Anda di halaman 1dari 38

Karya Tulis Ilmiah Kebidanan

Solusi Tugas Akhir Karya Tulis Ilmiah (KTI/Skripsi) Kebidanan

Review Produk GM. Susanto Tutorial

Friday, June 25, 2010 8:09 PM

Cara Cepat Menjual APAPUN

PRODUK Anda Secara Online


Anda ingin tahu rahasia menjual 900 produk

fisik secara online dengan sedikit biaya

marketing??

Klik http://www.gmsusantotutorial.com/?vip=1381

Anda akan belajar:

1. Bagaimana Rahasia Memasarkan Produk atau Jasa Anda ke Seluruh Indonesia Bahkan Dunia Dengan
Sedikit atau Tanpa Biaya Marketing Sama Sekali

2. Bagaimana Cara Cepat Menjual Produk atau Jasa APAPUN, KEMANAPUN dan Bisa Menghasilkan
PROFIT Kurang dari 24 Jam atau Kurang

3. Bagaimana Cara Cepat Menciptakan Web Bisnis Anda Sendiri Dimulai Dari Nol Tanpa Harus Memiliki
Keahlian IT

Anda akan belajar dari sukses story seorang Gm.Susanto dimana beliau sukses menjual 900 item produk
fisik secara online dalam waktu kurang dari 2,5 bulan.

Lalu apa yang menarik dari pembahasan diatas?

1. Gm.Susanto akan berbagi cara dan strategi bagaimana dari 1 juta modal awal untuk membeli produk,
di bulan kedua sudah tembus omset diatas 50 juta/bulan. Bagaimana caranya? Pasti Anda ingin tahu
bukan?

2. Omset puluhan juta tersebut bisa beliau dapatkan dengan sedikit mengeluarkan biaya iklan, dan mulai
minggu ketiga, sudah tidak mengeluarkan biaya promosi/iklan berbayar dan memasuki
bulan kedua (minggu kelima) dst saya SUDAH TIDAK MENGELUARKAN biaya marketing/periklanan sama
sekali dan sistem bisnis tersebut sudah berjalan tanpa kehadiran saya.

Anda pasti penasaran dan ingin tahu lebih lanjut bagaimana saya bisa melakukannya itu?

Saya garansi, setelah rahasianya terbuka, Anda pun BISA MENCONTEK untuk diterapkan di APAPUN
usaha online Anda.

3. Bagaimana rahasia seorang Gm.Susanto dalam memilih produk dan membuat sebuah penawaran
yang membuat orang pada mau berebut? Dalam 1 hari, staf pak Gm.Susanto menerima rata2 40-60 sms
calon customer yang ingin membeli tapi seringnya kehabisan produk

4. Bagaimana seorang Gm.Susanto bisa menekan biaya pengeluaran seminimal mungkin dan meraih
profit dengan cepat?

5. Bagaimana seorang Gm.Susanto membuat sistem sederhana sehingga

beliau yang mengontrol usaha ini (bukan yang repot)

Di bab ini Gm.Susanto akan berbagi tentang "How To Be ON the Business" artinya beliau akan
mengajarkan bagaimana cara berjualan produk, sekalipun sudah tembus omset 50 juta/bulan tapi tidak
mengganggu pekerjaan utama Anda.

Masih banyak strategi yang ingin saya bagikan hanya di SATU TEMA diatas.

Inilah kesempatan Anda untuk bisa mendapatkan penghasilan tambahan di luar pekerjaan utama Anda
dengan berjualan produk di internet.

Saya akan beritahukan cara cepatnya itu seperti apa, klik disini http://www.gmsusantotutorial.com/?
vip=1381
Studi Deskriptif Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Dukun Bayi Sebagai Penolong Persalinan
di Wilayah Kerja Puskesmas XXX Kecamatan XXX Kabupaten XXX

Saturday, April 17, 2010 12:15 PM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Naluri reproduksi dimiliki oleh semua makhluk hidup termasuk manusia. Pada proses reproduksi itu ibu
memiliki peran lebih kompleks yaitu berkaitan dengan resiko sakit bahkan kematian. Peran ibu yang
kompleks dan mengandung resiko yang dimaksudkan adalah resiko kematian yang disebabkan dari
proses pra kehamilan, sewaktu kehamilan, persalinan dan nifas. Resiko kematian itu juga kematian
maternal (Maternal Mortality Rate). Sedangkan jumlah banyaknya kematian maternal selama satu
tahun dalam 100.000 kelahiran hidup disebut juga Maternal Mortality Ratio (Sarwono, 2005).

Di Negara-negara sedang berkembang jumlah kematian maternal menunjukan angka lebih tinggi
dibandingkan dengan negara-negara maju. Di Indonesia terutama di pedesaan, angka kematian
maternal jauh lebih tinggi dibandingkan angka kematian maternal di daerah perkotaan. Masalah
kematian maternal masih merupakan masalah pokok yang dihadapi bangsa Indonesia. Hal kematian
maternal tersebut berkaitan erat dengan kemampuan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh
negara. Bahwa angka kematian maternal itu juga berarti kemampuan memberikan pelayanan
kesehatan kepada Ibu hamil dan persalinan masih memerlukan perbaikan yang bersifat menyeluruh
dan lebih bermutu (Manuaba, 1998).

Wiknjosastro (2002) berpendapat bahwa angka kematian maternal yang tinggi itu disebabkan beberapa
hal, 2 hal utamanya adalah kurangnya pengetahuan mengenai sebab-sebab dan cara-cara
penanggulangan komplikasi dalam kehamilan, persalinan serta nifas. Sebab yang kedua adalah kurang
meratanya pelayanan kebidanan yang baik bagi semua yang hamil.

Untuk pemerataan pelayanan kebidanan yaitu dengan memperbanyak jumlah bidan desa untuk
ketersidaan dan kesiagaan bidan desa sekurang-kurangnya ada seorang bidan desa di setiap desa.
Dengan ketersediaan bidan desa yang berdomisili di Desa itu menjadikan pelayanan maupun
penannggulangan keadaan-keadaan dilapangan yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan
menjadi lebih baik.

Sesuai dengan gagasan Presiden Republik Indonesia pada pembukaan World Congress of Human
Reproduction di Nusa Dua, Bali, 1994. Bahwa bidan desa diharapkan dapat memberikan pelayanan
kebidanan yang lebih bermutu dan menyeluruh dan sebagai pengganti dukun bayi, gagasan itu juga
diikuti langkah kebijakan yang dapat mencapai peningkatan pelayanan kebidanan dengan menyebarkan
bidan desa beserta kongresnya.

Di lain pihak, pertolongan persalinan di desa-desa cenderung memilih bersalin dengan bantuan
pelayanan non kesehatan yaitu dukun bayi. Pertolongan persalinan dengan bantuan dukun bayi
dilakukan sudah secara turun-menurun beberapa responden mengatakan bahwa pertolongan dengan
dukun bayi lebih murah, mereka juga menyakini kemampuan dukun bayi dalam antisipasi sewaktu
kehamilan, persalinan dan pasca persalinan.

Menurut Sarwono (2002) bahwa tenaga yang sejak dahulu kala sampai sekarang memegang peranan
penting dalam pelayanan kebidanan ialah dukun bayi. Dalam lingkungannya dukun bayi merupakan
tenaga terpercaya dalam segala soal yang berkaitan dengan reproduksi. Ia diminta pertimbangannya
pada masa kehamilan, persalinan dan mengurus ibu dan bayinya dalam masa nifas.

Pada umumnya dukun bayi adalah seorang wanita, biasanya umurnya diatas 40 tahun dan ada yang
berusia 75 tahun. Ia menjadi dukun karena pekerjaan ini turun-menurun dalam keluarganya. Ia
mendapatkan latihan untuk pekerjaan dukun dengan cara membantu dukun yang lebih tua dan
selanjunya menambah pengetahuannya dengan yang dialami dalam praktek-praktek persalinan. Dukun
bayi di pedesaan, bukan hanya memberikan pertolongan teknis, melainkan juga diyakini mampu
membuat spirit terhadap emosi kejiwaan dengan mantra-mantra ataupun doa.

Sejak tujuh bulan kehamilan atau mulai tujuh bulan (Mitoni: Jawa) dukun diminta untuk memantau dan
memberi saran-saran teknis tentang kehamilan. Dukun membantu pelaksanaan selamatan baik secara
ceremonial maupun ritualnya dan selanjutnya pasca persalinan ia membantu merawat ibu dan bayi.
Dukun juga membuatkan ramuan jamu yang harus diminum secara periodik, jamu diyakini kemanjuran
terhadap pemilihan-pemilihan kesehatan organ tubuh sampai dengan kelancaran ASI bagi bayi.

Sebagian besar dukun bayi buta huruf, sebagian mampu baca tulis minimnya pendidikan itu juga
menjadikan kurangnya pemahaman struktur fisiologi organ-organ tubuh, demikian juga pemahaman
dengan organ-organ tubuh, demikian juga pemahaman dengan organ-organ persalinan. Dengan begitu
dukun tidak tahu tentang gejala-gejala maupun akibat yang ditimbulkan dari tindakan – tindakan yang
ia lakukan. Akibat yang ditimbulkan dari tindakan itu adalah bisa terjadi kerusakan organ , tidak
sterilnya badan maupun lin gkungan ,serta akibat lain sering timbul komplikasi yang diakibatkan dari
kasalahan penanganan dalam persalinan. Kesalahan dalam persalinan dapat menyebabkan persalinan
kasep, kematian janin dalam rahim, pendarahan akibat persalinan salah, robekan jalan lahir maupun
plasenta tidak keluar.

Persalinan dengan dukun dapat menimbulkan berbagai masalah yang menjadikan penyebab utama
tinggina angka kematian maternal. Angka kelahiran dari bulan Januari – Mei 2008 sebanyak 300 orang
dan angka kematian berjumlah 10 orang dari bulan Januari – Mei 2008 di wilayah Kecamatan XXX yang
terletak di Kabupaten XXX dengan letak geografis rata – rata 700 meter di atas permukaan air laut ,
Terdiri dari 11 desa yang terpencar dan dengan jangkauan transportasi yang sulit.
Hal – hal yang diuraikan di depan itulah mendorong peneliti mengambil penelitian dengan tema faktor –
faktor apa saja yang mempengaruhi ibu bersalin dengan dukun bayi di wilayah Puskesmas XXX
Kabupaten XXX.

B. Perumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan ”Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi ibu
bersalin memilih pertolongan melahirkan dengan dukun bayi diwilayah kerja Puskesmas XXX,
Kecamatan XXX, Kabupaten XXX?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi ibu bersalin yang melahirkan dengan dukun bayi
di Wilayah Puskesmas XXX, Kecamatan XXX, Kabupaten XXX.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mendeskripsikan tingkat pendidikan yang mempengaruhi ibu bersalin dalam pemilihan
persalinan.

b. Untuk mendeskripsikan tingkat pengetahuan yang mempengaruhi ibu bersalin dalam pemilihan
persalinan.

c. Untuk mendeskripsikan tingkat penghasilan responden yang bersalin dengan dukun.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi

Sebagai masukan kepada tenaga kesehatan khususnya Puskesmas XXX, agar dapat mengantisipasi
faktor – faktor ibu bersalin dengan dukun bayi di wilayah kerja Puskasmas XXX.

