Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KEBIJAKAN DAN HUKUM LINGKUNGAN

ANALISIS HUKUM LINGKUNGAN TERHADAP UU 32 TAHUN 2009


Studi Kasus: Analisis Kasus Pencemaran Air oleh Limbah Pabrik PT. Marimas di
Semarang

Disusun oleh:
KELAS C

Faizatin Nikmah Nur Isna 21080117140072

DEPARTEMEN TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................................................ ii


BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................................................1
BAB II RUMUSAN MASALAH .....................................................................................................................2
2.1 Rumusan Masalah ....................................................................................................................2
2.2 Tujuan.......................................................................................................................................2
BAB III PEMBAHASAN DAN ANALISIS .......................................................................................................3
3.1 Pencemaran yang dilakukan pabrik PT. Marimas melanggar ketentuan dalam .....................3
UU No. 32 Tahun 2009 .........................................................................................................................3
3.2 Lingkup pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup sesuai dengan UU 32 Tahun 2009
tentang PPLH ........................................................................................................................................4
3.2.1 Perencanaan .....................................................................................................................4
3.2.2 Pemanfaatan ....................................................................................................................5
3.2.3 Pengendalian ...........................................................................................................................5
3.2.4 Pemeliharaan ..........................................................................................................................5
3.2.5 Pengawasan.............................................................................................................................5
3.2.6 Penegakan hukum ...................................................................................................................5
3.3 Proses perencanaan dalam undang-undang 32 tahun 2009 ...................................................6
3.3.1 Inventarisasi lingkungan hidup.........................................................................................6
3.3.2 Penetapan wilayah ecoregion ..........................................................................................6
3.3.3 Penyusunan RPPLH...........................................................................................................6
3.4 Lingkup pengendalian dalam undang-undang 32 tahun 2009.................................................7
3.4.1 Pencegahan ......................................................................................................................7
3.4.2 Penanggulangan ..............................................................................................................7
3.4.3 Pemulihan........................................................................................................................8
3.5 Instrumen pencegahan ............................................................................................................9
3.5.1 Baku mutu lingkungan hidup ...........................................................................................9
3.5.2 AMDAL..............................................................................................................................9
3.5.3 UKL UPL ......................................................................................................................... 10
3.6 Fungsi tata ruang dalam mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup
10
3.7 Kosep KLHS dalam mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup .......... 11
BAB IV PENUTUP .................................................................................................................................. 14

ii
4.1 Kesimpulan ............................................................................................................................ 14
4.2 Saran...................................................................................................................................... 14
BAB V DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kegiatan pembangunan yang makin meningkat, mengandung resiko, makin


meningkatnya resiko makin meningkatnya pencemaran dan perusakan lingkungan,
termasuk oleh limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3), sehingga struktur dan fungsi
ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak. Pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup akan menjadi beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan
pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya.[1]
Terpeliharanya kualitas fungsi lingkungan secara berkelanjutan menuntut
tanggung jawab, keterbukaan, dan peran serta masyarakat yang menjadi tumpuan
pembangunan berkelanjutan guna menjamin kesejahteraan dan mutu hidup generasi
masa kini dan generasi masa mendatang.
Menyadari hal tersebut di atas, bahan berbahaya dan beracun beserta limbahnya
harus dikelola dengan baik. Makin meningkatnya kegiatan pembangunan, dalam hal ini
pabrik-pabrik atau indutri-industri menyebabkan meningkatnya dampak kegiatan
tersebut terhadap lingkungan hidup, keadaan ini makin mendorong diperlukannya
upaya pengendalian dampaknya, sehingga resiko terhadap lingkungan dapat ditekan
sekecil mungkin.
Upaya pengendalian dampak terhadap lingkungan sangat ditentukan oleh
pengawasan terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur segi-segi lingkungan hidup, sebagai perangkat hukum yang bersifat preventif
melalui proses perizinan untuk melakukan usaha dan atau kegiatan. Oleh karena itu
dalam setiap ijin yang diterbitkan, harus dicantumkan secara tegas syarat dan kewajiban
yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan
tersebut.
Pengaturan tentang limbah B3 dimulai sejak tahun 1992 dengan diterbitkannya
Keputusan Menteri Perdagangan No. 394/Kp/XI/92 tentang Larangan Impor Limbah
Plastik. Selanjutnya diterbitkan keputusan presiden No.61 Tahun 1993 tetang Ratifikasi
Konvensi Basel 1989 yang mencerminkan kesadaran pemerintah Indonesia tentang
adanya pencemaran lingkungan akibat masuknya limbah B3 dari luar wilayah
Indonesia.
Tidak ditaatinya Peraturan Pemerintah Limbah B3 oleh para pelaku indistri dan
pelaku kegiatan lainnya dalam hal ini pencemaran yang dilakukan PT. Marimas di
Semarang diduga dikarenakan oleh faktor penataan dan penegakan hukum lingkungan
khususnya yang terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tenang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Maka kami akan mengkaji lebih
dalam sejauh manakah efektifitas penataan dan penegakan hukum lingkungan pereturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan limbah B3 di dalam Undang-Undang No.
32 Tahun 2009 tenang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

