikit, yakni 2-5 juta sel
per cc. Padahal, kondisi ideal untuk disemai, kepadatan selnya harus mencapai 10-20 juta sel
per cc. ''Kondisi itu bisa tercapai pada kisaran waktu empat hingga tujuh hari,'' kata Mujizat.

Nah, pada tahap ini harus hati-hati. Soalnya, setelah mencapai perkembangan optimum, grafik
pertumbuhan alga itu cepat menurun. Kalau dibiarkan, mereka akan mati sendiri. ''Karena
itulah, grafik pertumbuhannya harus selalu dipantau melalui pengecekan jumlah selnya setiap
hari,'' ujar Mujizat.

Waktu pembiakan bibit yang ideal, menurut Mujizat, adalah sore hari. Ini agar agar alga bisa
menyesuaikan diri dengan iklim di luar sebelum berfotosintesis dengan pencahayaan sinar
matahari. ''Kalau pagi hari, alga belum sempat menyesuaikan diri dengan iklim. Jika langsung
terkena sinar matahari, bisa mati,'' kata Mujizat.

Setelah jumlah sel bibit berkembang sempurna, tiba waktunya untuk disemai di kolam. Untuk
mencapai hasil optimal, takaran jumlah bibit adalah sekitar 10 liter untuk air 100 liter di kolam
pembiakan. ''Suhunya diatur sekitar 28 derajat celsius, dengan keasaman (pH) 6-7 dan
kedalaman kolam 20-40 sentimeter,'' tutur Mujizat.

Setelah sepekan hingga 10 hari, ganggang renik siap dipanen. Dari 1 ton panen akan diperoleh
1 liter natan, berwujud pasta yang masih mengandung 85% air. ''Setelah dikeringkan, alga
selanjutnya diekstraksi dengan pelarut hexan atau diethyl ether, tergantung jenis alganya,'' kata
Mujizat. Selanjutnya ekstraksi ini menghasilkan minyak alga, yang setelah diolah dapat
menghasilkan biofuel (lihat grafik). Hasil residu minyak alga pun dapat diproses menjadi
bioethanol dan pakan ternak.

Inilah sejumlah kelebihan budi daya mikroalga. Proses pengolahan minyak alga sangat ramah
lingkungan. Ketika tumbuh, mikroalga hanya memerlukan karbondioksida (CO2).
Pertumbuhannya meningkat 2,5 kali jika ke dalam air tempat pembiakan dipasok CO2. Untuk
kolam budi daya mikroalga berukuran sekitar 5 meter kubik, diperlukan 1 kilogram CO2 setiap
hari. Jadi, sampai masa panen selama 10 hari, dibutuhkan 10 kilogram CO2.

Mujizat melihat, kultivasi mikroalga berpeluang mengatasi masalah pemanasan global. ''Budi
daya mikroalga ini dapat saja bekerja sama dengan pabrik untuk diserap gas karbonnya,'' tutur
Mujizat. Cerobong pabrik yang kaya CO2 dari hasil pembakaran BBM-nya bisa didaur ulang.

Tak hanya itu. Mikroalga pun lebih efektif menghasilkan biofuel jika dibandingkan dengan
kultivasi lainnya di darat (lihat: Yang Terbanyak Produksi Biofuel Per Tahun). Menurut kalkulasi
Mujizat, pada 1 hektare ladang minyak bumi rata-rata hanya bisa disedot 0,83 barel minyak per
hari, sampai kemudian habis dan tak berproduksi lagi. Sedangkan pada luas yang sama, budi
daya mikroalga menghasilkan 2 barel bahan bakar.

Kolam mikroalga itu lebih produktif karena ganggang termasuk jenis tumbuhan berklorofil yang
sangat efisien mengonversi cahaya matahari yang diserapnya menjadi senyawa hidrokarbon.
Dalam proses yang cepat, senyawa tadi diubah menjadi senyawa minyak.

Tapi yang masih menjadi perhatian Mujizat adalah stabilitas produksi mikroalga. ''Tingkat
produktivitasnya rata-rata masih rendah. Perlu penelitian mendalam untuk meningkatkan
produktivitasnya,'' kata Mujizat. Dalam konteks ini, tak tertutup kemungkinan dilakukan rekayasa
genetik untuk menghasilkan mikroalga yang lebih efisien mengonversi radiasi matahari menjadi
hidrokarbon.