2. Bagi Peneliti

Untuk memperoleh pengalaman penelitian pada bidangnya khususnya faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi ibu bersalin yang melahirkan di dukun bayi dan belajar memupuk dan mengenbangkan
profesionalisme sebagai tenaga kesehatan.

3. Bagi Instansi Pelayanan Kesehatan

Dapat di gunakan sebagai masukan bagi pelayanan kesehatan mengenai faktor-faktor yang
mempenggaruhi ibu bersalin yang memilih dukun bayi sebagai penolong persalinan sehingga dapat
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang berkualitas.

4. Bagi Masyarakat
Dapat menambahkan pengetahuan dan wawasan masyarakat mengenai cara memilih penolong
persalinan yang baik

Hubungan Karakteristik dan Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas Dengan Praktik Senam Nifas Puskesmas XXX
Kabupaten XXX

Monday, April 05, 2010 8:51 PM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak faktor penyebab tingginya AKI antara lain terlambat mengenali masalah, terbatasnya sarana,
fasilitas pelayanan kesehatan dan biaya, rendah pengetahuan masyarakat termasuk rendahnya
pengetahuan wanita dalam merawat dirinya dan mengasuh anak serta persoalan sosial budaya
(Sarwono, 2002).

Perawatan prakelahiran banyak berubah dan sangat maju dalam abad ini tetapi sering hal ini tampak
merugikan perawatan pasca kelahiran. Hari-hari persalinan penting bagi kesehatan ibu nantinya
sehingga juga bagi kesehatan bayinya dan masa depan keluarga. Pada saat sekarang, dengan keluarga
kecil banyak ibu muda menjadi terisolasi serta kurang menerima bantuan dan sokongan dalam hari-hari
awal setelah melahirkan. Banyak ibu setelah melahirkan terperangkap dalam kegiatan rutin perawatan
sebenarnya bagi bayi dan anggota keluarganya yang melelahkan dengan sedikit waktu atau tenaga
untuk merawat dirinya sendiri. Sehingga tepatlah melakukan segala usaha untuk menjamin agar ibu
tidak hanya mendapatkan bentuk tubuhnya yang bagus tetapi juga menjaga dirinya dalam keadaan fisik
yang baik sehingga mempunyai kesegaran mental untuk melakukan tugas-tugas yang dihadapinya
(McKenna, 1996).

Perawatan dan pemeliharaan keindahan tubuh dapat pula dilakukan dengan senam pasca persalinan.
Umumnya yang menjadi perhatian wanita setelah persalinan adalah bagaimana memulihkan bentuk
tubuh dan dinding perut seindah mungkin (Mochtar, 1998).

Masa nifas dimulai beberapa jam sesudah lahirnya plasenta dan mencakup enam minggu berikutnya.
Asuhan nifas haruslah memberikan tanggapan terhadap kebutuhan khusus ibu selama masa yang
istimewa ini (Oeswari, 1999).

Pada saat hamil beberapa otot mengalami penguluran terutama otot rahim dan perut. Setelah
melahirkan, rahim tidak secara cepat kembali seperti semula, tetapi melewati proses untuk
mengembalikan ke kondisi semula diperlukan suatu senam yang dikenal dengan senam nifas (Huliana,
2003).
Senam pasca melahirkn dan lebih baik dilakukan langsung setelah persalinan. Menjalankan senam
kembali memiliki banyak manfaat. Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Kesiapan untuk bersenam,
salah satu faktor terpenting dalam kehidupan untuk memulai program kebugaran baru setelah
melahirkan adalah kehidupan (Oeswari, 1999).

Keuntungan ibu dalam melakukan senam nifas memberikan rasa enak badan, turunnya berat badan
berkurangnya stress, sedikit saja masalah tidur terkait dengan stres kembali ke bentuk yang normal
berkurangnya warna pucat dan depresi yang mungkin terjadi pasca melahirkan informasi sangat
dibutuhkan untuk mendapatkan pengetahuan. Sedangkan senam nifas yang tidak dilakukan akan
mengalami perubahan-perubahan fisik, pada pemulihan organ-organ reproduksi lebih lambat di
puskesmas Klareyan Kabupaten Pemalang jarang ibu untuk melakukan senam nifas karena tidak tahunya
keuntungan dari senam nifas sehingga sebagai cara untuk menganalisis fakta sehingga ibu lebih percaya
diri dalam menghadapi masalah yang terjadi (Hadi, 2006, Rasmun, 2004). Sehingga pendidikan juga
perlu sebagai indikator pola pikir seseorang dalam menghadapi suatu hal (Safitri, 2002). Pendidikan
digunakan sebagai usaha untuk mendorong pertumbuhan potensi yang ada dalam individu sehingga
mampu mengubah dan mengembangkan diri menjadi semakin cerdas dan matang.

Ibu didalam masa post partum baik itu kelahiran anak pertama ataupun sudah pernah melahirkan anak
sebelumnya, biasanya akan sangat memerlukan informasi dan petunjuk. Ia seakan kembali
mendapatkan pengalaman baru dan memerlukan ketrampilan dan informasi baru. Sering sekali ibu akan
merasa lelah dan kadang-kadang kewalahan dengan tanggung jawab terhadap bayinya yang baru lahir
serta perawatan bagi dirinya sendiri.di Wilayah Puskesmas XXX Kabupaten XXX ibu nifas jarang
melakukan senam nifas secara teratur, dikarenakan kurangnya pengetahuan, pendidikan, umur,
pekerjaan rumah tangga yang terlalu sibuk sehingga jarang untuk melakukan senam hanya jadi
renungan saja, umur yang semakin bertambah dan tingkat kedewasaan berdasarkan pengalaman hidup
yang dijalaninya sudah cukup banyak, paritas jarak kurangnya dari dua tahun akan mengurangi waktu
apabila dalam keluarga mempunyai anak banyak sehingga ibu tidak menyempatkan diri untuk
melakukan senam. Pengetahuan seberapa jauh ibu akan mengetahui pentingnya senam nifas (Oeswari,
1999).

Dari hasil survey yang dilakukan oleh penelitian dan berdasarkan pengamatan atau observasi secara
langsung pada tanggal 30 Desember 2008 di Pukesmas XXX diperoleh data sejumlah ibu nifas menyusui
di desa XXX sebanyak 70 orang. Sedang dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti sebanyak 20
orang, ternyata yang mengetahui tentang senam nifas 16 orang (80%) dan yang tidak mengetahui 4
orang (20%). Sedangkan yang mengikuti senam nifas secara rutin 2 orang (10%). Hal ini membuktikan
adanya kesenjangan sifat seberapa jauh ibu tahu tentang senam nifas.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka peneliti tertarik tentang ada ada hubungan karakteristik ibu nifas
dengan praktek senam nifas di Puskesmas XXX Kabupaten XXX.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah Hubungan
Karakteristik dan Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas Dengan Praktik Senam Nifas Puskesmas XXX Kabupaten
XXX?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan karakteristik dan tingkat pengetahuan ibu nifas dengan praktik senam nifas di
wilayah Puskesmas XXX Kabupaten XXX.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui tingkat pendidikan ibu nifas.

b. Mengetahui pekerjaan ibu nifas.

c. Mengetahui umur ibu nifas.

d. Mengetahui paritas ibu nifas.

e. Mengetahui tingkat pengetahuan ibu nifas.

f. Mengetahui ibu nifas yang melakukan praktik senam nifas.

g. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan ibu nifas dengan praktek senam nifas Puskesmas XXX
Kabupaten XXX.

h. Mengetahui hubungan pekerjaan ibu nifas dengan praktek senam nifas Puskesmas XXX Kabupaten
XXX.

i. Mengetahui hubungan umur ibu nifas dengan praktek senam nifas Puskesmas XXX Kabupaten XXX.

k. Mengetahui hubungan paritas ibu dengan praktik senam nifas Puskesmas XXX Kabupaten XXX.

l. Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu nifas dengan praktek senam nifas Puskesmas XXX
Kabupaten XXX.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Masyarakat

a. Meningkatkan dan menambah pengetahuan ibu nifas tentang senam nifas.

b. Agar masyarakat mengetahui tentang pentingnya senam nifas pada ibu nifas.

2. Bagi Tenaga Kesehatan

a. Meningkatkan dan menambah pengetahuan tenaga kesehatan tentang senam nifas.


b. Meningkatkan dan menambah pengetahuan tenaga kesehatan tentang hambatan-hambatan yang
sering terjadi berhubungan dengan senam nifas pada ibu nifas.

3. Manfaat Untuk Institusi Kesehatan

Mengetahui seberapa jauh tentang senam nifas sehingga menjadi masukan untuk memberikan program
pendidikan kesehatan secara intensif pada ibu-ibu nifas agar mengetahui pentingnya senam nifas.

4. Institusi Pendidikan Kesehatan

Menambah referensi untuk melaksanakan penelitian yang akan datang.

Perbedaan Status Gizi Anak Sekolah Dengan dan Tanpa Program PMTAS di MIS XXX dan MIS XXX Kota
XXX

Monday, April 05, 2010 4:56 PM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu upaya yang ditempuh untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal adalah dengan
peningkatan status gizi masyarakat. Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas
hidup dan produktivitas. Maka perlu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi status gizinya. (Depkes RI,
2000). Konsep terjadinya keadaan gizi mempunyai dimensi yang sangat kompleks. Daly, Erol (1997)
membuat model faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan gizi yaitu konsumsi makanan dan tingkatan
kesehatan. Konsumsi makanan dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, makanan, dan tersedianya bahan
makanan (Supariasa, 2002).

Status gizi merupakan indikator kesehatan positif. Pengukuran antropometri untuk memperkirakan
pertumbuhan dan perkembangan, khususnya pertumbuhan dan perkembangan anak-anak usia muda,
merupakan indikator yang paling luas digunakan mengenai status gizi (WHO, 1990).

Pada awal usia 6 tahun anak mulai masuk sekolah. Dengan demikian anak-anak ini mulai masuk ke
dalam dunia baru, dimana dia mulai berhubungan dengan orang-orang diluar keluarganya, dan dia
berkenalan pula dengan suasana dan lingkungan baru dalam kehidupannya (Moehji,1999).

Anak sekolah adalah distribusi yang dikemas dengan program-program pendidikan sekolah dari TK, SD,
SMP dan SMA. Pada masa sekolah biasanya begitu banyak kegiatan atau aktivitas baik di dalam sekolah
maupun di luar sekolah. Gizi pada masa ini harus diperhatikan agar tidak terjadi gangguan gizi seperti
Kurang Energi Protein (KEP), anemia gizi, gizi kurang maupun gizi buruk. Kondisi tersebut di atas dapat
berpengaruh pada proses belajar serta prestasi akademik di sekolah (Samosir, 2006)

Menurut data Dinas Kesehatan Jawa Tengah tahun 2005, tercatat bahwa jumlah anak balita dan anak
usia sekolah adalah 2.516.166 anak dan telah dibatasi sebanyak 1.416.907 (56,31%) anak usia sekolah.
Dimana 95% target Sistem Pelayanan Masyarakat (SPM) 2010 tidak tercapai. Puskesmas masih terbatas
pada pelayanan anak prasekolah dan balita baik secara kualitas maupun kuantitas. Sebagai
perbandingannya, kabupaten atau kota yang cakupannya mencapi target 100% kab.Purworejo, dan
yang masih rendah cakupannya adalah kota Pekalongan 4,03% dan kab.Magelang 3,84%.