1
BAB II
RUMUSAN MASALAH

2.1 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah pencemaran yang dilakukan pabrik PT. Marimas melanggar ketentuan
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup ?
2. Bagaimana pengaruh Lingkup pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup
sesuai dengan UU 32 Tahun 2009
3. Bagaimana proses perencanaan dalam undang-undang 32 tahun 2009?
4. Bagaimana lingkup pengendalian dalam UU 32 tahun 2009?
5. Bagaimana pengaruh kepada intrumen pencegahan?
6. Bagaimana fungsi Tata Ruang dalam mencegah terjadinya pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup?
7. Bagaimana konsep KLHS dalam mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup

2.2 Tujuan
Tujuan pada pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh pencemaran yang dilakukan pabrik PT. Marimas melanggar
ketentuan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup ?
2. Bagaimana pengaruh lingkungan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup
sesuai dengan UU 32 Tahun 2009
3. Menganalisis proses perencanaan dalam undang-undang 32 tahun 2009?
4. Menganalisis lingkup pengendalian dalam UU 32 tahun 2009
5. Menganalisis pengaruh kepada intrumen pencegahan?
6. Menganalisis fungsi Tata Ruang dalam mencegah terjadinya pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup
7.Menganalisis konsep KLHS dalam mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup

2
BAB III
PEMBAHASAN DAN ANALISIS

3.1 Pencemaran yang dilakukan pabrik PT. Marimas melanggar ketentuan dalam
UU No. 32 Tahun 2009
Pembangunan disamping memberikan dampak positif berupa kesejahteraan, namun
disisi yang lain juga menimbulkan dampak negatif yaitu terjadinya kerusakan atau tercemarnya
lingkungan hidup. Oleh karena itu, apabila terjadi penurunan fungsi lingkungan hidup akibat
perusakan dan/atau pencemaran lingkugan hidup, maka serangkain kegiatan penegakan hukum
(law enforcement) harus dilakukan.
Penegakan hukum mempunyai makna, bagaimana hukum itu harus dilaksanakan,
sehingga dalam penegakan hukum tersebut harus diperhatikan unsur-unsur kepastian hukum.
Kepastian hukum menghendaki bagaimana hukum dilaksanakan, tanpa perduli bagaimana
pahitnya. Hal ini dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam masyrakat.sebaliknya masyarakat
menghendaki adannya manfaat dalam pelaksanaan peraturan atau penegakan hukum
lingkungan tersebut. Hukum lingkungan dibuat dengan tujuan untuk melindungi lingkungan
dan memberi manfaat kepada masyarakat. Artinya peraturan tersebut dibuat adalah untuk
kepentingan masyarakat, sehingga jangan sampai terjadi bahwa, karena dilaksanakannya
peraturan tersebut, masyarakat justru menjadi resah. Unsur ketiga adalah keadilan. Dalam
penegakan hukum lingkungan harus diperhatikan, namun demikian hukum tidak identik dengan
keadilan, Karena hukum itu sifatnya umum, mengikat semua orang, dan menyamaratakan.
Dalam penataan dan penegakan hukum lingkungan, unsur kepastian, unsur kemanfaatan ,dan
unsur keadilan harus dikompromikan, ketiganya harus mendapat perhatian secara proporsional.
Sehingga lingkungan yang tercemar dapat dipulihkan kembali.[2]
Upaya pemulihan lingkungan hidup dapat dipenuhi dalam kerangka penanganan
sengketa lingkungan melalui penegakkan hukum lingkungan. Penegakan hukum lingkungan
merupakan bagian dari siklus pengaturan (regulatory chain) perencanaan kebijakan (policy
planning) tentang lingkungan. Penegakan hukum lingkungan di Indonesia mencakup penataan
dan penindakan (compliance and enforcement) yang meliputi bidang hukum administrasi
negara, bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana.
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang penegakan hukum lingkungan terlebih
dahulu kita harus megtahui definisi dari lingkungan hidup sendiri menurut Undang-Undang No.
32 Tahun 2009 adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup,termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.[3]
Makna dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Namun dewasa ini masih saja terdapat beberapa pihak yang melakukan pencemaran
lingkungan hidup, salah satunya yang dilakukan oleh pabrik PT Marimas di
Semarang.[5] Menurut warga, Pabrik PT Marimas telah mencemari aliran sungai disekitar
pabrik selamat 2 sampai 3 tahun terakhir. Pencemaran semakin parah karena saluran
pembuangan limbah jebol, yang mana mengakibatkan bau menyengat yang berasal dari
pembuangan limbah tersebut. Selain mencemari lingkungan, kini warga kesulitan untuk
mencari air bersih karena limbah telah bercampur dengan air sumur. Pencemaran tersebut telah

