Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu rongga

(rongga abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas (Rassner et al, 1995).

Menurut Smeltzer, S.C et al (2001), abses adalah infeksi bakteri setempat yang

ditandai dengan pengumpulan pus (bakteri, jaringan nekrotik dan SDP). Sedangkan

menurut EGC (1995), abses adalah kumpulan nanah setempat dalam rongga yang

terbentuk akibat kerusakan jatingan. Daerah inguinal adalah daerah dinding perut

bagian bawah atau pangkal paha. Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan

bahwa abses inguinal merupakan kumpulan nanah pada inguinal akibat infeksi

bakteri setempat.

Salah satu penyebab abses inguinal adalah pasca operasi hernia. Beberapa

faktor yang mempengaruhi adanya infeksi yaitu sifat struktural mesh, seperti

diameter pori (kurang dari 10 µm, jumlah jahitan, karakteristik filamen dan

biologis. Selain itu, laju adhesi dan pembentukan seroma juga berperan dalam

terjadinya infeksi. Bakteri melekat, menjajah, dan membangkitkan migrasi sel

inflamasi sehingga menyebabkan infeksi klinis.

Penggunaan prostesis sering digunakan dalam pembedahan hernia. Namun,

ketika ditempatkan in vivo, bahan prostetik menghasilkan permukaan glikoprotein

yang memungkinkan pengikatan bakteri. Hal ini memungkinkan bakteri untuk

bereproduksi dan menyebabkan infeksi (sekitar 2%).


1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi, etiologi, dan manifestasi klinis abses inguinal?

2. Bagaimana patofisiologi dan penegakan diagnosis abses inguinal?

3. Bagaimana penatalaksaan abses inguinal?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi, etologi, dan manifestasi klinis abses inguinal

2. Untuk mengetahui patofisiologi dan penegakan diagnosis abses inguinal

3. Untuk mengetahui penatalaksanaan abses inguinal

1.4 Manfaat

Menambah wawasan mengenai penyakit abses inguinal dan sebagai proses

pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik

bagian ilmu bedah.


BAB 2

STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn. F

Umur : 19 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Jl. Mangga RT 04 RW 01, Kel. Kemulan, Kec.

Turen, Kab. Malang, Jawa Timur

Pekerjaan : Pelajar

Suku : Jawa

Agama : Islam

Tanggal MRS : 12 November 2019

No register : 481222

B. ANAMNESIS

√ : sendiri : orang lain

1. Keluhan Utama : Benjolan di selangkangan kanan

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Tn. F datang ke poli bedah Kanjuruhan dengan keluhan adanya

benjolan pada pangkal paha dalam bagian kanan. Benjolan muncul sejak

2 minggu yang lalu, awalnya kecil kemudian semakin besar hingga


sebesar bola pingpong. Benjolan keras dengan permukaan rata,

immobile, berwarna kemerahan, teraba hangat, nyeri tekan dan akan

semakin parah ketika beraktivitas berat dan akan mereda jika berbaring.

Nyeri menjalar hingga perut bagian bawah. Benjolan mengeluarkan

nanah, awalnya berwarna kuning kental kemudian semakin lama menjadi

encer. Semenjak muncul benjolan, demam muncul hanya setiap malam

hari. Muntah satu kali. Sebelumnya pernah operasi hernia.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

- Hernia (sudah dioperasi)

- Demam berdarah

- Riwayat penyakit serupa (-)

- Riwayat penyakit jantung (-)

- Riwayat penyakit ginjal (-)

- Riwayat kencing manis (DM) (-)

- Riwayat penyakit paru (-)

- Riwayat hipertensi (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga :

- Kakak memiliki TBC tulang

- Penyakit serupa (-)

- Hipertensi (-)

- Asma (-)

- Penyakit jantung (-)

- Penyakit paru (-)

- DM (-)
- Alergi obat/makanan (-)

5. Riwayat Kebiasaan

- Riwayat merokok : ringan, seminggu sekali

- Minum kopi :-

- Jamu :-

- Olahraga : Jarang (futsal)

- Pola makan teratur

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum

Tampak sakit ringan, Compos Mentis (GCS: E4M5V6), status gizi

kesan cukup.