Di kota XXX sendiri terdapat kasus gangguan gizi sebanyak 2092 kasus, maka untuk mengatasi 178 anak
gizi buruk dan 1.914 anak gizi kurang, Pemkot tahun ini menganggarkan dana Rp. 482,88 juta dari dana
sebanyak itu perinciannya, Rp. 497,8 untuk pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS)
yang dikelola oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapermas) serta Rp. 75 juta untuk Pemberian
Makanan Tambahan (PMT) dikelola oleh Dinas Kesehatan (Suara Merdeka, 2005).

Dari survey awal yang penulis lakukan, desa XXX dan desa XXX merupakan suatu daerah di wilayah kota
XXX yang berstatus Impres Desa Tertinggal (IDT). Terdapat beberapa sekolah yang menjadi target
pemberian PMTAS. Namun informasi terakhir yang peneliti peroleh bahwa ada beberapa sekolah yang
mendapat bantuan PMTAS dan adapula yang tidak mendapat bantuan PMTAS, dan sejauh ini belum
pernah dilakukan pemantauan status gizi anak sekolah. Pihak Puskesmas XXX juga menyatakan hal
serupa, program kesehatan untuk anak sekolah yang dilaksanakan adalah pemeriksaan gigi rutin dan
program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yang dilaksanakan pada bulan Desember tahun 2006 lalu.

Dari uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Perbedaan Status
Gizi Anak Sekolah Dengan dan Tanpa Program PMTAS di MIS XXX dan MIS XXX Kota XXX.”

B. Rumusan Masalah

masalah diatas penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:”Adakah Perbedaan Status Gizi
Anak Sekolah Dengan dan Tanpa PMTAS di Madrasah Ibtidaiyah Salafiyah (MIS) XXX Kota XXX Tahun
2007”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan status gizi pada anak sekolah dengan dan tanpa pemberian PMTAS .

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui status gizi anak sekolah dengan program PMTAS

b. Mengetahui status gizi anak sekolah tanpa program PMTAS

c. Mengetahui perbedaan status gizi anak sekolah dengan program PMTAS dan tanpa program PMTAS
berdasarkan berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB).

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi bidan

Materi yang ditulis hendaknya dapat menambah pengetahuan profesi bidan dan dapat juga sebagai
bahan informasi mengenai gambaran status gizi anak sekolah.

2. Bagi pendidikan kebidanan

Hasil penelitian menyediakan informasi untuk lebih memahami dan mengerti tentang masalah status
gizi pada anak sekolah serta bagamana cara mencegah dan menanggulanginya.

3. Bagi penelitian lebih lanjut

Hasil penelitian memberikan informasi penelitian lebih lanjut mengenai status gizi pada anak sekolah.

4. Bagi tempat pelayanan kesehatan (Puskesmas)

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan data sehigga dapat dijadikan bahan pertimbangan
program pelayanan kesehatan anak sekolah berikutnya.

Hubungan Antara Aktivitas Olahraga Dengan Sindroma Pra Menstruasi Pada Remaja Putri Di Prodi
Kebidanan XXX

Monday, April 05, 2010 4:34 PM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan berwawasan kesehatan merupakan salah satu aspek penting dalam mewujudkan
pembangunan nasional. Pembangunan kesehatan diselenggarakan untuk mencapai kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang demi tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Depkes, 2006).
Pencapaian kesehatan yang optimal didukung pula dengan tercapainya kesehatan reproduksi, sesuai
misi Program Keluarga Berencana Nasional, yaitu mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang
berkualitas sejak dimulainya proses pembuahan dalam kandungan sampai usia lanjut. Kesehatan
reproduksi adalah keadaan sehat sejahtera secara fisik, mental, dan sosial yang utuh, bukan hanya
terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala hal yang terkait dengan sistem, fungsi serta proses
reproduksi (Mohamad, 2007).

Hak reproduksi berlaku bagi setiap manusia termasuk juga remaja. Hak remaja atas kesehatan
reproduksi ini mulai diakui secara internasional melalui kesepakatan mengenai hak-hak reproduksi
dalam International Conference on Population and Development (Konferensi Internasional
Kependudukan dan Pembangunan) di Kairo tahun 1994 (Mohamad, 2007). Remaja merupakan aset
bangsa untuk masa depan, sehingga remaja dengan sumber daya yang berkualitas, sehat jasmani dan
rohani, cerdas, produktif dan mandiri merupakan modal pembangunan nasional dalam mencapai
pembangunan kesehatan.

Remaja merupakan tahap akhir pematangan sosio biologis manusia dalam mata rantai tumbuh kembang
anak. Data demografi menunjukkan, remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia.
Berdasarkan data WHO tahun 1995, sekitar seperlima penduduk dunia adalah remaja berumur 10-19
tahun, dan pada tahun yang sama Biro Pusat Statistik mencatat populasi remaja Indonesia sebesar 30 %
dari 200 juta penduduk (Pardede, 2002). Tahun 2008, data Profil Kesehatan Indonesia mencatat
penduduk Indonesia yang tergolong usia 10-19 tahun adalah sekitar 44 juta jiwa atau 21 %, yang terdiri
dari 50,8 % remaja laki-laki dan 49,2 % remaja perempuan (Depkes, 2008).

Remaja (adolescence) merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa yang ditandai
dengan perubahan fisik, fisiologis, dan psikososial (Sayogo, 2006). Menurut Santrock (2003), masa
remaja dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun. Proses pertumbuhan dan
perkembangan terjadi secara pesat dan optimal pada dua masa dalam siklus hidup manusia, yaitu masa
balita dan remaja. Proses tersebut meliputi perubahan secara fisik, fisiologis dan psikososial, proses
berpikir, tumbuhnya kemandirian sampai dengan perkembangan fungsi seksual yang diawali dengan
masa pubertas.

Menstruasi (haid) adalah perdarahan secara periodic dan siklik dari uterus, disertai pelepasan
(deskuamasi) endometrium (Wiknjosastro, 2005). Menstruasi adalah pelepasan dinding rahim
(endometrium) yang disertai dengan pendarahan dan terjadi setiap bulannya kecuali pada saat
kehamilan. Menstruasi yang terjadi terus menerus setiap bulannya disebut sebagai siklus menstruasi.
Menstruasi biasanya terjadi pada usia 11 tahun dan berlangsung hingga menopause (biasanya terjadi
sekitar usia 45 – 55 tahun). Normalnya, menstruasi berlangsung selama 3 – 7 hari (Bioheath Indonesia,
2007).

Umumnya sebagian perempuan mengalami ketidaknyamanan yang dirasakan sebelum menstruasi


dengan gejala bervariasi, sehingga mampu mengganggu aktivitas sehari-hari. Penelitian yang dilakukan
oleh Pelayanan Kesehatan Ramah Remaja (PKRR) di bawah naungan WHO tahun 2005 menyebutkan
bahwa permasalahan remaja di Indonesia adalah seputar permasalahan mengenai gangguan menstruasi
(38,4 %), masalah gizi yang berhubungan dengan anemia (20,3 %), gangguan belajar (19,7 %), gangguan
psikologis (0,7 %) serta masalah kegemukan (0,5 %) (Setiasih, 2007). Salah satu gangguan yang
menyertai siklus menstruasi pada wanita adalah terjadinya sindroma pra menstruasi( PKBI, 2003).

Sindroma pra menstruasi (Pre Menstrual Syndrome) adalah sekumpulan gejala atau keluhan baik fisik
maupun psikologis yang dirasakan wanita pada hari ke 1 hingga hari ke 14 sebelum menstruasi dimulai,
dan diikuti dengan tahap bebas dari gejala jika menstruasi sudah tejadi (Health Media Nutrition, 2006).
Penelitian Fatimah (2007), menunjukkan bahwa 71,9 % dari 154 responden mengalami sindroma pra
menstruasi. Sekitar 40% wanita berusia 14 - 50 tahun mengalami sindrom pra-menstruasi atau yang
lebih dikenal dengan PMS (pre-menstruation syndrome). Bahkan survai tahun 1982 di Amerika Serikat
menunjukkan, PMS dialami 50% wanita dengan sosio-ekonomi menengah yang datang ke klinik
ginekologi.. Pada sekitar 14 persen perempuan antara usia 15 hingga 35 tahun, sindrom pramenstruasi
dapat sangat hebat pengaruhnya sehingga mengharuskan mereka beristirahat dari sekolah atau
kantornya (Wales, 2008).

Tampaknya keadaan ketidak seimbangan pada beberapa keadaan interaksi yang kompleks antara
hormone, nutrient essensial, dan neurotransmitter yang dikombinasikan dengan stress psikologi
merupakan penyebab terjadinya gejala PMS dan ketidak seimbangan ini berbeda secara luas antara satu
orang dengan orang lain, dan bahkan antara satu siklus menstruasi dengan siklus lain pada seorang
wanita. Jadi telah ditetapkan bahwa PMS merupakan keadaan abnormalitas dari wanita untuk
beradaptasi terhadap perubahan fluktuasi hormonal bulannya.( Suheimi, 2008)

Health Media Nutrition (2006) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang rumit antara
ketidakseimbangan hormon, stres dan kekurangan gizi yang dapat menyebabkan terjadinya sindroma
ini. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya sindroma pra menstruasi, antara lain :
stress, status gizi, kebiasaan makan makanan tertentu, aktivitas olahraga, merokok dan alkohol.

Faktor-faktor risiko tersebut dapat memperburuk gejala dan keluhan sindroma pra menstruasi bila tidak
ditangani dengan baik (Media Health Nutrition, 2006). Secara umum hal ini akan sangat berpengaruh
kepada aktifitas wanita sehari-hari, termasuk di dalamnya adalah aktifitas pada lingkungan sosial,
kehidupan pribadi dan terutama aktifitas belajar di kampus apabila dia seorang mahasiswa(Riyanto,
2002).

Selain tingkat konsumsi zat gizi yang tercukupi, sindroma pra menstruasi dapat dicegah dengan aktivitas
olah raga secara teratur. Olah raga dapat melancarkan peredaran darah, mengurangi ketegangan serta
memunculkan perasaan gembira, tenang dan nyaman akibat rangsangan hormon endorphin dari dalam
tubuh (Chandra, 2008). Hal ini didukung penelitian Fatimah (2007), yang menyebutkan bahwa
responden dengan keluhan dan gejala sindroma pra menstruasi mempunyai tingkat konsumsi zat gizi
vitamin C, magnesium dan asam lemak omega 6 masing-masing

sebesar 63,2 %, 59,6 % dan 56,3 % yang berada dalam kategori kurang yaitu kurang dari 80% AKG. Untuk
responden yang melakukan aktivitas olahraga ringan didapatkan hasil bahwa 26,2 % tidak mengalami
PMS dan 73,8% mengalami PMS. Sedangkan untuk responden yang melakukan aktivitas olahraga berat
didapatkan hasil bahwa 60,3% tidak mengalami PMS dan 39,7 % mengalami PMS.
Prodi Kebidanan XXX merupakan salah satu institusi pendidikan kesehatan dibawah naungan Politeknik
Kesehatan Depkes XXX. Prodi Kebidanan XXX mempunyai mahasiswa yang keseluruhannya berjenis
kelamin perempuan dengan rentang usia 17-21 tahun dengan pembagian usia 17-19 tahun pada tingkat
I, 18-20 tahun pada tingkat II, dan 20-25 tahun pada tingkat III.

Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 29 Desember 2008 melalui
wawancara dengan mini kuesioner terhadap 96 mahasiswa tingkat I didapatkan hasil bahwa 68 orang
diantaranya mengalami gejala yang mengarah pada sindroma pra menstruasi. Kemudian dari 10
mahasiswa yang mengalami PMS tersebut dilakukan pengukuran status gizi dengan IMT didapatkan hasil
bahwa 7(70%) mahasiswa diantaranya mempunyai status gizi kurang, 2(20%) mahasiswa mengalami gizi
sedang, dan 1(10%) diantaranya mengalami gizi baik. Didapatkan hasil pula melalui wawancara dengan
mini kuesioner didapatkan bahwa 6(60%) diantaranya melakukan aktivitas olahraga ringan, 3(30 %)
mahasiswa diantaranya melakukan aktifitas olahraga sedang, dan 1(10 %) mahasiswa diantaranya
melakukan aktivitas olahraga berat. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan
antara status gizi dan aktifitas olahraga dengan sindroma pra menstruasi pada remaja putri di Prodi
Kebidanan Semarang.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, secara nyata bahwa terdapat gejala sindroma pra
menstruasi pada remaja serta implikasi yang ditimbulkannya. Secara umum hal tersebut dapat
berpengaruh pada aktivitas remaja yang tinggi, baik aktivitas pada lingkungan sosial, kehidupan pribadi
dan terutama aktivitas belajar di kampus. Sehingga dalam penelitian ini perlu dikaji “adakah hubungan
antara status gizi dan aktivitas olahraga dengan sindroma pra menstruasi pada remaja putri di Prodi
Kebidanan XXX?”

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara status gizi dan aktivitas olahraga dengan sindroma pra menstruasi pada
remaja putri di Prodi Kebidanan XXX Tahun 2009.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

a. Mengidentifikasi status gizi pada remaja putri di Prodi Kebidanan XXX

b. Mengidentifikasi aktifitas olahraga pada remaja putri di Prodi Kebidanan XXX.

c. Mengidentifikasi sindroma pra menstruasi di Prodi Kebidanan XXX.

d. Menganalisis hubungan antara status gizi dengan sindroma pra menstruasi pada remaja putri di Prodi
Kebidanan XXX.
e. Menganalisis hubungan antara aktivitas olahraga dengan sindroma pra menstruasi pada remaja putri
di Prodi Kebidanan XXX.

D. Manfaat

1. Bagi Remaja

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang sindroma pra menstruasi pada remaja
putri di Prodi Kebidanan Semarang sehingga dapat melakukan upaya penanganan terhadap gejala-
gejala yang terjadi.

2. Bagi Pemerintah/ Dinas Kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta sebagai wacana untuk dapat meningkatkan
keterlibatannya pada masalah kesehatan remaja khususnya kesehatan reproduksi.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas bagi pengembangan akademik.

4. Bagi Peneliti

a. Peneliti sekarang

Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan
penelitian tentang terjadinya sindroma pra menstruasi pada remaja putri, serta diharapkan mampu
mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama di bangku kuliah dalam kehidupan bermasyarakat.

b. Peneliti selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih
lanjut.

5. Bagi profesi bidan

Karya tulis ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi fungsi bidan dalam memberikan pelayanan dan
penyuluhan tentang kesehatan reproduksi remaja.

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN SIKAP PASANGAN SUAMI ISTRI YANG MENIKAH SELAMA
LEBIH DARI SATU TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK TERHADAP PEMERIKSAAN INFERTILITAS DI RW
XXX KELURAHAN XXX KOTA XXX PADA BULAN XXX-XXX TAHUN XXX

Monday, April 05, 2010 4:21 PM

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasangan suami istri yang menikah selama lebih dari satu tahun, memiliki waktu yang berbeda untuk
dapat menghasilkan kehamilan. Penyelidikan lamanya waktu yang diperlukan untuk menghasilkan
kehamilan menunjukkan bahwa 32,7% hamil dalam 1 bulan pertama, 57% dalam 3 bulan, 72,1% dalam 6
bulan, 85,4% dalam 12 bulan, dan 93,4 % dalam 24 bulan. Oleh karena itu, kebanyakan dokter baru
menganggap ada masalah infertilitas kalau pasangan yang ingin punya anak itu telah dihadapkan kepada
kemungkinan kehamilan lebih dari 12 bulan (Wiknjosastro, 1999).

Menurut Weschler (2006), ketidakmampuan untuk menjadi hamil dalam satu tahun setelah secara
teratur menjalani hubungan intim tanpa kontrasepsi dapat disebut dengan infertilitas; dan hasil
penelitian di negara-negara maju, penyebab dari infertilitas adalah infertilitas yang disengaja dan tidak
disengaja. Infertilitas yang disengaja dikarenakan pasangan suami istri sengaja menunda kehamilan
sedangkan infertilitas yang tidak disengaja adalah karena faktor suami dan istri yang berhubungan
dengan kerusakan fungsi reproduksi atau organ reproduksi yang abnormal (Adiyono, 2005).

Beberapa di antaranya tidak memiliki riwayat medis yang mengarah pada kelainan sistem reproduksi.
Sekitar 35% dari pasangan infertil di sebabkan oleh suami, 40% di sebabkan oleh istri, sementara 25%
disebabkan oleh kelainan kedua pihak. Karenanya faktor suami berperan penting pada sekitar 60%
pasangan tidak subur (Admin,2007).

Jumlah pasangan infertilitas meski berfariasi dari satu daerah dengan daerah lain di perkirakan
mencapai 8%. Kalau di asumsikan penduduk dunia sebesar 800 juta, maka di perkirakan jumlah
penduduk infertilitas sekitar 50-80 juta orang (Rowe, 1993). Tahun 2005, laporan dari WHO kasus
infertilitas terjadi terhadap satu pasangan di antara 10 pasangan suami istri yang tersebar di seluruh
negara di dunia.

Pada tahun 2004, dari 38.783.347 pasangan usia subur di Indonesia di dapatkan 13,15 % pasangan usia
subur bukan peserta KB dengan alasan karena tidak ber-KB ingin anak. Prosentase pasangan usia subur
bukan peserta KB dengan alasan karena tidak ber-KB ingin anak meningkat menjadi 15 % pada tahun
2006. Pada tahun 2004 dari 6.016.326 pasangan usia subur di Jawa Tengah di dapatkan 10,45 %
pasangan usia subur bukan peserta KB dengan alasan karena tidak ber-KB ingin anak. Jumlah meningkat
pada tahun 2006 dari 7.610.776 pasangan usia subur di Jawa Tengah di dapati 15 % pasangan usia subur
bukan peserta KB dengan alasan karena tidak ber-KB ingin anak. Di Semarang sendiri pada tahun 2006
didapati 15 % dari 215.034 pasangan usia subur bukan peserta KB dengan alasan tidak ber-KB ingin anak
(http : // www.bkkbn.go.id).

Dari studi pendahuluan yang dilakukan pada register sub pembantu pembina keluarga berencana bulan
Oktober sampai dengan November 2007, jumlah pengguna KB di RW 04 Kelurahan Randusari ada 155
orang dari total keseluruhan wanita usia subur di RW 04 Kelurahan Randusari yang berjumlah 198 orang.
43 wanita usia subur didapati tidak menjadi akseptor KB. Dari 43 wanita usia subur yang tidak menjadi
Akseptor KB, terdapat 18 wanita usia subur memiliki anak, dan 25 wanita usia subur belum memiliki
anak setelah menikah selama lebih dari satu tahun. Atau dapat dikatakan terdapat 25 pasangan usia
subur yang belum memiliki anak setelah menikah selama lebih dari satu tahun.

Salah satu langkah penting yang di lakukan dalam menangani infertilitas adalah memberikan
pengetahuan yang cukup tentang infertilitas dan penanggulangannya pada kedua pasangan serta
masyarakat, yang rata-rata memiliki pengetahuan yang minim mengenai masalah infertilitas. Sepertinya
sudah terbiasa bila suatu pasangan infertil, maka sang perempuanlah yang paling di curigai bahkan
langsung di vonis sebagai penyebabnya. Memang data statistik menunjukkan bahwa penyebab
infertilitas pada pria lebih kecil di bandingkan wanita, namun hal ini merupakan suatu anggapan yang
keliru, karena kemungkinan keidaksuburan bisa datang dari suami, istri atau kedua belah pihak
bersamaan (Sugiharto G, 2006).

Dari data klinik infertilitas Indonesia, didapatkan prosentase kunjungan wanita di klinik infertilitas adalah
55 %, 37 % adalah pasien pria, sedangkan 8 % datang bersama (Pikiran Rakyat, 2006). Juga penelitian
oleh Ford foundation bekerja sama dengan pusat studi kependudukan Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta tahun 1999 dengan mengambil sampel sebanyak 82 pasangan yang terdiri dari 46 mewakili
populasi desa dan 36 mewakili populasi kota di Jawa Tengah di peroleh deskripsi yang utuh mengenai
beberapa aspek infertilitas. Di temukan pola relasi gender yang timpang dalam upaya pencegahan dan
pengelolaan infertilitas, dimana perempuan lebih dominant (http : // www.loneknight.multiply.com).

Dengan pengetahuan yang rendah mengenai infertilitas memungkinkan terjadinya sikap negatif
terhadap pemeriksaan infertilitas sehingga menyebabkan tidak tertanggulanginya masalah infertilitas.
Hal ini membuat peneliti tertarik untuk meneliti hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap pasangan
suami istri yang menikah selama lebih dari satu tahun dan belum memiliki anak terhadap pemeriksaan
infertilitas di RW XXX Kelurahan XXX Kota XXX. Peneliti mengambil tempat penelitian di RW XXX
Kelurahan XXX Kota XXX karena wilayahnya yang dekat dengan lingkungan kesehatan, yaitu berada
dekat dengan RSUP dr. Kariadi, kampus Widya Husada, dan kampus II Prodi D-III Kebidanan Poltekkes
Depkes Semarang. Diharapkan dengan kedekatan tersebut masyarakat di RW XXX Kelurahan XXX Kota
XXX dapat memperoleh informasi mengenai permasalahan infertilitas dengan mudah sehingga
permasalahan belum memiliki anak pada pasangan usia subur yang telah menikah selama lebih dari satu
tahun dapat segera teratasi.