3
melanggar ketentuan dalam Pasal 69 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mana setiap orang dilarang untuk:[6]
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup;
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;
f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;
h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau
j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak
informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.
Dapat disimpulkan bahwa pabrik PT Marimas telah melanggar beberapa ketentuan
dalam pasal 69 UU No. 32 Tahun 2009. Maka pihak dari pabrik PT Marimas harus melakukan
penanggulangan dan pemulihan terhadap lingkungan yang sudah tercemar oleh limbah pabrik
tersebut. Sebagaimana yang diatur dalam pasal 53 UU No. 32 Tahun 2009, setiap orang yang
melakukan pencemaran lingungan hidup wajib melakukan penanggulangan lingkungan hidup
yang dilakukan dengan:
a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
kepada masyarakat;
b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3.2 Lingkup pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup sesuai dengan UU 32


Tahun 2009 tentang PPLH
Ruang Lingkup tertera pada Pasal 4 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
meliputi: Perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan
hukum.Ruang lingkup tersebut harus berkesinambungan sehingga mampu menghasilkan
lingkup pengelolaan dan perlndungan lingkungan hidup yang sistematis.
3.2.1 Perencanaan
Definisi resmi tentang perencanaan menunjukkan bahwa ada aneka ragam pendekatan
untuk proses yang sangat penting ini. Apabila berhasil, perencanaan harus memperhitungkan
faktor-faktor tertentu seperti faktor fisik, biologis, ekonomis, sosial, budaya, hukum, dan

4
administratif. Di banyak negara, termasuk di Indonesia, perlindungan lingkungan hidup dan
pelestarian keanekaragaman hayati dianggap sebagai suatu proses pembagian tanah. Tidak
dapat dielakkan bahwa pembagian tanah untuk alasan pelestarian lingkungan hidup
memerlukan proses tukar-menukar di antara beberapa macam pemakaian yang bersaing.
Perencanaan ini dalam studi kasus Analisis Kasus Pencemaran Air oleh Limbah Pabrik PT.
Marimas di Semarang perencanaan di maksutkan untuk merencanakan pengelolaan
lingkungan agar menghindari dari pencemaran
3.2.2 Pemanfaatan
Pemanfaatan yang banyak dilakukan yaitu dengan pemanfaatan yang terkendali,
Lingkungan hidup ada untuk dimanfaatkan dengan bijaksana, agar fungsi dari lingkungan hidup
tersebut dapat tercapai. Berdasarkan studi kasus di PT. Marimas yang telah mencemari sungai,
hal ini terlihat bahwa tidak adanya pemanfaatan secara bijaksana. Sungai memang memiliki
kemampuan untuk membersihkan dirinya sendiri, namun bukan berarti sungai harus
menampung limbah yang dapat membahayakan kualitas dan biota didalam sungai.
3.2.3 Pengendalian
Kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup ini tidak
hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja akan tetapi menjadi tanggung jawab bersama
dengan para pelaku usaha dan/atau kegiatan. Pengendalian itu sendiri pada prinsipnya adalah
suatu upaya pengendalian terhadap dampak lingkungan yang akan terjadi baik positif maupun
negatif meliputi seluruh komponen lingkungan (biotik, abiotik, culture budaya) baik itu dampak
primer (dampak utama) maupun dampak sekunder (dampak turunan dampak utama) sebagai
konsekuensi pembangunan industri.
3.2.4 Pemeliharaan
Proses pemeliharaan lingkungan hidup berupa konservasi. Konservasi adalah upaya
pelestarian lingkungan, tetapi tetap memperhatikan, manfaat yang dapat di peroleh pada saat
itu dengan tetap mempertahankan keberadaan setiap komponen lingkungan untuk pemanfaatan,
masa depan. Jika sudah terjadi suatu pencemaran seperti sungai yang tercemar limbah PT
Marimas, diperlukan adanya pemulihan atau konservasi sehingga sungai tersebut dapat
mempertahankan fungsinya dengan baik, dan dapat memberikan manfaat.
3.2.5 Pengawasan
Setelah dilakukan Pengendalian dan konservasi, harus adanya pengawasan secara
berkala sehingga tidak menimbulkan pencemaran lagi. Pelaksanaan pengawasan merupakan
rangkaian pekerjaan untuk memperoleh bahan keterangan mendalam tentang suatu usaha
dan/atau kegiatan diantaranya berupa: proses kegiatan, ketaatan terhadap peraturan maupun
persyaratan atau kewajiban yang tercantum dalam izin, dan evaluasi terhadap cara pengelolaan
lingkungan.
3.2.6 Penegakan hukum
Kata penegakan hukum sering terdengar oleh semua orang, karena keberhasilan suatu
peraturan perundang-undangan bergantung pada penerapan dan penegakannya. Penegakan
hukum lingkungan dalam UU No. 32/2009 ini memang mendapat perhatian yang serius oleh
para perumus undang-undang. Sebagai suatu politik hukum di bidang lingkungan hidup.
Perhatian terhadap lingkungan hidup belakangan ini mendapat sorotan tajam, karena
lingkungan hidup sudah semakin parah akibat dari pencemaran dan perusakan yang diakibatkan
oleh ulah atau tingkah laku manusia sendiri. Oleh karena itu, ada kemauan keras bagi para

