Anda di halaman 1dari 37

Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

Program Pendidikan Dokter Universitas Mulawarman


RSUD A.W.Sjahranie Samarinda

ASMA BRONKIAL

Disusun Oleh:

Herman Yusuf A 1910027013

Pembimbing:
dr. Hj.Sukartini, Sp.A

Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK UNMUL
Samarinda
2019
Tutorial Klinik

ASMA BRONKIAL

Sebagai salah satu syarat untukmengikuti ujian stase Ilmu Kesehatan Anak

Herman Yusuf A 1910027013

Menyetujui,

dr. Hj. Sukartini, Sp. A

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
OKTOBER 2019

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena hanya
berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Tutorial dengan judul “Asma Bronkial”. Dalam kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada
berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan hingga
terselesaikannya tutorial kasus ini, diantaranya:
1. dr. Hj. Sukartini Sp.A, selaku dosen Pembimbing yang dengan sabar
memberikan arahan, motivasi, saran dan solusi yang sangat berharga dalam
penyusunan laporan kasus ini dan juga yang selalu bersedia meluangkan waktu
untuk memberikan bimbingan, saran, dan solusi selama penulis menjalani
dokter muda di lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak.
2. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak, terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan
kepada kami.
3. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
UNMUL dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun
tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang.
Terakhir, semoga tutorial kasus yang sederhana ini dapat membawa berkah dan
memberikan manfaat bagi seluruh pihak serta turut berperan demi kemajuan ilmu
pengetahuan.
Samarinda, 24 Desember 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 1


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 1
BAB 1 ..................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2. Tujuan .......................................................................................................... 1
BAB 2 ..................................................................................................................... 1
KASUS.................................................................................................................... 1
BAB 3 ..................................................................................................................... 8
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 8
3.1 Papiloma Laring ...................................... Error! Bookmark not defined.
3.1.1 Definisi ............................................. Error! Bookmark not defined.
3.1.2 Epidemiologi .................................... Error! Bookmark not defined.
3.1.3 Etiologi ............................................. Error! Bookmark not defined.
3.1.4 Patofisiologi ..................................... Error! Bookmark not defined.
3.1.5 Gejala Klinis..................................... Error! Bookmark not defined.
3.1.7 Penatalaksanaan ............................... Error! Bookmark not defined.
3.1.8 Komplikasi ....................................... Error! Bookmark not defined.
3.1.9 Prognosis .......................................... Error! Bookmark not defined.
3.2 Asma Bronkial .............................................................................................. 8
3.2.1. Definisi .................................................................................................. 8
3.2.2. Patofisiologi .......................................................................................... 8
3.2.3. Faktor Risiko Asma............................................................................... 9
3.2.4. Klasifikasi Asma ................................................................................. 11
3.2.5. Tanda dan Gejala................................................................................ 12
3.2.6. Diagnosis ............................................................................................. 13
3.1.7 Penatalaksanaan .............................................................................. 17
PEMBAHASAN ................................................................................................... 23
BAB 5 ................................................................................................................... 28
PENUTUP ............................................................................................................. 28
5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 28

1
5.2 Saran ................................................................. Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 29

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


asma merupakan penyakit inflamasi dari saluran pernafasan yang melibatkan
inflamasi pada saluran pernafasan dan mengganggu aliran udara, dan dialami oleh 22
juta warga Amerika. Inflamasi saluran nafas pada asma meliputi interaksi komplek
dari sel, mediator-mediator, sitokin, dan kemokin. Inflamasi kronik menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan
atau dini hari. Episode tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
(Mangunegoro et al., 2004).
Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan
kematian. Hal tersebut tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) diberbagai propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki
urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis
kronik dan empisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan empisema
sebagai penyebab kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun
1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000 dibandingkan bronkitis
kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000 (Mangunegoro et al., 2004).

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan tutorial ini adalah:
1. Menambah ilmu pengetahuan mengenai kasus asma bronkial.
2. Mengkaji ketepatan penegakkan diagnosis dan tatalaksana asma bronkial.

1
BAB 2
KASUS

Pasien masuk RS pada tanggal 03 Desember 2019 melalui IGD RSUD


A.W. Sjahranie Samarinda dan dirawat bersama dengan dokter Spesialis Anak
sejak tanggal 03 Desember 2019.

Identitas
Nama : An. S
Usia : 5 tahun 8bulan
Jenis Kelamin : perempuan
Berat Badan : 17 Kg
Tinggi Badan : 110 cm
Anak ke : Pertama dari dua bersaudara
Agama : Islam
Alamat : Jl. Padat karya samarinda

Nama Ayah : Tn. S


Usia : 52tahun
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Swasta

Nama Ibu : Ny. Y


Usia : 38 Tahun
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : IRT
Masuk Ruang Melati tanggal 03 Desember 2019 Pukul 21.30 WITA