Namun pada kenyataannya dari studi pendahuluan yang dilakukan pada register sub pembantu pembina
keluarga berencana bulan Oktober sampai dengan November 2007, didapatkan pasangan usia subur
yang belum memiliki anak setelah menikah selama lebih dari satu tahun adalah 25 pasangan,
kesemuanya memiliki usia pernikahan yang bervariasi, mulai dari 2 tahun hingga 15 tahun.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemahaman di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitan ini adalah
“Bagaimana hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap pasangan suami istri yang menikah selama
lebih dari satu tahun dan belum memiliki anak terhadap pemeriksaan infertilitas di RW XXX Kelurahan
XXX Kota XXX Pada Bulan XXX-XXX tahun XXX.”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap pasangan suami istri yang menikah selama
lebih dari satu tahun dan belum memiliki anak terhadap pemeriksaan infertilitas.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui tingkat pengetahuan suami-istri yang menikah selama lebih dari satu tahun dan belum
memiliki anak tentang pemeriksaan infertilitas.

b. Mengetahui sikap suami-istri yang menikah selama lebih dari satu tahun dan belum memiliki anak
tentang pemeriksaan infertilitas.

c. Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap pasangan suami istri yang menikah selama
lebih dari satu tahun dan belum memiliki anak terhadap pemeriksaan infertilitas.

D. Manfaat

1. Bagi Masyarakat

Masyarakat, khususnya pasangan suami istri yang menikah selama lebih dari satu tahun dan belum
memiliki anak dapat mengetahui bahwa untuk pemeriksaan infertilitas adalah harus dilakukan oleh
kedua pasangan dan bukan hanya salah satu dari pasangan.

2. Bagi Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan dapat menyampaikan informasi tentang sebab timbulnya infertilitas pada pria
maupun wanita sehingga dapat memberikan anjuran kepada kedua pasangan untuk melakukan
pemeriksaan infertilitas.

3. Bagi Peneliti

a. Penelitian ini merupakan pengalaman belajar bagi peneliti dalam mengintegrasikan berbagai teori dan
konsep yang didapatkan dalam kuliah ke dalam aplikasi penelitian ilmiah.

b. Sebagai dasar dalam penelitian lebih lanjut mengenai infertilitas.


Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Ca Mammae dengan Pelaksanaan Pemeriksaan Payudara
Sendiri (SADARI) di Desa XXX RT XXX RW XXX Kecamatan XXX Kabupaten XXX

Monday, April 05, 2010 3:57 PM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kanker adalah nama kumpulan untuk sejumlah besar penyakit yang perjalanannya bervariasi dan tidak
jarang menuju ke kematian. Pada waktu ini kanker merupakan penyebab kematian yang kedua di
Nederland. Bahkan pada wanita umur antara 30 – 60 tahun adalah penyebab pertama. Kematian karena
kanker payudara tetap meningkat dan tidak berubah walaupun telah diupayakan perbaikan diagnostik
dan terapi. Tetapi untuk wanita pada umur antara 35 – 50 tahun kanker payudara merupakan penyebab
kematian yang terpenting (Van de Volde, 1999)

Kanker payudara menduduki peringkat ke dua dari semua jenis kanker di Indonesia (Luwia, 2005).
Namun di lihat dari penyebab timbulnya kematian, kanker payudara merupakan kanker yang paling
banyak menyebabkan kematian kaum wanita ( Harsono, 2005). Insidensi kanker meningkat 1 – 2 % tiap
tahun di sebagian besar Negara, sehingga mulai tahun 2000 kira – kira 1 juta wanita tiap tahun
mendapat penyakit ini. Dan setiap wanita di sana selama hidupnya setelah lahir mempunyai 10%
kemungkinan mendapat kanker payudara (Ramli, 2000). Di Indonesia, jumlah penderita kanker payudara
masih menduduki tingkat kedua setelah kanker mulut rahim. Namun, data di Rumah Sakit Kanker
Dharmais tahun 2003 menemukan bahwa kasus kanker payudara sudah melebihi jumlah kanker mulut
rahim (serviks) (Pusat Data & Informasi PERSI, 2003). Dengan insidens kanker payudara sekitar 100 per
100.000 jiwa per tahun dan lebih dari 50% diantaranya ditemukan dalam stadium lanjut. Masih
sedikitnya penemuan kasus dalam stadium dini menyebabkan upaya deteksi dini dan skrining menjadi
sangat penting.

Berdasarkan Soediro (2005) dalam Harsono (2005), selama bulan Januari – Agustus 2005 jumlah
penderita kanker yang datang ke yayasan Kanker Indonesia sebanyak 95 orang, 5 diantaranya positif
terkena kanker payudara dan 62 orang menderita tumor jinak payudara. Sedangkan di Jawa Tengah di
RSDK yang merupakan RS rujukan diperoleh data jumlah penderita kanker payudara yang semakin tinggi
mencapai 85%. Peningkatan jumlah pasien ini perlu diwapadai, oleh karena itu menurut Nina (2003)
dalam Hawari (2004) deteksi dini dan diagnosa dini kanker payudara memegang peranan penting.
Temuan dini kanker payudara amat penting bagi keberhasilan pengobatan dengan operasi,
kemungkinan penyebarannya (metastasis) sukar untuk dicegah sehingga harapan hidupnya kecil.
Temuan dini kanker payudara ini dapat diperoleh dengan melakukan pemeriksaan payudara sendiri
(SADARI), pemeriksaan secara klinis (SARANIS) atau pemeriksaan dengan alat radiologi berupa morfologi
dan USG (ultra sonography (Jelsoft, 2007)

Menurut Cochrane Library 2003 adanya penemuan yang senada pada penelitian yang menginformasikan
bahwa melakukan SADARI secara rutin (satu kali tiap bulan) memperbaiki harapan hidup dari penderita
kanker payudara, dengan adanya peningkatan kemungkinan dilakukannya biopsy hingga dua kali lipat
dibandingakan dengan kelompok yang tidak melakukan SADARI. Wanita-wanita ini diamati selama 10
tahun. Selama rentang waktu tersebut, 587 wanita meninggal akibat kanker payudara, dengan angka
kematian yang serupa pada kelompok SADARI (292 kematian akibat kanker payudara) dan kelompok
yang tidak dilatih/didorong melakukan SADARI (295 kematian), (Jan Koesters, MD 2003).

Upaya deteksi dini yang paling sederhana adalah dengan melakukan pemeriksaan payudara sendiri atau
SADARI. Sekitar sebulan sekali atau beberapa hari setelah mulai masa haid. Apabila ada kecurigaan
harus dilakukan USG pada payudara atau mamografi (Merdikoputro, 2004)

Dalam stadium awal, kanker payudara memberikan hasil pengobatan yang lebih baik di bandingkan
dengan stadium lanjut (RS Kanker Dharmais, 2003). Namun menurut Harsono (2005) kebanyakan pasien
datang berobat justru setelah penyakitnya pada stadium lanjut, padahal keberadaan kanker ini bisa
dideteksi secara dini, akan tetapi para penderita jarang melakukannya. Hal ini disebabkan kurangnya
pengetahuan wanita tentang deteksi dini kanker payudara dan tingkat pendidikannya yang rendah
karena pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam menentukan tindakan seseorang
sedangkan pengetahuan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang semakin baik pula pengetahuan
dan perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari
oleh pengetahuan (Notoadmodjo, 2003)

Dari studi pendahuluan yang dilakukan di Desa XXX Kecamatan XXX Kabupaten XXX, didapatkan
penderita kanker payudara di Kecamatan Juwana sebanyak 10 orang, dan yang menunjukkan tanda –
tanda menderita kanker payudara ada 6 orang. Di Kabupaten XXX pada Tahun 2006 penderita ada 19
orang. Tahun 2007 penderita ada 17 orang. Tahun 2008 penderita ada 15 orang. Oleh karena itu peneliti
tertarik untuk mengetahui apakah ada hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang ca mammae
terhadap Pelaksanaan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di Desa XXX RT XXX RW XXX Kecamatan
XXX Kabupaten XXX.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang dan survey pendahuluan yang dilakukan, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut “Adakah Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Ca
Mammae dengan Pelaksanaan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di Desa XXX RT XXX RW XXX
Kecamatan XXX Kabupaten XXX”.
C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui adakah hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang ca mammae terhadap
pelaksanaan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) di Desa XXX RT XXX RW XXX Kecamatan XXX
Kabupaten XXX.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui karakteristik (umur, pendidikan) ibu terhadap terjadinya kanker payudara.

b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang kanker payudara.

c. Untuk mengetahui pelaksanaan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI).

d. Untuk mengetahui hubungan karakteristik (umur, pendidikan) dengan pelaksanaan pemeriksaan


payudara sendiri (SADARI)

c. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan pelaksanaan pemeriksaan payudara sendiri


(SADARI)

d. Manfaat

1. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai pertimbangan untuk meningkatkan pendidikan kesehatan tentang ca mammae dan pendidikan
kesehatan tentang pemeriksaan payudara sendiri (SADARI)

2. Bagi Pelayanan Kesehatan

Memberikan masukan kepada tenaga kesehatan akan pentingnya member informasi dan pendidikan
kesehatan serta penyuluhan–penyuluhan tentang ca mammae dan pemeriksaan payudara sendiri
(SADARI)

3. Bagi Almamater

Sebagai refrensi bagi mahasiswa lain yang akan menyusun tugas akhir.

4. Bagi Peneliti

Penulis dapat mengerti dan memahami pentingnya pemberian pendidikan kesehatan tentang ca
mammae dan tentang pemeriksaan payudara sendiri.

5. Bagi Masyarakat
Masyarakat dapat lebih memperhatikan perkembangan kesehatan dan dapat menjaga serta mendeteksi
penyakit kanker payudara sedini mungkin.

Hubungan Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Seks Pranikah Dengan Sikap Remaja Dalam Mencegah
Seks Pranikah DI SMA XXX Kabupaten XXX

Sunday, February 14, 2010 5:45 PM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda-beda
tergantung sosial budaya. Cirinya adalah alat reproduksi mulai berfungsi, libido mulai muncul,
intelegensi mencapai puncak perkembangan, emosi sangat labil, kesetiakawanan yang sangat kuat
terhadap teman sebaya dan belum menikah. Rentang masa remaja dihadapkan pada paparan media
massa yang merangsang libido. Dampaknya adalah makin aktifnya perilaku seksual pranikah (Sarwono,
2005).

Perilaku seksual remaja adalah suatu perkembangan pada remaja yang dipengaruhi oleh kematangan
hormonal dan ditandai dalam kegiatannya berkelompok dengan teman sebaya yang berlainan jenis
(Jatman, 2000). Perilaku remaja dipengaruhi oleh faktor internal remaja (pengetahuan, sikap dan
kepribadian) maupun faktor eksternal remaja, yaitu lingkungan tempat ia berada (Moelyono, 2004).

Kurangnya pemahaman tentang perilaku seksual pada masa remaja amat merugikan bagi remaja sendiri
termasuk keluarganya. Sebab pada masa ini remaja mengalami perkembangan yang penting, yaitu
kognitif, emosi, sosial dan seksual. Kurangnya pemahaman ini akan mengakibatkan berbagai dampak
yang merugikan kelompok remaja dan keluarganya (Pangkahila, 2004).

Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup terhadap stimulus atau obyek (Notoatmodjo,
2003). Pembentukan sikap dan faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap seorang
ditentukan oleh pengalaman pribadi, pengaruh orang yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan,
pengaruh media massa, pengaruh lembaga pendidikan dan lembaga agama, pengaruh faktor emosional,
dan pengaruh lingkungan (Azwar, 2005).