5
perumus undang-undang lingkungan hidup, agar adanya penguatan penegakan hukum terhadap
lingkungan melalui UU No. 32/2009 ini.
3.3 Proses perencanaan dalam undang-undang 32 tahun 2009
Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui
tahapan:
a. inventarisasi lingkungan hidup;
b. penetapan wilayah ekoregion;
c. penyusunan RPPLH.
3.3.1 Inventarisasi lingkungan hidup
Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk memperoleh data dan
informasi mengenai sumber daya alam yang meliputi:a. potensi dan ketersediaan;b.
jenis yang dimanfaatkan;c. bentuk penguasaan;d. pengetahuan pengelolaan;e. bentuk
kerusakan; danf. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.
Inventarisasi sumberdaya alam juga dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk
menguraikan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam serta berbagai ciri dan
karakteristik arael tempat tumbuhnya. Tujuan dari inventarisasi
sumberdaya alamadalah untuk mendapatkan data yang akan diolah menjadi informasi
yang dipergunakan sebagai bahan perencanaan dan perumusan kebijaksanaan strategik
jangka panjang, jangka menengah dan operasional jangka pendek sesuai dengan
tingkatan dan Ketajaman inventarisasi yang dilaksanakan. Inventarisasi perlu dilakukan
di lingkungan sekitar pabrik, sehingga dapat diketahui kualitas dan kuantitas sumber
daya alamnya. Sehingga ketika adanya pencemaran, dapat diketahui langsung melalui
inventarisasi lingkungan hidup.
3.3.2 Penetapan wilayah ecoregion
Pasal 1 butir29 UU No.32 Tahun 2009 Tentang PPLH, menyatakan ”ekoregion
adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan cirri iklim, tanah, air, flora, dan fauna
asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritasi sistem
alam dan lingkungan hidup. (2)Penetapan wilayah ekoregion dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan, Karekteristik bentang alam,
Daerah aliran sungai, Iklim,Flora dan fauna, Social budaya, Ekonomi, Kelembagaan
masyarakat, dan Hasil inventarisasi lingkungan hidup.
Ekoregion dalam konsep ini ditekankan pada upaya sinergi, intergral dalam
menjalankan fungsi koordinasi, dan seminasi informasi sehingga menjadi lancar
terhadap penanganan isu-isu lingkungan.
3.3.3 Penyusunan RPPLH
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) adalah
perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya
perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. Manfaat dari adalah
arahan dan acuan dalam melaksanakan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Jangka waktu RPPLH Daerah adalah 20 tahun dengan masa peninjauan kembali
setiap lima tahun sekali. RPPLH sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c terdiri
atas RPPLH nasional, RPPLH provinsi, dan RPPLH kabupaten kota. Sehingga jika
RPPLH mampu disusun akan mengurangi dan mencegah adanya pencemaran, karena
telah dilakukan perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sehingga tidak ada lagi pabrik yang membuang limbahnya ke sungai

6
3.4 Lingkup pengendalian dalam undang-undang 32 tahun 2009

Bagian Kesatu Umum Pasal 13 pada undang-undang 32 tahun 2009 mengenai,(1)


Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup. (2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pencegahan; b.
penanggulangan; dan c. pemulihan. (3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan,
peran, dan tanggung jawab masing-masing.
3.4.1 Pencegahan

Upaya pencegahan dilakukan agar tidak terjadi adanya pencemaran. Secara umum,
berikut ini merupakan upaya pencegahan atas pencemaran lingkungan.Mengatur sistem
pembuangan limbah industri sehingga tidak mencemari lingkungan, Menempatkan industri
atau pabrik terpisah dari kawasan permukiman penduduk, Melakukan pengawasan atas
penggunaan beberapa jenis pestisida, insektisida dan bahan kimia lain yang berpotensi menjadi
penyebab dari pencemaran lingkungan, Melakukan penghijauan, Memberikan sanksi atau
hukuman secara tegas terhadap pelaku kegiatan yang mencemari lingkungan, Melakukan
penyuluhan dan pendidikan lingkungan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang arti
dan manfaat lingkungan hidup yang sesungguhnya. Usaha-usaha telah dilakukan, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat untuk menanggulangi pencemaran lingkungan, antara lain
melalui penyuluhan dan penataan lingkungan. Namun, usaha tersebut tidak akan berhasil jika
tidak ada dukungan dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan
3.4.2 Penanggulangan

Usaha-usaha pelestarian lingkungan hidup merupakan tanggung jawab kita sebagai


manusia. Dalam hal ini, usaha pelestarian lingkungan hidup tidak hanya merupakan tanggung
jawab pemerintah melainkan tanggung jawab bersama antara pemerintah dengan masyarakat
dalam bertindak untuk melestarikan lingkungan hidup. Selain itu, usaha pelestarian lingkungan
hidup dapat dilakukan dengan cara berikut ini :
1. Melakukan pengolahan tanah sesuai kondisi dan kemampuan lahan, serta mengatur sistem
irigasi sehingga aliran air tidak tergenang.
2. Mendaur ulang sampah-sampah makanan dan minuman, agar tidak mencemari lingkungan.
3. Melakukan reboisasi pada lahan-lahan yang tandus dan gundul , serta melakukan sistem
tebang pilih agar kelestarian hutan.
4. Menggunakan dan menciptakan barang yang ramah lingkungan.
Hal yang dapat kita lakukan dalam upaya pelestarian lingkungan hidup, antara lain :
1. Membuang sampah pada tempatnya
2. Memanfaatkan barang-barang hasil daur ulang.
3. Menghemat penggunaan kertas dan pensil.
7
4. Menghemat penggunaan listrik, air tanah dan BBM.
5. Menanam dan merawat pohon disekitar lingkungan rumah, sekolah, dll.
6. Tidak melakukan kebiasaan memburu binatang langka serta menghentikan kebiasaan
mengkoleksi binatang demi kepentingan pribadi
7. Selalu menggunakan prinsip 4R (Reduce, Re-use, Recycle, Repair)
Meskipun demikian, dalam kenyataannya tidak semua orang dapat melakukan hal tersebut.
Kebanyakan yang terjadi malah sebaliknya, jadi upaya untuk melestarikan lingkungan hidup
sulit diterapkan di masyarakat sekarang ini. Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sangat
rendah itu terlihat dari cara masyarakat menjaga kebersihan lingkungan rumah, lingkungan
pasar, dan lingkungan sekolahan.
3.4.3 Pemulihan
Tata Cara Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup Sesuai PP 101 Tahun 2014
Dalam Pasal 203 PP 101 tahun 2014 diatur tentang pemulihan fungsi lingkungan dilakukan
dengan tahapan:

1.Penghentian sumber pencemaran dan pembersihan zat Pencemar Penghentian sumber


pencemaran dan pembersihan zat pencemar dilakukan dengan cara paling sedikit meliputi:
identifikasi lokasi, sumber, jenis, dan zat pencemar, serta besaran pencemaran;penghentian
proses produksi; penghentian kegiatan pada fasilitas yang terkait dengan sumber Pencemaran
dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup; tindakan tertentu untuk meniadakan Pencemaran
Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup pada sumbernya; dan penyusunan
dan penyampaian laporan pelaksanaan penghentian Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau
Kerusakan Lingkungan Hidup kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota.

2.Remediasi
Remediasi dilakukan dengan cara paling sedikit meliputi:pemilihan teknologi
remediasi;penyusunan rencana dan pelaksanaan remediasi; dan
penyusunan dan penyampaian laporan pelaksanaan remediasi terhadap Pencemaran
Lingkungan Hidup kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota.

