Anda di halaman 1dari 25

Case Based Discussion

Struma Uninodusa Toxica

Oleh :

Nurma Islamiyah 6120018041

Maimunah Faizin 61200180

Pembimbing

dr. Marjono Dwi Wibowo Sp. B (K) KL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

2019

1
BAB I

Laporan Kasus

A. Identitas psien :
Nama Pasien : Ny. Ida Suhartini
Usia : 45 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan

B. Assesmen awal
1. Keluhan utama : badan lemas dan dada berdebar-debar
2. Anamnesis : Pasien datang ke Poli dengan keluhan dada sering
berdebar-debar dan tidak tahan panas sejak 1 tahun yang lalu,
kemudian pasien mengeluh badannya seringkali lemas dan disarankan
kakak untuk cek tiroid. Kemudian setelah berobat pasien
mengkonsumsi obat tyrosol 2x10mg dan propanolol 2x10mg selama 6
bulan. Setelah itu pada bulan agustus 2019 pasien merasakan terdapat
benjolan di leher anterior agak ke lateral dextra sebesar kelereng,
benjolan tidak terasa nyeri. Pasien merasakan mood swing akhir-akhir
ini. Tidak ada diare maupun konstipasi. Menstruasi lancar setiap
bulannya.
3. RPD :
 DM disangkal
 Hipertensi disangkal
 Benjolan ditempat lain disangkal
4. RPK
 DM disangkal
 Hipertensi disangkal
 Keganasan disangkal
5. Pemeriksaan Fisik :
KU : Lemah
GCS : 456 Compos mentis
Tanda-tanda vital
a. Nadi : 82 x/m reguler
b. TD : 130/79 mmHg
c. T : 36
d. RR : 20x/m

2
Kepala/ leher :
Konjungtiva : Tidak anemis
Sklera : Tidak ikterik
Bibir : Tidak sianosis
Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak teraba. Teraba
benjolan di regio colli anterior dextra, bergerak saat menelan, tidak
nyeri.

Thorax :
Cor : Ictus kordis tak terlihat, ictus cordis tak teraba, thrill (-),
batas jantung normal, Bunyi Jantung I-II reguler, murmur (-),
Gallop (-)
Pulmo : Simetris +/+, fremitus normal +/+, vesikuler +/+ N, rhonki
-/-, wheezing -/-
Abdomen : Flat, hematome (-) caput medusa (-), Supel, bising usus
(+) normal, Nyeri tekan abdomen (-), Hepar dan Lien tidak teraba
membesar.
Ekstremitas : deformitas pada pergelangan tangan kanan, edema pada
paha kanan

Status Lokalis :

Inspeksi : Benjolan (+) Nyeri (-) Hiperemi (-) Pus (-)

Palpasi : Benjolan 1,5 cm x 1,5 cm, Nyeri (-), Fluktuatif, Padat,


Tepi rata berbatas tegas, bergerak saat menelan.

KGB Colli : dalam batas normal tidak didapatkan pembesaran

Diagnosa Kerja

Hipertiroid
Struma Uninodusa toxic

C. Pemeriksaan Penunjang

3
4
5
6
D. Diagnosa Akhir

Hipertiroid
Struma Uninodusa toxic

E. Planning
Lobektomi Dextra

F. Laporan Operasi
1. Diagnosa Pra Bedah : Struma Uninodusa Dextra Toxic fase Eutyroid
2. Diagnosa Post Bedah : Struma Uninodusa Dextra Toxic fase Eutyroid
3. Jenis Tindakan : Subtotal lobektomi kanan
4. Nama Operator : dr Marjono Dwi Wibowo Sp. B (K) KL
5. Persiapan Operasi : Profilaksis cefazoline 2 gram dan informed
consent
6. Posisi pasien : terlentang
7. Desinfeksi : Betadine
8. Insisi kulit dan pembukaan lapangan OP : Insisi collar
9. Pendapatan pada eksplorasi : didapatkan mass 1cm lobus kanan tyroid
10. Apa yang dikerjakan : Subtotal lobektomi kanan pasang drain
11. Penutupan lapangan OP : ditutup lapis demi lapis
12. Komplikasi OP : perdarahan
13. Perdarahan durante OP : 100 cc
14. Deskripsi Jaringan : massa ukuran 1 cm padat kenyal
15. Kesimpulan : Operasi berjalan lancar

