Anda di halaman 1dari 9

A.

Definisi
Laparotomi adalah operasi yang dilakukan untuk membuka abdomen (bagian
perut). Kata "laparotomi" pertama kali digunakan untuk merujuk operasi seperti ini pada
tahun 1878 oleh seorang ahli bedah Inggris, Thomas Bryant. Kata tersebut terbentuk dari
dua kata Yunani, "lapara" dan "tome". Kata "lapara" yang berarti bagian lunak dari tubuh
yang terletak diantara tulang rusuk dan pinggul. Sedangkan "tome" berarti pemotongan.
Laparatomi adalah salah satu jenis operasi yang dilakukan pada daerah abdomen. Operasi
laparatomi di lakukan apabila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area abdomen,
misalnya trauma abdomen.
B. Etiologi
Tindakan laparatomi dilakukan karena disebabkan oleh beberapa hal (Smeltzer, 2001),
yaitu:
1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam)
2. Peritonitis
3. Perdarahan saluran pencernaan.
4. Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
5. Masa pada abdomen
C. Tanda dan Gejala
1. Fase pertama
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang leukosit banyak yang rusak atau rapuh. Sel-sel
darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-serabut bening digunakan
sebagai kerangka.
2. Fase kedua
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel
timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan.
3. Fase ketiga
Sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul jaringan-
jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.
4. Fase keempat
Penyembuhan dimana akan terjadi penyusut dan mengkerut.
D. Macam-macam Laparatomi
1. Midline incision
Metode insisi yang paling sering digunakan, karena sedikit perdarahan,
eksplorasi dapat lebih luas, cepat di buka dan di tutup, serta tidak memotong ligamen
dan saraf. Namun demikian, kerugian jenis insis ini adalah terjadinya hernia
cikatrialis. Indikasinya pada eksplorasi gaster, pankreas, hepar, dan lien serta di bawah
umbilikus untuk eksplorasi ginekologis, rektosigmoid, dan organ dalam pelvis
2. Paramedian
Sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang (12,5 cm). Terbagi atas 2
yaitu, paramedian kanan dan kiri, dengan indikasi pada jenis operasi lambung,
eksplorasi pankreas, organ pelvis, usus bagian bagian bawah, serta plenoktomi.
Paramedian insicion memiliki keuntungan antara lain : merupakan bentuk insisi
anatomis dan fisiologis, tidak memotong ligamen dan saraf, dan insisi mudah diperluas
ke arah atas dan bawah
3. Transverse upper abdomen incision, yaitu insisi di bagian atas, misalnya pembedahan
colesistotomy dan splenektomy.
4. Transverse lower abdomen incision, yaitu;insisi melintang di bagian bawah 4 cm di
atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendictomy.
E. Komplikasi
1. Ventilasi paru tidak adekuat.
2. Gangguan kardiovaskuler: hipertensi, aritmia jantung.
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
4. Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan.
F. Patofisiologi
Rongga abdomen memuat baik organ-organ yang padat maupun yang berongga.
Trauma tumpul kemungkinan besar menyebabkan kerusakan yang serius bagi organ-
organ padat, dan trauma penetrasi sebagian besar melukai organ-organ berongga.
Kompresi dari trauma tumpul menyebabkan fraktur pada kapsula dan parenkim organ
padat, sementara organ berongga dapat kolaps dan menyerap energi benturan. Usus yang
menempati sebagian besar rongga abdomen, rentan untuk mengalami trauma oleh
penetrasi. Secara umum, organ-organ padat berespon terhadap trauma dengan
perdarahan. Organ-organ berongga pecah dan mengeluarkan isinya ke dalam rongga
peritoneal menyebabkan peradangan dan infeksi. Peritonitis disebabkan oleh kebocoran
isi dari organ abdomen ke dalam rongga abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi,
infeksi, iskemia, trauma atau perforasi usus (Brunner & Suddarth, 2002). Reaksi awal
peritonium terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-
kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang menempel menjadi
satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi (Price, 2001 : 402).
Peritonitis menimbulkan beberapa efek sistemik, perubahan sirkulasi, perpindahan cairan
dan masalah pernafasan dapat menyebabkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
kritis. Sistem sirkulasi mengalami stres besar dari beberapa sumber. Respon inflamasi
mengirimkan darah ekstra ke area usus yang terinflamasi. Cairan dan udara ditahan
dalam lumen ini, meningkatkan tekanan dan meningkatkan sekresi cairan ke dalam usus,
proses inflamasi meningkatkan kebutuhan O2 pada waktu kemampuan klien untuk
ventilasi telah berkurang. Klien mengalami kesulitan ventilasi karena nyeri abdomen dan
peningkatan tekanan abdomen, yang meninggikan diafragma (Smetzer & Bare, 2002)