Berdasarkan penelitian yang diterbitkan oleh Jurnal Kesehatan Remaja pada tanggal 15 Januari 2008,
remaja yang mendapat pendidikan seks formal lebih besar kemungkinan menunda melakukan hubungan
intim setidaknya sampai mereka menginjak usia lebih dari 15 tahun. Menurut penelitian yang
diungkapkan oleh para ahli di Pusat Kontrol dan Penanggulangan Penyakit di Amerika tahun 1995
ditemukan bahwa remaja pria yang mendapatkan pendidikan seks di sekolah adalah sekitar 71 % dan
lebih kecil kemungkinan melakukan hubungan intim sebelum usia 15 tahun. Dan remaja putri yang
mendapatkan pendidikan seks formal adalah sekitar 59 % lebih kecil kemungkinan mereka melakukan
hubungan seksual di bawah usia 15 tahun. Dari analisa jawaban para ahli, dari 2.019 remaja antara usia
15-19 tahun hingga Survey Nasional Pertumbuhan Keluarga Sehat tahun 2002 menyimpulkan bahwa
pendidikan seks formal juga menuntun perilaku seks yang aman. Dikatakan pendidikan seks juga
meningkatkan kesadaran pria untuk menggunakan alat pengaman seperti kondom sejak pertama kalinya
mereka melakukan hubungan intim (Vedder, 2008). Demikian juga survey Yayasan Kita dan Buah Hati
tahun 2005 di Jabotabek didapatkan hasil lebih dari 80 % anak-anak usia 9-12 tahun telah mengakses
materi pornografi dari sejumlah media termasuk internet (Admin, 2007).

Djaelani (1999) menyatakan 96 % remaja menyatakan butuh nasihat mengenai seks dan kesehatan
reproduksi. Namun, sebagian besar remaja justru tidak dapat mengakses sumber informasi yang tepat
jika remaja kesulitan untuk mendapatkan informasi melalui jalur formal, terutama dari lingkungan
sekolah dan petugas kesehatan, maka kecenderungan yang muncul adalah coba-coba sendiri mencari
sumber informal (Syaifudin, 2006).

Kurangnya pemahaman tentang perilaku seksual pada masa remaja amat merugikan bagi remaja sendiri
termasuk keluarganya. Sebab pada masa ini remaja mengalami perkembangan yang penting yaitu
kognitif, emosi, sosial dan seksual. Perkembangan ini akan berlangsung mulai sekitar 12-20 tahun.
Kurangnya pemahaman ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain adat istiadat, budaya, agama dan
kurangnya informasi dari sumber yang benar. Kurangnya pemahaman ini menyebabkan terjadinya
perilaku seksual pranikah pada remaja. Di samping itu, orang tua berperan penting pada perilaku seksual
remaja. Seorang remaja yang memiliki hubungan yang baik dengan orang tua yang peduli terhadap
mereka cenderung tidak akan memulai aktivitas seksual dini (Pangkahila, 2004).

Hasil studi yang dilakukan pada 10 kota besar Kabupaten di Indonesia menyimpulkan bahwa angka
kejadian aborsi mencapai 2 juta (2.000.000) tiap tahunnya. Berarti ada 2 juta nyawa yang dibunuh setiap
tahunnya secara keji tanpa banyak yang tahu (Samekto, 2004). Dampak lain dari kehamilan karena seks
pranikah yaitu membuat remaja terpaksa menikah padahal mereka belum siap mental, sosial, dan
ekonominya. Bagi remaja yang masih sekolah kehamilan tersebut menyebabkan putus sekolah (BKKBN,
2004).

Dari penelitian yang dilakukan oleh Pilar PKBI Jawa Tengah yang bekerjasama dengan Tim Embrio pada
tahun 2000 di Semarang yang melibatkan 127 orang responden menunjukkan bahwa 48 % responden
pernah meraba daerah sensitif saat berpacaran, 28 % responden telah melakukan petting dan 20 %
responden melakukan hubungan seksual. Setiap tahun dari 3000 remaja, sekitar 1 diantara 4 remaja
secara seksual aktif tertular Penyakit Menular Seksual (PMS). Remaja memiliki rata-rata tertinggi tertular
gonorrhea dibanding dengan orang dewasa dan wanita berumur 20-44 tahun. Persoalan ini
menunjukkan bahwa perkembangan seksualitas anak dan remaja dari tahun ke tahun semakin
bertambah (Masfufah, 2008). Menurut berbagai penelitian, dari sekitar 42 juta remaja Indonesia sekitar
50%nya telah melakukan hubungan seks pranikah. Jumlah remaja yang besar inilah yang membuat
kehamilan pranikah terjadi.

Dampak dari aktivitas seksual pranikah remaja diantaranya yaitu terjadinya kehamilan yang tidak
diinginkan (KTD). Hal ini membuat remaja terpaksa menikah, padahal mereka belum siap mental, sosial
dan ekonominya, jika remaja tersebut masih sekolah akan mengalami putus sekolah (drop out). Dampak
lain yang bisa terjadi yaitu pengguguran kandungan (aborsi), jika dilakukan oleh orang yang kurang
terlatih dapat menjadi perdarahan yang bisa menyebabkan kematian, pada remaja yang sering berganti-
ganti pasangan dan melakukan hubungan seks resiko tertular penyakit menular seksual (PMS/HIV/AIDS)
(BKKBN, 2004).

Ada dua hal yang bisa dilakukan remaja bila mengalami kehamilan yang tidak diharapkan yaitu
mempertahankan kehamilan atau mengakhiri kehamilan. Banyak remaja memilih untuk mengakhiri
kehamilan (aborsi) bila hamil. Aborsi beresiko tinggi terhadap keselamatan remaja itu sendiri. Resiko
melakukan aborsi pada remaja yaitu kematian karena perdarahan, sobeknya leher rahim, kerusakan
leher rahim yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya, kanker payudara, kanker leher rahim,
infeksi rongga panggul, dan dapat menyebabkan kemandulan. Jika aborsi gagal dapat menyebabkan
cacat bawaan pada bayi yang dilahirkan (Zumrotin, 2006).

Kehamilan pada masa remaja dan menjadi orang tua pada usia remaja berhubungan secara bermakna
dengan resiko terhadap ibu maupun bayinya. Dari sudut kesehatan obstetri, hamil pada usia remaja
memberi resiko komplikasi seperti anemia, preeklamsia, eklamsia, abortus, partus prematurus,
kematian perinatal, perdarahan lebih sering terjadi dibandingkan dengan kehamilan pada usia 20 tahun
ke atas (Sugiharta, 2004).

Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (PKRR) sudah diberikan di SMA XXX Kabupaten XXX, yang
ditetapkan sebagai ekstra kurikuler yang diadakan di hari Jumat setelah jam sekolah berakhir. Namun
tidak banyak siswa yang menghadiri ekstra kurikuler tersebut, harus diakui bahwa waktu kurikulum
sekolah sangatlah terbatas untuk memberikan semua yang diperlukan oleh para remaja termasuk dari
aspek kesehatan reproduksi dan topik-topik yang lain.

Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah salah satu tempat dimana remaja itu berada, dalam area ini
mereka bergaul dengan teman sebayanya dan teman lawan jenisnya. Dan di area inilah perilaku seksual
dapat muncul. Akses informasi modern, misalnya internet dapat memberikan informasi tentang perilaku
yang menyesatkan, dimana mereka menimbulkan perilaku coba-coba (Ade, 2005). Peran bidan di
komunitas ini adalah mencegah seks pranikah akibat akses informasi yang salah yaitu dengan
memberikan bimbingan terhadap kelompok remaja, salah satunya dengan penyuluhan tentang dampak
seks pranikah.

Penelitian sebelumnya pada tahun 2008 oleh Endah Irbiyanti dengan judul “Hubungan Tingkat
Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Dengan Sikap Remaja Tentang Seks Pranikah Di Desa Karang Jati
Tarub Tegal” dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap responden tentang seks pranikah untuk
sikap positif sebanyak 29 responden (59,18 %) dan sikap negatif sebanyak 20 responden (40,83 %)
Penulis mengambil tempat penelitian di SMA XXX Kabupaten XXX karena dampak seks pranikah
diantaranya juga terjadi di sini, dari studi pendahuluan yang dilakukan didapatkan data dari tahun 2003-
2008, setiap tahun ada 1 (satu) siswa yang hamil di luar nikah. Jadi jumlah siswa yang hamil selama
kurun waktu tersebut ada 6 (enam) siswa dan semuanya berhenti sekolah. Sebelum dikeluarkan oleh
pihak sekolah, dan mereka rata-rata tidak memahami akibat atau dampak seks pranikah tersebut.

SMA XXX Kabupaten XXX terdiri atas 23 kelas dan 858 orang siswa dengan 559 siswa putri dan 229 siswa
putra, kelas X terdiri atas 7 kelas dengan jumlah siswa 236 orang, kelas XI terdiri atas 9 kelas dengan
jumlah siswa 300 orang dan kelas XII yang terdiri atas 7 kelas dengan jumlah siswa 322 orang.

Dari data-data di atas penulis tertarik untuk mengambil penelitian dengan judul “Hubungan Tingkat
Pengetahuan Remaja Tentang Seks Pranikah Dengan Sikap Remaja Dalam Mencegah Seks Pranikah Di
SMA XXX Kabupaten XXX”.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan dari uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti “Apakah ada hubungan antara tingkat
pengetahuan remaja tentang seks pranikah dengan sikap remaja dalam mencegah seks pranikah di SMA
XXX Kabupaten XXX?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan remaja tentang seks pranikah dengan sikap remaja
dalam mencegah seks pranikah di SMA XXX Kabupaten XXX.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui tingkat pengetahuan remaja tentang seks pranikah di SMA XXX Kabupaten XXX.

b. Mengetahui sikap remaja dalam mencegah seks pranikah di SMA XXX Kabupaten XXX.

c. Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan remaja tentang seks pranikah dengan sikap remaja dalam
mencegah seks pranikah.

D. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :

1. Petugas Kesehatan/Bidan

Sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan informasi tentang perilaku seks pranikah serta cara
pencegahan hubungan seksual pranikah.
2. Remaja

Sebagai bahan masukan untuk mencegah perilaku seksual pranikah.

3. Sekolah SMA XXX Kabupaten XXX

Sebagai bahan masukan dan bahan pertimbangan dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi
remaja dan mencegah terjadinya KTD pada remaja (siswa SMA XXX Kabupaten XXX).

4. Peneliti

Untuk digunakan sebagai bahan rujukan bagi peneliitan selanjutnya dalam rangka pengembangan
penelitian yang lebih mendalam mengenai sikap remaja tentang seks pranikah.

5. Institusi/Prodi Kebidanan

Sebagai pertimbangan untuk meningkatkan pendidikan kesehatan khususnya bidan.

Studi Deskriptif Penyebab Terjadinya Asfiksia Neonatorum DI RSUD XXX Periode XXX

Sunday, February 14, 2010 5:44 PM

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 adalah meningkatkan kesadaran kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal melalui
tercapaintya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam
lingkungan dan dorongan perilaku yang sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu secara adil dan merata memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh
wilayah Indonesia (Depkes RI, 1999).