1
Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 6 desember 2019 pukul 13.30 WITA, di
ruang melati RSUD AW. Sjahranie Samarinda. Alloanamnesis oleh ibu kandung
pasien.
Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengalami sesak napas sejak 1 bulan sebelum SMRS, tapi sesak
yang paling berat dirasakan 1 hari SMRS. Orang tua pasien mengaku anaknya
sesak apabila habis beraktivitas berat seperti berolahraga, orang tua pasien juga
mengatakan ada sesak saat malam hari. Selain sesak, pasien juga mengeluhkan
batuk pilek dan juga demam. Batuk pilek sudah dirasakan sejak 3 hari SMRS,
demam baru dirasakan sejak 1 hari SMRS. Saat sesak orang tua membawa
anaknya ke puskesmas dan di puskesmas sudah diberi nebulizer sebanyak 3 kali
tapi tidak membaik dan akhirnya di rujuk ke RSUD AW. Sjahranie samarinda.
Pada saat di IGD RSUD AW. Sjahranie di berikan nebulizer sebanyak 2 kali dan
akhirnya sesak mulai menurun. Kemudian di pindahkan keruangan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat penyakit asma sejak usia 1,5 tahun dan tidak
memiliki kontroler.
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien.
Riwayat asma hanya pada kakek buyut pasien.
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Berat badan lahir : 3100 gram
Panjang badan lahir : 50 cm
Berat badan sekarang : 17 kg
Tinggi badan sekarang : 110cm
Gigi keluar : ibu lupa
Tersenyum : ibu lupa
Miring : ibu lupa
Tengkurap : ibu lupa

2
Duduk : ibu lupa
Merangkak : ibu lupa
Berdiri : ibu lupa
Berjalan : ibu lupa
Berbicara :-
Pemeriksaan Prenatal
Periksa di : Bidan
Penyakit kehamilan :-

Riwayat Kelahiran
Lahir di : Klinik Bidan
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : aterm
Jenis partus : Spontan pevaginam
Riwayat kelahiran :Pasien lahir di RSUD AWS
Samarinda, ditolong oleh dokter kandungan. Ibu pasien mengandung
pada saat usia 32 tahun.
Pemeliharaan Postnatal
Periksa di : Puskesmas, Posyandu
Keadaan anak : Sehat
Keluarga Berencana
Keluarga Berencana :Tidak
Memakai sistem :-
Sikap dan kepercayaan :-
Jadwal Imunisasi
Usia saat imunisasi
Imunisasi
I II III IV Booster I Booster II
BCG V //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
Polio V V V V V V
Campak V //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
DPT V V V //////////// V V
Hepatitis B V V V ////////// V V

3
Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 06 desember 2019 pukul 13.30 WITA.
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 17 kg
Panjang Badan : 110 cm
Tanda Vital : Nadi 108x/menit, regular, kuat angkat
Pernafasan 28 x/menit
Temperatur axilla 36o C
TD : 110/70
Status Gizi : BB/U : 25th percentile (gizi baik)
TB/U : 25th percentile (normal)
BB/TB : 10th percentile (gizi normal)

Kepala/leher
Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-
), pupil isokor diameter 3mm/3mm, reflex
cahaya (+/+).
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping
hidung (-)
Mulut : Mukosa bibir tampak basah, sianosis (-),
perdarahan (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax
Paru Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris,
retraksi ICS (-)
Palpasi : fremitus raba D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing
(+/+)

4
Jantung Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Soefl (+), nyeri tekan (-), organomegali (-),
turgor kembali cepat
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, pucat (-/-), edema (-/-)
Ekstremitas inferior : Akral hangat, pucat (-/-), edema (-/-)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
 Darah Lengkap

Hasil Pemeriksaan 03 Desember 2019 Normal

Leukosit 27,380 g/uL 6,00-17,00 g/uL

Hb 12,8 g/dL 11,5 – 13,5 g/dL

HCT 39,4% 34,0 – 40,0 %

Trombosit 403.000 / mm3 150.000-


450.000/mm3

 Immuno-Serologi
Pemeriksaan 4 Desember 2019 Nilai Normal
CRP 24.0 mg/l <6.0

Diagnosis Kerja
Asma bronkial derajat sedang

5
Penatalaksanaan
Co. dr. Sp.A :
 IVFD D5 ½ NS 1300mL/24 jam
 Inj Cefotaxime 3x250 mg
 Inj Dexamethasone 3x3mg
 CTM 3x1,2mg
 Salbutamol 3x1,2mg
 NAC 3x150mg
 Cetirizine 1x ½ cth
 Combivent /4-6j

Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi

4 Desember 2019 S: P:
Sesak napas berkurang,  IVFD D5 ½ NS 1350
batuk pilek (+), demam (-) mL/24 jam
O:  Cefotaxime 2x 750
KU sedang, GCS E4V5M6 mg
RR :28x/menit, N : 86  Citirizin 3x 2,5mg
x/menit, T:36,2 C, TD  CTM 1,75 +
110/70 Salbutamol 1,7 mg +
Thoraks: Rh (-/-), Wh NAC 120 mg > pulv
(+/+) 3x 1
A:  Fulmicort 0,5 cc +
Asma bronchial Ventolin 1,7cc + Nacl
Dyspneu 0,9% 0,5cc >
Nebulizer

5 Desember 2019 S:  Terapi Lanjut


Sesak napas berkurang,
batuk pilek (+), demam (-)
O:

