Anda di halaman 1dari 2

Menghargai waktu milik orang lain

Tiyas yang menyepelekan permintaan Riris untuk segera menyelesaikan kegiatan menjenguk teman
karena sedang diburu waktu.

Kalimat yang tak selalu terdengar merdu

Fani yang bilang ke Yeyi soal jangan terlalu lebay menyikapi berita artis korea yang bunuh diri.

Ketika sudut pandangku tidak menjadi sudut pandangmu

Kurangnya empati yang berujung pada kesedihan

Hari itu aku sedang melakukan obrolan via aplikasi chatting yang tenar dengan fitur stikernya
dengan salah seorang teman dekatku. Temanku ini telah kukenal sejak aku duduk di bangku kuliah.
Dia adalah teman satu kampus, satu angkatan, satu fakultas, bahkan satu kelas denganku. Kami
menjadi anggota kegiatan kemahasiswaan yang sama pula sehingga kedekatan kami terjalin seiring
berjalannya waktu. Kembali ke percakapan kami. Aku lah yang memulai obrolan, karena bosan,
dengan mengirimi dia beberapa humor receh yang memang sering aku lakukan. Humor tersebut
biasanya berasal dari akun-akun humor yang memang aku ikuti sehingga selalu muncul di timeline ku
saat mereka update sesuatu. Temanku tadi membalas kirimanku dengan stiker yang
menggambarkan tawa terbahak-bahak dan mengirim balik beberapa humor receh lainnya.

Sampai pada saat mataku terpaku pada update salah satu akun yang aku ikuti, bukan akun humor
receh, fyi. Update akun ini berisi tentang curhat seorang anak SMA yang memiliki kondisi paranoid
karena bau badannya, yang dia merasa semua orang selalu menutup hidung dan membuat suatu
gumaman saat dia melewati mereka, mengenai betapa baunya dia. Curhat si anak SMA tersebut
kemudian ditanggapi beberapa komentar dari orang-orang yang juga mengikuti akun tersebut, rata-
rata berisi pemberian solusi untuk mengatasi bau, semangat untuk tidak merasa minder atas hal
tersebut, bahkan ada yang menceritakan pengalaman yang sama dengan si anak SMA dan sudah
berhasil diatasi. Segera aku membagikan update-an tersebut kepada temanku tadi.

Aku tahu persis, apa yang dialami si anak SMA dalam curhatannya itu sama dengan kondisi yang
sedang dialami temanku. Bahkan temanku sudah mengalami kondisi paranoid ini selama beberapa
tahun. Saat membagikan berita tersebut, yang ada dalam pikiranku adalah dia akan merasa lebih
ringan bebannya karena mengetahui banyak orang mengalami hal yang sama dengan dirinya,
banyak orang yang peduli atas masalah tersebut, dan banyak orang yang menyemangati untuk
‘sembuh’ dari masalah tersebut. Namun nyatanya, setelah aku kirim, temanku tadi tidak me reply
kiriman tersebut. Aku tahu dia sudah membacanya, karena aplikasi chatting yang aku gunakan akan
memberitahu si pengirim ketika si penerima sudah membaca chat yang dikirim. Akupun mengirim
chat lagi, kali ini berbentuk pertanyaan, sekali lagi chatku hanya dibaca. Begitu terus sampai sekitar
lima chat aku kirim. Jelas aku merasa ada yang tidak beres. Namun aku memilih untuk menyerah dan
mendiamkannya. Aku tahu dia, jika sedang butuh waktu untuk sendiri maka dia akan tak acuh pada
setiap berita yang sampai kepadanya, meskipun berita tersebut menginginkan jawaban.

Beberapa hari berlalu tanpa ada kabar sedikitpun. Padahal biasanya hampir setiap hari aku berkirim
chat dengannya. Rupanya benar, kisah ‘si anak SMA’ yang aku kirim belum siap untuk dia terima.
Entah karena bahkan setelah bertahun-tahun dia masih belum bisa menerima kondisinya, karena
kesedihannya yang berlarut atas paranoid yang diderita, atau bahkan karena amarahnya padaku
yang mengulik hal paling sensitif pada dirinya. Tidak. Aku tahu sebab sebenarnya. Aku sudah
mengenalnya sejak lama. Namun sebab bukanlah yang menjadi perhatian utamaku. Kelakuanku
adalah hal yang harus aku evaluasi.

Ternyata setelah bertahun-tahun mengenalnya, masih saja aku melakukan blunder. Setelah menjadi
sarjana psikologi, masih saja aku kurang berempati. Setelah berjanji untuk memahami kondisinya,
perilaku ku justru menunjukkan yang sebaliknya. Ternyata aku masih saja tidak sebijak itu. Masalah
dia tidak aku lihat dengan menempatkan diri di tempatnya ‘berada’. Masih saja aku menggunakan
egoku untuk mengatasi masalah orang lain.

Padahal tidak pernah sekalipun dia minta untuk disembuhkan. Dia memintaku untuk memahami dia.

Meskipun dengan niat baik, dengan tidak banyak berpikir, bisa menyebabkan apa yang kita lakukan
menjadi

Meskipun pada akhirnya dia kembali seperti semula. Kami kembali

Anda mungkin juga menyukai