Anda di halaman 1dari 44

KONSEP STRESS

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:

Kelompok 5 :

-Betaria Raja guk-guk (180204066)


-Elfida Br Saragih (180204055)
-Ernasya Urmila Ananda (180204056)
-Ika Namira Tanjung (180204068)
-Juhri Syapitra (180204090)
-Jurham Zandroto (180204058)
-Ledya Apriani (180204070)
-Wardiana (180204079)

DOSEN PEMBIMBING :
Ns.Jek Amidos Pardede, S.Kep, M.kepj
Kelas 2.2

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
TAHUN AJARAN 2019
KATA PENGANTAR
Kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah“KONSEP STRESS” Dengan
baik.Selesainya penyusunan ini berkat bantuan, bimbingan, pengarahan, petunjuk, dorongan,
dan bantuan moril maupun material dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini kelompok mengucapkan terimaksih kepada :
1. Bapak PERLINDUNGAN PURBA, SH,MM, selaku Ketua Yayasan Sari Mutiara
Indonesia Medan.
2. Ibu Dr.IVAN ELISABETH PURBA, M.KES, selaku Rector Universitas Sari Mutiara
Indonesia
3. Bapak TARULI SINAGA, SP. M. KM, selaku Dekan Fakultas Farmasi dan Ilmu
Kesehatan Universitas Sari Mutiara Medan
4. Ibu Ns.RINCO SIREGAR, MNS, selaku Ketua Program Studi Ners Fakultas Farmasi
dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara Medan
5. Bapak Ns.JEK AMIDOS PARDEDE, S.Kep, M.Kepj , selaku Dosen Pengajar yang
telah memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada kelompok dalam
menyelesaikan makala ini.
Tim penulis menyadari bahwa penyusun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik
dari isi maupun susunannya, untuk tim penulis akan membuka diri terhadap kritik dan saran
yang bersifat membangun dari semua pihak dami kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini bermanfaat dari pembaca dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
khusunya dibidang keperawatan. Akhir kata tim penulis mengucapkan terimaksih.

Medan, 15 Oktober 2019


Penulis

Kelompok 5
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................ ii


Daftar Isi ................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
1.3. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
1.4. Metode Penulisan ......................................................................................... 2
1.5. Sistematika Penulisan................................................................................... 2
BAB II ISI
2.1. Pengertian dan Sumber Stres ....................................................................... 3
2.2. Jenis-Jenis Stres ........................................................................................... 4
2.3. Indikator Stres .............................................................................................. 6
2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres .................................................... 9
2.5. Respon Fisiologis dan Manajemen Stres pada Manusia .............................. 10
2.6. Model Teoritical Stres .................................................................................. 15
2.7. Trend dan Isu terkait Psikofarmakologi ....................................................... 16
2.8. Terapi Aktifitas Kelompok (TAK)............................................................... 29
2.9. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) ...................................................... 34
2.10. Konsep Koping........................................................................................... 38
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan .................................................................................................. 44
3.2. Saran ............................................................................................................. 45
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 46
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejatinya manusia hidup di dunia ini pasti akan mengalami sebuah masalah, dan
masalah itulah yang harus manusia hadapi dan selesaikan. Seseorang yang dikatakan stres
jika mereka tidak mampumenyelesaikan masalah tersebut bahkan hanya
menghindarinya. Pada dasarnya stres bukan hanya dapat menyebabkan penyakit, melainkan
dapat terjadi setelah seseorang mengidap penyakit. Penyakit atau kelainan yang timbul akibat
stres ini dapat diselesaikan jika stres tersebut dapat ditangani melaluikoping yang baik dan
positif selain itu bermacam obat pun juga dapat membantu mengurangi stres.
Dalam hal ini, seorang perawat harus memiliki dasar pengetahuan mengenai apa itu
stres, anatomi dan fisiologinya, serta apa itu koping dan jenis obat apa saja yang dapat
menyembuhkan stres. Penyelesaian masalah membutuhkan koping yang bekerja secara
bertahap melalui berbagai sumber, baik dari segi keadaan keuangan, spiritual, bahkan dari
lingkungan sosial.
Koping merupakan mekanisme yang digunakan individu untuk menghadapi perubahan
yang diterima, karena koping adalah cara alami atau proses pembelajaran dalam menanggapi
perubahan lingkungan, masalah tertentu atau situasi. Pengetahuan ini
penting bagi klien ataupun perawat, namun alangkah baiknya sebelum seorang
perawat melakukan tindakan keperawatannya terkait stres ini, perawat harus dapat mengatasi
stresnya sendiri terlebih dahulu.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Jelaskan pengertian dan sumber Stress?
1.2.2 Apa saja jenis-Jenis Stress?
1.2.3 Apa saja indikator Stress?
1.2.4 Apa saja faktor-faktor yang mnempengaruhi Stress?
1.2.5 Bagaimana respon fisiologis dan Manajemen Stress pada Manusia?
1.2.6 Apa yang dimaksud dengan model Teoritical Stress?
1.2.7 Apa yang dimaksud dengan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
1.2.8 Bagaimana penatalaksanaan terkait trend dan isu terkait psikofarmakologi
1.2.9 Bagaimana konsep Post Traumatic Stress Disorder?
1.2.10 Bagaimana konsep Koping?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Mengetahui konsep stres berdasarkan pengertian, sumber, anatomi dan fisiologis
respons stres manusia, indikator, dan jenis.
1.3.2 Mengetahui model teoritikal stres: General Adaptive Syndrome (GAS)
dan Local Adaptive Syndrome (LAS).
1.3.3 Mengetahui beberapa penyakit yang berhubungan dengan stres dan organ tubuh
yang diserang.
1.3.4 Mengetahui prinsip penatalaksanaan terkait trend dan isu terkait psikofarmakologi
1.3.5 Mengetahui prinsip penatalaksanaan terapi aktivitas kelompok.
1.3.6 Mengetahui konsep Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
1.3.7 Mengetahui konsep koping, metode, strategi, sumber, mekanisme serta aspek
sosial-budaya yang mempengaruhi koping dan diagnosa keperawatan terkait adaptasi

1.4 Metode Penulisan


Penulis menggunakan metode studi literatur (kepustakaan) untuk mendapatkan informasi
yang diperlukan. Sumber kepustakaan yang digunakan oleh penulis berupa buku, jurnal dan
artikel dari internet yang berhubungan dengan konsep stress, konsep koping dan konsep Post
Traumatic Stress Disorder(PTSD).

1.5 Sistematika Penulisan


Dalam penulisan makalah ini, penulis membagi makalah ini menjadi tiga bab. Pada bagian
pertama terdapat pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bagian kedua berisi pembahasan dan
tinjauan pusataka. Bagian ketiga terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
ISI

2.1 Pengertian dan Sumber Stress


Stres menurut Berman, Snyder, dan Frandsen (2016) adalah perubahan kondisi
keseimbangan yang dialami individu. Sedangkan menurut DeLaune dan Ladner
(2011) stres merupakan reaksi psikologis tubuh terhadap stimulus/ stressor yang
menimbulkan perubahan. Stressor adalah segala kejadian yang menyebabkan seorang
individu mengalami stress. Dengan begitu, stres melibatkan persepsi diri atas stimulus yang
kita terima sedangkan persepsi adalah cara seorang individu menginterpretasikan dampak
sebuah stressor pada dirinya atau pada apa yang terjadi dan apa yang bisa ia lakukan (Potter,
Perry, Stockert, & Hall, 2013).
Stress yang dialami seseorang merupakan wujud konsekuensi kehidupan sehari-hari yang
merangsang proses berpikir sehingga membantunya untuk tetap waspada terhadap
lingkungan. Hal tersebut menjadi landasan dalam pertumbuhan kepribadian seseorang.
Reaksi orang-orang terhadap stres akan bergantung pada cara pandang dan hasil evaluasi
dampak dari stressor tersebut, efeknya terhadap situasi dan support pada saat terjadinya stres,
dan mekanisme koping yang biasa dilakukan. Jika stres terjadi dan mekanisme koping yang
biasa dilakukan tidak dapat menanganinya, orang tersebut akan kehilangan keseimbangan
emosional dan terjadilah krisis. Lain halnya dengan stres, jika
gejala tersebut terus ada hingga melampaui durasi dari stressor, orang tersebut
mengalami trauma (Potter, Perry, Stockert, & Hall, 2013).
Berman, Snyder, dan Frandsen (2016) mejelaskan secara singkat mengenai sumber
stres, stressor internal berasal dari dalam diri seseorang, misalnya, infeksi. Stressor
eksternal berasal dari luar diri seseorang, misalnya, pindah ke kota lain, kematian anggota
keluarga, atau tekanan pekerjaan. Stressor developmental terjadi pada waktu yang dapat
diprediksi sepanjang kehidupan seseorang Ssedangkan stres situasional tidak terduga yang
dapat terjadi kapan saja sepanjang kehidupan.
Bagan 1 Contoh stressor developmental
Menurut DeLaune dan Ladner (2011), stres bersumber dari 5 aspek yaitu :Stres
fisiologis terjadi akibat perubahan yang terjadi pada organ atau kelenjar tubuh karena hal
tertentu, stres psikologis melibatkan emosional seseorang seperti kekhawatiran, rasa takut,
marah, dan bahagia, stres kognitif adalah stres yang timbul sebagai hasil pembelajaran atau
pemikiran atas suatu hal, stres lingkungan terjadi karena kondisi fisik lingkungan, dan stres
sosial-budaya terjadi akibat perubahan pola hubungan sosial.
2.2 Jenis-Jenis Stress
Selye (dalam Potter & Perry, 2013) mengemukakan teorinya mengenai jenis-jenis stres
yang dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Eustres
Merupakan jenis stres berenergi positif (energi motivasi yang dapat berupa kesenangan,
pengharapan dan gerakan yang terarah) sehingga sifatnya melindungi kesehatan
(Varcarolis, et al, 2006 dalam Potter & Perry, 2013). Stres jenis ini berjangka pendek dan
memberikan kekuatan terhadap individu yang mengalaminya. Eustres merupakan stres
yang bersifat menantang akan tetapi masih dapat dikendalikan oleh diri sendiri.
Sebenarnya stres tidak hanya mengacu pada hal-hal yang menyebabkan gangguan dalam
keseimbangan diri seseorang. Stres jenis eustres mampu meningkatkan antuisme,
kreativitas, motivasi, serta keaktifan seseorang. Singkatnya saat individu mengalami stres
jenis ini, individu tersebut akan memandang kejadian, stimulus, atau stresor tersebut
sebagai situasi yang menantang namun memiliki sisi menyenangkan bagi dirinya.
b. Distres
Merupakan jenis stres yang bersifat merusak, tidak menguntungkan, serta merupakan
interpretasi negatif dari suatu peristiwa yang dialami. Intepretasi tersebut berupa rasa
ketakutan, rasa marah, atau bahkan keduanya (Seaward, 2012). Distres dipandang atau
dirasa terlalu berat dan sulit untuk diatasi bagi individu yang mengalaminya (Saparinah,
2010). Individu yang mengalami distres merasa bingung bahkan tidak memilki keinginan
atau harapan untuk mengatasi stres atau masalah yang dimilikinya. Individu yang
mengalami distres menggangap dirinya sudah terperangkap didalam masalah tersebut
sehingga merasa sudah tidak dapat meninggalkan atau keluar situasi stres yang dialami,
bahkan merasa tidak berdaya dan frustrasi. Terdapat dua macam distres yaitu:
1. Stres Kronis
Stres kronik merupakan stres yang stresornya tidak terlalu kuat akan tetapi terjadi dalam
waktu yang bertahan hingga berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan
atau dapat dikatakan stres yang berlangsung lama. Stres kronik inilah yang bersifat
destruktif. (Sunaryo, 2004). Contoh: Individu dengan tanggung jawab keluarga di
rumah dan bekerja penuh diluar rumah.
2. Stres Akut
Stres ini merupakan stres yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat dengan tekanan
yang kuat atau dapat digolongkan sebagai stres yang sering muncul dan dapat hilang
dengan cepat (Sunaryo, 2004). Contoh, tekanan menghadapi ujian
nasional, deadline pekerjaan, dll.
Sedangkan menurut Sunaryo (2004) stres dibagi menjadi dua ditinjau dari tipe
kepribadian yang mengacu pada rentan tidaknya seseorang mengalami stres, di antaranya
yaitu:
1. Jenis yang rentan (vulnerable)
Individu dengan jenis stres ini, merupakan individu dengan resiko tinggi mengalami
stres.
2. Jenis yang kebal (immune)
Individu dengan jenis stres ini, merupakan individu yang kebal terhadap stres.
Dalam buku Psikologi untuk Keperawatan (Sunaryo, 2004), terdapat penggolong stres
yangdilihat dari penyebab terjadinya stres itu sendiri. Pembagiannya sebagai berikut :
a. Stres Fisik, merupakan stres yang disebabkan oleh hal-hal yang dirasakan oleh indra
seseorang. Contoh: suhu atau temperature yang terlalu tinggi atau rendah, suara bising,
sinar yang terlalu terang atau bisa juga karena tersengat arus listrik.
b. Stres Kimiawi, biasanya disebabkan oleh benda-benda kimia yang masuk atau
berada di dalam tubuh individu.Contoh: asam atau basa yang terlalu kuat, obat-obatan,
zat beracun, hormon atau gas.
c. Stres Mikrobiologik, merupakan stres yang disebabkan oleh keberadaan organisme-
organisme yang memicu timbulnya penyakit bagi individu. Contoh: virus, bakteri,
ataupn parasite yang menimbulkan penyakit.
d. Stres Fisiologik, merupakan stres yang disebabkan oleh gangguan yang nantinya
menggagu fungsi dari bagian atau keseluruhan tubuh individu. Contoh: stres pada
struktur, fungsi jaringan, organ, atau sistemik sehingga menimbulkan fungsi tubuh tidak
normal.
e. Stres Proses pertumbuhan dan perkembangan, biasanya disebabkan karena
gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi hingga tua. Contoh:
kegagalan melalui tugas tahap perkembangan, atau kegagalan menemukan identitas, dll.
f. Stres psikis/emosional, disebabkan oleh gangguan hubungan interpersonal, sosial,
budaya atau keagamaan. Contoh: stres akibat permasalahan percintaan, keluarga,
pendidikan, dll (yang berhubungan dengan hubungan individo kepada seseorang,
kelompok, atau kepercayaannya).
2.3 Indikator Stress
Menurut Kozier (2015) terdapat tiga indikator dalam stres seorang individu, yaitu :.
a. Indikator fisiologis
Respon tubuh seseorang ketika menghadapi sesuatu yang berat dapat bersifat adapftif yaitu
mampu mempertahankan homeostasis dengan baik dan maladaptive yaitu respon yang
tidak dapat dikendalikan. Respon stress sangat bergantung pada presepsi individu
terhadap sesuatu tanda fisiologis dan gejala stress merupakan hasil dari aktivasi sistem
simpatik dan neuroendokrin tubuh (Kozier,2015). Contoh manifestasi stress secara
fisiologis (DeLaunne ,2011):
Sistem kardiovasikular dan 1. Peningkatan denyut nadi
pernapasan 2. Peningkatan tekana darah
3. Pernapasan pendek dan cepat
1. Pusing
Neurological effects 2. Sakit kepala
3. Dilatasi pupil
1. Mual
Gastrointestinal effects 2. Nafsu makan berubah- ubah
3. Diare atau sembelit
Genitourinary effects Poliuria (sering buang air kecil)
1. Tegang otot
Musculoskeletal effects
2. Berkedut
Peningkatan kadar glukosa
Endocrine effects
darah dan kortisol.