6
KU : sedang, GCS
E4V5M6, kesadaran :
Komposmentis
N: 112x/menit, RR:
26x/menit, T : 36 C, TD
110/70
Rh (-/-), Wh (+/+)
A:
Asma bronchial
6 Desember 2019 S:  CTM 1,75
Sesak napas (-),batuk  salbutamol 1,7 mg +
pilek (+), demam (-) NAC 120 mg +
O: Dexametasone 1,7mg
KU : sedang, GCS > pulv 3x1
E4V5M6, kesadaran :  Fulmicort 0,5 cc +
Komposmentis Ventolin 1,7cc + Nacl
N: 108x/menit, RR: 0,9% 0,5cc >
28x/menit, T : 36,1oC, TD Nebulizer
105/70
Rh (-/-), Wh (+/+)
A:
Asma bronchial

7
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1Asma Bronkial
3.1.1.Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas dimana banyak sel
berperan terutama sel mast, eosinofil, limposit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel (Slamet Hariadiet al., 2010). Asma merupakan sebuah penyakit kronik
saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi
yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran napas
sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas
(breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk
(cough) terutama pada malam atau dini hari. (PDPI, 2006; GINA, 2006).
Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu
yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan
menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang
bervariasi derajatnya.
3.1.2. Patofisiologi
Asma merupakan obstruksi jalan napas yang reversibel. Obstruksi tersebut
dapat disebabkan oleh faktor berikut, seperti penyempitan jalan napas;
pembengkakan membran pada bronkus; pengisian bronkus dengan mucus kental.
Beberapa penderita mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan
mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) menyerang sel-sel mast dalam paru yang
menyebabkan pelepasan sel-sel mast, seperti histamin dan prostaglandin.
Pelepasan ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme,
pembengkakan membran mukosa, pembentukan mukus berlebihan (Smeltzer &
Bare, 2006).
Penderita asma idiopatik atau nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan napas
dirangsang oleh beberapa faktor, seperti udara dingin, emosi, olahraga, merokok,
polusi dan infeksi sehingga jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.
Peningkatan asetilkolin ini secara langsung bisa menimbulkan bronkokonstriksi.
Penderita dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis
(Smeltzer & Bare, 2006).
8
3.1.3. Faktor Risiko Asma
Beberapa faktor risiko timbulnya asma bronkial telah diketahui secara pasti,
antara lain: jenis kelamin, usia, riwayat atopi, lingkungan, ras, asap rokok, polusi
udara, dan infeksi respiratorik. Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam
dua kelompok besar, faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya atau
berkembangnya asma dan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya
eksaserbasi atau serangan asma yang disebut trigger faktor atau faktor pencetus
(GINA,2006).
a. Jenis kelamin
Prevalensi asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5-2
kali lipat anak perempuan. Namun, di benua Amerika dilaporkan bahwa
belakangan ini tidak ada perbedaan prevalensi asma antara anak laki-laki
dan perempuan. Sekarang rasio ini berubah menjadi sebanding antara
laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun (IDAI, 2013).
b. Usia
Umumnya asma persisten terjadi pada usia muda yaknipada beberapa
tahun usia pertama kehidupan. Dari Melbourne dilaporkan bahwa 25%
anak dengan asma persisten mendapat serangan mengi mulai dari usia<6
bulan dan 75% mendapat serangan mengi pertama pada usia <3 tahun.
Hanya 5% anak dengan asma persisten terbebas dari gejala asma pada
usia 28-35 tahun, 60% diantaranya masih menunjukkan gejala sama
dengan saat masa kanak-kanak dan sisanya mendapat serangan yang
lebih ringan daripada masa kanak (IDAI, 2013).
c. Riwayat atopi
Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten
dan beratnya asma. Menurut laporan dari Inggris, pada anak usia 16
tahun dengan riwayat asma/mengi, akan terjadi serangan mengi dua kali
lipat lebih banyak jika anak pernah mengalami hay fever, rhinitis alergi,
atau eksema. Beberapa laporan menunjukkan bahwa sensitisasi alergi
terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun pertama
kehidupan merupakan prediktor utama timbulnya asma (IDAI,2013).
d. Lingkungan