2. Tanda Vital

Tensi : 116/90 mmHg

Nadi : 71 x / menit, reguler

Pernafasan : 20 x /menit

Suhu : 36,6 oC

3. Kulit

Turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), venektasi (-), petechie (-), spider

nevi (-), berkeringat (-).

4. Kepala

Bentuk mesocephal, luka (-), rambut tidak mudah dicabut, keriput (-),

atrofi m. temporalis (-), makula (-), papula (-), nodula (-), kelainan

mimik wajah / bells palsy (-), oedem (-), pucat (-)


5. Mata

Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).

6. Hidung

Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-).

7. Mulut

Bibir pucat (-), bibir cianosis (-), gusi berdarah (-).

8. Telinga

Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-).

9. Tenggorokan

Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-).

10. Leher

JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-),

pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-)

11. Thoraks

Normochest, simetris, pernapasan thoracoabdominal, retraksi (-), spider

nevi (-), pulsasi infrasternalis (-), sela iga melebar (-).

Cor :

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat

Perkusi : batas kiri atas : ICS II Linea Para Sternalis Sinistra

batas kanan atas : ICS II Linea Para Sternalis Dextra


batas kiri bawah : ICS V bergeser ke arah anterior

axilar line

batas kanan bawah : ICS IV Linea Para Sternalis Dextra

(batas jantung kesan membesar)

Auskultasi: Bunyi jantung I–II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo :

Statis (depan dan belakang)

Inspeksi : Pengembangan dada kanan dan kiri sama.

Palpasi : Stem fremitus raba kanan dan kiri sama.

Perkusi : Sonor pada bagian kiri dan kanan

Auskultasi : suara tambahan (Ronchi (-/-), Wheezing (-/-)

Dinamis (depan dan belakang)

Inspeksi : Pergerakan dada kanan dan kiri sama.

Palpasi : Stem fremitus raba kanan dan kiri sama.

Perkusi : Sonor pada paru-paru kanan dan kiri.

Auskultasi : Suara tambahan (rokhi -/-)

12. Abdomen

Inspeksi : Perut tampak datar, tidak ada pembesar hepar dan

lien
Palpasi : Nyeri tekan (+) Right Upper Quadran dan Right

Lower Quadran, Asites (-)

Perkusi : Timpani, Shifting dullnes (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

13. Ektremitas

Palmar eritema (-/-)

Akral dingin Oedem

- - - -

- - - -

14. Sistem genetalia: dalam batas normal.

D. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium Darah Lengkap, Kultur Pus (Disarankan)

(12 November 2019)

Pemeriksaan Hasil

Hb : 15.2 g/dl

Hematokrit : 45.2 %

MCV : 90.3

MCH : 30.4

MCHC : 33.7

Eritrosit : 5.00 juta/cmm


Leukosit : 14.400 sel/cmm (Meningkat)

Trombosit : 422.000 sel/cmm

Eosinofil : 2.4 %

Basofil : 1.1 % (Sedikit Meningkat)

Neutrofil : 75.2 % (Meningkat)

Limfosit : 11.8 %

Monosit : 9.5 % (Meningkat)

PT : 10.4 detik

INR : 0.96 (Menurun)

PTT : 32 detik (Meningkat)

GDS : 96 mg/dL

SGOT : 26 U/L (Menurun)

SGPT : 53 U/L (Meningkat)

Ureum : 25 mg/dl

Creatinin : 0.75 mg/dl

E. RESUME

Tn. F datang ke poli bedah Kanjuruhan dengan keluhan adanya benjolan

pada pangkal paha dalam bagian kanan. Benjolan muncul sejak 2 minggu

yang lalu, awalnya kecil kemudian semakin besar hingga sebesar bola

pingpong. Benjolan keras dengan permukaan rata, immobile, berwarna


kemerahan, teraba hangat, nyeri tekan dan akan semakin parah ketika

beraktivitas berat dan akan mereda jika berbaring. Nyeri menjalar hingga

perut bagian bawah. Benjolan mengeluarkan nanah, awalnya berwarna

kuning kental kemudian semakin lama menjadi encer. Semenjak muncul

benjolan, demam muncul hanya setiap malam hari. Muntah satu kali.