G. Penatalaksanaan
1. Tindakan keperawatan post operasi
a) Monitor kesadaran, tanda-tanda vital, CVP, intake dan output
b) Observasi dan catat sifat darai drain (warna, jumlah) drainage.
c) Dalam mengatur dan menggerakan posisi pasien harus hati-hati, jangan sampai
drain tercabut.
d) Perawatan luka operasi secara steril.
2. Makanan
Pada pasien pasca pembedahan biasanya tidak diperkenankan menelan makanan
sesudah pembedahan. makanan yang dianjurkan pada pasien post operasi adalah
makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein sangat diperlukan pada proses
penyembuhan luka, sedangkan vitamin C yang mengandung antioksidan membantu
meningkatkan daya tahan tubuh untuk pencegahan infeksi. Pembatasan diit yang
dilakukan adalah NPO (nothing peroral) Biasanya makanan baru diberikan jika:
a) Perut tidak kembung
b) Peristaltik usus normal
c) Flatus positif
d) Bowel movement positif
3. Mobilisasi
Biasanya pasien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur agar keadaanya
stabil. Biasanya posisi awal adalah terlentang, tapi juga harus tetap dilakukan
perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus. Pasien yang menjalani pembedahan
abdomen dianjurkan untuk melakukan ambulasi dini.
4. Pemenuhan kebutuhan eliminasi
a) Sistem Perkemihan.
1) Kontrol volunter fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post anesthesia
inhalasi, IV, spinal. Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi  retensio urine.
2) Pencegahan : Inspeksi, Palpasi, Perkusi abdomen bawah (distensi buli-buli).
3) Dower catheter  kaji warna, jumlah urine, out put urine < 30 ml / jam 
komplikasi ginjal.
b) Sistem Gastrointestinal.
1) Mual muntah 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapat menyebabkan
stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada bedah kepala dan
leher serta TIO meningkat.
2) Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus.
3) Kaji paralitic ileus  suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus.
4) jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam.
5) Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi post operatif dengan
decompresi dan drainase lambung.
5. Meningkatkan istirahat.
6. Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
7. Memonitor perdarahan.
8. Mencegah obstruksi usus.
9. Irigasi atau pemberian obat.
H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan rektum: Darah yang menunjukkan adanya kelainan pada usus besar ;
kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, darah yang
menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
2. Laboratorium : Hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
3. Radiologik : Untuk melihat adanya kelainan pada organ dalam abdomen
I. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik.
4. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat:
kerusakan intergritas kulit.
J. Rencana Keperawatan
No. Dx Keperawatan NOC NIC Rasional
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji secara menyeluruh 1. Identifikasi nyeri untuk
keperawatan selama 3x24 jam, tentang nyeri, meliputi: lokasi, mengenali karakteristik dan
berhubungan dengan
diharapkan nyeri teratasi dengan karakteristik,waktu kejadian, cara penangan yang
agen cedera fisik kriteria hasil: lama, frekuensi, kualitas, diperlukan.
intensitas/beratnya nyeri, dan 2. Pasien dapat menentukan cara
No Kriteria Awal Target faktor-faktor pencetus. yang nyaman untuk mengatasi
1 Melaporkan 3 5 2. Berikan informasi tentang nyeri setelah mengenali nyeri.
nyeri
nyeri, seperti: penyebab, 3. Membantu mengurangi nyeri
2 Mengenal faktor 3 5
penyebab nyeri berapa lama terjadi, dan tanpa pengaruh obat-obatan.
Menggunakan tindakan pencegahan. 4. Membantu mengendalikan
tindakan non 3. Ajarkan penggunaan teknik nyeri dengan memberikan
3 farmakologi 2 4 non-farmakologi (ex: relaksasi, lingkungan yang nyaman di
untuk guided imagery, terapi musik, sekitar pasien.
mengurangi
nyeri distraksi, aplikasi panas- 5. Penggunaan obat untuk
dingin, massase). meredakan nyeri apabila tidak
4. Kontrol faktor-faktor dapat tertangani dengan cara
lingkungan yang dapat non farmakologi.
mempengaruhi respon klien
terhadap ketidaknyamanan
(contoh : temperatur ruangan,
penyinaran, dll).
5. Berikan analgetik sesuai
dengan yang dianjurkan

