Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PENDIDIKAN

KEWARGANERGARAAN
“ RULE OF LAW “

Di susun oleh:
1. Melinda Luthfiarines NIM: I82140
2. Riska Lusiana Putri NIM: I8214041
3. Yusiva Azadina Briantari NIM: I8214048

D3 TEKNIK SIPIL TRANSPORTASI

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME atas rahmat dan karuniaNya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik . Tak lupa sebagai penulis kami ucapkan
terima kasih kepada para sahabat dan pihak-pihak yg mendukung pembuatan makalah ini.
Makalah ini disusun guna melengkapi tugas Pendidikan Kewarganegaraan “RULE OF LAW
(PENEGAKAN HUKUM)” UKD 3 Semester 2. Dalam penyusunan makalah ini, dengan
kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak, kami telah berusaha untuk dapat memberikan
serta mencapai hasil yang semaksimal mungkin dan sesuai dengan harapan, walaupun di
dalam pembuatannya kami menghadapi berbagai kesulitan karena keterbatasan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang kami miliki. Oleh sebab itu pada kesempatan ini, kami
ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya khususnya kepada Bapak Junaidi
selaku dosen pembimbing Pendidikan Kewarganegaraan. Saya menyadari bahwa dalam
penulisan dan pembuatan makalah ini, masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu
saran dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan untuk dapat menyempurnakan
makalah di masa yang akan datang. Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami dan teman-teman maupun pihak lain yang berkepentingan.

Surakarta, April 2015

Penulis
DAFTAR ISI
JUDUL .......................................................................................................................................I
KATA PENGANTAR ...............................................................................................................2
DAFTAR ISI .............................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG .........................................................................................................4
1.2 RUMUSAN MASALAH.....................................................................................................4
1.3 TUJUAN .............................................................................................................................4
BAB 2 PEMBAHASAN ...........................................................................................................6
2.1 PENGERTIAN RULE OF LAW ........................................................................................6
2.2 SEJARAH BERDIRINYA RULE OF LAW.......................................................................8
2.3 FUNGSI RULE OF LAW ...................................................................................................8
2.4 PELAKSANAAN RULE OF LAW ....................................................................................9
2.5 DINAMIKA PELAKSANAAN RULE OF LAW DI INDONESIA ................................10
2.6 PENEGAKAN HUKUM ..................................................................................................12
2.7 PENEGAKAN HUKUM DALAM KASUS KORUPSI …………………………………

2.8 APARATUR PENEGAKAN HUKUM ............................................................................13


2.9 KESADARAN HUKUM MASYARAKAT .....................................................................15
BAB 3 PENUTUP ...................................................................................................................17
3.1 KESIMPULAN .................................................................................................................17
3.2 SARAN .............................................................................................................................17
3.3 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................18
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari hukum, mulai dari norma, nilai,
tata krama, hingga hukum perundang-undangan dalam peradilan. Sayangnya hukum di
Negara Indonesia masih kurang dalam proses penegakkannya, terutama penegakkan hukum
di kalangan pejabat-pejabat dibandingkan dengan penegakkan hukum dikalangan menengah
ke bawah. Hal ini terjadi karena di Negara kita, hukum dapat dibeli dengan uang. Siapa yang
memiliki kekuasaan, dia yang memenangkan peradilan.
Dengan melihat kenyataan seperti itu, pembenahan peradilan di Negara kita dapat
dimulai dari diri sendiri dengan mempelajari norma atau hukum sekaligus memahami dan
menegakkannya sesuai dengan keadilan yang benar. Dalam bahasan ini dibahas supaya
keadilan dapat ditegakkan, maka akan terkait semua aspek yang ada didalamnya yang
mempengaruhi dan menjadi penentu apakah keadilan dapat ditegakan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Adapun permasalahan yang dihadapi diantaranya adalah:
1. Apa pengertian Rule of Law?
2. Bagaimana terbentuknya Rule of Law?
3. Apa fungsi dari Rule of Law?
4. Bagaimana pelaksanaan Rule of Law?
5. Bagaimanakah dinamika pelaksanaan Rule of Law?
6. Apakah Negara Indonesia termasuk Negara yang adil dalam penegakan hukumnya?
7. Apa itu Aparatur Penegak Hukum?
8. Bagaimana kesadaran hukum di masyarakat?
1.3 TUJUAN
Setelah mempelajari makalah ini diharapkan dapat mengetahui dan menjelaskan :
1. Pengertian Rule of Law
2. Sejarah berdirinya Rule of Law
3. Fungsi Rule of Law
4. Pelaksanaan Rule of Law
5. Dinamika pelaksanaan Rule of Law
6. Penegakan hukum
7. Aparatur Penegak Hukum
8. Kesadaran hukum di masyarakat
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN RULE OF LAW