Sebelumnya pernah operasi hernia.

Dari pemeriksaan fisik, KU: Tampak sakit ringan, GCS: E4 M5 V6

Compos Mentis, didapatkan TD: 116/90 mmHg, Nadi: 71x/menit, Suhu:

36,60 C RR: 20x/menit. Ditemukan luka bekas operasi abses inguinal pada

daerah pangkal dalam paha bagian kanan dengan masih sedikit rasa nyeri

(pemeriksaan dilakukan setelah opeasi). Pada pemeriksaan penunjang

(sebelum operas) iberupa laboratorium darah langkap ditemukan peningkatan

leukosit, basofil, neutrofil, monosit, PTT dan SGPT. Kemudian ditemukan

penurunan INR dan SGOT.

E. DIAGNOSIS

 Abses inguinal

F. PLANNING

a. Penatalaksanaan

- Medikamentosa

a) Antibiotik antistafilokokus: flucloxacillin 250 mg 4x1 atau

dicloxacillin 100 mg 2x1

b) Analgesik: ketorolac injeksi 30 mg 3x1


- Non-medikamentosa

a) Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya

b) Tirah baring

c) Pembatasan aktivitas

d) Kontrol cairan: RL 35 tetes/menit

e) Eksisi dan drainase abses


BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Inguinal
3.1.1 Anatomi Inguinal

Kanalis inguinalis dibatasi dikraniolateral oleh anulus inguinalis internus

yang merupakan bagian terbuka dari fasia transpersalis dan aponeurosis muskulo-

tranversus abdominis. Di medial bawah, di atas tuberkulum, kanal ini dibatasi oleh

anulus inguinalis eksternus,bagian terbuka dari aponeurosis muskulo-oblikus

eksternus. Atapnya adalah aponeurosis muskulo-oblikus eksternus, dan di dasarnya

terdapat 10 ligamentum inguinal. Kanal berisi tali sperma pada lelaki, dan

ligamentum rotundum pada perempuan. Hernia inguinalis indirek, disebut juga

hernia inguinalis lateralis, karena keluar dari peritonium melalui anulus inguinalis

internus yang terletak lateral dari pembuluh epigastrika inferior, kemudian hernia

masuk ke dalam kanalis inguinalis dan jika cukup panjang, menonjol keluar dari

anulus inguinalis eksternus. Apabila hernia ini berlanjut, tonjolan akan sampai ke

skrotum, ini disebut hernia skrotalis (Sjamsuhidayat, 2004).


3.1.2 Fisiologi Inguinal

Kanalis inguinalis adalah kanal yang normal pada fetus. Pada bulan ke-8

kehamilan terjadi desensus testis melalui kanal tersebut. Penurunan testis tersebut

akan menarik peritoneum kedaerah skrotum sehingga terjadi penonjolan

peritoneum yang disebut dengan prosesus vaginalis peritonei. Pada bayi yang sudah

lahir, umumnya proses ini telah mengalami obliterasi sehingga isi rongga perut

tidak dapat melalui kanalis tersebut namun dalam beberapa hal, seringkali kanalis

ini tidak menutup. Karena testis kiri turun terlebih dahulu, maka kanalis inguinalis

kanan lebih sering terbuka. Bila kanalis kiri terbuka maka biasanya yang kanan juga

terbuka. Dalam keadaan normal, kanalis yang terbuka ini akan menutup pada usia

2 bulan (Mansjoer, 2002).

3.2 Hernia
3.2.1 Pengertian Hernia
Pengertian hernia adalah suatu protrusi atau penonjolan isi suatu rongga

melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga yang bersangkutan. Pada

hernia abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan

muskulo-aponeurotik dinding perut (Sjamsuhidayat, 2004). Hernia adalah suatu

protusi abnormal organ, jaringan, atau bagian organ melalui struktur yang secara

normal berisi bagian lemah (Black, 2006). Hernia inguinalis lateral merupakan

penonjolan yang keluar dari rongga peritoneum melalui anulus inguinalis internus

yang terletak lateral dari pembuluh epigastrika inferior, kemudian hernia masuk

kedalam kanalis inguinalis dan jika cukup panjang, menonjol keluar dari anulus

inguinalis eksternus ( Sjamsuhidayat, 2004). Hernia inguinalis lateral adalah hernia


yang melalui anulus inguinalis internus yang terletak di sebelah lateral vasa

epigastrika inferior, menyusuri kanalis inguinalis dan keluar ke rongga perut

melalui anulus inguinalis eksternus ( Mansjoer, 2002 ). Hernia ditinjau dari letaknya

dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu :

1. Hernia eksterna Hernia yang menonjol namun tonjolan tersebut tampak

dari luar yaitu hernia inguinalis lateralis (indirek), hernia inguinalis medialis

(direk), hernia femoralis, hernia umbilikalis, hernia supra umbilikalis, hernia

sikatrikalis, dan lain – lain.

2. Hernia interna Hernia yang tonjolannya tidak tampak dari luar, yaitu

hernia obturatorika, hernia diafragmatika, hernia foramen Winslowi dan hernia

ligamen treitz (Oswari, 2005).

3.1.2 Etiologi Hernia Inguinalis

Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab

yang didapat. Pada bayi dan anak, hernia inguinalis lateralis disebabkan oleh

kelainan bawaan berupa tidak menutupnya prosesus vaginalis peritoneum sebagai

akibat proses penurunan testis ke skrotum. Insiden hernia meningkat dengan

bertambahnya umur mungkin karena meningkatnya penyakit yang meninggikan

tekanan intraabdomen dan berkurangnya kekuatan jaringan penunjang. Faktor yang

dipandang berperan kausal adalah adanya prosesus vaginalis yang terbuka,

peninggian tekanan di dalam rongga perut, kelemahan otot dinding perut karena

usia (Sjamsuhidayat, 2004). Keadaan yang dapat menyebabkan peningkatan

intraabdominal adalah kehamilan, obesitas, peningkatan berat badan, dan tumor.


Selain itu, batuk kronis, pekerjaan mengangkat benda berat, mengejan pada saat

defekasi, dan mengejan pada saat miksi, misalnya hipertrofi prostat dapat pula

meningkatkan tekanan intra abdomen yang bisa menyebabkan hernia (Mansjoer,

2002).

3.1.3 Patofisiologi Hernia Inguinalis

Aktivitas mengangkat benda berat, batuk kronis, dan mengejan pada saat

defekasi dapat memacu meningkatnya tekanan intraabdominal yang menyebabkan

defek pada dinding otot ligament inguinal akan melemah sehingga akan terjadi

penonjolan isi perut pada daerah lateral pembuluh epigastrika inferior fenikulus

spermatikus. Hal ini yang menyebabkan terjadinya hernia. Mengangkat berat juga

menyebabkan peningkatan tekanan, seperti pada batuk dan cedera traumatik karena

tekanan tumpul. Bila dua dari faktor ini ada disertai dengan kelemahan otot, maka

individu akan mengalami hernia. Bila isi kantung hernia dapat dipindahkan ke

rongga abdomen dengan manipulasi, hernia disebut redusibel ( Doenges, 2000)

Kalau kantong hernia terdiri atas usus dapat terjadi perforasi yang akhirnya dapat

menimbulkan abses lokal atau prioritas jika terjadi hubungandengan rongga perut.

Obstruksi usus juga menyebabkan penurunan peristaltik usus yang bisa

menyebabkan konstipasi. Pada keadaan strangulate akan timbul gejala ileus yaitu

perut kembung, muntah dan obstipasi pada strangulasi nyeri yang timbul letih berat

dan kontineu, daerah benjolan menjadi merah (Syamsuhidajat 2004).