b. Indikator psikologis
Menifestasi stress dalam indikator psikologis antara lain kecemasan (anxiety), takut,
marah, depresi dan mekanisme ego yang tidak disadari (Kozier,2015). Contoh manifestasi
stres di dalam indikator psikologis (DeLaunne ,2011): iritabilitas, perasaan sangat
sensitive, sedih, depresi, dan merasa dipojokan.
1. Anxiety (kecemasan) adalah keadaan dimana terjadi kondisi gelisah, takut, atau putus
asa terhadap ancaman yang datang atau ancaman yang tidak dapat diantisipasi oleh diri
sendiri (Kozier,2015). Menurut (Kozier,2015) anxietydapat di manifestasikan kedalam
empat level :
a) Mild anxiety (kecemasan ringan), peningkatan presepsi, pembelajaran dan
kemampuan produktif. Contohnya kecemasan ringan yaitu perasaan gelisah ringan
yang ingin lebih ingin mengetahui sesuatu dengan mencari informasi dan
mengajukan pertanyaan.
b) Moderate anxiety, keadaan dimana individu mengungkapkan perasaan tegang,
gugup, atau kekhawatiran.
c) Severe anxiety (kecemasan berat), individu tidak dapat fokus dengan apa yang
terjadi, berfokus hanya pada sesuatu yang spesifik dari suatu situasi yang akan
menghasilkan kecemasan.
d) Panik, tingkat yang paling tinggi yang menyebabkan individu kehilangan kontrol
2. Takut merupakan rasa khawatir yang muncul akibat presepsi bahaya nyeri, atau
ancaman yang akan terjadi atau Nampak (Kozier, 2015).
3. Depresi merupakan reaksi umum terhadap kejadian yang tampak kacau dan negatif
(Kozier,2015).
4. Mekanisme pertahanan ego yang tidak disadari atau disebut mekanisme adaptif
psikologik menurut pernyataan Sigmund (1946) dalam Kozier (2015) merupakan
mekanisme mental yang berkembang saat personalitas berupaya mempertahankan diri,
menciptakan gangguan terhadap implus yang bertentangan, dan meredakan ketegangan
di dalam diri. Pertahanan ego juga merupakan kerja tidak sadar untuk melindungi
seseorang dari kecemasan.
c. Indikator kognitif
Indikator kognitif stress adalah renspon berpikir yang mencakup penyelesaian masalh,
penstukturan, kontrol diri/ disiplin diri, supresi, dan fantasi (Kozier,2015). Contoh
manifestasi stres di dalam indikator kognitif (DeLaunne ,2011) : gangguan memori,
kebingungan, dan gangguan penilaian dan membuat keputusan.
1. Penyelesaian masalah yaitu berpikir melalui situasi yang mengancam, dan
menggunakan langkah spesifik untuk mencapai solusi (Kozier,2015).
2. Penstrukturan yaitu perencanaan supaya peristiwa yang mengancam tidak terjadi
(Kozier,2015).
3. Kontrol diri adalah menampilkan perilaku dan ekspresi wajah yang menggambarkan
rasa dapat mengontrol (Kozier,2015).
4. Supresi adalah menempatkan pikiran atau perasaan di luar ingatan secara disadari dan
disengaja (Kozier,2015).
5. Fantasi atau berkhayal merupakan keinginan yang tidak tercapai dibayangkan
tercapai, atau pengalaman yang mengancam dibayangkan terulang kembali sehingga
akhirnya berbeda dengan peristiwa nyata (Kozier,2015).

Contoh lain dari manifestasi menurut Delaune (2011) :


Tipe Stressor Contoh
1. Sering mondar-
Behavioral mandir
(perilaku) 2. Telapak tangan
berkeringat
3. Berbicara cepat
4. Insomnia
5. Reflex kaget yang
berlebihan
1. Keterasingan
Spiritual 2. Isolasi sosial
(rohani) 3. Perasaan
kekosongan