G. Follow Up
17 oktober 2019

Subjective Objective Assessment Planning


 Nyeri post op KU : cukup Struma  Clindamycin
 Digunakan TD : 130/ 79 Uninodusa 300mg
untuk bicara mmHg Dextra  Miozidine 35mg
nyeri N : 82 x/menit Toxic fase  Sincronik tab
 Makan bisa T : 36 C Eutyroid  Spironolacton
sedikit-sedikit RR : 20 x/ menit Post Op 25mg tab
GCS : 4 5 6

7
H. Dokumentasi Durante OP

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tiroid

Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri dari 2 lobus yang
dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Setiap lobus tiroid
berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat kelenjar
tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan asupan yodium. Pada orang dewasa berat
normalnya antara 10-20 gram.
Pada sisi posterior melekat erat pada fasia pratrakea dan laring melalui
kapsul fibrosa, sehingga akan ikut bergerak kea rah cranial sewaktu menelan.
Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis (m.
sternotiroid dan m. sternohioid) kanan dan kiri yang bertemu pada midline. Pada
sebelah yang lebih superficial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli profunda
dan superfisialis yang membungkus m. sternokleidomastoideus dan vena jugularis
eksterna. Sisi lateral berbatasan dengan a. karotis komunis, v. jugularis interna,
trunkus simpatikus dan arteri tiroidea inferior. Posterior dari sisi medialnya
terdapat kelenjar paratiroid, n. laringeus rekuren dan esophagus. Esofagus terletak
di belakang trakea dan laring, sedangkan n.laringeus rekuren terletak pada sulkus
trakeoesofagikus.
Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. A.tiroidea superior
berasal dari a.karotis kommunis atau a.karotis eksterna, a.tiroidea inferior dari
a.subklavia, dan a.tiroidea ima berasala dari a.brakhiosefalik salah sau cabang
arkus aorta
Aliran darah dalam kelenjar tiroid berkisar 4-6 ml/gram/menit, kira-kira 50
kali lebih banyak dibanding aliran darah di bagian tubuh lainnya. Pada keadaan
hipertiroidisme, aliran darah ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop
terdengar bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar.
Setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik,
sedangkan system venanya berasal dari pleksus parafolikuler yang menyatu di
permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior.

9
Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar
paratiroid menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus
medius.
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat berada
di atas ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian ada
yang langsung ke duktus torasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk
menduga penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid.

Gambar 2.1 Anatomi Tiroid

10
Gambar 2.2 Anatomi Tiroid Potongan Melintang

2.2 Fisiologi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin (T4).
Bentuk aktif ini adalah triyodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari
konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar
tiroid. Yodida anorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku
hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali yang afinitasnya
sangat tinggi di jaringan tiroid. Yodida anorganik mengalami oksidasi menjadi
bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang terdapat dalam
tiroglobulin sebagai monoyodotirosin (MIT) atau diyodotirosin (DIT). Senyawa
atau konjugasi DIT dengan MIT atau dengan DIT yang lain akan menghasilkan
T3 atau T4, yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4
dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian
mengalami deyodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi,
hormon tiroid terikat pada protein, yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid binding
globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (thyroxine binding
prealbumine, TBPA).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid
(thyroid stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar
hipofisis. Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya
oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai negative
feedback terhadap lobus anterior hipofisis, dan terhadap sekresi thyrotropine
releasing hormone (TRH) dari hipotalamus.
Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan
kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme
kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap
tulang.
Jadi, kesimpulan pembentukan hormon tiroksin melalui beberapa langkah,
yaitu:
1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.