Salah satu indikator derajat kesehatan suatu negara adalah Angka Kematian Bayi (AKB) (Depkes RI,
1999). Apabila suatu negara angka kematian bayi masih tinggi, menggambarkan bahwa derajat
kesehatan negara tersebut masih rendah. Indonesia sebagai negara berkembang dewasa ini masih
menghadapi masalah kesehatan tingginya angka kematian bayi tahun 2003 sebesar 35/1000 kelahiran
hidup, meskipun angka ini sudah mengalami penurunan dibanding tahun 2002 yang mencapai 51/1000
kelahiran hidup. Namun angka tersebut masih tergolong tinggi dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN yang lain seperti Malaysia (10/1000 kelahiran hidup), Vietnam (10/1000 kelahiran hidup) dan
Thailand (20/1000 kelahiran hidup) (BKKBN, 2005).

Menurut WHO, setiap tahunnya kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi lahir mengalami asfiksia, hampir
1 juta bayi ini meninggal (Depkes RI, 2005). Di Indonesia dari seluruh kematian bayi sebanyak 47%
meninggal pada masa neonatal (usia masih di bawah 1 bulan). Setiap 5 menit terdapat satu neonatus
yang meninggal (Depkes RI, 2005). Sedangkan angka kematian bayi di Jateng tahun 2003 mencapai
8,29/1000 kelahiran hidup. Untuk kota Semarang sendiri angka kematian neonatal pada tahun 2003
sebesar 4,3/1000 kelahiran hidup (Dinkes Jateng, 2003). Beberapa penyebab kematian bayi di Indonesia
antara lain adalah asfiksia 43 %, infeksi perinatal 34,2 %, BBLR 7,6 %, kelainan bawaan 3,9 % (Hari, 2004).
Sedangkan penyebab kematian neonatal di Indonesia adalah bayi berat lahir rendah 29 %, asfiksia 27 %,
trauma lahir, tetanus neonatorum (Depkes RI, 2005).

Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan
teratur segera lahir (Wiknjosastro, 2002). Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor ibu,
faktor tali pusat dan faktor bayi. Faktor ibu antara lain pre eklampsia, eklampsia, plasenta previa dan
lain-lain. Faktor tali pusat antara lain lilitan tali pusat, tali pusat pendek dan lain-lain. Sedangkan faktor
bayi antara lain bayi prematur letak sungsang, kelainan kongenital (Depkes RI, 2005). Berdasarkan
rekam medis di RSUD XXX tahun XXX angka kejadian asfiksia sebanyak 55 bayi asfiksia neonatorum.
Penyebab asfiksia neonatorum yaitu faktor ibu terdapat 31,5%, faktor tali pusat terdapat 18,5 %,
sedangkan faktor bayi 50 %. Sedangkan tahun 2006 angka kejadian asfiksia sebanyak 43 asfiksia
neonatorum. Penyebab asfiksia neonatorum yaitu faktor ibu terdapat 30 %, faktor tali pusat terdapat
21,2 %, sedangkan faktor bayi 48,5 %.

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut mengingat angka kejadian asfiksia yang masih tinggi, penulis
merasa tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai gambaran penyebab terjadinya asfiksia
neonatorum di RSUD XXX Periode XXX.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah gambaran penyebab terjadinya asfiksia neonatorum di RSUD XXX Periode XXX.

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran penyebab terjadinya asfiksia neonatorum.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui angka kejadian asfiksia neonatorum di RSUD XXX Periode XXX.

b. Untuk mengetahui distribusi asfiksia neonatorum berdasarkan faktor ibu yaitu pre eklamsi, eklamsi,
plasenta previa, solusio plasenta, dan serotinus.

c. Untuk mengetahui distribusi asfiksia neonatorum berdasarkan faktor tali pusat yaitu lilitan tali pusat.

d. Untuk mengetahui distribusi asfiksia neonatorum berdasarkan faktor bayi yaitu bayi prematur, letak
sungsang, dan distosia bahu.

e. Untuk mengetahui distribusi asfiksia neonatorum berdasarkan multi antara faktor ibu, faktor bayi dan
faktor tali pusat.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Tenaga kesehatan

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan yang berarti dalam meningkatkan upaya
mengantisipasi terjadinya asfiksia neonatorum.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi bidan untuk meningkatkan mutu pelayanan
asuhan Bayi Baru Lahir (BBL) terutama penanganan bayi asfiksia.

2. Institusi pendidikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk terus meningkatkan kemampuan
mahasiswa dalam melakukan penelitian khususnya mengenai asfiksia neonatorum.

3. Ilmu pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi bagi pendidikan dan dapat digunakan sebagai
data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut.

4. Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang kejadian
asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir.

Studi Deskriptif Karakteristik (Umur, Pendidikan, Pekerjaan) Dan Tingkat Pengetahuan Penderita Kanker
Payudara Di RSUD XXX Tahun XXX-XXX

Sunday, February 14, 2010 5:43 PM

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kanker adalah nama kumpulan untuk sejumlah besar penyakit yang perjalanannya bervariasi dan tidak
jarang menuju ke kematian. Pada waktu ini kanker merupakan penyebab kematian yang kedua di
Nederland. Bahkan pada wanita umur antara 30 dan 60 tahun adalah penyebab pertama. Di Belanda ini
berarti kira-kira 10.000 penderita baru tiap tahun. Kematian karena kanker payudara tetap meningkat
dan tidak berubah walaupun telah diupayakan perbaikan diagnostik dan terapi. Tetapi untuk wanita
pada umur antara 35 – 50 tahun kanker panyudara merupakan penyebab kematian yang terpenting
(Van de Velde, 1999).

Menurut statistik dari Departemen Kesehatan (1995) dan sejumlah penderita kanker, sebanyak 29%
adalah penderita kanker payudara dan diperingkat kedua sebanyak 23% adalah kanker leher rahim.
Insidensi kanker meningkat 1 – 2% tiap tahun di sebagian besar negara sehingga mulai tahun 2000 kira-
kira 1 juta wanita tiap tahun mendapat penyakit ini. (Ramli, 2000).

Menurut Harsono (2005) kebanyakan pasien datang berobat justru setelah penyakitnya stadium lanjut,
padahal keberadaan kanker ini bisa dideteksi secara dini, akan tetapi para penderita jarang
melakukannya. Dalam stadium awal, secara umum kanker payudara memberi hasil pengobatan yang
lebih baik dibanding stadium lanjut. Oleh karena itu wanita sebaiknya memahami tentang kesehatan
payudara sehingga bisa mendeteksi dini terhadap gejala-gejala terjadinya kanker payudara (Suardi,
2003).

Keterlambatan deteksi dini kemungkinan karena kurangnya pengetahuan wanita tentang deteksi dini
kanker payudara dan tingkat pendidikan yang rendah karena pengetahuan merupakan domain yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang, sedang pengetahuan dipengaruhi oleh umur,
tingkat pendidikan dan pekerjaan. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin baik pula
pengetahuannya (Notoatmodjo, 2003). Di Provinsi Jawa tengah berdasar laporan program yang berasal
dari rumah sakit, kasus penyakit ginekologi yang ditemukan sebanyak 10.444 terdiri dari ca. mamae
4.956 kasus, ca. cerviks 3.910 kasus, ca. hepar 345 kasus, ca. paru 1.233 kasus. (Dinkes Provinsi Jawa
Tengah, 2006).

Dari studi pendahuluan yang dilakukan penulis data yang di dapat dari instalasi rekam medis di Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) XXX pada tahun XXX-XXX ditemukan 35 kasus kanker payudara. Berdasarkan
uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai studi deskriptif tentang
karakteristik umur, pekerjaan, pendidikan, dan tingkat pengetahuan penderita kanker payudara di RSUD
XXX tahun XXX-XXX.
B. PERUMUSAN MASALAH

Penulis merumuskan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah studi deskriptif karakteristik
(umur, pendidikan, pekerjaan) dan tingkat pengetahuan penderita kanker payudara di RSUD XXX tahun
XXX-XXX.

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum

Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai karakteristik (umur, pendidikan, pekerjaan) dan tingkat
pengetahuan penderita kanker payudara di RSUD XXX tahun XXX-XXX.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui karakteristik (umur, pendidikan, pekerjaan) pada wanita penderita kanker
payudara.

b. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita tentang pengertian kanker payudara, meliputi:
pengertian, tanda gejala, faktor resiko, deteksi dini, dan penanganannya.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi Tenaga Kesehatan

Untuk dapat dijadikan bahan pertimbangan atau acuan dalam memberikan penyuluhan terhadap pasien
atau masyarakat untuk mendeteksi dini adanya kasus kanker payudara.

2. Bagi Masyarakat

Masyarakat dapat mengetahui tentang kanker payudara dan pencegahan dini kanker payudara sehingga
tidak terjadi penyakit yang kronis dan berat.

3. Bagi Penelitian

Dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai tingkat pengetahuan dan
karakteristik (umur, pendidikan, pekerjaan) pada penderita kanker payudara di RSUD XXX tahun XXX-
XXX.

Stop ! Jangan Lakukan Jalan Pintas Dalam Membuat KTI atau Skripsi Kebidanan

Sunday, February 14, 2010 5:41 PM


Jika Anda Bingung mendengar peneliti membuat KTI atau Skripsi di luar sana berkata, "betapa
mudahnya membuat KTI atau Skripsi...", sedangkan sampai detik ini Anda masih tetap pusing harus
bagaimana memulainya, Anda bisa coba yang ini…

"Gawat gue, baru bulan pertama di tahun akhir sudah disuruh untuk mengajukan judul KTI atau skripsi,
ngga punya gambaran", kalimat itu paling tidak yang muncul di pikiran para mahasiswa, khususnya
kebidanan, yang akan menghadapi persiapan untuk membuat KTI atau skripsi sebagai tugas akhirnya.
Ketika dead line pembuatan sudah dimulai dan pikiran sudah “buntu” ngga bisa buat gambaran tentang
penelitiannya, sekaligus nggak bisa jawab judul apa yang akan diajukan, pusing dah. Apalagi melihat
beban yang begitu beratnya untuk dipikul harus melawan waktu yang dari hari ke hari berjalan begitu
cepatnya Perasaan down biasanya segera mengikuti.

Pada postingan kali ini saya akan gambarkan kesalahan kecil yang sangat mendasar yang paling sering
dilakukan para mahasiswa, sehingga akibatnya bisa mengalami kejadian yang tidak diinginkan nantinya,
seperti revisi total, ganti judul bahkan bisa saja judulnya ditolak. Apa itu ? Bab I Pendahuluan terlebih
lagi Latar Belakang. Ini perlu untuk dicermati. Mari kita telusuri detail yang sebetulnya sederhana namun
bisa menjadi kesalahan fatal apabila tidak bijaksana untuk menyikapinya.

Berdasarkan pada pengalaman lebih dari 2 tahun di DEA Comp yang sering menjadi teman sharing
dalam pembuatan KTI (Karya Tulis Ilmiah) atau skripsi kebidanan pembuatan sebagai tugas akhir,
umumnya saat awal pembuatan, mahasiswa terlalu fokus pada judul yang belum ada dan dianggap
menarik, padahal ada hal yang perlu untuk dijadikan sebagai pertimbangan dalam penelitian yaitu
adanya masalah penelitian, apakah di dalamnya terdapat kesenjangan antara teori dengan praktik yang
layak untuk diteliti. Gambaran jelasnya belum mereka dapatkan, sehingga “seolah-olah” mereka menulis
apa yang tidak mereka pahami.

