KEWARGANERGARAAN
“ RULE OF LAW “
Di susun oleh:
1. Melinda Luthfiarines NIM: I82140
2. Riska Lusiana Putri NIM: I8214041
3. Yusiva Azadina Briantari NIM: I8214048
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME atas rahmat dan karuniaNya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik . Tak lupa sebagai penulis kami ucapkan
terima kasih kepada para sahabat dan pihak-pihak yg mendukung pembuatan makalah ini.
Makalah ini disusun guna melengkapi tugas Pendidikan Kewarganegaraan “RULE OF LAW
(PENEGAKAN HUKUM)” UKD 3 Semester 2. Dalam penyusunan makalah ini, dengan
kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak, kami telah berusaha untuk dapat memberikan
serta mencapai hasil yang semaksimal mungkin dan sesuai dengan harapan, walaupun di
dalam pembuatannya kami menghadapi berbagai kesulitan karena keterbatasan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang kami miliki. Oleh sebab itu pada kesempatan ini, kami
ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya khususnya kepada Bapak Junaidi
selaku dosen pembimbing Pendidikan Kewarganegaraan. Saya menyadari bahwa dalam
penulisan dan pembuatan makalah ini, masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu
saran dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan untuk dapat menyempurnakan
makalah di masa yang akan datang. Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami dan teman-teman maupun pihak lain yang berkepentingan.
Penulis
DAFTAR ISI
JUDUL .......................................................................................................................................I
KATA PENGANTAR ...............................................................................................................2
DAFTAR ISI .............................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG .........................................................................................................4
1.2 RUMUSAN MASALAH.....................................................................................................4
1.3 TUJUAN .............................................................................................................................4
BAB 2 PEMBAHASAN ...........................................................................................................6
2.1 PENGERTIAN RULE OF LAW ........................................................................................6
2.2 SEJARAH BERDIRINYA RULE OF LAW.......................................................................8
2.3 FUNGSI RULE OF LAW ...................................................................................................8
2.4 PELAKSANAAN RULE OF LAW ....................................................................................9
2.5 DINAMIKA PELAKSANAAN RULE OF LAW DI INDONESIA ................................10
2.6 PENEGAKAN HUKUM ..................................................................................................12
2.7 PENEGAKAN HUKUM DALAM KASUS KORUPSI …………………………………
Kejaksaan
Wewenang dan tugas kejaksaan:
- Melakukan penuntutan.
- Melaksanakan penetapan hakim dan putusa pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
- Melakukan pengawasan tehadap pelaksanaan putusan pidana masyarakat, putusan
pidana pengawasan, dan keputusa lepas bersyarat.
- Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
- Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan dan dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik.
Badan peradilan
1) Mahkamah Agung (MA) merupakan puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia. MA
mempunyai kewenangan.
- Mengadili pada tingkat kasai terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir
oleh peradilan.
- Menguji peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-
undang.
- Kewenangan lain yang ditentukan undang-undang.
2) Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga peradilan pada tignkat pertama dan
terakhir:
- Menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
- Memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945.
- Memutuskan pembubaran parpol.
- Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
3) Peradilan Tinggi dan Negeri merupakan peradilan umum di tingkat provinsi dan
kabupaten. Fungsi kedua peradilan tersebut adalah menyelenggarakan peradilan baik
pidana dan perdata di tingkat kabupaten, dan tingkat banding di peradilan tinggi. Pasal
57 UU No. 8 tahun 2004 menetapkan agar peradilan memberikan prioritas peradilan
terhadap tindak korupsi, terorisme, narkotika atau psikotropika pencucian uang, dan
selanjutnya, tindak pidana.
Korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya : buruk, rusak, busuk, suka
memakai barang (uang) yg dipercayakan padanya, dapat disogok (memakai kekuasaannya
utk kepentingan pribadi). Negara Indonesia adalah sebuah Negara demokrasi yang sedang
berkembang. Seperti yang diketahui , Negara Indonesia mensisakan catatan sebagai sebuah
Negara yang tingkat korupsi yang tinggi. Peringkat Indonesia di indeks korupsi yang
dikeluarkan Transparency International naik dari 114 ke 107. Tapi masih jauh di bawah
negara-negara tetangga seperti Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapura.
Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1967, dengan
dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi. Pada tahun 1970 dibentuk Komite Anti Korupsi
(KAK). Selanjutnya dibentuk juga Komisi Empat. Tahun 1977 dibentuklah Opstib. Kemudian
pada tahun 1982 Tim Pemberantas Korupsi (TPK) dihidupkan kembali. Tahun 1999 dibentuk
tim yang bertugas untuk memeriksa kekayaan pejabat negara yaitu KPKKN. Selanjutnya
dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) tahun 1999. Pada
tahun 2002 terbentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penegakan hukum di Indonesia tentang korupsi Pemerintah Indonesia telah
melakukan terobosan dengan memaksimalkan hukuman bagi koruptor yang tertuang dalam
Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999 yang diubah dengan UU No. 20/2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dimana dalam pasal ini sanksi hukumanya adalah
hukuman mati, bilamana tindakan korupsi itu dilakukan terhadap dana yang diperuntukkan
bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat
kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan
pengulangan tindak pidana korupsi.
Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi hanya dijatuhkan apabila
dilakukan dalam keadaan tertentu. Hal ini menjadi titik kelemahan perangkat undang-undang
kita, mengapa “si pembuat undang-undang” tidak menyeragamkan semua bentuk-bentuk
korupsi dengan ancaman maksimal hukuman mati atau dengan membuat suatu batasan
minimal berapa besar nilai korupsinya untuk dapat dijatuhi hukuman mati.