3.1.4 Manifestasi Klinik

Beberapa pasien mengatakan hernia adalah turun berok, burut, atau klingsir,

atau mengatakan adanya benjolan di selangkangan atau kemaluan. Benjolan bisa

mengecil atau menghilang pada waktu tidur dan jika menangis sambil mengejan,

atau mengangkat beban yang berat dan bila posisi pasien berdiri dapat timbul

kembali. Bila telah terjadi komplikasi dapat ditemukan nyeri. Keadaan umum

pasien biasanya terlihat baik, saat benjolan tidak Nampak dan saat pasien disuruh

mengejan dengan menutup mulut dalam keadaan berdiri. Bila ada hernia maka akan

tampak benjolan. Bila memang sudah tampak benjolan, harus diperiksa apakah

benjolan tersebut dapat dimasukkan kembali atau tidak. Pasien diminta berbaring

bernapas dengan mulut untuk mengurangi tekanan intra abdominal, lalu skrotum

diangkat perlahan-lahan. Diagnosa pasti hernia pada umumnya sudah dapat

ditegakkan dengan pemeriksaan klinis yang teliti. Keadaan cincin hernia juga perlu

diperiksa. Melalui skrotum jari telunjuk dimasukkan ke atas lateral dari tuberkulum

pubikum. Ikuti fasikulus spermatikus sampai ke annulus inguinalis internus. Pada

keadaan normal jari tangan tidak dapat masuk. Pasien diminta mengejan dan

merasakan apakah ada massa yang menyentuh jari tangan. Bila massa tersebut

menyentuh ujung jari maka itu dinamakan hernia inguinalis lateralis, sedangkan

bila menyentuh sisi jari maka diagnosisnya adalah hernia inguinalis medialis

(Mansjoer, 2002).
3.1.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medical Hernia yang tidak terstrangulata atau inkarserata

dapat secara mekanis berkurang. Suatu penyokong dapat digunakan untuk

mempertahankan hernia berkurang. Penyokong ini adalah bantalan yang diikatkan

ditempatnya dengan sabuk. Bantalan ditempatkan di atas hernia setelah hernia

dikurangi dan dibiarkan ditempatnya untuk mencegah hernia dari kekambuhan.

Klien harus secara cermat memperhatikan kulit di bawah penyokong untuk

memanifestasikan kerusakan ( Ester, 2002). Penatalaksanaan bedah Pengobatan

operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis yang rasional.

Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis ditegakkan. Prinsip dasar operasi hernia

terdiri dari herniotomy, hernioplastik, dan herniorafi. Pada herniotomy, dilakukan

pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya, kantong dibuka dan isi hernia

dibebaskan kalau ada perlekatan, kemudian direposisi. Kantong hernia dijahit, ikat

setinggi mungkin lalu dipotong. Pada hernioplastik, dilakukan tindakan

memperkecil annulus inguinalis internus dan memperkuat dinding belakang kanalis

inguinalis ( Sjamsuhidayat, 2004). Herniorafi dilakukan dengan menggunakan

insisi kecil secara langsung di atas area yang lemah. Usus ini kemudian

dikembalikan ke rongga perineal, kantung hernia dibuang dan otot ditutup dengan

kencang di atas area tersebut. Laparoscopic Extraperitoneal (LEP) herniorafi

merupakan tehknik terbaru yang angka keberhasilannya lebih tinggi dengan

meminimalisasi kekambuhan, nyeri, dan periode recovery post operasi lebih pendek

(Black, 2006).
3.1.6 Komplikasi

Akibat dari hernia dapat menimbulkan beberapa komplikasi antara lain :

1. Terjadi perlengketan antara isi hernia dengan isi kantung hernia sehingga

isi kantung hernia tidak dapat dikembalikan lagi, keadaan ini disebut hernia

inguinalis lateralis ireponibilis. Pada keadaan ini belum gangguan penyaluran isi

usus. Isi hernia yang tersering menyebabkan keadaan ireponibilis, adalah omentum,

karena mudah melekat pada dinding hernia dan isinya dapat menjadi lebih besar

karena infiltrasi lemak. Usus besar lebih sering menyebabkan ireponibilis daripada

usus halus.

2. Terjadi penekanan terhadap cincin hernia akibat banyaknya usus yang

masuk. Keadaan ini menyebabkan gangguan aliran isi usus di ikuti dengan

gangguan vascular (proses strangulasi). Keadaan ini di sebut hernia inguinalis

strangulata ( Mansjoer, 2002).

3. Abses inguinal jika terjadi infeksi pasca operasi hernia.

3.3 Abses
3.3.1 Definisi Abses

Abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu rongga

(rongga abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas (Rassner et al, 1995).

