KAJIAN PUSTAKA
Secara Geologi, Daerah Gunung Abu tercakup ke dalam lembar Peta Geologi
daerah Solok, yang tersusun dari batuan Metamorf (Metamorphic Rock), batuan Sedimen
(Sedimentary Rock), dan batuan Vulkanik atau Intrusi (Vulcanic and Intrusive Rock).
Batuan-batuan tersebut terbentuk dari Periode Karbon Hingga Kuarter yang berkisar 10
sampai 300 juta tahun yang lalu.
Para ahli geologi berpendapat bahwa dari kepulauan nusantara yang kita kenal saat
ini, terbentuk sekitar 4 juta tahun yang lalu. Batuan dari zaman pra- tersier yang
terangkat ke pemukaan dengan cara struktur graben lalu diendapkan dengan batuan-
batuan sedimen yang berumur tersier pada cekungan dan menghasilkan batuan intrusi
tersier. Hasil erosi dari batuan intrusi terbawa dan mengendap di sekitar aliran sungai lalu
menghasilkan endapan alluvial. Satuan batuan tersebut terdiri dari Batugamping - Argit,
Granit, Konglomerat, Batulempung - Batupasir, Batulempung - Lanau, Batupasir dan
Tufa Batuapung.
Bentuk topografi yang berkembang dapat ditafsirkan bahwa daerah ini dipengaruhi
oleh aktifitas tektonik baik lipatan maupun sesar. Hal ini dapat dilihat dari bentuk sungai
yang menyiku, menandakan bahwa sungai tersebut terbentuk akibat terjadinya celah atau
rekahan yang relatif merupakan zona lemah dan kemudian air mengerosi sepanjang
rekahan. Perbukitan yang terjadi menggambar-kan daerah ini telah terjadi pengangkatan
dan kemudian terbentuk lipatan (Koesomadinata dan Matasak, 1981).
Kelompok batuan tersier diendapkan tidak selaras di atas batuan pra-tersier, terdiri
dari 6 formasi dari tua ke muda yaitu :
1. Formasi Brani
Formasi ini terdapat pada bagian tepi cekungan yang terdiri dari
konglomerat bewarna coklat sampai violet, berukuran kerakal hingga berakal,
terpilah sangat buruk, bentuk butirnya menyudut tanggung sampai membundar
tanggung dan perlapisan batuannya tidak berkembang dengan baik. Formasi ini
mempunyai dua anggota, yaitu anggota selo dan anggota kualampi.
2. Formasi Sangkarewang
Penamaan Formasi Sangkarewang pertama diperkenalkan oleh Silitonga
dan Kastowo pada tahun 1975 dan diresmikan oleh Koesoemadinata dan Matasak
pada tahun 1981. Sangkarewang merupakan formasi pembawa bitumen padat,
terdiri dari serpih yang berselang - seling dengan lanau dan batupasir berbutir
halus sampai kasar.
Serpih berwarna abu - abu tua kehitam - hitaman sampai kecoklat -
coklatan, karbonan, kadang - kadang dijumpai sisipan tipis atau pita - pita
batubara, mengandung material karbonan, mika pirit, dan sisa tanaman. Batulanau
berwarna abu-abu sampai abu-abu tua, keras. Sedangkan batupasir berwarna abu
- abu muda, berbutir halus sampai kasar, kadang - kadang konglomeratan sampai
breksian, komponennya terdiri dari kuarsa dan feldspar, menyudut tanggung
sampai membundar tanggung, di beberapa tempat membentuk “graded bedding”.
Struktur sedimen yang terlihat adalah “parallel lamination”, “cross bedding”,
“convolute” dan “load cast”.
Perbandingan antara serpih dan batupasir di daerah Kumbayau sampai
Sungai Sangkarewang hampir seimbang, di bagian atas batupasir lebih dominan
ke bagian bawah batupasirnya makin kurang. Formasi Sangkarewang dibagian
selatan yaitu daerah Sapan sampai Sungai Sumpahan didominasi oleh serpih,
sedangkan batupasir halus yang hadir hanya sebagai sisipan saja, selain itu
terdapat rekahan-rekahan yang diisi oleh kalsit.
Formasi Sangkarewang diendapkan secara tidak selaras di atas batuan Pra-
Tersier, menjari dengan Formasi Brani dan bagian atas Formasi Sangkarewang
menjari dengan Formasi Sawahlunto. Formasi ini dikenal karena keterdapatan
fosil ikan air tawar. Menurut Koesoemadinata dan Matasak, Formasi
Sangkarewang berumur Paleosen sampai Eosen. (Koesoemadinata dan Matasak,
1981). Namun menurut P.H. Silitonga dan Kastowo Formasi Brani dan
Sangkarewang berumur Eosen - Oligosen Tengah (Amarullah, 2007).
3. Formasi Sawahlunto
Formasi ini terdiri dari sekuen serpih berwarna abu kecoklatan, serpih
lanauan dan batulanau dengan sisipan batupasir kuarsa, coklat padat dan dicirikan
dengan hadirnya batubara. Serpih biasanya karbonan atau batubaraan. Batupasir
berciri sekuen menghalus ke atas, berlapis silang siur dan khususnya berlaminasi
dengan dasar erosi yang tegas menunjukkan suatu sekuen point bar. Tebal
Formasi Sawahlunto kurang dari 500 meter. Formasi ini tidak mengandung fosil
kecuali sisa tumbuhan dan spora.