2. Hambatan mobilitas Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kemampuan pasien dalam 1. Identifikasi kemampuan untuk
keperawatan selama 3x24 jam, mobilisasi. menentukan tingkat latihan
fisik berhubungan
diharapkan pasien dapat 2. Jelaskan prosedur pembatasan yang sesuai.
dengan nyeri meningkatkan aktivitas fisiknya gerak yang harus dijalani 2. Pasien mampu melaksanakan
dengan kriteria hasil: pasien. prosedur yang dianjurkan.
3. Jelaskan tentang pentingnya 3. Pasien mmampu menjalani
No Kriteria Awal Target laithan mobilisasi. latihan mobilisasi sesuai
1 Pasien 2 4 4. Latih mobilisasi pasien secara kemampuan.
meningkat bertahap sesuai program 4. Meningkatkan kemampuan
dalam aktivitas
fisik
latihan. pasien dalam mobilisasi.
2 Mengerti tujuan 3 5 5. Berikan latihan ROM sesuai 5. Membantu pasien untuk
dari dengan kemampuan pasien. mencegah kekakuan otot
peningkatan akibat bedrest.
mobilisasi
3 Mampu 2 4
melakukan
latihan fisik di
tempat tidur
(ROM)

2. Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan 1. Anjurkan pasien untuk 1. Menjaga kelembaban luka.
keperawatan selama 3x24 jam, menggunakan pakaian yang 2. Kulit kotor menjadi tempat
kulit berhubungan
diharapkan kerusakan integritas longgar berkumpul bakteri.
dengan faktor kulit teratasi dengan kriteria hasil: 2. Jaga kebersihan kulit agar 3. Tekanan yang berlebih pada
tetap bersih dan kering area kulit menyebabkan luka.
mekanik No Kriteria Awal Target 3. Mobilisasi pasien (ubah posisi 4. Pasien termotivasi untuk
1 Integritas kulit 5 5 pasien) setiap dua jam sekali. meningkatkan aktivitasnya.
yang baik bisa
4. Jelaskan tentang pentingnya 5. Makanan tingi protein dapat
dipertahankan.
2 Perfusi jaringan 4 5 mobilisasi mempercepat penyembuhan
baik. 5. Monitor status nutrisi pasien luka.
3 Menunjukkan 2 4 6. Observasi luka: lokasi, 6. Indentifikasi tanda-tanda
terjadinya dimensi, kedalaman luka, infeksi.
proses karakteristik, warna cairan, 7. Menjaga kebersihan luka.
penyembuhan
luka. granulasi, jaringan nekrotik,
tanda-tanda infeksi lokal.
7. Lakukan tehnik perawatan
luka dengan steril

3. Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji adanya tanda-tanda 1. Deteksi dini mengetahui
keperawatan selama 2x24 jam, infeksi. adanya infeksi.
berhubungan dengan
diharapkan tidak terjadi infeksi 2. Observasi warna kulit. 2. Kemerahan seperti iritasi pada
prosedur invasif dan dengan kriteria hasil: 3. Kaji TTV. area sekitar luka merupakan
4. Ganti balut sesuai jadwal. tanda infeksi.
pembedahan
5. Jaga kebersihan luka. 3. Peningkatan suhu
No Kriteria Awal Target 6. Berikan antibiotik sesuai mengindikasikan adanya
1 Tidak ada 3 5 indikasi apabila terdapat tanda infeksi.
tanda infeksi
infeksi. 4. Balutan yang kotor
2 WBC dalam 5 5
batas normal 7. Berikan informasi tentang memudahkan pertumbuhan
3 Mampu 2 4 tanda-tanda adanya infeksi. kuman.
mengenali 5. Mencegah bertumbuhnya
tanda infeksi bakteri.
6. Antibiotik membantu untuk
membunuh bakteri.
7. Pasien dapat mengidentifikasi
secara mandiri.

Keterangan:
1 = deviasi parah
2 = deviasi berat
3 = deviasi sedang
4 = deviasi ringan
5 = tidak ada deviasi
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC.
Crowin, E.J. (2003). Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doengoes, M.E. (2000). Rencana asuhan keperawatan. Jakarta: EGC.
Huddak & Gallo. (2006). Keperawatan kritis pendekatan holistik. Jakarta: EGC.
Johnson, M., Maas, M., Moorhead, S. (2000). Nursing outcomes classification (NOC). Mosby:
Philadelphia.
Mansjoer, A., et all. (2000). Kapita selekta kedokteran, jilid I. Media Aesculapis: Jakarta
McCloskey, J. dan Bulechek, G. (2000). Nursing interventions classification (NIC). Mosby:
Philadelphia.
Moenadjat, Y. (2003). Luka bakar, edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Nanda. (2000). Nursing diagnosis: Prinsip-Prinsip dan Clasification, 2001-2002. USA:
Philadelphia.
Santosa, B. (2007). Panduan diagnosa keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika.
Smeltzer, S.C. (2001). Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner & Suddarth, Vol 2.
Jakarta: EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN POST OPERASI
LAPARATOMI

Oleh :

YOGA RYAN PRATAMA


G4D013059

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI NERS
PURWOKERTO
2014

Anda mungkin juga menyukai