11
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid
merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga
mencapai status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim
peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan
residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula
melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4. Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT
(diiodotirosin) menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian
MIT (monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini
diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi
dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap
berada dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam
darah. Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami
deiodinasi, dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase
sangat berperan dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan
kompleks golgi.

12
2.3 Struma

Struma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya


dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran
kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai besar sekali dan
mengadakan penekanan pada trakea, membuat dilatasi sistem vena serta
pembentukan vena kolateral.
Morfologi dari pembesaran kelenjar tiroid ada berbagai macam. Struma
difus adalah pembesaran yang merata dengan konsistensi lunak pada seluruh
kelenjar tiroid. Struma nodusa adalah jika pembesaran tiroid terjadi akibat nodul,
apabila nodulnya satu maka disebut uninodusa, apabila lebih dari satu, baik
terletak pada satu atau kedua sisi lobus, maka disebut multinodusa.
Ditinjau dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi
hormon tiroksin, maka bisa kita bagi:
1. Hipertiroid, sering juga disebut sebagai toksika bila produksi hormon
tiroksin berlebihan.
2. Eutiroid, bila produksi hormon tiroksin dalam batas normal

13
3. Hipotiroid, bila produksi hormon tiroksin kurang dari normal.
Pada struma yang tanpa ada tanda-tanda hipertiroid, disebut struma non toksika.
Dari aspek histopatologi kelenjar tiroid, maka timbulnya struma bisa kita jumpai
akibat proses hiperplasia, keradangan atau inflamasi, neoplasma jinak dan
neoplasma ganas.
Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh:
1. Hiperplasi dan hipertrofi dari kelenjar tiroid
Setiap organ apabila dipacu untuk bekerja lebih berat maka akan
berkompensasi dengan jalan hipertrofi dan hiperplasi. Demikian pula
dengan kelenjat tiroid pada saat masa pertumbuhan atau paa kondisi
memerlukan hormon tiroksin lebih banyak, misal saat pubertas, gravid dan
sembuh dari sakit parah.
a. Non toxic goiter: difus, noduler
b. Toxic goiter: noduler (Parry’s disease), difus (Grave’s
disease)/Morbus Basedow
2. Inflamasi atau infeksi kelenjar tiroid
a. Tiroiditis akut
b. Tiroiditis sub-akut (de Quervain)
c. Tiroiditis kronis (Hashimoto’s disease dan struma Riedel)
3. Neoplasma
a. Neoplasma jinak (adenoma)
b. Neoplasma ganas (adenocarcinoma) : papiliferum,folikularis,
anaplastik
Adapun klasifikasi klinisnya adalah ebagai berikut:
a. Grade 0 : tidak teraba struma, atau bila teraba besarnya normal
b. Grade IA : teraba struma, tapi tak terlihat
c. Grade IB : teraba struma, tapi baru dapat dilihat apabila posisi kepala
menengadah
d. Grade II : struma dapat dilihat dalam posisi biasa
e. Grade III : struma dapat dilihat dalam posisi biasa dalam jarak 6
meter
f. Grade IV : struma yang amat besar

14
2.4 Struma Nodusa Toksik
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu
lobus yang disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi
pada usia dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati,
dalam 15-20 tahun dapat menjadi toksik. Pertama kali dibedakan dari penyakit
Grave’s oleh Plummer, maka disebut juga Plummer’s disease.
2.5 Etiologi
Struma disebabkan oleh gangguan sintesis hormone tiroid yang
menginduksi mekanisme kompensasi terhadap kadar TSH serum, sehingga
akibatnya menyebabkan hipertrofi dan hyperplasia selfolikel tiroid dan pada
akhirnya menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. Efek biosintetik, defisiensi
iodin penyakit otoimun dan penyakit nodular juga dapat menyebabkan struma
walaupun dengan mekanisme yang berbeda. Bentuk goitrous tiroiditis hashimoto
terjadi karena defek yang didapat pada hormone sintesis, yang mengarah ke
peningkatan kadar TSH dan konsuekensinya efek pertumbuhan (Tampatty, 2019)
Menurut Manjoer (2002) Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan
hormon tiroid merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tiroid antara lain:
a. Defisiensi yodium
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tiroid
c. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia seperti substansi dalam kol,
lobak, kacang kedelai
d. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan misalnya: thiocarbamide,
sulfonylurea dan litium
Penyebab kelainan ini bermacam-macam, pada setiap orang dapat
dijumpai masa karena kebutuhan terhadap tiroksin bertambah, terutama masa
pubertas, pertumbuhan, menstruasi, kehamilan, laktasi, monopouse, infeksi atau
stres lain. Pada masa-masa tersebut dapat dijumpai hiperplasi dan involusi
kelenjar tiroid. Perubahan ini dapat menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta
kelainan arsitektur yang dapat berlanjut dengan berkurangnya aliran darah di
daerah tersebut sehingga terjadi iskemia.
2.6 Manifestasi Klinis