Gerakan masyarakat yang menghendaki bahwa kekuasaan raja maupun
penyelenggaraan negara harus dibatasi dan diatur melalui suatu peraturan perundang-
undangan dan pelaksanaan dalam hubungannya dengan segala peraturan perundang-
undangan itulah yang sering diistilahkan dengan Rule of Law. Misalnya gerakan revolusi
Perancis serta gerakan melawan absolutisme di Eropa lainnya, baik dalam melawan
kekuasaan raja, bangsawan maupun golongan teologis. Oleh karena itu menurut Friedman,
antara pengertian negara hukum atau rechtsstaat dan Rule of Law sebenarnya saling mengisi
(Friedman, 1960: 546). Berdasarkan bentuknya sebenarnya Rule of Law adalah kekuasaan
publik yang diatur secara legal.
Setiap organisasi atau persekutuan hidup dalam masyarakat termasuk negara
mendasarkan pada Rule of Law. Dalam hubungan ini pengertian Rule of Law berdasarkan
substansi atau isinya sangat berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam suatu negara.
Negara hukum merupakan terjemahan dari istilah Rechsstaat atau Rule Of Law.
Rechsstaat atau Rule Of Law itu sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk perumusan yuridis
dari gagasan konstitusionalisme. Oleh karena itu, konstitusi dan negara hukum merupakan
dua lembaga yang tidak terpisahkan.
Negara Indonesia pada hakikatnya menganut prinsip “Rule of Law, and not of Man”,
yang sejalan dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum
atau nomos. Dalam negara hukum yang demikian ini, harus diadakan jaminan bahwa hukum
itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip
supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada hakikatnya berasal dari kedaulatan
rakyat. Oleh karena itu prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan
menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat atau democratische rechstssaat.
Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi
berdasarkan kekuasaan belaka atau machtsstaat. Karena itu perlu ditegaskan pula bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan menurut Undang-Undang Dasar atau
constitutional democracy yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democratische rechtsstaat) Asshid
diqie, 2005: 69-70).
Prinsip-prinsip rule of law secara formal tertera dalam pembukaan UUD 1945 yang
menyatakan:
a. Bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa,…karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan ”peri keadilan”;
b. …kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, ”adil” dan makmur;
c. …untuk memajukan ”kesejahteraan umum”,…dan ”keadilan social”;
d. …disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indoensia itu dalam suatu ”Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia”;
e. ”…kemanusiaan yang adil dan beradab”;
f. …serta dengan mewujudkan suatu ”keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian inti rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat terutama
keadilan sosial.
Adapun unsur – unsur Rule Of Law menerurut AV Dicey terdiri dari :
1. Supremasi hukum, dalam artian tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga
seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.
2. Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat.
3. Terjamin hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengandilan.
Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokrasi menurut
rule of law adalah :
1. Adanya perlindungan konstitusional
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3. Pemilihan umum yang bebas.
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi
6. Pendidikan kewarganegaraan
Ada tidaknya rule of law pada suatu negara ditentukan oleh “kenyataan”, apakah
rakyat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan adil, baik sesama warga Negara maupun
pemerintah.
Untuk membangun kesadaran di masyarakat maka perlu memasukkan materi
instruksional Rule of Law sebagai salah satu materi di dalam mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn).
2.2 SEJARAH BERDIRINYA RULE OF LAW
Latar belakang kelahiran rule of law:
a. Diawali oleh adanya gagasan untuk melakukan pembatasan kekuasaan pemerintahan
Negara.
b. Sarana yang dipilih untuk maksud tersebut yaitu Demokrasi Konstitusional.
c. Perumusan yuridis dari Demokrasi Konstitusional adalah konsepsi negara hukum.
Rule of law adalah doktrin hukum yang muncul pada abad ke 19, seiring degan negara
konstitusi dan demokrasi. Rule of law adalah konsep tentang common law
Unsur-unsur rule of law menurut A.V. Dicey terdiri dari:
- Supremasi aturan-aturan hukum.
- Kedudukan yang sama didalam menghadapi hukum.
- Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan
pengadilan.
Paham rule of law di Inggris diletakan pada hubungan antara hukum dan keadilan, di
Amerika di letakan pada hak-hak asasi manusia, dan di Belanda paham rule of law lahir dari
paham kedaulatan Negara, melalui paham kedaulatan hokum untuk mengawasi pelaksanaan
tugas kekuatan pemerintah. Di Indonesia, inti dari rule of law adalah jaminan adanya
keadilan bagi seluruh masyarakatnya, khususnya keadilan social.
Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokrasi menurut rule of
law adalah:
- Adanya perlindungan konstitusional.
- Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
- Pemilihan umum yang bebas.
- Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
- Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
- Pendidikan kewarganegaraan.
2.3 FUNGSI RULE OF LAW
Fungsi Rule Of Law pada hakikat nya adalah jaminan adanya keadilan social bagi
masyarakat, terutama keadilan social.
Penjabaran prinsip-prinsip Rule Of Law secara formal termuat dalam pasal-pasal
UUD 1945 yaitu:
 Pasal 1 ayat 3
 Pasal 24 ayat 1
 Pasa 27 ayat 1
 Pasal 28D ayat 1 dan 2