Adapun kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia yang dapat dipidana mati
berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999 yang diubah dengan UU No. 20/2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, misalnya kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI), Dana Bantuan CGI, kredit macet yang melahirkan pengutang-utang raksasa, ataupun
kasus-kasus lain yang dapat dijerat dengan pidana mati.
Sampai saat ini di Indonesia penerapan pidana mati hanya diterapkan kepada kejahatan-
kejahatan konvensional, misalnya pembunuhan berencana dan pengedaran narkoba,
meskipun pidana mati masih menimbulkan prokontra dengan alasan pelanggaran hak asasi
manusia (HAM).
Khusus untuk kasus korupsi efek penjeraan dipandang lebih efektif apabila diterapkan
hukuman berat berupa hukuman maksimum 20 tahun bahkan hukuman mati atau hukuman
seumur hidup sekalipun. Alasannya penjatuhan pidana berat pada dua stratifikasi sosial,
antara pejabat atau konglomerat disatu sisi dengan masyarakat pinggiran atau gelandangan
disisi lain, akan memberikan dampak psikologis (penjeraan) yang berbeda. Akan sangat
terasa efek penjeraan terhadap para pejabat/konglomerat. Ada hasil penelitian
mengungkapkan bahwa penjatuhan pidana berat tidak berpengaruh terhadap penurunan angka
kejahatan, yang perlu digaris bawahi dari hasil penelitian tersebut yaitu objek penelitiannya
adalah masyarakat pinggiran/kumuh, berbeda ketika sanksi pidana berat diterapkan kepada
para pejabat atau konglomerat.
Rekapitulasi putusan perkara tindak pidana korupsi diseluruh Indonesia dalam kurun
waktu tiga tahun terakhir, secara keseluruhan menunjukkan bahwa penjatuhan sanksi pidana
oleh hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung tergolong
relatif sangat rendah, kurang adil dan tidak proporsional bila dibandingkan tindak pidana
lainnya. Bahkan Teten Masduki (Koordinator ICW) menilai bahwa hukuman tindak pidana
korupsi sama sekali tidak membuat efek jera, karena hakim tidak memerintahkan terpidana
untuk masuk penjara, misalnya kasus Probosutedjo dengan pidana empat tahun penjara,
namun seperti vonis-vonis kasus korupsi lainnya, hakim tak memerintahkan Probosutedjo
untuk segera masuk penjara. Alasannya, Probosutedjo tidak akan melarikan diri, sampai ada
vonis yang berkekuatan hukum tetap. Tampaknya hal ini menjadi model penyelesaian kasus
korupsi lewat pengadilan untuk melobi hakim di tingkat banding atau kasasi untuk
meringankan putusan atau menunggu sampai terjadi pergantian kekuasaan.
Dengan semakin banyaknya jumlah perkara korupsi dan mengakibatkan kerugian
negara yang begitu besar, tetapi rendahnya tingkat penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku
kejahatan korupsi membuktikan bahwa lemahnya political action pemerintah maupun aparat
penegak hukum. Berbagai argumentasi dan alasan yang dikemukakan berkaitan dengan hal
ini, bahwa lemahnya political action pemerintah maupun aparat penegak hukum disebabkan
dunia peradilan sudah dikuasai oleh para “mafia peradilan”, praktek dunia penegakan hukum
sudah tercemar dengan jual beli atau dagang hukum.
Berdasarkan hal diatas menunjukkan bahwa political action penjatuhan pidana mati
terhadap pelaku kejahatan korupsi di Indonesia masih lemah, hal inilah mungkin sebagai
penyebab statistik kejahatan korupsi dari tahun ke tahun terus meningkat karena sanksi
pidana yang dijatuhkan masih ringan. Tetapi Penggunaan sanksi pidana berat (pidana mati)
tidak hanya sekedar mempertontonkan atau membuktikan komitmen bahwa penegakan
hukum sudah dilakukan secara sungguh-sungguh, tetapi lebih dari itu hukum pidana
mempunyai tujuan prevensi. Dan juga pemberantasan korupsi sebagai musuh bangsa
bukanlah bersifat sporadis dan temporal tetapi secara sistematis hingga ke akar-akarnya
3.2 SARAN
Sebagai seorang warga Negara yang baik haruslah menjunjung menjadi seseorang
yang menjunjung tinggi hukum serta kaidah-kadiah agar tercipta keamanan, ketentraman, dan
kenyamanan. Mempelajari Undang-Undang 1945 berserta butir-butir nilainya dan
menjalankan apa yang menjadi tuntutannya agar terjadi kehidupan yang stabil dan taat
hukum. Dalam suatu penegakkan hukum di suatu Negara seperti Indonesia, maka seluruh
aspek kehidupan harus dapat merasakan dan diharapkan aspek-aspek tersebut dapat mentaati
hukum, maka akan terciptalah pemerintahan dan kehidupan Negara yang harmonis, selaras
dengan keadaan dan sesuai dengan apa yang diharapakan yaitu suatu bangsa yang makmur,
damai, serta taat hukum.
Keadilan pada penegakkan hukum juga harus dilaksanakan karena dengan keadilan
pada penegakkan hukum dapat menjadikan Negara Indonesia yang damai dan berperi
kemanusian yang seadil-adilnya.
http://zriefmaronie.blogspot.com/2010/04/perbandingan-pidana-mati-terhadap.html ,
jumat 24 April 2015
http://www.dw.de/indeks-korupsi-peringkat-indonesia-membaik-tapi-masih-buruk/a-
18107694, jumat 24 April 2015