15
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Grave’s disease dengan
Plummer’s disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala hipertiroid. Yang
membedakan adalah saat pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat
merasakan pembesaran yang hanya terjadi pada salah satu lobus.
2.7 Patofisiologi
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar
tiroid yang tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak segera
diobati, dalam 15-20 tahun dapat menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan dari nontoksik menjadi toksik antara lain adalah nodul
tersebut berubah menjadi otonom sendiri (berhubungan dengan penyakit
autoimun), pemberian hormon tiroid dari luar, pemberian yodium radioaktif
sebagai pengobatan.
2.8 Diagnosis
Dalam mendiagnosis struma nodusa toksik didapatkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis yang telaten, pemeriksaan fisik yang seksama sering sudah
cukup mendukung dalam menegakkan diagnosis kerja yang tajam untuk penderita
struma.
Selain hal-hal yang mendukung terjadinya struma akibat keradangan atau
hiperplasi dan hipertrofi, maka perlu juga ditanyakan hal-hal yang diduga ada
kaitannya dengan keganasan pada kelenjar tiroid, terutama pada struma uninodusa
nontoksika antara lain:
1. Umur < 20 tahun atau > 50 tahun
2. Riwayat terpapar radiasi leher waktu kanak-kanak
3. Pembesaran kelenjar tiroid yang cepat
4. Disertai suara parau
5. Disertai disfagia
6. Disertai nyeri
7. Riwayat keluarga yang menderita kanker

16
8. Penderita struma hiperplasi, diterapi dengan hormone tiroksin tetap
membesar
9. Disertai sesak nafas
Pada anamnesis dan pemerikasaan fisik untuk mengetahui adanya
gangguan fungsi pada penderita struma, maka harus ditanyakan dan diperikasa
hal-hal yang mendukung adanya hipertiroid, antara lain:
1. Berat badan turun, makannya banyak akan tetapi badan tetap kurus
(Paradoxa Muller)
2. Kulit basah (hiperhidrosis), telapak tangan terasa
hangat/panas/lembab dan kulit telapak tangan terasa halus akibat
hipermetabolisme dan hiperhidrosis pada kelenjar keringat. Penderita
tidak tahan terhadap hawa panas lebih tahan terhadap hawa dingin.
3. Takikardia, bila tidur nadinya tetap cepat, waspada ancaman atrial
fibrilasi
4. Tremor, gejala ini hamper selalu ada. Suruh penderita meluruskan
lengannya ke depan dan merentangkan jari-jarinya, sambil
memejamkan mata, diletakkan sehelai kertas diatas jari-jarinya, maka
akan terlihat ada atau tidak tremor
5. Eksoptalmus, hampir 50% penderita, bisa bilateral atau unilateral.
Patofisiologi belum jelas. Diduga akibat penambahan lemak dan
infiltrasi limfosit retrobulbar
a. Eksoptalmus ringan: melebarnya fisura palpebra superior
(Steilwag’s sign) akibat retraksi otot palpebra superior. Apabila
penderita kita suruh mengikuti gerakan tangan ke atas dan ke
bawah dengan agak cepat tampak palpebra superior
ketinggalan gerak.
b. Eksoptalmus sedang: bila penderita menundukkan kepala
kemudian kita suruh melirik ke atas, maka kerutan di dahi akan
tampak sedikit sekali, bahkan tidak ada (Joffroy’s sign)
c. Eksoptalmus berat: lemak retrobulber sudah menumpuk,
ditambah edema retrobulber, sehingga dijumpai gejala
kongestif itraorbital. Optamoplegia, kelemahan otot mata