3.Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan dengan cara paling sedikit meliputi: identifikasi lokasi, penyebab, dan
besaran kerusakan Lingkungan Hidup; pemilihan metode rehabilitasi; penyusunan rencana dan
pelaksanaan rehabilitasi; dan penyusunan dan penyampaian laporan pelaksanaan rehabilitasi
terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota.

4.Restorasi
Restorasi dilakukan dengan cara paling sedikit meliputi: identifikasi lokasi, penyebab, dan
besaran Kerusakan Lingkungan Hidup; pemilihan metode restorasi; penyusunan rencana dan
pelaksanaan restorasi; dan penyusunan dan penyampaian laporan pelaksanaan restorasi
Kerusakan Lingkungan Hidup kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota.

8
3.5 Instrumen pencegahan

Pasal 14 Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup


terdiri atas:
a. KLHS;
b. tata ruang;
c. baku mutu lingkungan hidup;
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. amdal;
f. UKL-UPL;
g. perizinan;
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j. anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. analisis risiko lingkungan hidup;
l. audit lingkungan hidup;
dan m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu
pengetahuan.
3.5.1 Baku mutu lingkungan hidup

Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan
hidup. Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
a. baku mutu air;
b. baku mutu air limbah;
c. baku mutu air laut;
d. baku mutu udara ambien;
e. baku mutu emisi;
f. baku mutu gangguan; dan
g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan
persyaratan:
a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
Baku mutu lingkungan diperlukan agar tidak adanya pabrik yang sembarangan membuang
limbahnya ke sungai, dengan mengetahui baku mutu, maka limbah akan diproses terlebih
dahulu , kemudian diuji apakah sudah sesuai dengan baku mutu atau belum kemudian dapat
dibuang ke lingkungan jika sudah memenuhi.

3.5.2 AMDAL

Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib
memiliki amdal. Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:
a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
9
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal
terdiri atas:
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam
pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan,
serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi
sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar
untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
3.5.3 UKL UPL
Berdasarkan pasal 34 Undang-undang 32 tahun 2009 menyebutkan bahwa(1) Setiap usaha
dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKL-UPL. (2) Gubernur atau bupati/walikota
menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL.
Sedangkan pada Pasal 35 disebutkan mengenai (1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib
dilengkapi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib membuat surat
pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. (2) Penetapan jenis
usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria:
a. tidak termasuk dalam ketegori berdampak penting sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1); dan
b. kegiatan usaha mikro dan kecil.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan
dan pemantauan lingkungan hidup diatur dengan peraturan Menteri.

3.6 Fungsi tata ruang dalam mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup

Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat,


setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS. 11 (2) Perencanaan tata
ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Penataan tata ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, dengan pemanfaatan ruang , dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan tata ruang. Dengan pengaturan tata ruang yang baik
dapat mencegah adanya pencemaran. Pemetaan tiap ruang dengan mengetahui potensi pada
daerah sehingga mampu dibedakan fungsi tiap ruang.
10
Pada kasus ini, perlu diketahui fungsi dari sungai yang berada di sekitar pabrik.
Dengan mengatahui fungsi sungai maka dapat mencegah adanya pencemaran. Maka, fungsi
tata rung sangat besar perannya dalam mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup.
3.7 Kosep KLHS dalam mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup
KLHS merupakan instrument hukum baru dalam sistem hukum lingkungan di
Indonesia. KLHS baru diatur dalam UU PPLH 2009. Menurut PAsal 1 angka 10 UUPPLH
2009, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis,
menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah
menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana
dan/atau program.

Dengan demikian KLHS sebagai upaya untuk mencari terobosan dan memastikan
bahwa pada tahap awal penyusunan kebijakan, rencana dan/atau program prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan sudah dipertimbangkan. Makna strategis mengandung arti
perbuatan atau aktivitas sejak awal proses pengambilan keputusan yang berakibat signifikan
terhadap hasil akhir yang akan diraih. Dalam konteks KLHS perbuatan dimaksud adalah suatu
proses kajian yang dapat menjamin dipertimbangkannya hal-hal prioritas dari aspek
pembangunan berkelanjutan dalam proses pengambilan keputusan pada kebijakan, rencana
dan/atau program sejak dini. Secara prinsip sebenarnya KLHS adalah suatu self assessment
untuk melihat sejauh mana Kebijakan, Rencana dan/atau Program (KRP) yang diusulkan oleh
pemerintah dan/atau pemerintah daerah telah mempertimbangkan prinsip pembangunan
berkelanjutan, baik untuk kepentingan ekonomi, dan social, selain lingkungan hidup. Dengan
KLHS ini pula diharapkan KRP yang dihasilkan dan ditetapkan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah menjadi lebih baik.
KLHS diperlukan sebagai sebuah instrument/tools dalam rangka self assessment untuk
melihat sejauh mana Kebijakan, Rencana dan/atau Program (KRP) yang diusulkan oleh
pemerintah dan/atau pemerintah daerah telah mempertimbangkan prinsip pembangunan
berkelanjutan. Dengan KLHS ini pula diharapkan KRP yang dihasilkan dan ditetapkan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah menjadi lebih baik.
KLHS dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Pengkajian pengaruh Kebijakan, Rencana, dan/atau Program terhadap kondisi