9
Adanya alergen di lingkungan hidup anak meningkatkan risiko penyakit
asma. Alergen yang paling sering mencetuskan penyakit asma antara
lain adalah serpihan kulit, binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur,
dan kecoa (IDAI, 2013).
e. Ras
Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalensi
asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi
daripada kulit putih. Selain prevalens, kematian anak akibat asma pada
ras kulit hitam juga lebih tinggi yaitu 3,34 per 1000 berbanding 0,65 per
1000 pada anak kulit putih (IDAI, 2013).
f. Asap rokok
Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada
yang tidak terpajan asap rokok. Risiko terhadap asap rokok sudah
dimulai sejak dalam kandungan, umumnya berlangsung terus menerus
setelah anak dilahirkan, dan menyebabkan meningkatnya risiko.Pada
anak yang terpajan asap rokok, kejadian eksaserbasi lebih tinggi dan
umumnya faal parunya lebih buruk daripada yang tidak terpajan (IDAI,
2013).
g. Outdoor air pollution
Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat dioksida,
karbon monoksida diduga berperan dalam kejadian asma, tetapi belum
didapatkan bukti yang disepakati. Secara teoritis diduga bahwa adanya
pajanan terhadap endotoksin sebagai komponen bakteri dalam jumlah
banyak dan waktu yang dini mengakibatkan sistem imun anak
terangsang melalui jejak T helper 1, saat ini teori tersebut dikenal
sebagai hygiene hypothesis (IDAI, 2013).
h. Infeksi respiratorik
Beberapa penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan terbalik
antara atopi dengan infeksi respiratorik. Namun, hal ini tidak berlaku
pada infeksi yang disebabkan oleh respiratory syncytial virus (RSV) di
usia dini yang mengakibatkan infeksi saluran pernapasan bawah. Infeksi
RSV merupakan faktor risiko yang bermakna untuk terjadinya mengi di

10
usia 6 tahun. Infeksi virus berulang yang tidak menyebabkan infeksi
respiratorik bawah dapat memberikan anak proteksi terhadap asma
(IDAI, 2013).

3.1.4. Klasifikasi Asma


1. Berdasarkan umur
 Asma bayi-baduta (bayi dua tahun)
 Asma balita (bawah lima tahun)
 Asma usia sekolah (5-11 tahun)
 Asma remaja (12-17 tahun)
2. Berdasarkan fenotip
Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan
yang serupa dalam aspek klinis, patofisiologis, atau demografis.
 Asma tercetus infeksi virus
 Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
 Asma tercetus alergen
 Asma terkait obesitas
 Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)
3. Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala
Klasifikasi ini dibuat pada saat kunjungan-kunjungan awal dan dibuat
berdasarkan anamnesis :
Tabel 1. Asma berdasarkan derajat kekerapannya
Derajat Asma Uraian Kekerapan Gejala Asma
Intermiten Episode gejala asma <6x/tahun atau
jarak gejala ≥6 minggu
Persisten ringan Episode gejala asma >1x/bulan,
<1x/minggu
Persisten sedang Episode gejala asma >1x/minggu,
namun tidak setiap hari
Persisten berat Episode gejala asma terjadi hamper
setiap hari

11
4. Berdasarkan derajat beratnya serangan
Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode
gejala akut yang memberat dengan progresif yang disebut serangan asma.
 Asma serangan ringan-sedang
 Asma serangan berat
 Serangan asma dengan ancaman henti napas
5. Berdasarkan derajat kendali
Tujuan utama tatalaksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma
terkendali adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat
pengendali dan kualitas hidup pasien baik.
 Asma terkendali penuh (well controlled)
- Tanpa obat pengendali : pada asma intermiten
- Dengan obat pengendali : pada asma persisten
ringan/sedang/berat
 Asma terkendali sebagian (partly controlled)
 Asma tidak terkendali (uncontrolled)
Tabel 2. Derajat asma berdasarkan derajat kendali

(PP IDAI, 2016)

3.1.5. Tanda dan Gejala

12
Kejadian utama pada serangan asma adalah obstruksi jalan napas secara luas
yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edema mukosa
karena sumbatan mukus. Tanda serangan asma yang dapat kita ketahui adalah
napas cepat, merasa cemas dan ketakutan, tak sanggup bicara lebih dari 1-2 kata
setiap kali tarik napas, dada dan leher tampak mencekung bila tarik napas, bersin-
bersin, hidung mampat atau hidung ngocor, gatal-gatal tenggorokan, susah tidur,
turunnya toleransi tubuh terhadap aktivitas (Iwan Hadibroto, 2010)
Tiga gejala yang sering muncul pada asma adalah sesak napas, napas bunyi/
wheezing, batuk-batuk terutama malam hari. Tingkat keparahan serangan asma
tergantung pada tingkat obstruksi saluran napas, kadar saturasi oksigen,
pembawaan pola napas, perubahan status mental, dan bagaimana tanggapan
penderita terhadap status pernapasannya (Smeltzer & Bare, 2006).

3.1.6. Diagnosis
Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis medis
yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis memegang peranan sangat penting mengingat diagnosis asma pada
anak sebagian besar ditegakkan secara kinis (Rahajoe, Kartasasmita, Supriyatno,
& Setyanto, 2016).

 Anamnesis
Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang
diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejalarespi ratori asma berupa
kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi
sputum. Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB) dapat menjadi
petunjuk awal untuk membantu diagnosis Asma. Gejala dengan karakteristik yang
khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Karakteristik yang mengarah
ke asma adalah (PP IDAI, 2016) :
- Gejala timbul secara episodik atau berulang.
- Timbul bila ada faktor pencetus.
o Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu
dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa,
pengawet makanan, pewarna makanan.
13
o Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
o Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold,
rinofaringitis
o Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa!
berlebihan.
- Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
- Variabilitas,yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan
dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
- Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan
pemberian obat pereda asma.