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stress


Menurut Atkinson & Hilgard (1996), tingkat stres tergantung pada sejumlah faktor. Faktor-
faktor yang mempengaruhinya yaitu:
a. Kemampuan menerka, kemampuan menerka timbulnya kejadian stres, walaupun yang
bersangkutan tidak dapat mengontrolnya, biasanya akan mengurangi kerasnya stres.
b. Kontrol atas jangka waktu, kemampuan seseorang mengendalikan jangka waktu
kejadian yang penuh stres akan mengurangi kerasnya stres.
c. Evaluasi kognitif, kejadian stres yang sama mungkin dihayati secara berbeda oleh dua
individu yang berbeda, tergantung pada situasi apa yang berarti pada seseorang.
d. Perasaan mampu, kepercayaan seseorang atas kemampuannya menanggulangi stres
merupakan faktor utama dalam menentukan kerasnya stres.
e. Dukungan masyarakat, dukungan emosional dan adanya perhatian orang lain dapat
membuat seseorang sanggup bertahan dalam menghadapi stres.
Setiap individu juga akan mendapat efek stres yang berbeda-beda. Hal ini bergantung
pada beberapa faktor, yaitu:
a. Kemampuan individu mempersepsikan stresor, jika stresor dipersepsikan akan berakibat
buruk bagi individu tersebut, maka tingkat stres yang dirasakan akan semakin berat.
Sebaliknya, jika stresor dipersepsikan tidak mengancam dan individu tersebut mampu
mengatasinya, maka tingkat stres yang dirasakan akan lebih ringan.
b. Intensitas terhadap stimulus, jika intensitas serangan stres terhadap individu tinggi,
maka kemungkinan kekuatan fisik dan mental individu tersebut mungkin tidak akan
mampu mengadaptasinya.
c. Jumlah stresor yang harus dihadapi dalam waktu yang sama, jika pada waktu yang
bersamaan bertumpuk sejumlah stresor yang harus dihadapi, stresor yang kecil dapat
menjadi pemicu yang mengakibatkan reaksi yang berlebihan.
d. Lamanya pemaparan stresor, memanjangnya lama pemaparan stresor dapat
menyebabkan menurunnya kemampuan individu dalam mengatasi stres.
e. Pengalaman masa lalu, pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi kemampuan
individu dalam menghadapi stresor yang sama.
f. Tingkat perkembangan, pada tingkat perkembangan tertentu terdapat jumlah dan
intensitas stresor yang berbeda sehingga risiko terjadinya stres pada tingkat perkembangan
akan berbeda.
Penilaian individu terhadap sesuatu yang dianggap sebagai sumber stres dipengaruhi
oleh dua faktor (Seaward, 2014), yaitu:
a. Faktor individu, meliputi intelektual, motivasi dan karakter kepribadian.
b. Faktor situasi, meliputi besar kecilnya tuntutan keadaan yang dilihat sebagai stres.
Terdapat beberapa dampak stres yang telah dirangkum di tabel berikut ini:
Sindorm Mental dan Gejala-Gejala Fisik
Emosional
Sikap negatif Ketegangan/nyeri otot
Kekhawatiran Kekejangan otot
Pikiran-pikiran yang Sakit kepala
terobsesi
Ketakutan/fobia Migrain
Kesedihan Kekakuan rahang
Peka/mudah tersinggung Menggertak-gertakkan gigi
Kemarahan/ingin Letih/kelelahan
meledak
Keragu-raguan Gemetar
Insomnia Jantung berdebar-debar
Mimpi buruk Tekanan darah tinggi
Depresi Napas pendek/memburu
Bunuh diri Kecenderungan mencelakakan
diri sendiri
2.5 Respon Fisiologis dan Manajemen Stress pada Manusia
Menurut Selye dalam (Kozier, 2010) stres didefinisikan sebagai respon nonspesifik
tubuh terhadap suatu tuntutan yang ditimbulkannya. Respon stres ini ditandai pola kejadian
fisiologis yang disebut sindrom adaptasi umum (GAS) atau sindrom stres. Respon tubuh
terhadap sindrom ini berupa pelepasan hormon adaptif tertentu dan perubahan pada struktur
dan komposisi kimia tubuh. Organ tubuh yang dipengaruhi yaitu saluran pencernaan, kelenjar
adrenal dan struktur limfatik. GAS dirangsang secara tidak langsung oleh kejadian fisik atau
kejadian fisiologis (Lazarus, 1999) dalam (Potter & Perry, 2010).
GAS melibatkan beberapa sistem tubuh terutama sistem saraf otonom dan sistem
endokrin serta respon cepat apabila tubuh mendapat trauma, maka kelenjar pituitari
merangsang hipotalamus menyekresikan endorfin untuk menghasilkan perasaan damai dan
mengurangi nyeri (Lazarnus, 1999, dalam Potter & Perry, 2010). Selain beradaptasi secara
umum, tubuh juga bereaksi secara lokal yang disebut sindrom adaptasi lokal (LAS), misalnya
radang.
2.5.1 General Adaptation Syndrome (GAS) menurut Hidayat (2012)
Menurut Selye (1976) dalam (Kozier, 2010), baik GAS maupun LAS mempunyai
tiga tahap, yaitu :
1. Reaksi alarm
Merupakan tahap awal proses adaptasi, di mana individu siap mengahadapi stresor
yang akan masuk ke dalam tubuh. Tahap ini diawali dengan kesiagaan yang ditandai
dengan perubahan fisiologis pengeluaran hormon oleh hipotalamus, yang dapat
menyebabkan kelenjar adrenal mengeluarkan adrenalin, yang selanjutnya memacu
denyut jantung dan menyebabkan pernapasan menjadi cepat dan dangkal. Kemudian,
hipotalamus melepaskan hormone ACTH (hormone adrenokortikotropik) yang dapat
merangasng adrenal untuk mengeluarkan kortikoid yag akan mempengaruhi berbagai
fungsi tubuh sehingga terjadi peningkatan volume darah, kadar glukosa, epinefrin dan
norepinefrin, denyut jantung, aliran darah ke otot, oksigen, dan kesadaran mental.
Selain itu pupil berdilatasi sehingga menghasilkan lapang pandang terluas. Aktivitas
hormonal yang ekstensif tersebut mempersiapkan seseorang untuk “fight-or-flight”.
2. Tahap resistensi
Tahap ini terjadi saat tubuh mulai beradaptasi atau berusaha menghadapi stresor.
Tubuh mempertahankan dan merespon reaksi peringatan dengan cara berlawanan.
Kadar hormon, denyut jantung, tekanan darah, dan curah jantung kembali normal, dan
tubuh melakukan perbaikan terhadap segala kerusakan. Namun, jika stresor tidak
hilang, maka akan memasuki tahap ketiga.
3. Tahap kelelahan
Tahap ini terjadi saat adaptasi yang dilakukan tubuh pada tahap kedua tidak adaptif.
Apabila stresor belum dapat diatasi, maka efek stres dapat menyebar ke bagian tubuh
lain. Hasil akhir dari tahap ini tubuh bisa kembali normal ke kondisi semula atau dapat
menyebabkan kematian. Semua ini bergantung kepada sumber energi adaptif individu,
keparahan stresor, dan sumber adaptif eksternal.
Stresor menstimulasi sistem saraf simpatis untuk menstimulasi hipotalamus,
hipotalamus melepaskaan kortikotropin (ACTH). Selama masa stres, medulla adrenal
menyekresi epinefrin dan norepinefrin sebagai respon stimulasi simpatetik. Respon
tubuhnya berupa:
a) Peningkatan kontraktibilitas miokardial, sehingga curah jantung dan aliran darah
meningkat untuk mengaktifkan otot.
b) Dilatasi bronki sehingga asupan oksigen meningkat.
c) Peningkatan pembekuan darah.
d) Peningkatan metabolism seluler.
e) Peningkatan metabolism lemak untuk menyediakan oksigen dan sintesis senyawa
lain.
Gejala-gejala stres yang timbul dapat berupa kelelahan, sakit kepala, ketegangan otot,
berdebar-debar atau denyut jantung tidak teratur, perasaan tidak dapat bernapas atau sesak,
mual-mual (merasa sakit) atau nyeri di perut, nafsu makan kurang, nyeri yang tidak jelas,
misalnya pada lengan, tungkai, atau dada, dan gangguan siklus menstruasi.
Respon fisiologis terhadap stres juga dapat melibatkan sistem imun. Sistem imun ini
dibedakan menjadi sistem imun diri dan non-diri. Apabila sistem imun salah
menginterpretasikan antigen dan responnya terlalu kuat dapat menyebabkan penyakit
autoimun (Stuart & Sundeen, 2013). Stres berkepanjangan menyebabkan berbagai penyakit
karena peningkatan tingkat kekuatan hormon yang mengubah proses dalam tubuh, koping
tidak sehat, mengabaikan gejala penyakit (Monat, Lazarus, & Reevy, 2007 dalam Potter &
Perry, 2010).
2.5.2 Local Adaptation Syndrom (LAS) menurut Hidayat (2012)
Tubuh menghasilkan banyak respons lokal terhadap stres. Respons lokal ini
termasuk pembekuan darah dan penyembuhan luka, akomodasi mata terhadap cahaya,
dan lain-lain. Respon adaptasi lokal berjangka pendek, tidak terus menerus dan bersifat
restoratif. Karakteristik dari LAS yaitu :
1. Respon inflamasi
Respon ini distimulasi oleh adanya trauma dan infeksi dan terjadi hanya pada area
tubuh yang trauma sehingga penyebaran inflamasi dapat dihambat dan proses
penyembuhan dapat berlangsung cepat. Respon inflamasi dibagi kedalam 3 fase:
a) Fase pertama, terjadi perubahan sel dan sistem sirkulasi, dimulai dengan
penyempitan pembuluh darah ditempat cedera dan secara bersamaan teraktifasinya
kinin,histamin, sel darah putih. Kinin berperan dalam memperbaiki permeabilitas
kapiler sehingga protein, leukosit dan cairan yang lain dapat masuk ketempat yang
cedera tersebut.
b) Fase kedua, terjadinya pelepasan eksudat.
c) Fase ketiga, terjadi regenerasi jaringan dan terbentuknya jaringan parut.
2. Respon refleks nyeri
Respon ini merupakan respon adaptif yang bertujuan melindungi tubuh dari kerusakan
lebih lanjut. Misalnya mengangkat kaki ketika bersentuhan dengan benda tajam.
2.5.3 Manajemen Stres
Manajemen stres merupakan upaya mengelola stres dengan baik, yang bertujuan untuk
mencegah dan mengatasi stres agar tidak sampai ke tahap yang paling berat. Menurut Hidayat
(2012) ada beberapa cara manajemen stres yang dapat dilakukan adalah:
a. Mengatur diet dan nutrisi, cara ini merupakan cara yang efektif dalam mengurangi atau
mengatasi stres. Iini dapat dilakukan dengan cara mengonsumsi makanan yang bergizi
sesuai porsi dan jadwal yang teratur. Menu juga sebaiknya bervariasi agar tidak timbul
rasa kebosanan.
b. Istirahat dan tidur, cara ini merupakan obat yang baik dalam mengatasi stres karena
istirahat dan tidur yang cukup akan memulihkan keletihan fisik dan kebugaran. Tidur yang
cukup dapat memperbaiki sel-sel yang rusak.
c. Olahraga teratur, cara ini merupakan salah satu cara yang dapat meningkatkan daya
tahan dan kekebalan fisik maupun mental.
d. Berhenti merokok, cara ini akan meningkatkan status kesehatan dan menjaga ketahanan
serta kekebalan tubuh
e. Menghindari minuman keras, minuman keras merupakan faktor pencetus yang dapat
mengakibatkan terjadinya stres. Dengan menghindari minuman keras, individu dapat
terhindar dari berbagai macam penyakit.
f. Mengatur waktu, pengaturan waktu merupakan cara yang tepat dalam mengurangi dan
menaggulangi stres. Dengan mengukur waktu sebaik-baiknya, pekerjaan yang dapat
menimbulkan kelelahan fisik akan terhindari. Individu harus menggunakan waktu secara
efektif dan efisien.
g. Terapi psikofarmaka, terapi ini menggunakan obat-obatan dalam mengatasi stres yang
dialami melalui pemutusan jaringan antara psiko, neuro, dan imunologi sehingga stresor
tidak akan memengaruhi kognitif, afektif, dan psikomotor. Obat yang biasa digunakan
adalah obat anticemas dan antidepresan.
h. Terapi somatik, terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat stres
agar tidak menimbulkan ganggua pada system tubuh yang lain. Contohnya, jika seseorang
mengalami diare akibat stres, maka terapinya adalah dengan mengobati diarenya.
i. Psikoterapi, teknik ini menggunakan tekni psiko yang disesuaikan dengan kebutuhan
seseorang. Terapi ini meliputi psikoterapi suportif (motivasi), psikoterapi reedukatif
(Pendidikan ulang), dan psikoterapi kognitif (kemampuan berpikir rasional).
j. Terapi psikoreligius, terapi ini menggunakan pendekatan agama dalam mengatasi
permasalahan psikologis. Hal ini dilakukan karena individu harus sehat secara fisik, psikis,
social, dan spiritual.
Manajemen stres yang lain adalah dengan cara meningkatkan strategi koping yang
berfokus pada emosi dan strategi koping yang berfokus pada masalah. Koping yang berfokus
pada emosi dilakukan antara lain dengan cara mengatur respons emosional terhadap stres
melalui pengendalian diri atau berpikir positif. Sedangkan koping yang berfokus pada
masalah dilakukan dengan cara mempelajari cara untuk mengatasi masalah seperti
manajemen waktu dan cara menetapkan prioritas pekerjaan (Hidayat, 2012).

2.6 Model Teoritical Stress


Model teoritical strees ini bermanfaat bagi perawat agar dapat menganalisis stressor klien
pada situasi tertentu sehingga dapat memprediksi respon klien terhadap stressor tersebut.
Selain itu, akan membuat perawat mampu membantu klien untuk menguatkan koping respon
kesehatannya dan beradaptasi saat tidak sehat dan tidak produktif. Menurut (Kozier, 2015),
model teoritical stress dibagi menjadi empat jenis,yaitu:
1. Model berbasis stimulus, dimana stres merupakan sesuatu yang dihadapi seseorang
seperti stimulus, peristiwa yang terjadi selama hidup atau situasi yang dapat membuat
seseorang bereaksi secara fisiologik dan atau psikologik yang membuat kerentanan
terhadap penyakit semakin meningkat. Dalam model ini terdapat skala numerik yang
digunakan untuk mendokumentasikan pengalaman klien yang baru seperti perceraian,
kehamilan dan pension.
2. Model berbasis respons. Menurut Selye (1976) dalam Kozier (2015) mendeskripsikan
stress sebagai suatu respon non spesifik tubuh terhadap setiap tuntutan yang
ditimbulkannya. Respon dalam model ini dibagi menjadi dua jenis yaitu General Adaptive
Syndrome (GAS) dan Local Adaptive Syndrome (LAS).
3. Model berbasis transaksi, dimana menekankanrespons kognitif, afektif dan adaptif
timbul karena transaksi individu dengan lingkungan. Contoh respon dalam model ini
adalah penilaian kognitif dan koping klien serta memandang stressor sebagai respon yang
sesuai dengan persepsi klien itu sendiri yang berakar pada proses psikologis dan kognitif.
4. Model berbasis interaksional, merupakan gabungan antara model berbasis respon
dengan model berbasis stimulus. Gabungan dua model tersebut dapat diukur ketika dua
kondisi bertemu yaitu ketika individu menerima ancaman akan motif dan kebutuhan
penting milik klien dan ketika individu tidak mampu meng-coping stressor.