Menurut Smeltzer, S.C et al (2001), abses adalah infeksi bakteri setempat yang

ditandai dengan pengumpulan pus (bakteri, jaringan nekrotik dan SDP). Sedangkan

menurut EGC (1995), abses adalah kumpulan nanah setempat dalam rongga yang

terbentuk akibat kerusakan jatingan. Berdasarkan pengertian diatas, dapat


disimpulkan bahwa abses inguinal merupakan kumpulan nanah pada inguinal

akibat infeksi bakteri setempat.

Ada 2 jenis abses, septik dan steril.

1. Abses septik

Kebanyakan abses adalah septik, yang berarti bahwa mereka adalah

hasil dari infeksi. Septik abses bisa terjadi dimana saja dalam tubuh.

Hanya bakteri dan respon kekebalan dalam tubuh yang diperlukan.

Sebagai tanggapan terhadap bakteri, sel-sel darah putih yang terinfeksi

berkumpul di situs tersebut dan mulai memproduksi bahan kimia yang

disebut enzim yang menyerang dan kemudian mencernanya. Enzim ini

menghancurkan dan membunuh bakteri ke dalam bentuk potongan-

potongan kecil yang dapat berjalan di sistme peredarahan darah sebelum

dihilangkan dari tubuh. Sayangnya, bahan kimia ini juga mencerna

jaringan tubuh. Dalam banyak kasus, bakteri menghasilkan bahan kimia

yang serupa. Hasilnya adalah tebal, mengeluarkan nanah warna kuning

yang mengandung bakteri mati, dicerna jaringan, sel-sel darah putih, dan

enzim.

Abses adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang diawali

dengan proses yang disebut peradangan, awalnya, seperti bakteri

mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, beberapa kejadian terjadi:

 Darah mengalir ke daerah meningkat

 Suhu daerah meningkat karena meningkatnya pasokan darah

 Wilayah membengkak akibat akumulasia air, darah, dan cairan

lainnya
 Berwarna merah

 Rasanya sakit karena iritasi dari pembengkakan dan aktivitas

kimia

Keempat tanda sepeti panas, bengkak, kemerahan, dan rasa nyeri

merupakan ciri peradangan. Ketika proses berlangsung, jaringan mulai

berubah menjadi cair dan berbentuk abses. Isi abses juga dapat bocor ke

sirkulasi umum sehingga menghasilkan gejala infeksi lainnya seperti

menggigil, demam, sakit, dan rasa tidak nyaman.

2. Abses steril

Abses steril merupakan bentuk yang lebih ringan karena disebabkan

bukan karena bakteri melainkan seperti obat-obatan. Jika menyuntikkan

penisilin dan tidak diserap, daerah bekas suntik dapat iritasi dan menjadi

abses steril. Karena pada abses steril tidak ada keterlibatan infeksi, maka

benjolan yang dihasilkan cenderung keras dan padat karena benjolan yang

terbentuk adalah bekas luka, bukan kantong-kantong sisa nanah.

3.3.2 Faktor Penyebab Abses

Underwood, J.C.E (1999), mengemukakan penyebab abses antara lain:

1. Infeksi Mikrobial

Salah satu penyebab paling sering ditemukan pada proses radang ialah

infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara

multiplikasi intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu


sintesis kimiawi yang secara spesifik mengawali proses rafang atau

melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel.

2. Reaksi Hipersensitivitas

Reaksi hipersensitivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi

mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan

merusak jaringan.

3. Agen Fisik

Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma

fisik, ultraviolet atau radang ion, terbakar atau dingin yang berlebih

(frosbite)

4. Bahan Kimia Iritan dan Korosif

Bahan kimiari yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan

merusak jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses

radang. Disamping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan bahan

kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung mengakibatkan radang.

5. Nekrosis Jaringan

Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya

pasokan oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan

mengakibatkan terjadinya kematian jaringan. Kematian jaringan sendiri

merupakan stimulus yang kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah

infark sering memperlihatkan suatu respons, radang akut.