 Pemeriksaan fisik
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien biasanya
tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak,
dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau
yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu,perlu dicari gejala alergilain pada
pasien seperti dermatitis atopi atau rhinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda
alergi seperti allergic shiners atau geographictongue (PP IDAI, 2016).
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas
akibat obstruksi, hiper reaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya
atopi pada pasien.
 Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk
menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan
dengan peak flowmeter.
 Uji cukit kulit (skin prick test), eosinophil total darah, pemeriksaan IgE
spesifik.
 Uji inflamasi saluran respiratori : FeNO (fractional exhaled nitric oxide),
eosinophil sputum.
 Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin
hipertonik.

14
Tabel 3. Kriteria diagnosis asma

(PP IDAI, 2016)

15
Alur diagnosis

Alur diagnosis asma pada anak (IDAI, 2013)

16
3.1.7 Penatalaksanaan

3.1.7.1 Penatalaksanaan asma ringan sedang


Pada pasien yang memenuhi kriteria gejala klinis untuk serangan asma
ringan sedang, sbagai tindakan awal pasien diberikan agonis β2 kerja pendek
lewat nebulisasi atau MDI dengan spacer, yang dapat diulang hingga 2 kali dalam
1 jam, dengan pertimbangan untuk menambahkan ipratropium bromide pada

17
nebulisasi ketiga. Pasien diobservasi, jika tetap baik pasien dapat dipulangkan.
Walaupun mungkin tidak diperlukan, tetapi untuk persiapan keadaan darurat,
sejak di UGD pasien yang di observasi sebaiknya langsung dipasangkan jalur
parenteral.
Pasien dibekali dengan obat agonis β2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-
6 jam. Inhalasi bronkodilator diberikan dalam bentuk MDI dengan spacer atau
nebulisasi yang sama keefektifannya. Penambahan ipratropium bromide selain
agonis β2 dapat diberikan apabila pasien dapat diedukasi untuk menggunakan
kombinasi terebut pada serangan yang lebih berat. Pada serangan asma ringan
sedang diberikan steroid sistemik (oral) berupa prednisone atau prednisolon
dengan dosis 1-2mg/kgBB/hari selama 3-5 hari, tanpa tapering off, maksimal
pemberian 1 kali dalam 1 bulan. Pemberian steroid ini harus dilakukan dengan
cermat untuk mencegah pengulangan lebih dari 1 kali per bulan dan pada saat
penulisan resep tambahkan keterangan ‘do not iter’. Pasien kemudian di anjurkan
untuk kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 3-5 hari untuk di reevaluasi
tatalaksananya. Selain itu jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat
pengendali, obat pengendali dilanjutkan.

3.1.7.2 Penatalaksanaan Serangan asma berat


Pasien dengan gejala dan tanda klinis yang memenuhi kriteria serangan
asma berat harus dirawat di ruang rawat inap. Nebulisasi yang diberikan pertama
kali adalah agonis β2 dengan penambahan ipratropium bromida. Oksigen 2-4 liter
per menit diberikan sejak awal termasuk pada saat nebulisasi. Pasang jalur
parenteral pada pasien dan lakukan pemeriksaan rontgen toraks. Steroid sebaiknya
diberikan secara parenteral.
Apabila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus
langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pemeriksaan rontgen toraks dilakukan
untuk mendeteksi adanya komplikasi pneumotoraks dan/ atau
pneumomediastinum.

18
3.1.7.2 Terapi medikamentosa
A. Steroid inhalasi

Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan


penting dalam tatalaksana asma jangka panjang. Steroid inhalasi merupakan obat
pengendali asma yang paling efektif. Pemberian steroid inhalasi setara dosis
budesonid 100-200 µg per hari dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan
memperbaiki fungsi paru pada pasien asma. Beberapa pasien asma memerlukan
dosis steroid inhalasi 400 µg per hari untuk mengendalikan asma dan mencegah
timbulnya serangan asma setelah berolahraga. Pada anak yang berusia di atas 5
tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka
kekambuhan, mengurangi risiko masuk rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup,
memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan serangan asma akibat berolahraga.
Steroid inhalasi atau sistemik tidak digunakan untuk asma intermiten dan
wheezing akibat infeksi virus.

Steroid inhalasi sebagai obat pengendali asma tidak memengaruhi tinggi


badan dan densitas tulang. Kandidiasis oral dan suara parau sebagai efek samping
dapat dicegah dengan cara berkumur setiap selesai pemberian steroid inhalasi lalu
membuang air bekas kumur tersebut. Pada anak asma yang mendapatkan steroid
inhalasi perlu dipantau pertumbuhan (persentil tinggi badan dan berat badan)
setiap tahun.

19
Steroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali
ciclesonide yang diberikan sekali sehari. Ciclesonide merupakan preparat steroid
inhalasi yang baru, efek sistemik minimal dan deposisi obat di orofaring lebih
sedikit disbanding preparat steroid inhalasi yang lain. Efikasi dan keamanannya
disbanding preparat yang lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut

B. Agonis β2 kerja panjang ( Long acting β2-agonist, LABA)

Sebagai pendendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak digunakan tunggal


melainkan selalu bersama steroid inhalasi. Kombinasi agonis β2 kerja panjang
dengan steroid terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka
kekambuhan asma. Preparat kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang pada anak
asma yang berusia di atas 5 tahun, diberikan bila steroid inhalasi dosis rendah
tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi steroid-agonis β2 kerja
panjang dalam satu kemasan memberikan hasil pengobatan yang lebih baik
dibandingkan steroid inhalasi dan agonis β2 kerja panjang dalam sediaan terpisah.