2.7 Trend dan Isu terkait Psikofarmakologi


2.7.1 Penyakit Fisiologis terkait Stress
Tekanan stres yang besar akan menimbulkan gejala-gejala patologis, seperti sakit kepala,
mudah marah, dan tidak bisa tidur. Gejala ini merupakan bentuk dari reaksi non-spesifik
pertahanan diri. Hal tersebut akan merangsang kelenjar anak ginjal (corfex) untuk mensekresi
hormon adrenalin dan memacu meningkatnya denyut jantung, kemudian tekanan darah naik
dan aliran darah ke otak, paru-paru, jantung, dan otot perifer meningkat (Hartono, 2011). Jika
stres ini terjadi terus menerus maka akan menimbulkan penyakit fisiologis yang dapat
dikelompokkan menjadi:
a. Penyakit Kardiovaskular
Stres dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya penyakit jantug koroner. Teori
mengenai patogenesis jantung koroner mencari korelasi antara diet tinggi-lemak, situasi
kehidupan penuh dengan stres, dan perkembangan penyakit. Orang yang
hiperkolesterolemia mempunyai resiko lebih tinggi menderita penyakit jantung
aterosklerotik daripada orang dengan kadar normal. Selama stress, kadar kolesterol serum
meningkat sehingga memicu penyakit jantung koroner. Selain itu, stress dapat
meningkatkan tekanan darah yang kemudian menjadi penyakit hipertensi (Tambayong,
2008).
b. Defisiensi imun
Situasi stress mengakibatkan penurunan respon imun yang disebabkan peningkatan sekresi
glukokortikoid oleh korteks adrenal. Penurunan imunitas akibat stress sering tampak pada
pasien kanker, dimana tidak jarang pasien kanker yang dikatakan sudah sembuh, kambuh
lagi karena mengalami stress akut, seperti kematian kerabat dekat (Tambayong, 2008).
c. Penyakit pencernaan
Iskemik mukosa lambung dan sekresi asam lambung merupakan dampak dari stres. Selain
itu, stress juga dapat menjadi penyebab konstipasi, diare, dan colitis ulserativa. Pengaruh
stress pada tubuh bersifat perorangan, tergantung pada kepribadian orang
tersebut (Tambayong, 2008).
d. Kanker
Stressor secara spesifik dapat dihubungkan dengan kanker. Hubungan antara stress dan
kanker dilihat dari depresi respon imunologis oleh stress yang memungkinkan timbulnya
kanker. Stress juga dipandang sebagai faktor yang memiliki faktor dua kali lipat pada
keganasan, dimana stress dapat meningkatkan produksi sel abnormal dan menurunkan
kemampuan tubuh untuk merusak sel-sel ini (Tambayong, 2008).
e. Kondisi lain
Kulit merupakan organ yang menjadi sasaran ketika stres datang. Ketika stres terjadi,
pembuluh darah konstriksi dan aliran darah perifer menurun. Sistem muskuloskeletal pun
menunjukkan efek stres dengan menegangkan otot secara kronis (Tambayong, 2008).
2.7.2 Penyakit dan Gangguan Psikologis
a. Ansietas
Ansietas merupakan rasa samar ketakutan yang disertai
dengan perasaan ketidakpastian, ketidakberdayaan, isolasi, dan ketidakamanan (Stuart,
2013). Ansietas adalah suatu kondisi kegelisahan mental, perasaan was-was atau tidak
nyaman seperti akan terjadi sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman dengan alasan yang
tidak spesifik. Terapi psikofarmaka yang dapat digunakan yaitu venlafaksin XR dan
benzodiazepin tidak berlebihan. Individu yang tidak mampu beradaptasi dan menghadapi
stressor akan mengakibatkan anxiety disorders. Beberapa jenis ansietas yang umum terjadi
yaitu:
1. General Anxiety Disorder (GAD) yang merupakan gangguan kecemasan dan rasa
khawatir yang terus menerus terjadi pada individu sehingga individu tidak dapat
mengontrol emosinya dan juga mudah tersinggung.
2. Panic Disorder, Panic terjadi biasanya hanya berlangsung beberapa menit ketika
kecemasan muncul tiba-tiba pada serangan yang berat. Serangan ini berkaitan dengan
gejala fisik kecemasan yang berat dan membuat seseorang ketakutan karena merasa
sesuatu yang mengerikan akan terjadi atau seolah-olah akan mati.
3. Social Anxiety Disorder (SAD), merupakan anxiety disorder yang ditandai dengan rasa
malu, tidak percaya diri dan rasa cemas bila berada dalam lingkungan.
4. Specific Phobia, merupakan kondisi dimana individu merasa takut (disertai panik) pada
keadaan tertentu seperti tempat ramai, tempat yang gelap, dan pada situasi sosial tertentu
seperti bertemu dengan orang lain.
5. Obsessive Compulsive Disorder (OCD), yaitu kondisi dimana individu terus menerus
memikirkan sesuatu dan sulit melupakannya.
6. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), yaitu gangguan kecemasan yang dapat
terbentuk dari sebuah kejadian atau pengalaman yang menyeramkan atau menakutkan,
sulit serta tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam
(APA, 2000).
7. Skizofrenia yang merupakan salah satu dari sekelompok gangguan psikotik (Stuart,
2013). Skizofrenia tidak bisa didefinisikan sebagai penyakit tunggal, tetapi dianggap
sebagai sindrom atau proses penyakit dengan banyak varietas dan gejala yang
berbeda (Videbeck, 2011). Terapi psikofarmaka yang digunakan untuk pasien
skizofrenia yaitu dengan obat antispikotik (Davey, 2005). Gejala skizofrenia terbagi
menjadi dua kategori utama yaitu tanda positif atau hardmeliputi delusi, halusinasi,
berpikir terlalu teratur, berbicara tidak jelas dan tanda negatif atau lembut meliputi
perilaku datar, kurangnya kemauan, penarikan sosial atau ketidaknyamanan (Videbeck,
2011). Gejala yang ditimbulkan dengan kuat lainnya ialah (Davey, 2005):
a) halusinasi audiotorik, sering dalam bentuk makian, mengulangi perkataan pasien,
dan mengomentari perilaku pasien
b) pikiran yang dicabut, ditanam, dan disiarkan pihak luar dapat menghilang,
memasukkan, atau mendengarkan pikiran penderita
c) ide diluar batas normal, contoh dewa-dewa dapat melakukan suatu keajaiban nyata
d) kontrol ekternal atas pikiran, aksi, dan emosi
b. Emotional Responses dan Mood Disorder
Mood disorders terjadi karena respon emosional diri yang terhadap kejadian berduka.
Respon emosional paling maladaptif yaitu depresi dan bipolar. Depresi merupakan suatu
jenis perasaan atau emosi yang disertai komponen psikologik seperti halnya rasa susah,
murung, sedih, putus asa dan tidak bahagia, serta komponen somatik contohnya anoreksia,
konstipasi, kulit lembab (rasa dingin), tekanan darah dan denyut nadi sedikit menurun.
Tanda dan gejalanya yaitu merasa rendah diri, sedih, marah atau merasa tidak
berharga. Depresi merupakan gangguan pada emosi dan hampir setiap individu pernah
mengalaminya. Depresi merupakan masalah kejiwaan yang paling sering terjadi dan
terbagi menjadi depresi ringan, sedang, dan parah. Terapi psikologis yang digunakan
ialah antidepresan bagi penderita depresi ringan dan sedang. Sedangkan untuk depresi
berat menggunakan terapi elektrokonvulsif. Selain itu, bipolar juga merupakan gangguan
perasaan, akan tetapi jarang terjadi dibandingkan dengan depresi. Terapi
psikofarmaka untuk bipolar disorder yaitu obat penenang mayor dan litium yang
berfungsi untuk menstabilitaskan mood.
c. Gangguan terkait Zat, Makan serta Gangguan Identitas Seksual dan Jenis Kelamin
Gangguan terkait zat maksudnya individu akan mengkonsumsi obat untuk
menghilangkan emosi negatif seperti depresi, ketakutan, serta kecemasan, untuk mengatasi
kelelahan atau kebosanan karena obat menghasilkan keadaan yang membuat kesadaran
akan berubah (Stuart, 2013). Selanjutnya, gangguan makan yang diantaranya anoreksia,
bulimia nervosa dan makan berlebihan.
Gangguan ini disebabkan oleh abnormalitas neuroendokrin dalam
hipotalamus. Gangguan ini dapat menyulitkan individu dalammenginterpretasikan sensasi
lapar dan kenyang (Doenges, Townsend, & Moorhouse, 2007).Selanjutnya, gangguan
seksual meliputi disfungsi seksual dan parafilia. Disfungsi seksual didefinisikan sebagai
gangguan pola normal dalam setiap fase respon seksual contohnya homoseksesual dan
lesbi. Parafilia adalah gangguan berupa tindakan yang tidak biasa dan perlu direalisasikan
untuk rangsangan seksua contohnya pedofilia, fetisisme, seksual sadis, dan
ekshibisionisme.
2.7.3 Neurotransmitter
Neurotransmiter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron, yang membantu
transmisi informasi ke seluruh tubuh. Neurotransmiter juga memicu atau menstimulasi aksi di
dalam sel (eksitasi) atau menghambat atau menghentikan aksi (inhibisi) (Videbeck, 2011).
Terdapat tipe utama neurotransmiter yaitu dopamin, norepinefrin, serotonin, histamin,
asetilkolin, dan Asam Gama-Aminobutirat (GABA) (Videbeck, 2011). Berikut
penjelasannya:
a. Dopamin
Merupakan neurotransmitter yang terdapat di batang otak yang berfungsi dalam
pengontrolan gerakan yang kompleks, motivasi, kognisi, dan pengaturan respon
emosional. Dopamin umumnya bersifat eksitasi. Dopamin terlibat dalam menimbulkan
skizofrenia (gangguan mental yang mengalami halusinasi) dan psikosis lain seperti
gangguan pergerakan penyakit parkinson (degenerasi sel saraf secara bertahap pada otak
bagian tengah yang berfungsi mengatur pergerakan tubuh, salah satu gejalanya adalah
adanya tremor atau gemetaran). Kedua gangguan tersebut merupakan akibat dari
ketidakseimbangan dopamin. Obat antipsikotik akan menurunkan aktivitas dopamin.
b. Norepinefrin
Merupakan neurotransmiter yang dominan pada sistem saraf, terutama yang terdapat di
batang otak dan berfungsi mengatur dalam perubahan perhatian, belajar, memori, pola
tidur, serta pengaturan mood. Norepinefrin dan derivatnya yaitu epinefrin, masing-masing
dikenal sebagai nonadrenalin dan adrenalin. Norepinefrin yang berlebihan dapat
menyebabkan gangguan ansietas (cemas) dan yang kekurangan norepinefrin dapat
memengaruhi kehilangan memori, menarik diri dari masyarakat, dan depresi.
c. Serotonin
Serotonin adalah suatu neurotransmiter yang hanya ditemukan di otak. Fungsinya sebagian
besar adalah inhibisi. Serotonin merupakan neorotransmitter yang berasal dari asam amino
triptofan. Serotonin berperan dalam pengaturan mood, aktivitas motorik, nafsu makan,
pola tidur, dan fungsi seksual. Serotonin juga dapat mengakibatkan munculnya rasa cemas
(ansietas).
d. Histamin
Histamin berfungsi memproduksi respon alergi perifer, mengontrol sekresi lambung,
stimulasi jantung, dan kewaspadaan. Beberapa obat psikotropika menyekat histamin dapat
menyebabkan peningkatan berat badan dan hipotensi (Stuart, 2013).
e. Asetilkolin
Asetilkolin merupakan neurotransmitter yang ditemukan di otak, medula spinalis, dan
sistem saraf perifer, khususnya di taut neuromuskular otot skelet. Asetilkolin dapat bersifat
eksitasi ataupun inhibisi. Asetilkolin disintesis dari kolin yang ditemukan di dalam
makanan seperti daging dan sayuran. Asetilkolin juga sudah terbukti dapat memengaruhi
siklus tidur serta memberi tanda aktifnya otot. Pada penderita alzheimer memiliki jumlah
neuron penyekresi asetilkolin yang menurun dan penderita miastenia gravis (suatu
gangguan otot) memiliki jumlah reseptor asetilkolin yang menurun.
f. Asam Gama-Aminobutirat (GABA)
GABA adalah suatu asam amino dan neurotransmiter inhibisi utama di otak. Fungsinya
yaitu memodulasi sistem neurotransmitter lainnya, bukan memberikan stimulus langsung.
Sedangkan suatu asam amino eksitasi yaitu glutamat, pada kadar tinggi dapat memiliki
efek neurotoksik. Glutamat terlibat dalam kerusakan tak yang disebabkan stroke, hipoksia
atau iskemia terus menerus, dan beberapa penyakit degeneratif seperti penyakit alzheimer.
2.7.4 Psikofarmakologi
a. Antipsikotik
Dikenal sebagai neuroleptik, yang digunakan sebagai perawat dari gejala psikosis, seperti
delusi dan halusinasi yang nampak pada skizofenia, gangguan skizoafektif, dan gangguan
kepribadian (bipolar disorder) (Videbeck, 2011). Beberapa gangguan jiwa yang
menggunakan antipsikotik sebagai pengobatannya ialah psikotik akut, psikotik kronik (jika
oral masih belum efektif, diberikan lewat suntikan) (Keliat, Akemat, Helena, & Nurhaeni,
2007). Tetapi dalam melakukan proses kerjanya antipsikotik dapat menyebabkan efek
samping, antara lain (Videbeck, 2011):
1. Gejala Ekstrapiramidal (EPS), merupakan gejala neurogical dimana merupakan efek
samping utama dari obat antipsikotik. EPS dapat berkembang atau tumbuh jika proses
pemblokiran reseptor D2 di batang otak tetap terjadi. EPS ini ditandai dengan distonia
akut, psedoparkinsonism, dan akathisia. Distonia akut mencakup kekakuan dan kram
otot, lidah menjadi kaku dan sulit menelan. Distonia biasanya terjadi ketika minggu
pertama pertawatan. Sedangkan gejala pseudoparkinsonism menyerupai gejala penyakit
Parkinson, seperti, postur tubuh bungkuk, kaku, tremor. Akathisia ditandai dengan
peningkatan rasa cemas atau gelisah, ketidak mampuan untuk duduk tenang atau
beristirahat, postur tubuh hungkuk, dan gerakan spontan berkurang.
2. Neuroleptic malignant syndrome (NMS) ialah reaksi fatal dari obat antipsikotik.
NMS biasanya ditandai dengan kekakuan, demam tinggi, tekanan darah tidak stabil,
diaporesis, dan palor, delirium. Klien dengan NMS biasanya sering terlihat bingung dan
diam. NMS biasanya terjadi setelah 2 minggu terapi.
3. Tardive Dyskinesia (TD) ialah gangguan gerakan tidak sadar (involuntary) yang
permanen, biasanya disebabkan oleh pemakaian obat antipsikotik dalam jangka waktu
yang lama. Patofisiologi TD masih belum jelas. Gejala TD ditandai dengan
gerakan involuntary dari lidah, wajah, dan otot leher, bagian ekstremitas atas dan
bawah, dan otot trunkus. Klien dengan TD sering mengedipkan mata, lidah yang masuk
dan menjulur, bibir mengkerut, wajah yang menyeringai, dan gerakan wajah lainnya
yang tidak semestinya.
4. Efek samping antikolergik, ditandai dengan gejala hipotensi ortostatik, mulut kering,
konstipasi, retensi urine atau sulit berkemih, rabun dekat, mata kering, fotofobia,
kongesti nasal, dan berkurangnya ingatan.
5. Efek samping lain, obat antipsikotik juga dapat meningkatkan tingkatan prolactin
dalam darah. Peningkatan prolaktin dapat menyebabkan pembesaran dan nyeri tekan
payudara pada pria dan wanita, penurunan libido, disfungsi ereksi dan orgasme,
ketidakteraturan menstruasi, dan peningkatan risiko kanker payudara. Klozapin berisiko
menyebabkan agranulositosis fatal yang ditandai dengan demam, malaise, faringitis
gangrenosa, dan leukopenia.
Klien yang membutuhkan terapi antipsikotik ialah yang mengidap beberapa diagnosa
keperawatan, antara lain risiko kekerasan yang berhubungan dengan panic, ansietas, dan
mistrust kepada orang lain, risiko cedera yang berhubungan efek samping dari
pemberian obat (sedasi, fotosensitifitas, agranulositosis, EPS, TD, dan NMS), dan risiko
intoleransi aktifitas yang berhubungan dengan sedasi, pengelihatan buram, dan lelah.
b. Antidepresan
Biasanya diguakan untuk perawatan dari gangguan depresif, gangguan ansietas, fase
depresi pada bipolar disorder, dan depresi psikotik. Menurut Keliat, Akemat, Helena, &
Nurhaeni (2007) panik dan depresi juga menggunakan antidepresan sebagai terapinya.
Antidepresan dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu tricylic and the related cylic
antidepressant, selective serotonin reuptake inhibitors, MAO inhibitors, antidepresan yang
lain seperti venlafaxine desvenlafaxine.
Efek samping ditimbulkan oleh SSRIs ialah ansietas, agitasi, akathisia, nausea,
insomenia, dan disfungsi seksualitas. Diantara antidepresan yang lain, SSRIs yang dapat
menyebabkan turunnya berat badan. Efek samping cylic antidepressant menghasilkan efek
antikolinergik seperti mulut kering, konstipasi, penyimpanan urin, nasal kering, dan
pengelihatan buram. Sedangkan efek samping yang timbul dari MAOIs ialah, sedasi,
insomnia, berat badan bertambah, mulut kering, hipotensi orostatik, dan
disfungsi seksualitas. Klien yang membutuhkan terapi antidepresan ialah yang mengidap
beberapa diagnosa keperawatan, antara lain risiko bunuh diri, risiko cedera, isolasi sosial,
dan konstipasi.
c. Mood-Stabilizing (penstabil mood)
Obat penstabil mood digunakan untuk mengobati gangguan afektif bipolar dengan
menstabilkan mood klien, menghindari atau meminimalkan tinggi rendah mood yang
mencirikan gangguan bipolar, dan mengobati episode akut mania. Keadaan emosional
klien yang penuh dengan kegembiraan disebut dengan mania episode, sedangkan keadaan
emosional yang penuh kesedihan disebut dengan deppresive episode. Obat-obat yang
tergolong jenis penstabil mood yaitu litium dan antikonvulsan seperti karbamazepin dan
asam valproate (Videbeck, 2011). Efek toksik dari terapi litium ini meliputi diare berat,
muntah, mengantuk, kelemahan otot, dan kurang koordinasi. Efek samping yang
ditimbulkan oleh antikonvulsan yaitu rasa kantuk, mulut kering, dan penglihatan kabur.
Klien yang membutuhkan terapi Mood-Stabilizingialah yang mengidap beberapa diagnosa
keperawatan, antara lain risiko cedera yang berhubungan dengan manik hiperaktifitas,
risiko self-directed, risiko cedera yang berhubngan dengan litium, dan risiko intoleransi
aktifitas yang berhubungan dengan efek samping pusing
d. Antiansietas (anxiolitik)
Digunakan untuk ansietas dan gangguan ansietas, insomnia, OCD, depresi,
posttraumatic stress, dan penatikan alcohol. Benzodiazepines ialah obat yang paling efektif
untuk menghilangkan ansietas. Benzodiazepin menimbulkan efeknya dengan terikat ke
tempat khusus di reseptor GABA. Efek samping yang ditimbulkan benzodiazepin yaitu
depresi sistem saraf pusat seperti mengantuk, sedasi, koordinasi yang buruk, dan gangguan
memori atau gangguan sensorium.
Selain itu, penggunaan obat benzodiazepin ini menimbulkan ketergantungan fisik dan
psikologis karena ketakutan dari klien jika ansietasnya kembali lagi (Videbeck, 2011).
Klien yang membutuhkan terapi antiansietas ialah yang mengidap beberapa diagnosa
keperawatan, antara lain risiko cedera yang berhubungan dengan panik, risiko intoleransi
aktifitas yang berhubungan dengan efek samping sedasi dan kelesuan, dan risko konfusi
akut yang berhubungan dengan kerja pengobatan di CNS.
e. Stimulants
Penggunaan utama stimulan yaitu untuk mengatasi gangguan hiperaktivitas/defisit
perhatian pada anak-anak dan remaja, gangguan defisit perhatian sisa pada dewasa, dan
narkolepsi (serangan rasa kantuk pada siang hari yang tidak diinginkan tetapi tidak dapat
diatasi dan mengganggu kehidupan individu) (Townsend, 2008). Obat-obatan utama yang
digunakan ialah metilfenidat, pemolin, dan dekstroamfetamin. Efek samping yang
ditimbulkan oleh stimulan yaitu anoreksia, penurunan berat badan, mual, dan iritabilitas,
pusing, mulut kering, penglihatan kabur, palpitasi, supresi pertumbuhan dan berat badan
pada anak.
f. Disulfiram (Antabuse)
Disulfiram digunakan sebagai pencegah untuk klien yang sedang
melakukan perawatan karena alcoholism. Disulfiram dapat berguna untuk orang yang
ingin beralih ke hidup sehat dan tidak mengonsumsi alkohol lagi. Efek samping dari
disulfiram ini ialah, sekitar 5 sampai 10 menit setelah seseorang meminum disulfiram,
akan terjadi vasodilatasi, sakit kepala, berkeringat, mulut kering, nausea, vomit, pusing,
dan lelah. Efek lainnya yang ditimbulkan oleh disulfiram ialah kelelahan, mengantuk,
nafas bau, trmor, dan impotensi.