Lebih jauh, agar bahan bakar ganggang renik ini bisa dinikmati masyarakat luas, tentu
diperlukan banyak penyesuaian lagi. Apakah kelak mampu menggantikan minyak bumi? Tentu
banyak yang berharap demikian, termasuk PT Diatoms Cell Bioenergy. Walaupun
pengembangan mikroalga itu masih dalam tahap penelitian, Diatoms sudah berani berinvestasi.

Perusahaan itu sepakat membiayai penelitian mikroalga hingga membuat suatu pilot project
yang akan dilaksanakan pada 2011, sejak Agustus lalu. ''Prospek dan nilai ekonomis
pengembangan biofuel mikroalga sangat menjanjikan di Indonesia,'' kata Direktur Utama PT
Diatoms, Dudy Christian. Apalagi, iklim tropis Indonesia sangat mendukung budi daya
mikroalga.

Soal pengolahan mikroalga, Diatoms memang sudah berpengalaman. ''Grup perusahaan kami
yang lain sudah bergerak dalam bisnis pengolahan ganggang BBM ini,'' kata Suryanto, Direktur
PT Diantoms. Yakni dalam hal penyediaan peralatan budi daya, pengolahan biofuel, dan
sebagainya.

Karena itulah, setelah melalui kajian mendalam sejak delapan bulan lalu, Diatoms mantap untuk
terjun ke bisnis ganggang BBM ini. ''Modal investasi awal mencapai US$ 700.000. Jumlah ini
akan bertambah sesuai dengan kondisi di lapangan,'' ujar Suryanto. Suatu kawasan seluas 1
hektare di Cimalaya, Sukabumi, Jawa Barat, telah disediakan untuk budi daya mikroalga.

Selain itu, PT Diatoms juga berencana membuka sejumlah lahan lainnya di Pulau Jawa dan
Kalimantan. ''Kami sudah berdiskusi dengan beberapa gubernur, dan respons mereka bagus,''
kata Suryanto kepada wartawan Gatra Antonius Un Taolin.

Targetnya, dalam waktu lima tahun sejak sekarang, dapat didirikan pabrik percontohan BBM
mikroalga. Setelah itu, bahan bakar yang sering disebut ''minyak generasi ketiga'' ini dapat diuji
coba pada kendaraan bermotor. Masyarakat pun dapat menikmati minyak ramah lingkungan ini.
Seperti minyak nabati lainnya, BBM mikroalga itu juga tak menyebabkan pertambahan gas
rumah kaca di atmosfer. Sebab jumlah karbon yang dilepaskan akan sama dengan jumlah
karbon yang diserap dalam proses budi dayanya.

Nur Hidayat dan Syamsul Hidayat

Bakteri, Bahan Bakar Masa Depan

Bakteri dan jasad renik selama ini secara sederhana sering dianggap sebagai kelompok kuman
yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Kenyataannya, banyak mikroba yang bermanfaat.
Bahkan kini, berkat kemajuan bioteknologi, bakteri dan ganggang renik (mikroalga) justru dapat
membantu peradaban manusia untuk lebih lama bertahan. Alga sendiri sudah lama digunakan
untuk berbagai bahan kosmetik dan makanan.

Lebih dari itu, ilmuwan menyebut alga dan sejenisnya sebagai bahan bakar minyak generasi
ketiga. Minyak bumi dari fosil sebagai minyak generasi pertama mulai menipis. Kemudian para
teknolog beralih pada minyak generasi kedua yang diambil dari bahan bakar alternatif nabati,
seperti jagung dan buah jarak. Namun bisnis ini tersendat karena upaya membuat bahan bakar
nabati itu selalu bertentangan dengan industri pangan, selain efisiensinya rendah.