2.4 PELAKSANAAN RULE OF LAW


Agar pelaksanaan rule of law bisa berjalan dengan yang diharapkan, maka:
a. Keberhasilan “the enforcement of the rules of law” harus didasarkan pada corak
masyarakat hukum yang bersangkutan dan kepribadian masing-masing setiap bangsa.
b. Rule of law yang merupakan intitusi sosial harus didasarkan pada budaya yang tumbuh
dan berkembang pada bangsa.
c. Rule of law sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan social, gagasan tentang
hubungan antar manusia, masyarakat dan negara, harus ditegakan secara adil juga memihak
pada keadilan.
Untuk mewujudkannya perlu hukum progresif (Setjipto Raharjo: 2004), yang
memihak hanya pada keadilan itu sendiri, bukan sebagai alat politik atau keperluan lain.
Asumsi dasar hokum progresif bahwa ”hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya.
Hukum progresif memuat kandungan moral yang kuat.
Arah dan watak hukum yang dibangun harus dalam hubungan yang sinergis dengan
kekayaan yang dimiliki bangsa yang bersangkutan atau “back to law and order”, kembali
pada hukum dan ketaatan hukum negara yang bersangkutan itu.
Adapun negara yang merupakan negara hukum memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Ada pengakuan dan perlindungan hak asasi.
2. Ada peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak terpengaruh oleh kekuasaan
atau kekuatan apapun.
3. Legalitas terwujud dalam segala bentuk.
Contoh: Indonesia adalah salah satu Negara terkorup di dunia (Masyarakat Transparansi
Internasional: 2005).
Beberapa kasus dan ilustrasi dalam penegakan rule of law antara lain:
 Kasus korupsi;
 Kasus illegal logging;
 Kasus dan reboisasi hutan yang melibatkan pejabat Mahkamah Agung (MA);
 Kasus-kasus perdagangan narkoba dan psikotripika ;
 Kasus perdagangan wanita dan anak.

2.5 DINAMIKA PELAKSANAAN RULE OF LAW DI INDONESIA


Dalam Proses Penegakan hokum di Indonesia di lakukan oleh lembaga penegak
hukum yang terdiri dari:
 Kepolisian
Fungsinya memelihara keamanan dalam negeri. Yang memiliki tugas pokok yaitu:
- Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
- Menegakan Hukum.
- Memberi perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
wewenang kepolisian adalah sebagai berikut:
- Mengawasi aliran yang menimbulkan perpecahan dan mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa.
- Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
- Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam
rangka pencegahan.
- Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat.
- Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat
lainnya.
- Memberikan izin melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata
tajam.

 Kejaksaan
Wewenang dan tugas kejaksaan:
- Melakukan penuntutan.
- Melaksanakan penetapan hakim dan putusa pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
- Melakukan pengawasan tehadap pelaksanaan putusan pidana masyarakat, putusan
pidana pengawasan, dan keputusa lepas bersyarat.
- Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
- Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan dan dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik.