2.7.5 Sasaran Keselamatan Pasien I, III, dan Penyalahgunaan Zat


Sasaran keselamatan pasien ini mnegacu pada Nine life-saving patient safety solutions
dari WHO patient safety dalam (Departemen Kesehatan RI. 2008) ialah sasaran I ketepatan
identifikasi pasien, sasaran II yaitu peningkatan komunikasi yang efektif. Sasaran III yaitu
peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high-alert medication). Sasaran IV yaitu
kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi. Sasaran V yaitu pengurangan
risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan dan Sasaran VI yaitu pengurangan risiko pasien
jatuh.
a. Sasaran Keselamatan Pasien I
Terdapat enam elemen penilaian SKP I ini yaitu: 1) Pasien diidentifikasi menggunakan
dua identitas pasien dan tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien. 2)
Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah, hal ini menjadi
penting karena perawat perlu mengentahui apakah pasien memiliki alergi terhadap obat
tertentu. 3) pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan specimen lain untuk
pemeriksaan klinis. 4) pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan
atau prosedur. 5) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang
konsisten pada semua situasi dan lokasi (RSJ GRHASIA, 2014).
b. Sasaran Keselamatan Pasien III
Sasaran keselamatan pasien III yaitu peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai
(high alert). Obat high alert ialah obat yang sering menyebabkan terjadinya kesalahan atau
kesalahan serius, obat yang berisiko tinggi berdampak yang tidak diinginkan (adverse
outcome). Pemberian obat jenis ini perlu diawasi semaksimal mungkin sehingga
meminimalkan kejadian tidak diharapkan (KTD) pada pasien. Pada sasaran keselamatan
pasien III ini terdapat empat elemen penilaian yaitu (RSJ GRHASIA, 2014):
1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi,
menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan eletrolit konsentrat.
2. Kebijakan dan prosedur diimplementasikan
3. Elektrolit konsentrat tidak boleh disimpan di unit pelayanan pasien kecuali jika
dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang
hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan
4. Elektrolit konsentrat yang disimpan di unit pelayanan pasien harus diberi label yang
jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restrict access) (rsj grhasia, 2014).
c. Penyalahgunaan Zat
Penyalahgunaan zat dapat terjadi karena faktor-faktor tertentu yang mendorong
seseorang membutuhkan zat yang dapat membuat dirinya menjadi lebih baik. Faktor
tersebut dapat berasal dari diri sendiri, lingkungan sekitar, dan faktor narkoba (Elvira,
S.D., & Hadisukanto, G., 2010)
1. Faktor dari diri sendiri ini dipengaruhi oleh keadaan mental (depresi), kondisi fisik,
dan psikologis. Faktor dari diri sendiri ditentukan oleh dua aspek, yaitu: a) aspek
biologis yang dilakukan seorang penyalahguna obat untuk menghilangkan rasa sakit
atau keletihan yang diderita. b) Faktor psikologis yang dapat dimulai ketika remaja
karena ingin mencoba-coba dan mencari pengalaman baru.
2. Faktor lingkungan dapat berasal dari lingkungan keluarga yang tidak harmonis
hingga lingkungan pergaulan yang tidak sehat.
3. Faktor narkoba, karena narkoba saat ini mudah ditemukan dengan harga yang murah
dan para pedagang narkoba yang memiliki sindikat yang kuat dan professional.