20
Penelitian penggunaan kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang pada anak
balita masih terbatas.

Kombinasi agonis β2 kerja panjang- steroid inhalasi juga dapat digunakan


untuk mencegah spasme bronkus yang dipicu olahraga dan mampu memproteksi
lebih lama dibandingkan agonis β2 inhalasi kerja pendek. Formoterol memiliki
awitan kerja yang cepat sehingga walaupuun formoterol merupakan agonis β2
kerja panjang, namun dapat berfungsi sebagai obat pereda.

C. Antileukotrien

Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl- leukotrien 1


(CysLT1) seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, serta inhibitor 5-
lipoxygenase seperti zileuton. Studi klinik menunjukkan antileukotrien memiliki
efek bronkodilatasi kecil dan bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk,
memperbaiki fungsi paru, dan mengurangi inflamasi jalan napas dan mengurangi
eksaserbasi.

Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak


lebih unggul disbanding steroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat pengendali
tunggal, efeknya lebih rendah dibandingkan dengan steroid inhalasi. Kombinasi
steroid inhalasi dan antileukotrien dapat menurunkan angka serangan asma dan
menurunkan kebutuhan dosis steroid inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah
terjadinya serangan asma akibat berolahraga dan obstructive sleep apnea (OSA).
Antileukotrien juga dapat mencegah serangan asma akibat infeksi virus pada anak
balita. Pemberian kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien pada asma
persisten kurang efektif dibandingkan dengan steroid inhalasi dosis sedang.
Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternative dari
pemberian steroid inhalasi.

D. Teofilin lepas lambat

Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat dapat diberikan


sebagai preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan steroid inhalasi

21
pada anak usia diatas 5 tahun. Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin lepas lambat
akan memperbaiki kendali asma dan dapat menurunkan dosis steroid inhalasi pada
anak dengan asma persisten. Preparat teofilin lepas lambat lebih dianjurkan untuk
pengendalian asma karena kemampuan absorbs dan bioavibilitas yang lebih baik.
Eliminasi teofilin lepas lambat bervariasi antar individu sehingga pada
penggunaan jangka lama kadar teofilin dalam plasma perlu dimonitor. Efek
samping teofilin lepas lambat bisa berupa mual, muntah, anoreksia, sakit kepala,
palpitasi, takikardia, aritmia, nyeri perut, dan diare. Efek samping teofilin lepas
lambat terutama timbul pada pemberian dosis tinggi, diatas 10mg/kgBB/hari.

E. Anti-imunoglobulin E (Anti-IgE)

Anti-IgE (Omalizumab) adalah antibody monoclonal yang mampu


mengurangi kadar IgE bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak diatas 5
tahun, omalizumab dapat diberikan pada pasien asma yang telah mendapat steroid
inhalasi dosis tinggi dan agonis β2 kerja panjang namun masih sering mengalami
eksaserbasi dan terbukti asma karena alergi. Omalizumab diberikan secara injeksi
subkutan setiap dua sampai empat minggu. Reaksi anafilaksis dapat terjadi setelah
pemberian selama satu ahun. Karena adanya risiko anafilaksis, omalzumab
seharusnya dibawah pengawasan dokter spesialis.

Anti-IgE (omalizumab) terbukti memperbaiki gejala asma pada asma


persiten sedang dan berat yang disebabkan oleh karena alergi. Pemberian
omalizumab akan menurunkan kebutuhan steroid inhalasi dan menurunkan angka
serangan asma. Pemberian anti-IgE membutuhkan beberapa kali dosis
penyuntikan dan relative mahal. Efek samping yang pernah dilaporkan antara lain
urtikaria, kemerahan, gatal. Belum dilakukan penelitian jangka panjang (diatas
satu tahun) untuk efikasi anti-IgE.

22
BAB 4
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien An.S usia 5 tahun 8
bulan datang bersama orang tuanya ke IGD RSUD AWS Samarinda pada tanggal
3 desember 2019 pukul 17.00 WITA dan masuk keruangan melati pada tanggal 3
desember 2019 pukul 21.30 WITA dengan keluhan utama sesak napas. Diagnosis
masuk dan diagnosis kerja pasien ini adalah Asma Bronkiale Ex Akut, ISPA.
Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium.