lingkungan hidup di suatu wilayah;
2. Perumusan alternatif penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program; dan
3. Rekomendasi perbaikan untuk pengambilan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program
yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Tahapan seperti ini
dilaksanakan baik untuk kegiatan perencanaan maupun evaluasi.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan. KLHS
digunakan untuk merencanakan dan mengevaluasi kebijakan, rencana dan/atau program agar
dampak dan/atau risiko lingkungan yang tidak diharapkan dapat diminimalkan, sedangkan
11
dalam evaluasi kebijakan, rencana dan/atau program, KLHS digunakan untuk mengidentifikasi
dan memberikan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau program yang
menimbulkan dampak dan/atau risiko negatif terhadap lingkungan.

KLHS bermanfaat untuk memfasilitasi dan menjadi media proses belajar bersama antara
pelaku pembangunan, dimana seluruh pihak yang terkait penyusunan dan evaluasi kebijakan,
rencana dan/atau program dapat secara aktif mendiskusikan seberapa jauh substansi kebijakan,
rencana dan/atau program yang dirumuskan telah mempertimbangkan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan. Melalui proses KLHS, diharapkan pihak-pihak yang terlibat
dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana dan/atau program dapat mengetahui dan
memahami pentingnya menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam setiap
penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana dan/atau program.
Ada beberapa prinsip dalam KLHS :
Prinsip 1: Penilaian Diri (Self Assessment)
Makna prinsip ini adalah sikap dan kesadaran yang muncul dari diri pemangku kepentingan
yang terlibat dalam proses penyusunan dan/atau evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau program
agar lebih memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan mempertimbangkan
prinsip-prinsip tersebut dalam setiap keputusannya.Prinsip ini berasumsi bahwa setiap
pengambil keputusan mempunyai tingkat kesadaran dan kepedulian atas lingkungan. KLHS
menjadi media atau katalis agat kesadaran dan kepedulian tersebut terefleksikan dalam proses
dan terformulasikan dalam produk pengambilan keputusan untuk setiap kebijakan, recana,
dan/atau program.
Prinsip 2: Penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program

Prinsip ini menekankan pada upaya penyempurnaan pengambilan keputusan suatu kebijakan,
rencana, dan/atau program. Berdasarkan prinsip ini, KLHS tidak dimaksudkan untuk
menghambat proses perencanaan kebijakan, rencana, dan/atau program. Prinsip ini berasumsi
bahwa perencanaan kebijakan, rencana, dan/atau program di Indonesia selama ini belum
mempertimbangkan pembangunan berkelanjutan secara optimal.
Prinsip 3: Peningkatan Kapasitas dan Pembelajaran Sosial

Prinsip ini menekankan bahwa intergrasi KLHS dalam perencanaan kebijakan, rencana,
dan/atau program menjadi media untuk belajar bersama khususnya tentang isu-isu
pembangunan berkelanjutan, baik bagi masyarakat umum maupun para birokrat dan pengambil
keputusan. Dengan prinsip ini, pelaksanaan KLHS memungkinkan seluruh pemangku
kepentingan yang terlibat dalam perencanaan kebijakan, rencana, dan/atau program untuk
meningkatkan kapasitasnya mengapresiasi lingkungan hidup dalam keputusannya. Melalui
KLHS diharapkan masyarakat, birokrat, dan pengambil keputusan lebih cerdas dan kritis dalam
menentukan keputusan pembangunan agar berkelanjutan.
Prinsip 4: Memberi Pengaruh pada Pengambilan Keputusan

12
Prinsip ini menekankan bahwa KLHS memberikan pengaruh positif pada pengambilan
keputusan. Dengan prinsip ini, KLHS akan mempunyai makna apabila pada akhirnya dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan, khususnya untuk memilih atau menetapkan kebijakan,
rencana, dan/atau program yang lebih menjamin pembangunan yang berkelanjutan.
Prinsip 5: Akuntabel