2.7.6 Kepatuhan Minum Obat dan Prinsip Penatalaksanaan Terapi Psikofarmaka


Terapi psikofarmaka atau psikofarmakologi adalah terapi obat-obatan sebagai bentuk
tindakan atau treatment untuk pasien dengan gangguan neurobiologi otak atau gangguan
mental (Stuart G. , 2013). Klien yang tidak patuh dalam minum obat menunjukkan gangguan
yang lebih berat saat dirawat kembali, menjadi lebih sering masuk kembali ke rumah sakit,
lebih mungkin terjadi perawatan paksa, dan menjalani hari perawatan yang lebih
lama (Davies & Craig, 2009).
a. Kepatuhan minum obat
Kepatuhan dalam minum obat terdiri atas beberapa faktor, yaitu usia, jenis kelamin,
pekerjaan, status ekonomi sosial, jarak tempat pelayanan kesehatan, dan pendidikan. Hal-
hal yang penting untuk mewujudkan kepatuhan dalam minum obat pada klien ialah adanya:
1. Pemahaman, klien dan keluarga klien harus memiliki pemahaman yang baik
mengenai manfaat dan resiko dari pengobatan tersebut.
2. Kenyamanan, menghindari efek samping yang ditimbulkan.
3. Kolaborasi, tercipatanya hubungan yang baik antara klien dan keluarga klien dengan
tenaga kesehatan.
Adapun strategi untuk meningkatkan kepatuhan terhadap terapi obat (Davies,Craig
2009):
1. Saat memulai terapi, tenaga kesehatan/perawat menjelaskan waktu munculnya efek
samping.
2. Tenaga kesehatan/perawat harus dapat mengenali dan mengobati efek samping secara
cermat.
3. Realistic mengenai efek yang dapat ditimbulkan atau tidak dapat ditimbulkan oleh
suatu obat. Banyak pasien memiliki harapan yang tidak realistic mengenai manfaat
obat.
4. Tenaga kesehatan/perawat sebaiknya mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan
perlahan-lahan karena hal ini dapat menguraangi efek samping.
5. Libatkan klien untuk memantau pengobatannya sendiri.
b. Prinsip Penatalaksanaan Terapi Prsikofarmaka
Semua obat-obat psikotropik memiliki manfaat dan efek samping selama dikonsumsi, baik
itu jangka pendek maupun jangka panjang. Tenaga kesehatan yang melakukan terapi
psikofarmaka memerlukan pedoman untuk melaksanakan terapi tersebut. Adapun beberapa
prinsip yang dapat dijadikan pedoman penggunaan terapi psikofarmaka sebagai berikut
(Hyman, Arana, & Rosenbaum, 1995):
1. Obat diseleksi berdasarkan efeknya pada gejala target klien. Keefektifan pengobatan
dievaluasi dengan cara melihat bagaimana kemampuan obat tersebut untuk mengurangi
atau menghilangkan gejala.
2. Pemberian dosis obat psikotropika yang memenuhi syarat atau memadai sehingga
dapat memberikan manfaat yang optimal.
3. Dosis obat sering kali disesuaikan dengan dosis terendah yang efektif bagi klien.
Dosis tinggi digunakan untuk menstabilkan gejala target klien dan dosis yang lebih
rendah digunakan untuk mempertahankan efek dari obat tersebut.
4. Berdasarkan aturan yang ada, individu lansia memerlukan dosis obat yang lebih
rendah untuk menghasilkan obat terapeutik dan obat memerlukan waktu yang lebih
lama untuk dapat bereaksi/bekerja sepenuhnya.
5. Pengurangan obat psikotropik sering kali dilakukan secara berangsur-angsur atau
bertahap, bukan secara mendadak dihentikan untuk mencegah
terjadinya rebound (gejala kembali muncul sementara), putus obat (munculnya gejala
baru yang disebabkan penghentian obat), dan kambuhnya gejala semula.
6. Untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap program pengobatan, melakukan
penyesuaian dosis obat, dan penatalaksanaan efek samping, tenaga kesehatan dapat
melakukan perawatan tindak lanjut pada klien.
2.8 Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
2.8.1 Definisi dan Jenis-jenis TAK
Terapi aktivitas kelompok (TAK) merupakan terapi psikologi yang dilakukan secara
kelompok untuk memberikan stimulasi kepada pasien dengan gangguan kejiwaan (Yosep,
2008). Terapi aktivitas kelompok berfungsi untuk meningkatkan identitas diri, keterampilan
sosial, penyaluran emosi, kemampuan mengekspresikan diri dan kemampuan memecahkan
masalah secara konstruktif. Menurut Keliat & Akemat (2004), TAK terbagi menjadi 4 macam
yaitu :
a. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Kognitif/ Persepsi
Terapi ini menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan berkaitan dengan pengalaman hidup
yang didiskusikan dalam kelompok untuk menghasilkan suatu kesepakatan persepsi atau
alternatif sebagai penyelesaian masalah (Keliat & Akemat, 2004). Tujuan terapi ini adalah
meningkatkan kemampuan klien dalam menyelesaikan masalah. Stimulus yang digunakan
seperti membaca artikel/ majalah/ buku/ puisi, menonton TV.
b. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Sensori
Terapi ini berfokus pada stimulus terhadap pancaindra seperti penglihatan, perabaan,
pendengaran dan lainnya yang dapat diaplikasikan pada kegiatan seperti bernyanyi,
menggambar, melihat video dan menari. Klien dengan indikasi TAK stimulasi sensori
adalah klien isolasi sosial, menarik diri, harga diri rendah yang disertai dengan kurangnya
komunikasi verbal (Keliat & Akemat, 2004). Terapi ini bertujuan untuk membantu klien
dalam memberikan respon terhadap stimulus yang diberikan kepada pancaindra seperti
merespon suara yang didengar dan gambar yang dilihat, serta mengekspresikan perasaan
melalui gambar.
c. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Realita
Terapi ini berfokus pada pengorientasian kejadian nyata kepada klien. Tujuan terapi ini
adalah membantu klien untuk mengenal orang lain, tempat dan waktu sesuai dengan
kenyataan. Klien dengan indikasi TAK stimulasi realita yaitu klien yang tidak mengenal
dirinya, halusinasi, dimensia, kebingungan, salah mengenal orang lain, tempat dan waktu
(Keliat & Akemat, 2004).
d. Terapi Aktifitas Kelompok Sosialisasi
Terapi ini merupakan upaya untuk memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien
dengan masalah hubungan sosial (Keliat & Akemat, 2004). Klien dengan indikasi TAK
sosialisasi adalah klien yang menarik diri dan telah melakukan interaksi interpersonal serta
klien yang mengalami kerusakan komunikasi verbal dan telah berespon sesuai stimulus.
Terapi ini dilakukan melalui tujuh sesi dengan tujuan agar :
1. klien mampu memperkenalkan dirinya
2. klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok lainnya
3. klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok lainnya
4. klien mampu menyampaikan dan membicarakan topik pembicaraan
5. klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi kepada orang lain
6. klien mampu bekerjasama dalam permainan sosialisasi kelompok
7. klien mampu menyampaikan pendapat mengenai manfaat dari kegiatan terapi yang
telah dilakukan.
2.8.2 Proses TAK
Terapi aktivitas kelompok dapat dilakukan dengan beberapa tahap atau fase pembentukan
kelompok. Kelompok dapat terbentuk dan berkembang melalui 4 fase diantaranya:
a. Fase prakelompok
Fase ini dimulai dengan menetapkan tujuan dan penentuan leader dan menyusun panduan
pelaksanaan kegiatan kelompok. Klien yang menjalani terapi aktivitas kelompok memiliki
prinsip tertentu dalam proses pengelompokannya, diantaranya memiliki gejala yang sama,
kategori yang sama dilihat dari skor hasil kategorisasi, jenis kelamin, kelompok umur
hampir sama dan jumlah efektif dalam suatu kelompok terapi yaitu 7-10 orang (Townsend,
2011).
b. Fase awal kelompok
1. Tahap orientasi, memerlukan peranan pemimpin kelompok dalam memberikan
arahan, mengorientasikan anggota pada tugas utama dan melakukan kontrak yang
terdiri dari tujuan, kerahasiaan, waktu pertemuan dan norma perilaku.
2. Tahap konflik, merupakan tahap yang paling sulit sehingga pemimpin perlu
memfasilitasi ungkapan perasaan positif maupun negatif, membantu kelompok
mengenali penyebab konflik dan mencegah perilaku yang tidak produktif.
3. Tahap kohesif, merupakan tahap pembelajaran bagi anggota kelompok bahwa
perbedaan tidak perlu ditakutkan dan merasa bebas membuka diri tentang informasi
yang lebih intim satu sama lain.
c. Fase kerja kelompok
Anggota kelompok menyadari peningkatan produktivitas dan kemampuan yang disertai
dengan rasa percaya diri dan kemandirian (Townsend, 2011).
d. Fase terminasi
Fase terminasi dapat bersifat sementara atau akhir. Terminasi yang sukses ditandai oleh
perasaan puas dan pengalaman kelompok yang akan digunakan secara individual pada
kehidupan sehari-hari (Townsend, 2011).
2.8.3 Penatalaksanaan TAK
Penatalaksanaan terapi aktivitas kelompok dapat dilakukan dengan beberapa kegiatan,
diantaranya membaca puisi, mempelajari seni, bermain musik, menari dan menggambar.
Kegiatan menggambar menyebabkan subjek memiliki keterampilan dalam mendengarkan,
mengajukan permintaan dan mengekspresikan perasaan dengan cukup baik (Hartono, 2015).
Penatalaksanaan TAK dengan menjawab pertanyaan yang ada di dalam kartu menunjukan
keterampilan subjek dalam mengekspresikan perasaan yang diungkapkan melalui cerita.
Penatalaksanaan terapi aktivitas kelompok dilanjutkan dengan berbagi pengalaman pribadi
yang mengakibatkan subjek ingin bekerja pada bidang yang disukainya sepulang dari rumah
sakit (Hartono, 2015). Selain itu, penatalaksanaan TAK dapat dilakukan dengan
gerakan brain gym sehingga subjek dapat memperlihatkan keterampilan mendengar dan
mengekspresikan perasaan menyenangkan pada kegiatan tersebut (Hartono, 2015). Perawat
yang akan menerapkan terapi aktivitas kelompok, perlu mengetahui beberapa hal yaitu
(Basavanthappa, 2007):
a. Pengetahuan pokok tentang pikiran dan tingkah laku normal dan patologi dalam budaya
setempat.
b. Konsep teoritis yang sesuai dalam memahami pikiran dan tingkah laku normal maupun
patologis.
c. Teknis yang bersifat terapeutik dan menyatu dengan konsep yang dimiliki melalui
pengalaman klinis dengan pasien.
d. Memiliki kesadaran atas harapan, kecemasan, mekanisme pertahanan dan pengaruhnya
terhadap teknik terapeutik yang digunakan.
e. Mampu menerima pasien sebagai manusia utuh dengan segala kekurangan dan
kelebihannya.
f. Memiliki kecakapan dalam memahami hal-hal yang tersampaikan secara tersirat dan
menggunakannya secara empatis.
2.8.4 Trend dan Issue TAK
Terapi Aktivitas Kelompok adalah terapi yang dilakukan dengan tujuan untuk mengubah
perilaku klien dengan menggunakan dinamika kelompok (Yusuf, 2015). Terapi yang
dilakukan secara berkelompok akan membentuk suatu interaksi yang saling mempengaruhi
antar anggota kelompok dan norma yang disetujui bersama sehingga dapat dijadikan sebagai
sistem sosial. Pelaksanaan sistem sosial meliputi proses interaksi, interelasi, dan
interdependen (Yusuf, 2015). Hal tersebut menyebabkan terapi aktivitas kelompok sebagai
trend dalam mengobati penyakit gangguan kejiwaan.
2.8.5 Terapi Kelompok
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui dalam rancangan waktu
tertentu dengan tenaga ahli yang memenuhi persyaratan tertentu. Terapi kelompok berfokus
terhadap kemunculan kesadaran diri klien, peningkatan hubungan interpersonal, membuat
perubahan atau ketiganya (Stuart, 2013). Terapi kelompok termasuk metode pengobatan yang
diberikan kepada pasien dengan gangguan depresi atau penyakit bipolar dengan tujuan untuk
meningkatkan harga diri. Terapi kelompok dilakukan melalui tiga tahap, diantaranya :
a. Tahap pertama yaitu terapis membentuk hubungan kerja dengan anggota kelompok agar
kedua pihak saling mengenal, mengetahui tujuan bersama dan membiasakan diri untuk
melakukan diskusi kelompok (Townsend, 2008).
b. Tahap kedua yaitu tercapainya tranference dan perkembangan identitas kelompok.
Tranference adalah suatu perilaku atau keinginan pasien yang seharusnya ditujukan
kepada orang lain tetapi dialihkan kepada orang lainnya. Tranference dapat dicontohkan
pada perilaku seorang lansia yang seharusnya ditujukan kepada orang tuanya tetapi dalam
kehidupan nyata dialihkan kepada terapis. Perkembangan identitas kelompok adalah
tercapainya suatu sense of belonging atau rasa menyatu yang menyebabkan munculnya
rasa memiliki konflik yang sama dan membentuk ikatan diantara anggota kelompok
(Townsend, 2008).
c. Tahap mutualisis yaitu tahap dimana setiap orang akan mendapatkan informasi atau
reaksi atas pernyataan yang telah dikemukakan. Setiap anggota akan mendapatkan koreksi
atau kesan kelompok atas tingkah lakunya (Townsend, 2008).
2.8.6 Terapi Individu
Terapi individu bagi penderita gangguan jiwa salah satunya adalah terapi kognitif. Terapi
kognitif adalah terapi dalam waktu yang singkat namun diberikan secara teratur dengan
tujuan memberikan dasar berpikir agar pasien dapat menunjukkan perasaan negatif yang
dimilikinya, dapat memahami dan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi (Yusuf,
2015). Perbedaan antara terapi individu dan terapi kelompok, yaitu (Wahab, 2014):
Karakteri
Terapi Individu Terapi Kelompok
stik
Jumlah
Satu klien 7 – 10 klien
klien
Klien sulit
Jenis Klien kesulitan
mengungkapkanmasala
sasaran bersosialisasi
h pribadinya.
Keuntun Pemantauan terhadap Rasa terisolasi pada
gan klien mudah dilakukan klien berkurang
Menggali
kemampuanberkomunik
asi klien