Sebagian besar mereka terlalu berkonsentrasi pada judul. Padahal ini bukan langkah yang disarankan,
walaupun boleh saja itu dilakukan. Akibatnya ketika menulis Bab I Pendahuluan yang di dalamnya
memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, umumnya mereka
kesulitan membuatnya. Karena belum memiliki gambaran yang jelas dan gamblang bahwa latar
belakang itu harus diisi tentang fakta-fakta atau masalah-masalah kesehatan, data-data kejadian yang
biasanya digambarkan dengan persen, teori-teori dan pendapat para ahli yang harus dicros cekkan
dengan fakta atau masalah kesehatan tersebut, kemudian apa yang menyebabkan peristiwa tersebut
terjadi secara spesifik.
Semua itu dipaparkan dengan menggunakan presentasi narasi kejadian fakta atau masalah kesehatan
sehingga bisa dimunculkan saran-saran dari beberapa peneliti sebagai kesimpulan sementara (ingat lho
kesimpulan sementara, bukan kesimpulan penelitian) untuk menyelesaikan masalahnya tersebut.
Sehingga dari latar belakangnya bisa langsung ditangkap bagi pembaca.apa maksud dari penelitian
tersebut.

Di sinilah kesalahan tersebut terjadi yaitu melakukan jalan pintas (bypass) judul yang sudah terlalu
sering diteliti atau yang sekedar menarik bagi mereka saja. Setelah itu mereka mencari masalah atau
fakta penelitian, akibatnya apabila di kemudian hari ternyata menemukan fakta atau masalah yang tidak
relevan bagi penelitiannya, langsung diganti seketika itu juga. Akibatnya KTI atau skripsi mereka menjadi
“bongkar pasang”.

Penggantian judul atau paling tidak katakanlah direvisi boleh saja dilakukan, namun kadar revisinya
sayangnya tidak diperhitungkan, sampai-sampai terjadi revisi besar-besaran atau total bahkan bisa saja
langsung ganti judul. Begitu cepatnya penelitian hasil kerja sendiri diganti-ganti. Saya sendiri sampai
kasihan melihatnya ada KTI atau skripsi mengalami kejadian seperti ini. Kok bisa ya? Kesannya masalah
atau fakta kesehatan yang dipaparkan itu hanya sekedar “modifikasi” saja.

Agar hal itu tidak terjadi dan juga agar penelitian kita bisa memiliki nilai ilmiah dan objektif, paling tidak
meyakinkan di depan pembimbing dan penguji sebagai seorang peneliti yang “sesungguhnya” yaitu
harus mengetahui tujuan dari penelitian itu sendiri adalah menemukan, mengembangkan dan menguji
hasil penelitiannya sebagai jawaban dari masalah yang sudah dirumuskan sehingga bisa menjadi
kontribusi pengetahuan. Yang semuanya itu harus ditempuh dengan menggunakan metodologi yang
ilmiah.

Penguasaan secara mendalam terhadap fakta dapat ditunjukkan dari uraian yang bersifat mengapa dan
bagaimana serta manfaatnya bagi penelitian. Hal ini perlu agar penelitian yang dilakukan tidak sekedar
seperti membaca buku-buku pembelajaran atau modul saja. Sehingga keilmiahannya dapat
dipertanggungjawabkan secara obyektif.

Fakta-fakta itu sebenarnya sudah diwujudkan dalam judul penelitian itu sendiri. Sebagai contohnya judul
HUBUNGAN ANTARA IBU BERSALIN ANEMIA DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA NEONATORUM PADA BAYI
BARU LAHIR DI RSUD XXX PERIODE XXX-XXX. Dari judul tersebut didapatkan fakta atau masalah tentang
ibu bersalin anemia dan asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir. Dua hal itu sudah merupakan variabel
penelitian bukan? Dimana ibu bersalin anemia sebagai variabel independen dan kejadian asfiksia
neonatorum pada bayi baru lahir sebagai variabel dependen. Dengan bekal dua variabel tersebut cukup
dipaparkan fakta atau masalah kesehatan tentang dua hal tersebut saja berikut dengan teori dan
pendapat dari para ahli sebagai solusi untuk mengatasinya.

Sebenarnya jalan yang dapat dikatakan sebagai “street smart” bagi mahasiswa Akbid yang kesulitan
dalam menyelesaikan KTI atau skripsinya dapat dilakukan dengan memodifikasi judul yang
menggambarkan masalah atau fakta kesehatan. Sebagai contoh judul di atas yaitu HUBUNGAN ANTARA
IBU BERSALIN ANEMIA DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA NEONATORUM PADA BAYI BARU LAHIR DI RSUD
XXX PERIODE XXX-XXX tinggal diganti aja ibu bersalin anemia dengan hipoksia ibu, bukankah salah satu
penyebab asfiksia neonatorum adalah hipoksia ibu.

Dari sini sebenarnya mahasiswa sudah bisa mendapatkan judul yang baru lagi khan. Itu hanya salah satu
cara “street smart” membuat KTI atau skripsi kebidanan dari Pendahuluannya lho. Masih banyak teknik-
teknik lainnya. Tips-tipsnya akan saya posting selanjutnya ya, ditunggu, insya Allah.

Karakteristik Dan Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Perawatan Payudara Selama Masa Kehamilan
Di BPS XXX Di XXX, Kabupaten XXX Tahun XXX

Saturday, February 13, 2010 11:15 AM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perawatan payudara selama kehamilan adalah salah satu bagian penting yang harus diperhatikan
sebagai persiapan untuk menyusui nantinya. Saat kehamilan payudara akan membesar dan daerah
sekitar puting akan lebih gelap warnanya dan juga lebih sensitif. Semua ini terjadi sebagai persiapan
tubuh ibu hamil untuk memberikan makanan pada bayinya kelak (Farida, 2009). Payudara merupakan
sumber air susu yang menjadi makanan utama bagi bayi. Oleh karena itu perawatan payudara harus
benar-benar dipersiapkan jauh sebelum ibu melahirkan. Persiapan payudara ini sebaiknya dilakukan
secara teratur. Ibu dapat melakukan perawatan payudara ini secara sederhana pada waktu mandi.
Melalui perawatan payudara yang dilakukan pada masa kehamilan dapat ditemukan masalah-masalah
yang mungkin timbul misalnya puting susu yang tidak menonjol sehingga dapat segera diatasi (Parrer,
2001).

Pada saat hamil payudara membengkak akibat pengaruh hormonal termasuk puting susu juga
membengkak, selain itu daerah sekitar puting warnanya akan lebih gelap. Dengan membengkaknya
payudara bisa mengakibatkan payudara tersebut menjadi mudah luka. Oleh karena itu biasanya perlu
dilakukan perawatan payudara selama hamil (Kristiyansari, W, 2009). Bila ibu hamil tidak melakukan
perawatan payudara dengan baik maka dapat mengakibatkan ASI tidak keluar, puting susu tidak
menonjol sehingga bayi sulit menghisap, produksi ASI sedikit sehingga tidak cukup dikonsumsi bayi,
infeksi pada payudara, payudara bengkak dan bernanah, muncul benjolan pada payudara (Solahuddin,
2008). Minimnya perawatan payudara dapat menyebabkan terjadinya berbagai masalah pada payudara
saat menyusui misalnya, pecahnya puting payudara atau terhalangnya saluran air susu akibat pemakaian
bra yang tidak tepat (Admin, 2009).

Faktor-faktor yang menyebabkan seorang ibu hamil tidak melakukan perawatan payudara karena,
kurangnya informasi yang didapat dari tenaga kesehatan, adanya rasa takut dan malas dan ketersediaan
waktu untuk melakukan perawatan payudara selama masa kehamilan dalam trimester ke-II. Perawatan
payudara sangat penting dilakukan pada trimester ke-II supaya tidak terjadi komplikasi pada saat
menyusui bayinya nanti (Kustarmadji, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian Suryani (2006) tentang perawatan payudara pada masa hamil di Kelurahan
Tambak Boyo Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang tahun 2006 terhadap 40 responden
menunjukkan bahwa mayoritas responden mengetahui arti dari perawatan payudara pada masa hamil
dengan baik yaitu sebesar 28 orang (70 %) namun masih ada 12 orang (30 %) yang belum mengetahui
pengertian perawatan payudara pada masa hamil dikarenakan karakteristik ibu sebagian besar
berpendidikan dasar sehingga berpengaruh terhadap pengetahuan ibu. Hasil penelitian Suryani (2006)
menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki pengetahuan yang baik tentang tujuan perawatan
payudara yaitu sebesar 60 % (24 orang) dan sebanyak 16 orang (40 %) yang memiliki pengetahuan yang
kurang tentang tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan payudara, pelaksanaan
perawatan payudara, dan tujuan perawatan payudara. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah
dilakukan pada tanggal 20 November 2009 didapatkan bahwa di BPS XXX di XXX, Kab. XXX pada 10 ibu
hamil diperoleh data 6 orang mengetahui pengertian perawatan payudara dan manfaat perawatan
payudara tetapi tidak mengetahui cara perawatan payudara, sebesar 4 orang hanya mengetahui
pengertian perawatan payudara tanpa mengetahui manfaat dan cara perawatan payudara.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di BPS XXX di XXX, Kab. XXX ditemukan bahwa setelah
diberi penyuluhan tentang perawatan payudara oleh petugas kesehatan beberapa ibu hamil masih
mengeluhkan masalah diantarannya puting susu yang terbenam dan puting susu yang kotor. Hal ini
menunjukkan bahwa penyuluhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan belum mendapatkan hasil
yang optimal.
Dari uraian tersebut diatas, peneliti tertarik untuk meneliti Studi Diskriptif Karakteristik Dan Tingkat
Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Perawatan Payudara Selama Masa Kehamilan di BPS XXX di XXX, Kab.
XXX Tahun 2009.

B. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”bagaimana karakteristik dan tingkat
pengetahuan ibu hamil tentang perawatan payudara selama masa kehamilan di BPS XXX di XXX, Kab.
XXX Tahun 2009?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran karakteristik dan tingkat pengetahuan ibu hamil tentang perawatan
payudara selama masa kehamilan di BPS XXX di XXX, Kab. XXX Tahun 2009.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui karakteristik ibu hamil berdasarkan umur, paritas, tingkat pendidikan, pekerjaan.

b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu hamil tentang pengertian perawatan payudara pada
masa hamil.

c. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu hamil tentang manfaat perawatan payudara pada masa
hamil.

d. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu hamil tentang cara perawatan payudara pada masa
hamil.

D. Manfaat

1. Bagi Bidan.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kebidanan,
sehingga dapat membantu ibu dalam melaksanakan perawatan payudara pada masa hamil.

2. Bagi Institusi Pendidikan.

Hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan referensi bagi mahasiswa dibidang penelitian serta
menambah pengetahuan dan pemahaman tentang perawatan payudara pada masa hamil.

3. Bagi Peneliti.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan sebagai sarana untuk
melatih diri melakukan penelitian, serta menerapkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh.
4. Bagi Ibu Hamil.

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan ibu hamil tentang perawatan payudara
pada masa kehamilan dalam persiapan laktasi sehingga ibu-ibu hamil akan melaksanakannya.

Anda mungkin juga menyukai