TEORI KASUS
ANAMNESIS
 Batuk pilek
Keluhan wheezing dan atau batuk
 Sesak napas
berulang merupakan manifestasi klinis yang
 Wheezing
diterima luas sebagai titik awal diagnosis
 Sesak timbul setelah
asma. Gejala respi ratori asma berupa
berolahraga
kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas,
 Biasa timbul malam hari
rasa dada tertekan, dan produksi sputum.
 Kakek buyut memiliki
Chronic recurrent cough (batuk kronik
riwayat asma
berulang, BKB). Karakteristik yang
mengarah ke asma adalah :
- Gejala timbul secara episodik atau
berulang.
- Timbul bila ada faktor pencetus.
o Iritan: asap rokok, asap
bakaran sampah, asap obat
nyamuk, suhu dingin, udara
kering, makanan minuman
dingin, penyedap rasa,
pengawet makanan, pewarna

23
makanan.
o Alergen: debu, tungau debu
rumah, rontokan hewan,
serbuk sari.
o Infeksi respiratori akut karena
virus, selesma, common cold,
rinofaringitis
o Aktivitas fisis: berlarian,
berteriak, menangis, atau
tertawa! berlebihan.
- Adanya riwayat alergi pada pasien
atau keluarganya.
- Variabilitas,yaitu intensitas gejala
bervariasi dari waktu ke waktu,
bahkan dalam 24 jam. Biasanya
gejala lebih berat pada malam hari
(nokturnal).
- Reversibilitas, yaitu gejala dapat
membaik secara spontan atau dengan
pemberian obat pereda asma.
PEMERIKSAAN FISIK
 Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada o Kesadaran : compos mentis
pemeriksaan fisis pasien biasanya tidak o TTV :
ditemukan kelainan. Dalam keadaan - N : 108x/menit
sedang bergejala batuk atau sesak, dapat - RR : 28x/menit
terdengar wheezing, baik yang terdengar - T :36oC
langsung (audible wheeze) atau yang - TD 110/70
terdengar dengan stetoskop. Selain o Wheezing (+/+)
itu,perlu dicari gejala alergilain pada
pasien seperti dermatitis atopi atau
rhinitis alergi, dan dapat pula dijumpai

24
tanda alergi seperti allergic shiners atau
geographictongue

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan o Laboratorium:
variabilitas gangguan aliran napas akibat  Leu : 27,380 /uL
obstruksi, hiper reaktivitas, dan inflamasi  Hb : 12,8 g/dL
saluran respiratori, atau adanya atopi pada  Ht : 39,4%
pasien.  Plt : 403.000 g/dL
 Uji fungsi paru dengan spirometri  CRP : 24.0 mg/l
sekaligus uji reversibilitas dan untuk
menilai variabilitas. Pada fasilitas
terbatas dapat dilakukan pemeriksaan
dengan peak flowmeter.
 Uji cukit kulit (skin prick test),
eosinophil total darah, pemeriksaan
IgE spesifik.
 Uji inflamasi saluran respiratori :
FeNO (fractional exhaled nitric
oxide), eosinophil sputum.
 Uji provokasi bronkus dengan
exercise, metakolin, atau larutan salin
hipertonik.

PENATALAKSANAAN
Pada pasien yang memenuhi kriteria gejala Co. dr. Sp.A :
klinis untuk serangan asma ringan sedang,  IVFD D5 ½ NS
sbagai tindakan awal pasien diberikan agonis 1300mL/24 jam
β2 kerja pendek lewat nebulisasi atau MDI  Inj Cefotaxime 3x250 mg
dengan spacer, yang dapat diulang hingga 2  Inj Dexamethasone

25
kali dalam 1 jam, dengan pertimbangan 3x3mg
untuk menambahkan ipratropium bromide  CTM 3x1,2mg
pada nebulisasi ketiga. Pasien diobservasi,  Salbutamol 3x1,2mg
jika tetap baik pasien dapat dipulangkan.  NAC 3x150mg
Walaupun mungkin tidak diperlukan, tetapi  Cetirizine 1x ½ cth
untuk persiapan keadaan darurat, sejak di  Combivent /4-6j
UGD pasien yang di observasi sebaiknya
langsung dipasangkan jalur parenteral.
Pasien dibekali dengan obat agonis β2
(hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6
jam. Inhalasi bronkodilator diberikan dalam
bentuk MDI dengan spacer atau nebulisasi
yang sama keefektifannya. Penambahan
ipratropium bromide selain agonis β2 dapat
diberikan apabila pasien dapat diedukasi
untuk menggunakan kombinasi terebut pada
serangan yang lebih berat. Pada serangan
asma ringan sedang diberikan steroid
sistemik (oral) berupa prednisone atau
prednisolon dengan dosis 1-2mg/kgBB/hari
selama 3-5 hari, tanpa tapering off, maksimal
pemberian 1 kali dalam 1 bulan. Pemberian
steroid ini harus dilakukan dengan cermat
untuk mencegah pengulangan lebih dari 1
kali per bulan dan pada saat penulisan resep
tambahkan keterangan ‘do not iter’. Pasien
kemudian di anjurkan untuk kontrol ke klinik
rawat jalan dalam waktu 3-5 hari untuk di
reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika
sebelum serangan pasien sudah mendapat
obat pengendali, obat pengendali dilanjutkan.

26
27
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Telah dilakukan pemeriksaan pada An. S, perempuan, usia 5 tahun 8
bulann yang didiagnosis dengan Asma bronkial serangan derajat sedang,dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang didapatkan penegakkan
diagnosis dan penatalaksanaan yang telah dilakukan sebagian besar sesuai dengan
literatur yang mendukung pada kasus tersebut.