2.9 Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


2.9.1 Definisi, Tanda dan Gejala PTSD
Definisi PTSD menurut Towsend (2008) adalah suatu gangguan psikologis yang dialami
individu akibat kejadian buruk yang dialaminya dan biasanya inidividu tersebut tidak mampu
menghilangkan kejadian buruk tersebut dari pikirannya sehingga sering mengalami mimpi
buruk, flashback, dan serangan panik. Pada banyak kasus, individu yang memiliki trauma
tertentu, memiliki resiko lebih tinggi terserang PTSD pada setiap kejadian yang dialaminya
(Nayback, 2009; Doctoret al, 2011; Stuart, ).
Contoh peristiwa traumatis yang mungkin menjadi pemicu kondisi ini meliputi kecelakaan
lalu lintas, bencana alam, tindak kejahatan seperti pemerkosaan atau perampokan,
pengalaman di medan perang, dll. Individu dengan gangguan PTSD ini selalu dibayang-
bayangi oleh ingatan buruk dan mengerikan, merasa ketakutan yang kuat, tidak berdaya,
hingga berdampak pada phobia akan suatu hal. Trauma kronis ini ditandai dengan
peningkatan kecemasan, penghindaran dari hal-hal yang menimbulkan trauma tersebut,
teringat-ingat dengan kejadian. (Kring, 2013).
Kejadian trauma merupakan kejadian yang menyakitkan, mengakibatkan pukulan berat,
dapat menghilangkan prinsip kebutuhan dasar hidup manusia, seperti keamanan yang selalu
terancam, sulit tidur, dll. Gangguan ini terjadi selama lebih dari satu bulan bahkan dapat
terjadi selama bertahun-tahun. Seseorang yang mengalami PTSD sulit untuk melakukan
koping atau penyesuaian diri. (Linda, 2007, Jurnal Ilmu Kesehatan Immanuel). Berdasarkan
DSM-5 (diagnose yang didirikan dari beberapa gejala yang ada, terdapat 4 kategori tanda dan
gejala utama PTSD, meliputi:
a. Intrusively Reexperiencing (Teringat-ingat) terhadap peristiwa trauma.
Orang yang mengalami PTSD akan selalu teringat dan terulang-ulang dalam memori
mereka, bahkan sering mengalami mimpi buruk mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan trauma itu. Akibatnya, mereka dapat mnegalami gangguan psikologis.
b. Avoidance of stimuli associated with the event.
Kondisi dimana klien akan selalu menghindar terhadap segala sesuatu yang dapat memicu
pengingatan terhadap trauma. Namun disayangkan mereka sering gagal melakukan hal ini
sehingga trauma mereka akan tetap berlanjut.
c. Mood and cognitive change after the trauma
Dimana terjadi perubahan mood dan kognitif sesudah trauma. Perubahan-perubahan ini
meliputi: emosi mereka menjadi negatif, sering menyalahkan diri sendiri, orang lain, atau
lingkungan, mengalami peniurunan semnagt terhadap aktivitas-aktivitas yang mereka
jalanai, mersa terasingkan dari lingkungan social, sulit membangun emosi positif atau hal-
hal penting terhadap peristiwa yang mengakibatkan trauma. \
d. Symptoms of Increased arousal and reactivity(peningkatan kewaspadaan).
Gejala dan tandanya adalah seperti tingkah laku yang agresif, identitas diri yang
sembrono/teledor, sulit tidur, sulit membangun konsentrasi, pkewaspadaan tinggi, tertekan,
melebih-lebihkan kejadian-kejadian yang mengagetkan.
2.9.2 Faktor Penyebab PTSD
Faktor penyebab PTSD dalam jurnal Predictors of Posttraumatic stress disorder and
symptoms in adults: A meta-analysis yaitu trauma sebelumnya, penyesuaian psikologis
sebelumnya, riwayat psikopatologi keluarga, ancaman hidup yang dirasakan selama trauma,
dukungan sosial posttrauma, respon emosional peritraumatic, dan disosiasi peritraumatic.
Penyebab utama PTSD adalah trauma, namun terdapat beberapa faktor lain yang
berkontribusi dalam pengembangan PTSD, yaitu :
a. Faktor lingkungan dan sosial
Dipengaruhi oleh tingkat keparahan, durasi, dan kedekatan trauma. Individu yang
mengalami langsung kejadian trauma yang sangat parah dan lama cenderung lebih mudah
mengembangkan PTSD. Selain itu, dukungan sosial juga dapat berpengaruh. Individu
yang mendapatkan dukungan emosional dari orang di sekitarnya untuk saling berbagi dan
bercerita mengenai perasaan dan pengalaman traumatik mereka dapat sembuh lebih cepat
dibanding dengan mereka yang tidak mendapatkan dukungan.
b. Faktor psikologis
Individu yang mengalami kejadian traumatik yang sama memiliki resiko PTSD. Namun
setidaknya terdapat tiga faktor psikologis yang dapat menjelaskan perbedaan respon
individu terhadap trauma. Pertama, bagi beberapa orang trauma dapat menghancurkan
asumsi dasar tertentu mengenai kehidupan, dan hal ini dapat berkontribusi terhadap
tekanan psikologis jangka panjang. Kedua, beberapa orang sudah merasa tertekan sebelum
trauma terjadi dan sangat beresiko tinggi terjadi PTSD. Ketiga, cara penanganan (coping
style) tertentu dapat meningkatkan kesempatan individu mengembangkan PTSD.
c. Faktor biologis
Hal ini yang menentukan bagaimana individu mengembangkan PTSD setelah mengalami
trauma. Di mana yang berperan dalam faktor ini adalah fungsi otak dan sistem biokimia
yang terlibat dalam respon stres, beberapa peneliti juga mengatakan faktor genetik juga
ikut berperan dalam kerentanan menderita PTSD.
2.9.3 Dampak dan Tipe Terapi Untuk Penderita PTSD
Penjelasan model dari mekanisme patofisiologi dari PTSD dimulai karena adanya kejadian
yang traumatis. Kejadian atau peristiwa tersebut menimbulkan ansietas yang akan menjadi
respon stres akut. Hal ini menyebabkan peningkatan 5-HT (5-Hidroksitriptamin) yang tajam
pada prefontral kosteks, nukleus accumbens (Nac), amigdala, dan hipotalamus lateral,
pengeluaran kortisol melalui hipotalamus pituitari, dan pengeluaran norepinephirine melalui
lokus ceruleus dengan takikardia, jantung yang berdebar, dan diaforesis (berkeringat).
Kejadian atau peristiwa traumatis juga memproses memori di hipocampus yang berhubungan
amigdala yang melalui sistem limbik dengan mengolah emosi untuk memori. Kemudian,
keterkaitan hipotalamus dengan amigdala melalui sistem limbik yang berdampak perubahan
nafsu makan dan gangguan tidur. Jika ada rangsangan pikiran, bau, atau pemicu peristiwa
traumatis lainnya akan menyebabkan pengingatan kembali peristiwa tersebut. Dalam
penangangan PTSD, pengobatan atau terapi yang tepat akan melibatkan faktor psikologis dan
biologis si klien. Terapi pengobatan PTSD, yaitu :
a. Psychopharmacotherapy
Sebuah tinjauan baru-baru ini pengobatan farmakologis PTSD, antara lain:
1. SSRI Antidepresan, merupakan pilihan utama terbaik dalam menangani PTSD. Ada 5
SSRI yang dapat digunakan : Zoloft (sertaline), Paxil (paroxetine), Prozac (fluoxetine),
Luvox (fluvoxamine), Mirtazapine, dan Celexa (citalopram).
2. Antipsikotik (Antiansietas), berguna untuk meredakan kecemasan parah yang
digunakan untuk jangka pendek, namun memiliki efek samping seperti sulit tidur atau
ledakan emosional. Salah satunya ialah Valium (Diazepam), Xanax (Alprazolam),
Klonopoin (Clonazepam) dan Ativan (Lorazepam).
3. Antidepresan lain. Berguna untuk membantu gejala depresi dan kecemasan namun
tidak efektif dikarenakan dapat menimbulkan efek samping. Salah satu jenis obat
antidepresan ini seperti Serzone (nefazone), dan Effexor (venlafazine).
4. Antidepresan Trisiklik, bukan merupakan pilihan utama karena memiliki banyak efek
samping jika dibandingkan dengan antidepresan lain. Contohnya imipramine, dan
amitriptyline (Evavil).
5. Prazosin, berguna untuk gejala termasuk insomnia atau mimpi buruk berulang.
Prazosin, yang digunakan selama bertahun - tahun dalam pengobatan hipertensi, dapat
menghambat respon otak untuk bahan kimia otak seperti adrenalin yang disebut
norepinefrin.
b. Psikoterapi
Panel Ahli Pengobatan PTSD (Foa, Davidson, & Frances, 1999) telah mengakui peran
superordinat bahwa psikoterapi awalnya bermain di terapeutik. Laporan ini mencatat
bahwa manajemen kecemasan, psikoedukasi, dan terapi kognitif tampaknya paling aman
dan paling dapat diterima dalam intervensi psikoterapi. Intervensi terapi kelompok juga
telah menunjukkan hasil yang signifikan oleh van der Kolk pada tahun 1987 (Everly &
Lating, 2002). Dasar pemikiran untuk menggunakan psikoterapi kelompok untuk PTSD
meliputi penyediaan dukungan sebaya, tempat aman untuk terapi, validasi konsensual, dan
minimalisasi regresi.
c. Terapi Neurokognitif
Everly (1994, 1995) telah mengusulkan bahwa formulasi perawatan strategis neurokognitif
untuk stres pasca trauma kemungkinan untuk membuktikan yang paling efektif dan jelas
yang paling teoritis suara ( Everly & Lating, 2002). Everly menunjukkan bahwa teknik
desensitisasi neurologis harus digunakan untuk mengatasi sensitivitas saraf stres pasca
trauma dan dikombinasikan dengan teknik yang membahas skema kognitif yang telah
terancam atau hancur karena peristiwa traumatis. Teknik untuk desensitisasi neurologis
mungkin termasuk meditasi, Yoga, latihan fisik, pijat, teknik relaksasi neuromuskular,
hipnosis, obat psikotropika, citra, dan sebagainya.
d. Eye Movement Desensitization an Reprocessing
EMDR adalah metode terapi berasal oleh Francine Shapiro pada tahun 1987 ( Everly &
Lating, 2002). Menurut Shapiro (1999), penting untuk mengakui bahwa EMDR adalah
bentuk terintegrasi terapi yang menggabungkan banyak aspek orientasi psikologis
tradisional dan menggunakan berbagai rangsangan bilateral selain gerakan mata ( Everly
& Lating, 2002).
2.9.4 Tindakan Keperawatan dalam Penanganan PTSD
Perawat juga dapat memberikan tindakan berupa mempromosikan keamanan pasien,
membantu klien mengatasi stress dan emosi, serta menolong klien meningkatkan harga diri
(Videbeck, 2011). Perawat dapat mempromosikan keamanan pasien untuk menjauhi
kemungkinan terburuk. Dalam kondisi stress berkepanjangan klien dapat berpikiran untuk
melakukan bunuh diri, maka perawat perlu menjaga lingkungan agar tetap aman. Perawat
juga dapat membantu klien untuk mengatasi stress dan emosi dengan memposisikan klien
untuk menghadapi ketakutannya, contohnya teknik grounding untuk klien PTSD akan
kegelapan. Harga diri klien juga perlu ditingkatkan dengan memandang klien sebagai orang
yang selamat (survivor) dibandingkan korban (victim). Pada intinya perawat harus mampu
mendorong klien mengatasi stresor yang ada disamping kemampuan yang ada dalam dirinya
melawan stresor tersebut (Wilkinson, 2005).
2.10 Konsep koping
2.10.1 Pengertian dan Pentingnya Koping
Menurut Nursalam (2007) dalam (Carlson, 1994) mekanisme koping adalah mekanisme
yang digunakan individu untuk menghadapi perubahan yang diterima. Apabila mekanisme
koping berhasil, maka orang tersebut akan dapat dipelajari, sejak awal timbulnya stresor
sehingga individu tersebut menyadari dampak dari stresor tersebut. Kemampuan koping
individu tergantung dari tempramen, persepsi, dan kognisi serta latar belakang budaya/norma
tempatnya. Sedangkan menurut kozier, (2004) dalam Lazarus, (2006) mekanisme koping
adalah cara alami atau belajar untuk menanggapi perubahan lingkungan atau masalah tertentu
atau situasi. Dalam kata lain koping adalah "upaya kognitif dan perilaku untuk mengelola
tuntutan eksternal dan/atau internal yang spesifik yang dinilai sebagai bobot atau kelebihan
dari sumber daya seseorang.
2.10.2 Metode Koping
Metode koping terbagi dua yaitu diantaranya Long-term coping strategy bisa konstruktif
dan realistis, mencangkup perubahan pola hidup, atau mengunakan problem solving dalam
memutuskaan pilihan. Sedangkan Short-term coping strategies bisa mengurangi stress
menjadi dalam limt yang bisa ditoleransi, namun tida efektif untuk mengatasi stress yang
berkpanjangan karena bersifat haya menyelesaikan stress pada suatu waktu tertentu. Bahkan
bisa menjadi destruktif ketika hal ini menjadi ketergantungan dengan penggunaan yang
berlebihan (Kozier, Erb, Snyder, Berman, 2015).
2.10.3 Strategi koping
Ada dua macam strategi koping menurut Lazarus (2000): (1) Problem-solving focused
coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian masalah untuk menghilangkan
kondisi atau situasi yang menimbulkan stress; (2) Emotion-focused coping, dimana individu
melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangaka menyesuaikan diri dengan
dampak yang akan di timbulkan suatu kondisi dari suatu tekanan (Kozier, Erb, Snyder,
Berman, 2015).
2.10.4 Sumber Koping
Sumber koping dari individu mengarah pada pengalaman individu, intelegensi,
kepercayaan, dan kebutuhan individu untuk mengatasi rasa khawatir yang dialami. Individu