3.3.3 Gambaran Klinis Abses

Smeltzer, S.C et al (2001) dan Lewis, S.M (2000), mengemukakan bahwa

pada abses terjadi nyeri tekan yang meliputi nyeri lokal, bengkak, dan kenaikan

suhu tubuh. Kemdian, pada abses juga terjadi leukositosis dan tanda-tanda infeksi

yang meliputi kemerahan, bengkak, terlihat jelas, nyeri tekan, teraba hangat, dan

penurunan fungsi. Beberapa disertai bau yang menusuk, menggigil atau demam

lebih dari 37,70C.

3.3.4 Patofisiologi

Pada peradangan, kemerahan merupakan tanda pertama yang terlihat pada

daerah yang mengalami radang akibat dilatasi arteriol yang mensuplai daerah

tersebut akan meningkatkan aliran darah ke mikrosirkulasi lokal. Kalor atau panas

akan terjadi bersamaan dengan kemerahan. Peningkatan suhu bersifat lokal, namun

juga daapat sistemik (Underwood, J.C.E, 1999) akibat endogen pirogen yang

dihasilkan makrofag mempengaruhi termoregulasi pada temperatur lebih tinggi

sehinggi produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi (Guyton, 1995).

Underwood, J.C.E (1996) mengemukakan bahwa pada peradangan terjadi

perubahan diameter pembuluh darah sehingga darah mengalir ke seluruh kapiler

kemudian aliran darah mulai perlahan lagi, sel-sel darah mulai mengalir mendekato

dinding pembuluh darah di daerah zona plasmatik. Keadaan ini memungkinkan

leukosit menempel pada epitel sebagai langkah awal terjadinya migrasi leukosit ke

dalam ruang ekstravaskuler. Lambatnya aliran darah yang mengikuti fase hiperemia

menyebabkan meningkatnya permeabilita vaskuler dan mengakibatkan keluarnya


plasma untuk masuk ke dalam jaringan, sedangkan sel darah tertinggal dalam

pembuluh darah akibat peningkatan tekanan hisdrostatik dan penurunan tekanan

osmotik sehingga terjadi akumulasi cairan didalam rongga ekstravaskuler yang

merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu edema. Regangan dan distorsi jaringan

akibat edema dan tekanan pus dalam rongga abses menyebabkan rasa sakit/

beberapa mediator kimiawi pada radang akut termasuk bradikinin, prostaglandin,

dan serotonin akan merangsang dan merusakkan ujung saraf nyeri sehingga

menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor mekanosensitif dan termosensitif

sehingga menimbulkan rasa nyeri. Adanya edema akan menyebabkan

berkurangnya gerak jaringan sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang

menyebabkan terganggunya mobilitas.

Sjamsuhidajat et al (1998) menjelaskan bahwa inflamasi terus terjadi selama

masih ada pengrusakan jaringan. Bila kerusakan jaringan bisa diberantas maka

debris akan difagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi resolusi dan

kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel fagosit kadang berlebihan sehingga

debris yang berlebihan terkumpul dalam suatu rongga membentuk abses atau

bertumpuk di sel jaringan tubuh yang lain membentuk flegmon. Trauma yang hebat,

berlebihan, dan terus-menerus menimbulkan reaksi tubuh yang juga berlebihan

berupa fagositosis debris yang diikuti dengan pembentukan jaringan granulasi

vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak. Fase ini disebut fase organisasi. Bila

dalam fase ini pengrusakan jaringan berhenti akan terjadi fase penyembuhan

melalui pembentukan jaringan granulasi fibrosa. Tetapi bila pengrusakan jaringan

berlangsung terus akan terjadi fase inflamasi kronik yang akan sembuh bila

rangsang yang merusak hilang. Abses yang tidak diobati akan pecah dan
mengeluarkan pus kekuningan sehingga terjadi kerusakan integritas kulit.

Sedangkan abses yang diinsisi dapat meningkatkan penyebaran infeksi.

Pathway abses
3.3.5 Manifestasi Klinis Abses

Manifestasi klinis dari abses, yaitu :

1. Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka

manifestasi lain yang mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejaka

dari proses inflamasi, yakni kemerahan (rubor), panas (kolor),

pembengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor), dan hilangnya fungsi.

2. Timbul atau teraba benjolan pada tahap awal berupa benjolan kecil, pada

stadium lanjut benjolan bertambah besar, demam, benjolan meningkat,

malaise, nyeri, bengkak, berisi nanah (pus).