 KPK( komisi Pemberantasn Korupsi)


KPK di tetapkan dengan UU no 20 tahun 2002 dengan tujuan meningkatkan daya guna
dan hasil guna terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tugas KPK:
- Berkoordinasi dengan instansi lain yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
- Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
- Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
- Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
- Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Wewenang KPK.
- Melakukan pengawasan, penelitian, penelaahan, terhadap instansi yang menjalankan
tugas dan wewenang dengan pemberantasan tindak korupsi.
- Mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak korupsi yang
sedang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan.
- Menetapkan system pelaporan dalam kegiatan pemberantasan korupsi.
- Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
- Hanya menangani perkara korupsi yang terjadi setelah 27 Desember 2002.
- Peradilan tindak pidana korupsi tidak bisa berjalan dengan landasan hukum UU KPK.

 Badan peradilan
1) Mahkamah Agung (MA) merupakan puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia. MA
mempunyai kewenangan.
- Mengadili pada tingkat kasai terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir
oleh peradilan.
- Menguji peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-
undang.
- Kewenangan lain yang ditentukan undang-undang.

2) Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga peradilan pada tignkat pertama dan
terakhir:
- Menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
- Memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945.
- Memutuskan pembubaran parpol.
- Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

3) Peradilan Tinggi dan Negeri merupakan peradilan umum di tingkat provinsi dan
kabupaten. Fungsi kedua peradilan tersebut adalah menyelenggarakan peradilan baik
pidana dan perdata di tingkat kabupaten, dan tingkat banding di peradilan tinggi. Pasal
57 UU No. 8 tahun 2004 menetapkan agar peradilan memberikan prioritas peradilan
terhadap tindak korupsi, terorisme, narkotika atau psikotropika pencucian uang, dan
selanjutnya, tindak pidana.

2.6 PENEGAKAN HUKUM


Penegakkan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas
atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau
dari sudut subyeknya, penegakkan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan
dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum
dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum
yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit,
dari segi subyeknya itu, penegakkan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur
penegakkan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila
diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakkan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi
hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam
arti luas, penegakkan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung
didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Tatapi dalam arti sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut penegakkan peraturan
yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law Enforcement” ke
dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakkan Hukum” dalam arti luas
dapat pula digunakan istilah “Penegakkan Peraturan” dalam arti sempit.
Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang
dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggris sendiri dengan dikembangkannya
istilah “the rule of law” atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “
the rule by law” yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “ the rule of law”
terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal,
melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu,
digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”,
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum
modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by
law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar
sebagai alat kekuasaan belaka.
Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakkan
hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik
dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman
perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan
maupun oleh aparatur penegakkan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh
Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakkan hukum dapat kita
tentukan sendiri batas-batasnya Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi
penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya maupun obyeknya atau kita batasi haya
membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya menelaah aspek-aspek subyektif saja.
Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan
aspek yang terkait dengan tema penegakkan hukum itu.
2.8 PENEGAKAN HUKUM DALAM KASUS KORUPSI

Korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya : buruk, rusak, busuk, suka
memakai barang (uang) yg dipercayakan padanya, dapat disogok (memakai kekuasaannya
utk kepentingan pribadi). Negara Indonesia adalah sebuah Negara demokrasi yang sedang
berkembang. Seperti yang diketahui , Negara Indonesia mensisakan catatan sebagai sebuah
Negara yang tingkat korupsi yang tinggi. Peringkat Indonesia di indeks korupsi yang
dikeluarkan Transparency International naik dari 114 ke 107. Tapi masih jauh di bawah
negara-negara tetangga seperti Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapura.
Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1967, dengan
dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi. Pada tahun 1970 dibentuk Komite Anti Korupsi
(KAK). Selanjutnya dibentuk juga Komisi Empat. Tahun 1977 dibentuklah Opstib. Kemudian
pada tahun 1982 Tim Pemberantas Korupsi (TPK) dihidupkan kembali. Tahun 1999 dibentuk
tim yang bertugas untuk memeriksa kekayaan pejabat negara yaitu KPKKN. Selanjutnya
dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) tahun 1999. Pada
tahun 2002 terbentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penegakan hukum di Indonesia tentang korupsi Pemerintah Indonesia telah
melakukan terobosan dengan memaksimalkan hukuman bagi koruptor yang tertuang dalam
Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999 yang diubah dengan UU No. 20/2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dimana dalam pasal ini sanksi hukumanya adalah
hukuman mati, bilamana tindakan korupsi itu dilakukan terhadap dana yang diperuntukkan
bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat
kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan
pengulangan tindak pidana korupsi.
Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi hanya dijatuhkan apabila
dilakukan dalam keadaan tertentu. Hal ini menjadi titik kelemahan perangkat undang-undang
kita, mengapa “si pembuat undang-undang” tidak menyeragamkan semua bentuk-bentuk
korupsi dengan ancaman maksimal hukuman mati atau dengan membuat suatu batasan
minimal berapa besar nilai korupsinya untuk dapat dijatuhi hukuman mati.
Adapun kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia yang dapat dipidana mati
berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999 yang diubah dengan UU No. 20/2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, misalnya kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI), Dana Bantuan CGI, kredit macet yang melahirkan pengutang-utang raksasa, ataupun
kasus-kasus lain yang dapat dijerat dengan pidana mati.
Sampai saat ini di Indonesia penerapan pidana mati hanya diterapkan kepada kejahatan-
kejahatan konvensional, misalnya pembunuhan berencana dan pengedaran narkoba,
meskipun pidana mati masih menimbulkan prokontra dengan alasan pelanggaran hak asasi
manusia (HAM).
Khusus untuk kasus korupsi efek penjeraan dipandang lebih efektif apabila diterapkan
hukuman berat berupa hukuman maksimum 20 tahun bahkan hukuman mati atau hukuman
seumur hidup sekalipun. Alasannya penjatuhan pidana berat pada dua stratifikasi sosial,
antara pejabat atau konglomerat disatu sisi dengan masyarakat pinggiran atau gelandangan
disisi lain, akan memberikan dampak psikologis (penjeraan) yang berbeda. Akan sangat
terasa efek penjeraan terhadap para pejabat/konglomerat. Ada hasil penelitian
mengungkapkan bahwa penjatuhan pidana berat tidak berpengaruh terhadap penurunan angka
kejahatan, yang perlu digaris bawahi dari hasil penelitian tersebut yaitu objek penelitiannya
adalah masyarakat pinggiran/kumuh, berbeda ketika sanksi pidana berat diterapkan kepada
para pejabat atau konglomerat.
Rekapitulasi putusan perkara tindak pidana korupsi diseluruh Indonesia dalam kurun
waktu tiga tahun terakhir, secara keseluruhan menunjukkan bahwa penjatuhan sanksi pidana
oleh hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung tergolong
relatif sangat rendah, kurang adil dan tidak proporsional bila dibandingkan tindak pidana
lainnya. Bahkan Teten Masduki (Koordinator ICW) menilai bahwa hukuman tindak pidana
korupsi sama sekali tidak membuat efek jera, karena hakim tidak memerintahkan terpidana
untuk masuk penjara, misalnya kasus Probosutedjo dengan pidana empat tahun penjara,
namun seperti vonis-vonis kasus korupsi lainnya, hakim tak memerintahkan Probosutedjo
untuk segera masuk penjara. Alasannya, Probosutedjo tidak akan melarikan diri, sampai ada
vonis yang berkekuatan hukum tetap. Tampaknya hal ini menjadi model penyelesaian kasus
korupsi lewat pengadilan untuk melobi hakim di tingkat banding atau kasasi untuk
meringankan putusan atau menunggu sampai terjadi pergantian kekuasaan.
Dengan semakin banyaknya jumlah perkara korupsi dan mengakibatkan kerugian
negara yang begitu besar, tetapi rendahnya tingkat penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku
kejahatan korupsi membuktikan bahwa lemahnya political action pemerintah maupun aparat
penegak hukum. Berbagai argumentasi dan alasan yang dikemukakan berkaitan dengan hal
ini, bahwa lemahnya political action pemerintah maupun aparat penegak hukum disebabkan
dunia peradilan sudah dikuasai oleh para “mafia peradilan”, praktek dunia penegakan hukum
sudah tercemar dengan jual beli atau dagang hukum.
Berdasarkan hal diatas menunjukkan bahwa political action penjatuhan pidana mati
terhadap pelaku kejahatan korupsi di Indonesia masih lemah, hal inilah mungkin sebagai
penyebab statistik kejahatan korupsi dari tahun ke tahun terus meningkat karena sanksi
pidana yang dijatuhkan masih ringan. Tetapi Penggunaan sanksi pidana berat (pidana mati)
tidak hanya sekedar mempertontonkan atau membuktikan komitmen bahwa penegakan
hukum sudah dilakukan secara sungguh-sungguh, tetapi lebih dari itu hukum pidana
mempunyai tujuan prevensi. Dan juga pemberantasan korupsi sebagai musuh bangsa
bukanlah bersifat sporadis dan temporal tetapi secara sistematis hingga ke akar-akarnya