Prinsip ini menekankan bahwa KLHS harus diselenggarakan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik. Prinsip akuntabel KLHS sejalan dengan prinsip tata
pemerintahan yang baik (good governance). KLHS tidak ditujukan untuk menjawab tuntutan
para pihak. Dengan prinsip ini, pelaksanaan KLHS dapat lebih menjamin akuntabilitas
perumusan kebijakan, rencana, dan/atau program bagi seluruh pihak.
Prinsip 6: Partisipatif

Sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, prinsip ini menekankan bahwa KLHS harus dilakukan secara
terbuka dan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya yang terkait dengan
kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan prinsi ini diharapkan proses dan produk
kebijakan, rencana, dan/atau program semakin mendapatkan legitimasi atau kepercayaan
publik.
KLHS menurut Pasal 16 UUPPLH 2009 memuat hal-hal sebagai berikut :

1. Kapasitas daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup;


2. Perkiraan mengenai dampak resiko lingkungan hidup;
3. Kinerja layanan/jasa ekosistem;
4. Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
5. Tingkaat kerentaan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim;
6. Tingkat ketahanan dan potensi keaneka ragamaan hayati.
KLHS tidaklah sama dengan AMDAL, perbedaan mendasar antara KLHS dengan AMDAL
bahwa KLHS merupakan instrument untuk mengintegrasikan aspek lingkungan pada tahapan
awal pengambilan keputusan tentang kebijakan, rencana, dan program. Sementara Amdal
merupakan studi dampak dari suatu kegiatan (proyek) terhadap lingkungan. KLHS berada di
arah kebijakan, rencana, program atau hulu, sedangkan Amdal di aras proyek atau hilir dari
proses pembangunan.

13
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Penataan hukum lingkungan di Indonesia khususnya dalam hal penegakannya masih


belum efektif terbukti dengan adanya pembuangan limbah industri yang dilakukan oleh PT.
Marimas di Semarang yang mengakibatkan tercemarnya air yang berada di lingkungan
sekitar pabrik yang menimbulkan keresahan warga sekitar. Padahal air merupakan hal yang
sangat penting dalam menunjang kehidupan manusia. Padahal ada banyak sekali langkah
penegakan hukum yang dapat dilakukan mulai dari saksi administratif, sanksi keperdataan
dan sanski kepidanaan. Sebab dalam menerapkan saksi hukum sebaiknya dijatuhkan sanksi
yang tepat serta dapat mencakup komposisi dari fungsi hukum itu sendiri seperti kepastian,
kemafaatan, dan keadilan serta tidak menimbulkan kerasahan pada masyarakat.

4.2 Saran

Penerapan sanksi yang tepat dalam kasus ini adalah sanksi keperdataan berupa
penggantian kerugian yang nantinya dapat digunakan sebagai alat untuk merehabititasi
lingkungan agar dapat kembali seperti semula. Sebab yang mengalami dampak terbesar
dalam pencemaran tersebut adalah masyarakat di sekitar pabrik tersebut. Sehingga jika tidak
dilakukan pemulihan lingkungan tersebut maka masyarakatlah yang akan menderita dan
pengusaha atau pemilik panrik tersebut tidak mengalami dampaknya.

14
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Buku
Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan : Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan
Lingkungan Hidup, Cetakan ketiga, Bandung, PT. Refika Aditama, 2011
Sudikno, Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988

Daftar Undang-Undang
Undang-Undang No. 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (Peraturan Pemerintah Limbah B3)

Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 Tentang Limbah B3

Keputusan Presiden No.61 Tahun 1993 tetang Ratifikasi Konvensi Basel 1989

Keputusan Menteri Perdagangan No. 394/Kp/XI/92 tentang Larangan Impor Limbah Plastik.

Daftar Internet
www.detik.com (sungai dan sumur tercemar limbah, warga semarang geruduk pabrik
minuman), diakses tanggal 29 April 2014

[1]Lihat, Penjelasan Umum Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup
[2] Sudikno, Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988,
hlm. 134-135.
[3] Lihat, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkunagan Hidup.

15
[4] Lihat, Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkunagan Hidup.

[5] www.detik.com (sungai dan sumur tercemar limbah, warga semarang geruduk pabrik
minuman), diakses tanggal 29 April 2014
[6] Lihat, pasal 69 ayat 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkunagan Hidup.

[7] Lihat, pasal 54 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkunagan Hidup.

[8] Lihat, Pasal 59 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkunagan Hidup.

16

Anda mungkin juga menyukai