4. Formasi Sawahtambang
Formasi ini dicirikan oleh sekuen masif yang tebal dari batupasir
berstruktur silang siur. Serpih dan batulanau berkembang disebagian tempat.
Batupasir berwarna abu-abu terang sampai coklat, berbutir halus sampai sangat
kasar, sebagian besar konglomeratan berupa fragmen kuarsa berukuran kerikil,
terpilah sangat buruk, menyudut tanggung, keras dan masif. Sebagian tempat pada
bagian bawah, terdapat sisipan lapisan-lapisan batulempung atau serpih lanauan
yang membentuk unit tersendiri yaitu sebagai anggota Rasau. Pada bagian atas
juga dengan sisipan lapisan-lapisan batulempung dengan kandungan “Coal
Stringer” yang terjadi setempat-setempat membentuk Anggota Poro.
5. Formasi Ombilin
Formasi Ombilin terdiri dari serpih atau napal berwarna kelabu gelap,
karbonan dan karbonatan, bila lapuk menjadi berwarna kelabu terang dan
umumnya berlapis baik. Termasuk ke dalam sekuen ini adalah lapisan - lapisan
batupasir mengandung glaukonit, berbutir halus, berwarna kelabu kehijauan,
biasanya terdapat sisa-sisa tumbuhan dan fosil moluska. Dari analisis
mikropaleontologi, dijumpai fosil Globigerinoides primordius dan
Globigerinoides trilobus, sehingga formasi ini diinterpretasikan berumur
Miosen Awal (Zona Blow, N4-N5).
6. Formasi Ranau
Pada beberapa lokasi di Cekungan Ombilin, didapatkan formasi berupa tufa
(Van Bemmelen, 1949) yang disebut sebagai Tuff Ranau. Ber-kedudukan
mendatar menutupi formasi-formasi di bawahnya dengan kontak ketidak-
selarasan menyudut. Tuff ini dianggap menjadi deposit volkanik berumur
Pleistosen.
Gambar 2.2 Stratigrafi Cekungan Ombilin (Modifikasi dari Ph. Silitonga & Kastowo,
Secara umum, cekungan ombilin dibentuk oleh dua terban berumur Paleogen dan
Neogen, dibatasi oleh sesar Tanjungampalu bearah utara-selatan. Pada arah baratlaut
terdapat subcekungan Payakumbuh yang terpisah dari Cekungan Ombilin dengan batas
jalur vulkanik berarah utara-selatan. Subcekungan Payakumbuh diinterpretasikan sebagai
bagian terban berumur Paleogen.
Secara lokal ada tiga bagian struktur yang bisa dikenal pada cekungan Ombilin,
yaitu sesar dengan jurus berarah baratlaut - tenggara yang membentuk bagian dari sistem
sesar Sumatera. Bagian utara dari cekungan dibatasi oleh Sesar Sitangkai dan Sesar
Tigojangko. Sesar Tigojangko memanjang kearah tenggara menjadi sesar Takung.
Bagian selatan dari cekungan dibatasi oleh Sesar Silungkang.
Sistem sesar dengan arah umum utara - selatan dengan jelas terlihat pada timurlaut
dari cekungan. Sistem sesar ini membentuk sesar berpola tangga (step-like fault) dari
utara ke selatan, yaitu Sesar Kolok, Sesar Tigotumpuk dan Sesar Tanjung Ampalu.
Perkembangan dari sesar ini berhubungan dengan fase tensional selama tahap awal dari
pembentukan cekungan dan terlihat memiliki peranan utama dalam evolusi cekungan.
Selanjutnya jurus sesar dengan arah timur - barat membentuk sesar mengiri dengan
komponen dominan dip-slip (Situmorang, dkk., 1991).
Berdasarkan peta geologi regional (PH. Silitonga dan Kastowo 1995 Edisi 2)
peneliti memperoleh 5 formasi didaerah penelitian. Formasi-formasi ini adalah sebagai
berikut :
1. Batuan Metamorf
a. Anggota Batugamping Formasi Kuantan (PCkl).
b. Anggota Filit & Serpih Fromasi Kuantan (PCks).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kastowo dan Leo (1973) dan Silitonga
dan Kastowo (1975), satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah penelitian berumur
Perm-Karbon berupa anggota batugamping Formasi Kuantan (PCkl), terdiri dari
batugamping, batusabak, filit, serpih terkersikkan dan kuarsit. Anggota Filit dan Serpih
Formasi Kuantan (PCks), terdiri dari serpih, filit, sisipan batusabak, kuarsit, batulanau,
rijang dan aliran lava.
2. Batuan Sedimen
a. Formasi Brani (Tob).
Satuan Batuan Vulkanik berupa Andesit Gunung Malintang (Qamg) terdiri dari
Breksi sampai basalt, aglomerat, pecahan lava berongga, endapan lahar dan lava. (P.H.
Silitonga dan Kastowo, 1995).