2.8 APARATUR PENEGAKAN HUKUM


Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum
dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang
terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa hakim dan
petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula
pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan
pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan
vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat 3 elemen penting yang
mempengaruhi, yaitu:
1. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat, sarana dan prasarana pendukung dan
mekanisme kerja kelembagaannya,
2. Budaya kerja ytang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya,
3. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang
mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum
acaranya.
Upaya penegakkan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu,
sehingga proses penegakkan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan
secara nyata.
Namun selain ketiga faktor diatas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakkan hukum di
negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi.
Upaya penegakkan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai
negara hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri atau
belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup didalam masyarakatnya.
Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan
masa lalu yang tidak sesuai, lain dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi
bukan hanya berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum
atau pembuatan hukum baru.
Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yaitu:
1. Pembuatan hukum (‘the legislation of law atau Law and rule making),
2. Sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum ( socialization and
promulgation of law),
3. Penegakkan hukum (the enforcement of law). Ketiganya membutuhkan dukungan
4. Administrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan
oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable).
Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut
sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut
diatas. Dalam arti luas, The administration of law itu mencakup pengertian pelaksanaan
hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang
sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauh mana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai
produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian
peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi Negara (beschikings),
ataupun penetapan dan putusan (vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan
dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana
mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat
terbuka?. Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat
pada aturan yang tidak diketahuinya?.
Meskipun ada teori “fiktif” yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat
universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaharuan
masyarakat (social reform), dan karena itu ketidak tahuan masyarakat akan hukum tidak
boleh dibiarkan tanpa usaha sosial dan pembudayaan hukum secara sistematis dan
bersengaja.

2.9 KESADARAN HUKUM MASYARAKAT


Tindakan atau cara apakah yang sekiranya efektif untuk meningkatkan kesadaran
hukum masyarakat? Tindakan drastis, misalnya memperberat ancaman hukum atau dengan
lebih mengetatkan penataan ketaatan warga negara terhadap undang-undang saja, yang hanya
bersifat insidentil dan kejutan, kiranya bukanlah merupakan tindakan yang tepat untuk
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Mungkin untuk beberapa waktu lamanya akan
tampak atau terasa adanya penertiban tetapi kesadaran hukum masyarakat tidak dapat
dipaksakan dan tidak mungkin diciptakan dengan tindakan yang drastis yang bersifat
insidentil saja.
Kita harus menyadari bahwa setelah mengetahui kesadaran hukum masyarakat
dewasa ini, yang menjadi tujuan kita pada hakekatnya bukanlah semata-mata sekedar
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat saja, tetapi membina kesadaran hukum
masyarakat. Seperti yang telah diketengahkan di muka maka kesadaran hukum erat
hubungannya dengan hukum, sedang hukum adalah produk kebudayaan. Kebudayaan
merupakan suatu ”blueprint of behaviour” yang memberikan pedoman-pedoman tentang apa
yang harus dilakukan boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Dengan demikian maka
kebudayaan mencakup suatu sistem tujuan-tujuan dan nilai-nilai.
Hukum merupakan pencerminan nilai-nilai yang terdapat di dalam masyarakat.
Menanamkan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai kebudayaan. Dan nilai-nilai
kebudayaan dapat dicapai dengan pendidikan. Oleh karena itu setelah mengetahui
kemungkinan sebab-sebab merosotnya kesadaran hukum masyarakat usaha peningkatan dan
pembinaan yang utama, efektif dan efisien ialah dengan pendidikan. Pendidikan tidaklah
merupakan suatu tindakan yang ”einmalig” atau insidentil sifatnya, tetapi merupakan suatu
kegiatan yang kontinyu dan intensif dan terutama dalam hal pendidikan kesadaran hukum ini
akan memakan waktu yang lama.
Kiranya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa dengan pendidikan yang intensif
hasil peningkatan dan pembinaan kesadaran hukum baru dapat kita lihat hasilnya yang
memuaskan sekurang-kurangnya 18 atau 19 tahun lagi. Ini bukan suatu hal yang harus kita
hadapi dengan pesimisme, tetapi harus kita sambut dengan tekad yang bulat untuk
mensukseskannya. Dengan pendidikan sasarannya akan lebih kena secara intensif daripada
cara lain yang bersifat drastis. Pendidikan yang dimaksud di sini bukan semata-mata
pendidikan formal disekolah-sekolah dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi,
tetapi juga pendidikan non formal di luar sekolah kepada masyarakat luas.
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Setiap Negara tentu memerlukan hukum agar tercipta ketertiban di dalamnya. Rule of
Law sangat diperlukan untuk Negara seperti Indonesia karena akan mewujudkan keadilan.
Tetapi harus mengacu pada orang yang ada di dalamnya yaitu orang-orang yang jujur, tidak
memihak, dan hanya memikirkan keadilan, tidak terkotori oleh hal-hal yang buruk. Aparatur
penegak hukum juga berperan penting dalam penegakkan hukum yang adil dalam suatu
Negara.
Ada tidaknya Rule of Law pada suatu Negara ditentukan oleh “Kenyataan”. Apakah
rakyat dapat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan yang adil didalam hukum, baik sesama
warga Negara maupun pemerintah.
Agar pelaksanaan rule of law bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan, maka :
a. Keberhasilan “the enforcement of the rules of law” harus didasarkan pada corak
masyarakan hukum yang bersangkutan dan kepribadian masing-masing setiap bangsa.
b. Rule of law yang merupakan institusi sosial harus didasarkan pada budaya yang tumbuh
dan berkembang pada bangsa.
c. Rule of law sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan sosial, gagasan tentang
hubungan antar manusia, masyarakan dan negara, harus ditegakkan secara adil juga memihak
pada keadilan.
Prinsip-prinsip rule of law secara formal tertera dalam pembukaan UUD 1945.
Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat di dalam pasal-pasal UUD 1945.
Agar kita dapat menikmati keadilan maka seluruh aspek Negara harus bersih, jujur, mentaati
undang-undang, juga bertanggung jawab, dan menjalankan UU 1945 dengan baik.

