Anda di halaman 1dari 3

Kuburan Cina

Kuburan itu terletak di pinggir kota, besar lengkap dengan dua engsel
pintu didepan, terkadang teersaji bermacam ragam buah-buahan, ya
apalagi kalau bukan kuburan milik orang Cina. Orang Cina memang dikenal
banyak uang, sehingga bangunan tempat bersemayam terakhir saja dibuat
serupa rumah kedua. Saking megahnya kadang dijadikan hunian tetap para
gelandangan.

Pak Kwie orang terpandang di Kampung Lumajang. Rumahnya besar


bak istana lengkap dengan perabotan ala rumah bangsawan. Semua itu,
tentu tak mengherankan dengan toko mebel miliknya yang laris manis,
kekayaannya mungkin tak habis dimakan anak cucunya sampai tujuh
turunan. Namun sayangnya, peragainya yang angkuh membuat tetangga
tak enak hati ketika berurusan dengannya. Tak berpucuk di atas enau
memang begitulah tabiat Pak Kwie kalau sampai harus berurusan dengan
orang lain pasti dinjaknya, sampai banyak orang yang geram dan
menyumpah serapahkan dirinya. Namun, ia tak pernah menghiraukan
ocehan orang lain. Begitulah kiranya seorang Pak Kwie.

Suatu hari, Pak Kwie bertengkar dengan Wawan. Pak Kwie ternyata
kesal ketika motor milik Wawan lewat depan rumahnya. “Motor rongsokmu
ini berisik sekali! Kau tau? Kau itu menganggu waktu istirahat saya,” maki
Pak Kwie. “Maaf Pak Kwie, lagipula ini jalan umum jadi bapak sekiranya
harus memaklumi,” bela Wawan. “Saya tidak peduli! Lagipula kalau saya
mau. Saya bisa beli semua jalan di desa ini,” balas Pak Kwie. Wawan pun
memilih bungkam seribu bahasa, Ia sadar lebih baik mengalah daripaa
urusannya makin panjang dengan Pak Kwie. Ia ingat tetangganya pernah
dijebloskan ke jeruji besi hanya gara-gara menyerempet mobil Pak Kwie.

Keesokan hari setelah kejadian itu, Pak Kwie memasang palang di


jalan depan rumahnya. Tentu saja hal tersebut menimbulkan keresahan
warga kampung lainnya karena jalan tersebut sering digunakan sebagai
akses ke kota. Sehingga para warga harus mengambil jalan memutar yang
tentunya lebih jauh dan tentunya merogoh ongkos jalan yang lebih banyak.
Namun, memang siapa yang berani melawan Pak Kwie.

Jaelani pun sebagai pamong Kampung Lumajang berusaha meminta


keterangan dari Pak Kwie. Itu memang tanggung jawabnya sebagai
pamong, Ia tak mau kalau sampai masalah ini berlarut-larut.
“Assalamu’alaikum, Pak Kwie ada dirumah?” tanya Jaelani pada Pak Somad.
Tukang kebun yang bekerja pada Pak Kwie. “Ada Jael, orangnya sedang di
dalam,” Jaelani pun segera mengetuk pintu dan tak lama Pak Kwie keluar.

Raut mukanya terlihat kesal sepertinya karena harus meninggalkan


kesibukan yang tengah dikerjakannya. “Ada urusan apa engkau kemari?!”
tanya Pak Kwie dengan nada yang kurang mengenakkan. “Begini Pak Kwie,
saya hendak menyampaikan keluhan warga perihal patok di depan karena
menggangu aktivitas warga,” terang Jaelani. “Lho masalahnya apa?
Lagipula tanah jalan itu empunya Bapak saya dulu, sudah jadi hak saya
sebagai ahli warisnya,” jawab Pak Kwie. “Tapi Pak, tanah jalan kan sudah
diwakafkan, selain itu banyak yang kesulitan pergi ke kota. “Bukan urusan
saya! Sudah kamu pergi saja, saya masih ada banyak pekerjaan,” sembari
membanting pintu.

Jaelani tak habis pikir mengapa Pak Kwie begitu sulit sekali diajak
bicara. Apakah memang begitu tabiat semua orang kaya?

Waktu terus berlalu, banyak kabar burung mengenai Pak Kwie.


Akibatnya Toko Mebel Pak Kwie sepi pembeli. Sudah jatuh tertimpa tangga
pula, rumah Pak Kwie dilahap si jago merah, akibatnya harta bendanya tak
sempat ia selamatkan. Beruntung ia tak ikut terbakar kobaran api.

Pak Kwie jadi sering frustasi karena memikirkan nasib yang


menimpanya. Tak putus dirundung malang, Pak Kwie sering murung dan
depresi. Akibatnya penyakit jantung yang diderita Pak Kwie kambuh. Pak
Kwie akhirnya memilih dioperasi, memang mahal betul ongkosnya. Namun,
apa daya tubuh Pak Kwie tak tahan kalau harus merasa sakit yang teramat
sangat. Entah berapa uang yang harus ia keluarkan, sudah begitu ia masih
harus membayar biaya rawat rutin ke rumah sakit. Akhirnya, hampir
seluruh hartanya ludes.

Pak Kwie hanya bisa pasrah. Sedikit demi sedikit ia menyadari


mungkin semua kemalangan yang menimpanya adalah hasil perilakunya
selama ini. Kini Ia mengerti bagaimana perasaan orang-orang yang
sebelumnya Ia hina dan Ia anggap rendah. Namun penyesalan memang
hanyalah penyesalan, seandainya ia berhubungan baik dengan tetangga-
tetangganya mungkin mereka mau membantu Pak Kwie. Pak Kwie akhirnya
memilih pergi entah kemana sampai akhir hayatnya.

***

Suatu hari, Jaelani sedang pergi berziarah ke makam kakeknya.


Dilihatnya sebuah batu nisan, bertuliskan ‘Kwie Tian’. Tampak seperti tak
terawat, berdebu, tertutupi dedaunan kering, dan penuh semak belukar.
Seperti inilah hidup, pada akhirnya semua kembali ke tanah, melebur jadi
satu, sampai akhirnya dilupa.

Anda mungkin juga menyukai