mengambil peran penting dalam pengambilan keputusan strategi sampai sejauh mana usaha
yang akan dilakukan dalam mengatasi masalahnya, kepercayaan terhadap dirinya dapat
kembali pada kondisi sebelumnya ikut membantu individu mengambil keputusan. Dalam
sumber koping ini mengarah pada kemampuan dan keinginan individu untuk mengatasi
masalahnya (Potter & Perry, 2013).
Sumber koping dari lingkungan individu dipengaruhi oleh dorongan emosi dan motivasi
dari orang-orang yang dekat, budaya tempat dibesarkan individu, dan kondisi ekonomi saat
ini. Pada hakikatnya keluarga merupakan faktor pendukung paling kuat dalam mendukung
klien agar mampu beradaptasi. Keyakinan berupa spiritual yang mencakup esensi keberadaan
individu dan keyakinan tentang makna dan tujuan hidup merupakan bagian dari budaya juga
memengaruhi seseorang melakukan koping terhadap stress. Dorongan positif kepada individu
dari orang-orang disekitarnya dan budaya akan kebersamaan di lingkungan individu membuat
individu menjadi lebih tenang dan meningkatkan percaya diri dalam pengambilan strategi
koping kedepanya. Selain itu faktor ekonomi juga mempengaruhi pengambilan keputusan
individu seberapa lama strategi koping akan dilakukan (Potter & Perry, 2013)
2.10.5 Mekanisme Koping
Mekanisme koping juga dipandang sebagai mekanisme jangka panjang atau jangka
pendek. Mekanisme koping jangka panjang dapat berwujud konstruktif dan praktis. Dalam
situasi tertentu, berbicara dengan orang lain dan berusaha untuk mengetahui lebih lanjut
tentang situasi merupakan bagian dari strategi jangka panjang. Strategi jangka panjang
lainnya berupa perubahan pola gaya hidup seperti diet yang sehat, berolahraga secara teratur,
menyeimbangkan waktu luang dengan bekerja, atau menggunakan pemecahan dalam
membuat keputusan (Kozier, 2004).
Menurut Stuart (2013) mekanisme pertahan ego terdiri dari 17 (tujuh belas) macam, yaitu:
a. Represi, yaitu suatu cara pertahanan untuk menyingkirkan dari kesadaran pikiran dan
perasaan yang mengancam. Mekanisme represi secara tidak sadar menekan pikiran keluar
pikiran yang mengganggu, memalukan dan menyedihkan dirinya, dari alam sadar ke alam tak
sadar
b. Supresi, yaitu suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan tetapi
sebetulnya merupakan analog represi yang disadari; pengesampingan yang sengaja tentang
suatu bahan dari kesadaran seseorang; kadang-kadang dapat mengarah pada represi yang
berikutnya. Rasa tidak nyaman dirasakan tetapi ditekan
c. Penyangkalan (denial), dilakukan dengan cara melarikan diri dari kenyataan atau
kesibukan dengan hal-hal lain. Penghindaran penyangkalan aspek yang menyakitkan dari
kenyataan dengan menghilangkan data sensoris. Penyangkalan dapat digunakan dalam
keadaan normal maupun patologis.
d. Proyeksi, yaitu ketika impuls internal yang tidak dapat diterima dan yang dihasilkannya
akan dirasakan dan ditanggapi seakan-akan berasal dari luar diri. Pada tingkat psikotik, hal
ini mengambil bentuk waham yang jelas tentang kenyataan eksternal
e. Sublimasi, merupakan dorongan kehendak atau cita-cita yang yang tak dapat diterima oleh
norma-norma di masyarakat lalu disalurkan menjadi bentuk lain yang lebih dapat diterima
bahkan ada yang mengagumi
f. Reaksi formasi atau penyusunan reaksi mencegah keinginan yang berbahaya baik yang
diekspresikan dengan cara melebih-lebihkan sikap dan prilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan untuk dilakukannya
g. Introyeksi, terjadi bila seseorang menerima dan memasukkan ke dalam penderitannya
berbagai aspek keadaan yang akan mengancamnya
h. Pengelakan atau salah pindah, terjadi apabila kebencian terhadap seseorang dicurahkan
atau “dielakkan” kepada orang atau obyek lain yang kurang membahayakan
i. Rasionalisasi, merupakan upaya untuk membuktikan bahwa prilakunya itu masuk akal
(rasional) dan dapat disetujui oleh dirinya sendiri dan masyarakat
j. Simbolisasi, merupakan suatu mekanisme apabila suatu ide atau obyek digunakan untuk
mewakili ide atau obyek lain, sehingga sering dinyatakan bahwa simbolisme merupakan
bahasa dari alam tak sadar
k. Konversi, merupakan proses psikologi dimana suatu konflik yang berakibat penderitaan
afek akan dikonversikan menjadi terhambatannya fungsi motorik atau sensorik dalam
upayanya menetralisasikan pelepasan afek
l. Identifikasi, upaya untuk menambah rasa percaya diri dengan menyamakan diri dengan
orang lain atau institusi yang mempunyai nama
m. Regresi, upaya untuk mundur ke tingkat perkembangan yang lebih rendah dengan respons
yang kurang matang dan biasanya dengan aspirasi yang kurang
n. Kompensasi, menutupi kelemahan dengan menonjolkan sifat yang diinginkan atau
pemuasan secara frustasi dalam bidang lain
o. Pelepasan (Undoing), upaya untuk menebus sehingga dengan demikian meniadakan
keinginan atau tindakan yang tidak bermoral
p. Penyekatan Emosional (Emotional Insulation), terjadi apabila seseorang mempunyai
tingkat keterlibatan emosionalnya dalam keadaan yang dapat menimbulkan kekecewaan atau
yang menyakitkan
q. Isolasi (Intelektualisasi dan disosiasi) merupakan bentuk penyekatan emosional.
Misalnya bila orang yang kematian keluarganya maka kesedihan akan dikurangi dengan
mengatakan “sudah nasibnya” atau “sekarang sudah tidak menderita lagi” dan sambil
tersenyum.
2.10.6 Kaitan Koping dan Mekanisme Pertahanan Diri
Alasan kenapa seseorang bisa sampai membutuhkan koping adalah karena mereka
memiliki meknisme pertahanan terhadap stress. Pada dasarnya mekanisme pertahanan diri
terjadi tanpa disadari dan bersifat membohongi diri sendiri terhadap realita yang ada, baik
realita yang ada diluar (fakta atau kebenaran) maupun realita yang ada di dalam (dorongan
atau impuls atau nafsu). Mekanisme pertahanan bersifat menyaring realita yang ada sehingga
individu bersangkutan tidak bisa memahami hakekat dari keseluruhan realita yang ada. Ini
membuat sebagian besar ahli menyatakan koping jenis mekanisme pertahanan diri merupakan
yang tidak sehat kecuali sublimasi.
Koping dan mekanisme pertahanan mempunyai aspek yang berkaitan, dimana keduanya
sama-sama muncul karena situasi yang melibatkan ketidakseimbangan psikologis. Koping
ditujukan untuk: (1) menurunkan pengaruh negatif, (2)mengembalikan fungsi dengan segera,
dan (3) memecahkan atau mengelola masalah (Aldwin, Sutton, & Lackman, 1996 dalam
Cramer, 2006). Sementara mekasnisme pertahanan berkaitan dengan tujuan ke-(1) dan ke-
(2), mekanisme pertahanan berfungsi untuk melawan kecemasan berlebihan atau pengaruh
negative lainnya, sehingga dapat mengembalikan fungsi semula.
2.10.7 Aspek Sosial-Budaya yang Mempengaruhi Koping dan Diagnosa Keperawatan
Terkait Adaptasi
Faktor sosial budaya dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam membangun dan
menciptakan hubungan dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Sebagai contoh,
anak yang sudah tumbuh dan berkembang menjadi dewasa akan mengalami perpisahan
dengan keluarganya akibat pekerjaan yang berpindah-pindah atau faktor lainnya, sehingga
menyebabkan individu tersebut tidak terlalu dekat dengan keluarganya, namun cenderung
lebih dekat dengan teman sejawatnya. Contoh lainnya, yaitu seorang individu yang
dikucilkan dari lingkungan sekitarnya akibat penyakit HIV, sehingga terjadi perubahan
konsep diri pada individu tersebut (American Psychiatric Association, 2000).
Kepribadian merupakan bentuk pemikiran, perasaan, dan cara bertingkah laku seorang
individu. Kepribadian terdiri atas temperamen, yang didapatkan dengan diturunkan, dan
karakter yang didapat dengan dipelajari. Kepribadian dipengaruhi oleh faktor biologi (seperti
keturunan), faktor perkembangan (seperti emosional dan psikis), dan faktor sosial-budaya.
Seiring pertumbuhan dan perkembangan, individu akan mengalami permasalahan-
permasalahan yang dapat mempengaruhi kepribadian dan cara pandang individu terhadap
sesuatu (Stuart, 2013). Adapun beberapa diagnosis keperawatan terkait respon sosial
maladaptif, menurut Moorhead, S, et al.(2008) diantaranya:
a. Defensive coping
b. Chronic self-esteem
c. Risk for self mutilation
d. Impaired social interaction
e. Risk for self-directed violence
f. Risk for other-directed violence
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Stres merupakan reaksi psikologis tubuh terhadap stressor yang menimbulkan perubahan.
Stres dapat bersumber dari aspek fisiologis, psikologis, kognitif, lingkungan, dan sosial-
budaya. Stres terbagi menjadi dua jenis yaitu eustres berupa energi positif dan distres yang
meliputi stress kronis dan stress akut. Penilaian individu terhadap suatu hal yang dianggap
sebagai sumber stress dipengaruhi oleh faktor individu dan situasi. Respon stres ditandai oleh
pola kejadian fisiologis yang disebut sindrom adaptasi umum (GAS) dan reaksi tubuh secara
lokal yang disebut sindrom adaptasi lokal (LAS).
Model teoritical stress terbagi menjadi empat jenis yaitu model berbasis stimulus, model
berbasis respons, model berbasis transaksi dan model berbasis interaksional. Stres yang
berlangsung lama dapat menyebabkan terjadi gangguan fisiologis berupa penyakit
kardiovaskuler, pencernaan, defisiensi imun, kanker dan gangguan psikologis. Tiap individu
memiliki neurotransmitter yang terdiri dari dopamin, norepinefrin, serotonin, histamin,
asetilkolin, dan asam gama-aminobutirat. Cara mengatasi stress dapat dilakukan melalui
psikofarmakologi menggunakan antipsikotik, antidepresan, mood-stabilizing, antiansietas,
stimulants dan disulfiram.
Sekelompok individu dengan gangguan kejiwaan dapat diberikan terapi psikologis berupa
terapi aktivitas kelompok (TAK) dan terapi kelompok. Terapi aktivitas kelompok terbagi
menjadi 4 macam yaitu TAK stimulasi koginitif/persepsi, TAK stimulasi sensori, TAK
stimulasi realita dan TAK sosialisasi. Penatalaksanaan TAK dapat dilakukan melalui kegiatan
seperti membaca puisi, mempelajari seni, bermain musik, menari dan menggambar. Individu
dengan gangguan psikologis akibat kejadian buruk yang dialami dan tidak mampu
menghilangkan kejadian buruk tersebut dari ingatannya berisiko lebih tinggi terserang PTSD
(Post Traumatic Syndrom Disorder).
PTSD dapat diatasi melalui terapi pengobatan meliputi psychopharmacotherapy,
psikoterapi, terapi neurokognitif dan eye movement desensitization an
reprocessing. Pengobatan farmakologis bagi penderita PTSD yaitu SSRI antidepresan,
antipsikotik, antidepresan lain, antidepresan trisiklik dan prazosin. Selain pengobatan,
perawat perlu mendorong klien untuk mengatasi stressor dengan kemampuan dirinya melalui
mekanisme koping berupa pembelajaran dalam menanggapi perubahan lingkungan, masalah
atau situasi tertentu.
3.2 Saran
Para penulis telah membuat makalah mengenai gangguan mobilisasi dengan sangat baik,
hanya saja perlu ditingkatkan penggunaan kalimat yang benar sesuai dengan aturan bahasa
Indonesia. Para penulis pun perlu lebih teliti kembali dalam hal pengejaan huruf pada setiap
kata yang ditulis dalam makalah. Selain itu, para penulis dapat meningkatkan referensi yang
digunakan dan menggunakan referensi terbaru.
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental


disorder. Ed 4. Washington, DC: The Association.
Cotton, D. H. (2013). Stress Management: An Integrated Approach to Therapy. New
York: Brunner/Mazel, Inc.
Davey, P. (2005). At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Davies, T., & Craig, T. (2009). ABC of mental health.London: Blackwell Publishing Ltd.
Doenges, E., Townsend, M., & Moorhouse, M. (2007). Rencana Asuhan Keperawatan
Psikiatri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
NIMH. (2008). Post Traumatic Stress Disorder. 27 September 2016.
http://www.nimh.nih.gov
Nursalam., Kurniawati, N. D. (2007). Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi
hiv/aids.Jakarta: Salemba Medika.
Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P. A., & Hall, A. M. (2013). Fundamentals of
nursing: Concepts, Process, and Practice 8th Ed. St. Louis, MI: Elsevier Mosby Inc.
RSJ GRHASIA. (2014). Sasaran keselamatan pasien rumah sakit. Retrieved from
http://grhasia.jogjaprov.go.id/index.php/artikel/umum/80-sasaran-keselamatan-pasien-
rumah-sakit.
Seaward, B. L. (2014). Essentials of Managing Stress.Burlington: John & Bartlett
Learning.

Anda mungkin juga menyukai