3.2 SARAN
Sebagai seorang warga Negara yang baik haruslah menjunjung menjadi seseorang
yang menjunjung tinggi hukum serta kaidah-kadiah agar tercipta keamanan, ketentraman, dan
kenyamanan. Mempelajari Undang-Undang 1945 berserta butir-butir nilainya dan
menjalankan apa yang menjadi tuntutannya agar terjadi kehidupan yang stabil dan taat
hukum. Dalam suatu penegakkan hukum di suatu Negara seperti Indonesia, maka seluruh
aspek kehidupan harus dapat merasakan dan diharapkan aspek-aspek tersebut dapat mentaati
hukum, maka akan terciptalah pemerintahan dan kehidupan Negara yang harmonis, selaras
dengan keadaan dan sesuai dengan apa yang diharapakan yaitu suatu bangsa yang makmur,
damai, serta taat hukum.
Keadilan pada penegakkan hukum juga harus dilaksanakan karena dengan keadilan
pada penegakkan hukum dapat menjadikan Negara Indonesia yang damai dan berperi
kemanusian yang seadil-adilnya.

3.3 DAFTAR PUSTAKA


 Widodo, SRI., dkk. 2011.pendidikan pancasila dan kewarganegaraan.UMC press
 Winarno. 2007. Paradigma Baru “Pendidikan Kewarganegaraan” Panduan Kuliah Di
Perguruan Tinggi. PT.Bumi Aksara;Jakarta
 Hombar Pakpahan, Kesadaran Hukum Masyarakat
http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/08/kesadaran-hukum-masyarakat.html
 Nasrul, Rule Of Law Dan Hak Asasi Manusia,
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/rule-law-dan-hak-asasi-
manusia, January 16th 2010
 Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Penegakan Hukum ,
http://www.djahu.depkumham.go.id/detail_artikel.php?artid=7, Jumat, 02-Mei-200
 http://theresiaaaw.blogspot.com/2013/05/makalah-pendidikan-kewarganegaraan-1.html

 http://zriefmaronie.blogspot.com/2010/04/perbandingan-pidana-mati-terhadap.html ,
jumat 24 April 2015

 http://www.dw.de/indeks-korupsi-peringkat-indonesia-membaik-tapi-masih-buruk/a-
18107694, jumat 24 April 2015

Anda mungkin juga menyukai