Sungguh memprihatinkan lingkungan desaku, orang-orang tidak ada yang bisa diajak
berpikir maju. Seperti inilah kehidupan desa tertinggal. Pengaruh-pengaruh buruk mengalir
begitu derasnya merasuki jiwa yang tak tahu apa apa. Upaya upaya bagus tak mendapat
sokongan bahkan tak ada sama sekali dari warga sekitarnya. Disinilah diriku berpijak,
dilahirkan dari seorang ibu yang sangat ramah dan baik hati. Ya, .... namanya. Semua orang
di desa pasti mengenalnya
Pada suatu hari didepan teras rumah aku terduduk. Memandangi orang orang berlalu
lalang menjalankan aktivitasnya. Tak sedikit dari mereka berada di lumpur cair membajak
sawah. Benar rumahku memang ada didepan areal persawahan. Jadi inilah yang bisa
kupandang setiap harinya. Tak lama temanku datang ia memanggilku “hei, Rafli” nadanya
dengan penuh semangat. Ku jawab dia dengan santai “sini mari duduk denganku” Akhirnya
dia mendekat dan duduk di sampingku. Dialah sahabat dekatku, Rama. Rumahnya berada
persis disamping rumahku. Sejak dulu kami sangat akrab dan sering berbagi cerita baik suka
dan duka. Maklum sejak TK sampai kini SMP kami selalu belajar bersama, bersekolah
bersama. Hingga kini lulus SMP kami selalu bersama, di depan teras kami bercerita tentang
hasil ujian kemarin. “gimana Raf kalo besok kita mendaftar di SMA dekat desa kita itu, agar
kita bisa bersama lagi kaya dulu?” tanya Rama yang menanyakan perihal masa depanku
besok. Mukanya seperti bergurau denganku, dilanjutkan dengan merangkul pundakku sambil
tertawa “hahaha”. Mungkin dipikiran Rama memang mengajak bergurau karena dia yakin
aku akan menjawab “iya”. Wajahku diwarnai kebimbangan seakan bagai dikartun wajahnya
menjadi abu-abu. “besoklah biar kupikir dulu” kataku mengingat SMA didekatku kualitasnya
jauh dibanding sekolah diluar sana, ditambah lagi tekadku yang semakin kuat ingin
bersekolah disekolah terbaik agar mimpiku membawa pengaruh yang baik untuk desa ini
dapat terwujud.
Matahari sudah hampir menghilang. Kami tetap berada digubuk saat ini kami
bercerita tentang pendaftaran SMA. Masing-masing saling menyampaikan keinginannya.
Semua memilih untuk meneruskan di SMA dekat desa. Tak terkecuali aku yang memilih
lebih dari itu. Aku tetap berpegang teguh pada pendirianku.
“Rafli kenapa kau ini bukankah kita sudah bersama sejak dulu, lalu apa ini?” Sambut
Nafi
“Kau teman kami kan?, apa sekarang kau mengkhianati kami?” imbuh riko.
“Tadi waktu di teras rumahmu aku kira kau akan menjawab “ya”, sekarang aku tahu
kau tak menjawab tadi karena kau tak menganggap kami teman lagi dan memilih berpisah
sekolah dengan kami” ucap Rama dengan melampiaskan rasa kecewanya.
“Sudahlah! kita tinggalkan dia lagi pula kita sudah tidak dianggap teman,” Ucap
Rama meninggalkan ku di gubuk.
Di ikuti Riko, Nafi, dan Zukli, mereka semua tampak kecewa mendengar
keputusanku. Tapi ini harus ku lakukan, semua demi memberi perubahan desaku. Walaupun
temanku tak mendukung keinginanku. Tapi disini, di tengah sawah, di gubuk penuh
kemaksiatan, awal perjuanganku dimulai bersama kesunyian aku yakin semua akan terwujud.
Hari pertama masuk sekolah dimulai. Hari ini tampak ramai, semua temanku semasa
SMP terlihat bergerombol bersama-sama berangkat sekolah menuju SMA di dekat desa.
Berbeda denganku yang sudah berubah haluan untuk mewujudkan impianku. Mereka
menyapaku yang berangkat ke kota bersama ayahku. “Rafli, semoga sukses ya” ucap salah
satu temanku. Aku hanya mengangguk tak kukira hubungan dengan teman yang saat itu
sempat memburuk saat ini dengan cepat membaik. Nampaknya mereka sudah ikhlas dan
ingin kembali berteman denganku tapi semua itu butuh proses. Hariku di ikuti rasa bahagia.
Di sekolah yang baru aku bertemu teman-teman baru. Lingkungan ini benar-benar berbeda,
semua ini harus ku manfaatkan. “Aku harus berjuang keras!” gumamku.
Tahun-tahun telah berlalu. Aku berhasil lulus dan mendapat nilai tertinggi, semua
terwujud berkat kerja kerasku. Semua temanku terlihat kagum dengan prestasiku. Aku tak
berpuas diri, keinginan terbesarku belum terwujud, aku ingin memajukan desaku. Menjadi
pemimpin negeri ini!