17
akibat protusi bola mata, sehingga bisa strabismus atau
diplopia. Pada fase lanjut geraka konvergensi bola mata
terganggu (Mobius’s sign)
6. Gelisah, hipermetabolisme system saraf membuat niali ambang saraf
menurun, sehingga penderita menjadi iritabel, timbul tremor halus,
depresi
7. Diare, hipereristaltik pada sitem pencernaan, mengakibatkan absorbsi
tidak sempurna, dengan gejala akibatnya antara lain kekurangan
vitamin dan mineral
8. Thyroid thrill, hipervaskular pada tiroid
9. Gangguan keseimbangan hormonal lain, gangguan pola menstruasi
10. Kelainan kulit, karena hipermetabolisme kulit, maka kulit hangat dan
halus (fine texture) dan karena vasodilatasi, bila digores akan
membekas (dermografi).
Biasanya penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak
ada hipo atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan
berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan
menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-
angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan
strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu
pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan
penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat
menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan
demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang
berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea
dengan stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu
menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat
karena terfiksasi pada trakea.
Pemeriksaan fisik pada pasien struma dilakukan secara sistematis (urut
dari atas ke bawah), simetris (bandingkan kanan dan kiri), simultan (kanan dan
kiri bersamaan). Secara rutin harus dievaluasi juga keadaan kelenjar getah bening

18
lehernya, adakah pembesaran, dianjurkan penderita membuka bajunya.
Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala
penderita sedikit fleksi sehingga muskulus sternokleidomastoidea relaksasi,
dengan demikan tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua
tangan bersamaan dengan ibu jari posisi di tengkuk penderita sedang keempat jari
yang lain dari arah lateral mengeveluasi tiroid serta mencari pole bawah kelenjar
tiroid sewaktu penderita disuruh menelan.
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal, maka tidak dapat diraba
trakea dan pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai bentukan
yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan. Biasanya struma masih bisa
digerakkan ke arah lateral dan susah digerakkan ke arah vertikal. Struma menjadi
terfiksir apabila sangat besar, keganasan yang sudah menembus kapsul, tiroiditis
dan sudah ada jaringan fibrosis setelah operasi. Untuk memeriksa struma yang
berasal dari satu lobus (misalnya lobus kiri penderita), maka dilakukan dengan jari
tangan kiri diletakkan di medial di bawah kartilago tiroid, lalu dorong benjolan
tersebut ke kanan. Kemudian ibujari tangan kanan diletakkan di permukaan
anterior benjolan. Keempat jari lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus
sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral kelenjar tiroid tersebut.
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan:
1. lokasi: lobus kanan, lobus kiri, ismus
2. ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
3. jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
4. konsistensi: kistik, lunak, kenyal, keras
5. nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
6. mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoideus
7. pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak
Pemeriksaan Penunjang
Pemerikasaan penunjang yang digunakan dalam diagnosis penyakit tiroid
terbagi atas:
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengukur fungsi tiroid: Pemerikasaan
hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay (RIA)

19
dan cara enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau plasma
darah. Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid,
kadar normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat
membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-
2,6 nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui
hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang
meningkat sampai 3 kali normal.
2. Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya
deviasi trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya
secara klinis pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan Lateral
diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan dengan intubasi
anastesinya. Bahkan tidak jarang untuk konfirmasi diagnostik tersebut sampai
memerlukan CT-scan leher.
3. USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
 menentukan jumlah nodul
 membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
 mengukur volume dari nodul tiroid
 mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
 Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah
 Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
4. Pemeriksaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle aspiration
biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan sampai
menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.
5. Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi
diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu
keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC
dilakukan pemeriksaan patologi anatomis untuk memastikan proses ganas atau
jinak serta mengetahui jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan
parafin block.