Akhirnya perhatian dunia beralih pada bioteknologi budi daya mikroalga (algaculture) untuk
membuat berbagai macam jenis minyak. Mulai minyak sayur, biodiesel, bioethanol, biogasoline,
biomethanol, hingga beragam jenis biofuel lainnya. Budi daya alga sebagai penghasil bahan
bakar sejauh ini dianggap paling efektif menghasilkan biodiesel.
Data Departemen Energi Amerika Serikat menunjukkan, lahan kacang kedelai seluas lapangan
sepak bola menghasilkan biofuel yang setara dengan lahan mikroalga yang hanya seluas
garasi. Walhasil, Amerika Serikat serius menerapkan bahan bakar mikroalga ini.

Departemen Energi Amerika memperkirakan, jika ''negeri Paman Sam'' itu akan mengganti
seluruh konsumsi minyak buminya dengan energi alternatif, maka pilihannya akan jatuh pada
budi daya mikroalga. Betapa tidak, ladang minyak ganggang yang dibutuhkan mencapai 40.000
kilometer persegi untuk seluruh negeri.

Luas lahan itu hanya 1/7 dari luas perkebunan jagung untuk etanol di seluruh Amerika Serikat
pada tahun 2000. Maka, Departemen Energi Biomas dan Biofuel Amerika Serikat pun
mengajukan petisi khusus kepada anggota Kongres untuk memusatkan perhatian penelitian
pada biofuel alga.

Tampaknya pilihan ini masuk akal. Sejumlah hasil penelitian lainnya juga menunjukkan hal yang
sama. Biodesign Institute, sebuah lembaga penelitian molekuler, menunjukkan bagaimana
bakteri menjadi salah satu tumpuan harapan yang dapat diandalkan untuk mengatasi krisis
energi tanpa merusak lingkungan atau bersaing dengan masalah pangan. Tim ahli Biodesign
yang dipimpin Dr. Bruce Rittmann memuat hasil telaah mereka dalam Nature Reviews
Microbiology, edisi Agustus lalu.

Menurut Rittmann, ada dua kecenderungan utama yang membuat mikroalga atau bakteri
menjadi penting. Pertama, mikroorganisme bisa tumbuh tanpa oksigen dan mereka
menghasilkan sejumlah unsur yang diperlukan untuk energi, seperti gas metan, hidrogen,
bahkan arus listrik. Kedua, jasad renik itu menangkap cahaya matahari, kemudian
memproduksi biomassa baru yang dapat diolah menjadi energi alternatif, seperti biodiesel,
dengan efisien.

Biodesign telah meneken kontrak dengan raksasa minyak Beyond Petroleum. Mereka sepakat
untuk membangun proyek pembiakan bakteri fotosintetik, yang bakal menghasilkan biodiesel
dalam skala besar.

Untuk mendukung proyek ini, Biodesign juga giat memetakan sejumlah genom bakteri dan
jasad renik yang diduga mampu menghasilkan energi. ''Pemetaan genom ini sangat penting
untuk mengetahui sampai sejauh mana bakteri itu dapat diolah menjadi energi terbarukan,'' kata
Bruce Rittmann.

Sejauh ini, telah teridentifikasi sebanyak 75 genom mikroorganisme yang potensial


dikembangkan menjadi bahan bakar. Sebanyak 21 genom di antaranya cocok untuk
memproduksi metan, 24 genom berasal dari bakteri yang memproduksi hidrogen atau listrik,
dan 30 genom dari cyanobacteria yang mampu menghasilkan biodiesel.

Nur Hidayat
Yang Terbanyak Produksi Biofuel Per Tahun

Jenis
Biofuel (liter/hektare)

Mikroalga
136.900
Kelapa sawit
5.960
Kelapa
2.689
Jarak pagar
1.892
Jagung
172
Kedelai
44
Sumber: SBRC, IPB

Menuai Minyak Ganggang

Panen 1 ton

1 liter natan

dikeringkan

ekstraksi

ampas minyak

lumpur pati pemurnian

pakan ternak fermentasi esterifikasi/transesterifikasi


penguapan biodiesel kotor
distilasi pemurnian
bioethanol biodiesel

• Indonesia sangat potensial untuk budi daya biofuel ganggang.


• Mikroalga lebih efektif menghasilkan bahan bakar daripada ladang minyak.

• Bakteri menjadi tumpuan energi alternatif masa depan.

http://arsip.gatra.com/2008-10-13/majalah/artikel.php?pil=23&id=119550

Anda mungkin juga menyukai