Kuburan itu terletak di pinggir kota, besar lengkap dengan dua engsel
pintu didepan, terkadang teersaji bermacam ragam buah-buahan, ya
apalagi kalau bukan kuburan milik orang Cina. Orang Cina memang dikenal
banyak uang, sehingga bangunan tempat bersemayam terakhir saja dibuat
serupa rumah kedua. Saking megahnya kadang dijadikan hunian tetap para
gelandangan.
Suatu hari, Pak Kwie bertengkar dengan Wawan. Pak Kwie ternyata
kesal ketika motor milik Wawan lewat depan rumahnya. “Motor rongsokmu
ini berisik sekali! Kau tau? Kau itu menganggu waktu istirahat saya,” maki
Pak Kwie. “Maaf Pak Kwie, lagipula ini jalan umum jadi bapak sekiranya
harus memaklumi,” bela Wawan. “Saya tidak peduli! Lagipula kalau saya
mau. Saya bisa beli semua jalan di desa ini,” balas Pak Kwie. Wawan pun
memilih bungkam seribu bahasa, Ia sadar lebih baik mengalah daripaa
urusannya makin panjang dengan Pak Kwie. Ia ingat tetangganya pernah
dijebloskan ke jeruji besi hanya gara-gara menyerempet mobil Pak Kwie.
Jaelani tak habis pikir mengapa Pak Kwie begitu sulit sekali diajak
bicara. Apakah memang begitu tabiat semua orang kaya?
***