28
DAFTAR PUSTAKA

Agung, I. L. (1977). Pengelolaan Papiloma Laring di Bagian THT FK-UGM.


Semarang: Laporan Pendahuluan KONAS PERHATI V.
Alsagaf Hood, et al. (2010) Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Airlangga university
pers.
Armstrong, L. R., Derkay, C. S., & Reeves, W. C. (1999). Initial Results From the
National Registry for Juvenile-Onset Recurrent Respiratory
Papillomatosis. Arch Otolaryngeal Head Neck Surg.
Armstrong, L. R., Preston, E. J., Reichert, M., Philips, D. L., Nisenbaum, R., &
Todd, N. W. (2000). Incidence and Prevalence of Recurrent Respiratory
Papillomatosis Among Children in Atlanta and Seattle. Clin Infect Dis, 31.
Ballenger, J. J. (1994). Tumor Laring dan Laringofaring. In Penyakit THT, Kepala
dan Leher Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara.
Banovitz, J. D. (1996). Gangguan Laring Jinak. In Bois Buku Ajar Penyakit THT
Edisi 6. Jakarta: EGC.
Basyir. (2005). Perilaku Merokok Pada Remaja. Jakarta: Rineka Cipta.
Bennete, M. J. (2013). Pediatric Pneumonia.
http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview
Depkes R.I (2009) Pedoman pengendalian penyakit asma.
Derkay, C. S., & Baldassari, C. M. (2006). Recurrent Respiratory Papilomatous.
In B. J. Bailey, & J. T. Johnson, Head & Neck Surgery-Otolaryngology
5th Edition. Philadelphia: Lipincott Williams and Wilkins Publishers.
Djojodibroto, Darmanto. (2009). Respirologi (Respiratory Medicine). Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Fernandes, J. V., & Fernandes, T. A. (n.d.). Human Papillomavirus : Biology and
Pathogenesis. Human Papillomavirus and Relates Disease, 2012.
Gazhali, R. (2008). Radiolodi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendekia Press.
Gershwin, M Eric dkk. (2006).Bronchial Asthma, A guide for practical
understanding and treatmentEdisi V.

29
GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management
and Prevension In Children .www. Ginaasthma.org. 2006.
Hadibroto, Iwan & Syamsir Alam. (2006). Asma. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama.
Haryuna, T. S. (2004). Anestesi Umum pada Penatalaksanaan Papiloma Laring
Secara Bedah Mikrolaring. Medan: Universitas Sumatera Utara.
IDAI. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.
IDAI.(2013).Buku Ajar Respirologi Anak.Jakarta:Badan Penerbit IDAI.
Larson, D. A., & Derkay, C. S. (2010). Epidemiology of Recurrent Respiratory
Papilomatosis. Journal Compilation APMIS, 118.
Lee, K. J. (2003). Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery 8th Edition.
New York: MC Graw Hill.
Mangunegoro, H. W., A. Sutoyo, D. K., Yunus, F. P., & Suryanto, E. (2004).
Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Martina, D., Kurniawan, A., & Pitoyo, C. W. (2014). Pulmonary Papillomatosis :
A Rare Case of Recurrent Respiratory Papilomatosis Presenting with
Multiple Nodular and Cavity Lesions. Acta Med Indonesia-J Intern Med.
Notoatmojo,Soekidjo.2012.”Metodologi penelitian kesehatan.Jakarta:Rineka
Cipta.
Notoatmodjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka
Cipta.
Nursalam. (2005). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta :
Sagung Seto.
Nursalam. (2009). Proses dan Dokumentasi Keperawatan : Konsep dan Praktik,
Jakarta: Salemba Medika.
Rahajoe, N., Kartasasmita, C. B., Supriyatno, B., Setyanto, D. B. (2016).
Pedoman Nasional Asma Anak Edisi Ke-2. Jakarta: UKK Respirologi PP
Ikatan Dokter Anak Indonesia.

30
Saswita, E., Asyari, A., Novialdi, & Fachzi, F. (2018). Diagnosis dan
Penatalaksanaan Papiloma Laring Berulang pada Dewasa. Medan:
Universitas Andalas.
Silverman, D. A., & Pitman, M. J. (2004). Current Diagnosis and Management
Trends for Recurrent Respiratory Papillomatosis. Loppincot William &
Wilkin.
Sundaru H, Sukamto. (2006) Asma Bronkial , Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakulas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Supriyatno, B., & Amalia, L. (2004). Papiloma Laring pada Anak. Cermin Dunia
Kedokteran, 144 : 8-11.
Sutanto. (2007). Analisis Data Kesehatan. Jakarta : Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Torente, M. C., Rodrigo, J. P., Haigentz, M., Dikkers, F. G., & Rinaldo, A.
(2011). Human Papillomavirus Infections in Laryngeal Cancer. Head and
Neck – DOI.
Wibisono jusuf, dkk (2010) bukuajar ilmu penyakit paru. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.

31

Anda mungkin juga menyukai