2.9 Tatalaksana
Terapi Supresi dengan Hormon Levothyroxine

20
Terapi dengan Levothyroxine (LT4) kombinasi dengan serum TSH (<0.1
µIU/mL) masih dalam kontroversi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan nodul
tiroid dan mencegah kembali munculnya nodul baru atau pertumbuhan kecil
massa yang serupa dengan nodul awal. (AME Guideline, 2006)
Beberapa laporan menyebutkan bahwa pengecilan nodul tiroid lebih sering
terjadi pada penderita dengan kombinasi terapi long-term-TSH di banding dengan
penderita yang tanpa kombinasi TSH. Lebih dari 50% kasus nodul dapat
mengecil, tetapi jika hanya dengan terapi Levothyroxine (LT4) saja maka
persentase keberhasilannya hanya 20%. (AME Guideline, 2006)
Pemberian Levothyroxine (LT4) hendaknya setengah sampai satu jam
sebelum makan (kondisi lambung kosong) agar absorbsinya maksimal.
Disarankan agar minum tablet Levothyroxine (LT4) dengan menggunan segelas air
agar tablet lebih mudah larut dan mudah terserap. Jangan mengkonsumsi tablet
calcium, iron supplements, dan antasida karena akan menghambat absorbsi obat
Levothyroxine (LT4). Dosis maksimum yang diberikan adalah 400 microgram per
hari. (GNU-Wikipedia, 2007)
Saat ini, pengobatan Levothyroxine (LT4) secara rutin pada penderita
dengan nodule tiroid tidak direkomendasikan. Pengunaan Levothyroxine (LT4)
harus dihindari pada penderita: (1) dengan nodule yang besar (large nodule), (2)
pada kasus long-standing goiter, (3) jika level TSH <1 µIU/mL, (4) wanita post-
menopause, (5) penderita usia lebih dari 60 tahun, (6) penderita dengan
osteoporosis, (7) penderita dengan penyakit kardiovaskuler, dan (8) penderita
dengan systemic illness. (AME Guideline, 2006)
Berikut ini adalah hal-hal penting lain yang perlu diperhatikan terhadap
penggunaan Levothyroxine (LT4), antara lain: Pengobatan dengan Levothyroxine
(LT4) hanya menunjukkan hasil klinis yang signifikan pada minoritas jumlah
penderita dan variasi respons-nya belum diketahui dengan baik. Pengobatan
dengan Levothyroxine (LT4) hendaknya tidak boleh terlalu suppressive karena
akan menimbulkan adverse effect. Jika nodul tiroid tidak mengecil dengan
pemberian Levothyroxine (LT4), tindakan reaspiration harus segera dilakukan.
Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) tidaklah berguna untuk tindakan
pencegahan recurrent goiter pasca tindakan lobectomy.

21
Pembedahan
Operasi tiroid (tiroidektomi) merupaka operasi bersih dan tergolong
operasi besar. Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung patologiya
serta ada tidaknya penyebaran dari karsinomanya. Ada 6 macam operasi, yaitu:
1. Lobektomi subtotal; pengangkatan sebagian lobus tiroid yang
mengandung jaringan patologis
2. Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi); pengangkatan satu
sisi lobus tiroid
3. Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang
mengandung jaringan patologis,meliputi kedua lobus tiroid
4. Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang
patologis berikut sebagian besar lobus kontralateralnya.
5. Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
6. Operasi yang sifatnya ”extended”:
a. Tiroidektomi total + laringektomi total
b. Tiroidektomi total + reseksi trakea
c. Tiroidektomi total + sternotomi
d. Tiroidektomi total + FND atau RND
Indikasi operasi pada struma adalah:
a. struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
b. struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
c. struma dengan gangguan tekanan
d. kosmetik.
Kontraindikasi operasi pada struma:
a. struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
b. struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang
belum terkontrol
c. struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan
yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya
sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan pada trakea
ataupun laring dapat sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi,
tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan

22
eksisi yang baik.
d. struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena
metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan
sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi
dan sering hasilnya tidak radikal

Terapi dengan Iodium Radioaktif (Radioiodine 131)


Pengobatan dengan radioiodine 131 diindikasikan untuk: (1) small goiter
(volume <100 mL), (2) tanpa ada kecurigaan malignancy, (3) penderita dengan
riwayat operasi sebelumnya, (4) penderita dengan resiko tindakan bedah.
Jika penderita mempunyai lesi nodul yang besar maka ia akan
membutuhkan radioiodine dalam jumlah banyak dan hal ini dapat menyebabkan
terjadinya efek resiten terhadap terapi. Satu satunya kontra indikasi prosedur ini
adalah kehamilan dan laktasi, yang bisa dideteksi segera dengan tes kehamilan
pada penderita.
Terapi dengan radioiodine berhasil pada 85% - 100% penderita tiroid
nodul. Masa nodul dapat mengecil sebesar 35% setelah tiga bulan, bahkan
mengecil sampai 45% setelah 24 bulan terapi). Pengobatan ini efektif dan aman,
meskipun penelitian lain melaporkan bahwa pengunaan dosis tinggi dapat
menyebabkan thyroid cancer, leukemia; namun demikian, studi epidemiologi
tidak menunjukkan efek klinis yang signifikan terhadap timbulnya carcinoma dan
leukemia.
Penggunaan high-iodine-content-drugs (misalnya: amiodarone) hendaknya
dihindari sebelum melakukan prosedur terapi dengan radioiodine, agar tidak
mempengaruhi thyroid radioiodine uptake. Jika mungkin, obat anti-tiroid
hendaknya distop tiga mingu sebelim prosedur pengobatan, dan tidak boleh
diberikan selama 3-5 hari pasca prosedur terapi dengan radioiodine, untuk
mencegah menurunnya efektifitas terapi.
Jumlah radioiodine yang dipergunakan secara fixed adalah 300 – 1800
MBq, dosis ini tanpa mempertimbangkan ukuran nodul. Sehinga prosedur ini
simple, murah, dan hasilnya memuaskan.

23
Prosedur ini dibilang berhasil jika nilai TSH mecapai 0,5 µIU/mL. Jika
kondisi ini belum tercapai, maka terapi dapat diulang setelah 3 sampai 6 bulan.

2.10 Komplikasi
Pada tindakan operasi tiroidektomi, bisa dijumpai komplikasi awal dan
lanjut. Disamping itu ada pula yang membagi komplikasi yang terjadi dalam
metabolik dan non metabolik. Komplikasi awal antara lain:
a. Perdarahan
b. Paralise n. laringeus rekuren, paralise n. rekuren superior
c. Trakeomalasia
d. Infeksi
e. Tetani hipokalsemia
f. Krisis tiroid (thyroid storm)
Sedangkan komplikasi lanjut berupa:
a. Keloid;
b. Hipotiroiditis;
c. Hipertiroiditis yang kambuh

24
DAFTAR PUSTAKA

AME/AACE Guideline 2006. American Association of Clinical


Endocrinologists and Association Medici Endocrinologi, Medical
Guidelines For Clinical Practice for the diagnosis and management
of thyroid nodule. ENDOCRINE PRACTICE Vol 12 No. 1.
January/February2006.
http://www.aace.com/pub/pdf/guidelines/thyroid_ nodule.pdf
Kariadi KS Sri Hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik & Hipertiroidisme
: Buku Ajar Ilmu Pneyakit Dalam, Edisi Keiga, Penerbit FKUI, Jakarta,
1996 : 757-778.

Liberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit
Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.

Schteingert David E., Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat, Buku
Dua, EGC, Jakarta, 1995 : 1071-1078.

Widjosono, Garitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor


Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997 : 925-952.

25

Anda mungkin juga menyukai