3. Leukositosis

3.3.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dari abses antara lain:

1. Kultur: mengidentifikasi organisme penyebab abses sensitivitas

menenukan obat yang paling efektif.

2. Sel darah putih, hematokrit mungkin meningkat, leukositosis (15.000-

30.000)

3. Elektrolit serum, berbagai ketidakseimbangan mungkin terjadi dan

menyebabkan asidosis, perpindahan cairan dan perubahan fungsi ginjal

4. Pemeriksaan pembekuan, trombositopenia dapat terjadi karena agregasi

trombosit, PT/PTT mungkin memanjang menunjukkan koagulopati yang

diasosiasikan dengan iskemia hati/sirkulasi toksin/status syok

5. Laktat serum: meningkat dalam asidosis metabolik, disfungsi hati, syok


6. Glukosa serum, hiperglikemi menunjukkan glukogenesis dan

glikogenesis di dalam hati sebagai respon dari puasa/perubahan seluler

dalam metabolisme

7. BUN/Kreatinin: peningkatan kadar diasosiasikan dengan dehidrasi,

ketidakseimbangan/kegagalan ginjal dan disfungsi/kegagalan hati

8. GDA: alkalosis respiratori hipoksemia, tahap lanjut hipoksemia asidosis

respiratorik dan metabolik terjadi karena kegagalan mekanisme

kompensasi

9. Urinalisis: adanya sel darah putih/bakteri enyebab infeksi sering muncul

protein dan sel darah merah

10. Sinar X: film abdominal dan dada bagian bawah yang mengindikasikan

udara bebas di dalam abdomen/organ pelvis

11. EKG: dapat menunjukkan perubahan segmen ST dan gelombang T, dan

disritmia yang menyerupai infark miokard

3.3.7 Penatalaksanaan Abses

Abses luka boasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan

antibiotik. Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi

bedah, debridemen atau kuretase. Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk

mengidentifikasi penyebabnya, utamanya apabila disebabkan oleh benda asing

sehingga benda asing tersebut harus diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda

asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersama dengan

pemberian obat analgetik. Drainase abses dengan menggunakan pembedahan

biasanya diindikasikan apabila abses telah berkembang dari peadangan serasa yang
keras menjadi tahap nanah yang lebih lunak. Karena seringkali abses disebabkan

oleh bakteri Staphylococcus aureus, antibiotik antistafilokokus seperti

flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan. Jika terdapat Staphylococcus

aureus resisten methicillin (MRSA), maka antibiotik biasa tersebut menjadi tidak

efektif. Untuk menangani MRSA, dapat menggunakan antibiotik lain seperti

clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan doxycycline.


BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Abses inguinal merupakan kumpulan nanah pada inguinal akibat

infeksi bakteri setempat. Abses memiliki gejala nyeri tekan yang meliputi nyeri

lokal, bengkak, dan kenaikan suhu tubuh. Kemudian, pada abses juga terjadi

leukositosis dan tanda-tanda infeksi yang meliputi kemerahan, bengkak,

terlihat jelas, nyeri tekan, teraba hangat, dan penurunan fungsi. Beberapa

disertai bau yang menusuk, menggigil atau demam lebih dari 37,70C.

Diagnosis abses inguinal didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan

penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain darah

lengkap dan kultur bakteri. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik

serta penunjang, Tn.F dapat di diagnosa abses inguinal karena memiliki gejala

tanda-tanda inflamasi di daerah inguinal dan leukositosis pada pemeriksaan

darah lengkap.

4.2 Saran
Sebagai dokter muda, sebaiknya memperdalam pemahaman dan
pengetahuan tentang abses inguinal agar dapat mengetahui secara tepat
tatalaksananya.
DAFTAR PUSTAKA

Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3. EGC: Jakarta.

Price and Wilson. 1995. Patofisiologi-Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Ed.4.

EGC: Jakarta

Soeparman dan Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2. BP FKUI. Jakarta.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. FKUI:

Jakarta.

Nanda International. 2012. Nursing Diagnoses: Definition and Classification 2010-

2012. Wiley-Blackwell: United Kingdom.

Anda mungkin juga menyukai