Anda di halaman 1dari 7

I.

PENDAHULUAN
Manusia hidup bermasyarakat tidak terlepas dari adanya permasalahan.
Permasalahan ini ada yang sifatnya psikologis, dan ada juga yang sifatnya sosial.
Permasalahan secara psikologis biasanya dapat dipecahkan melalui pendekatan yang
sifatnya individualis, dan efek permasalahannya hanya berdampak pada individu yang
bermasalah tersebut. Sedangkan masalah sosial, merupakan sebuah permasalahan yang
melibatkan banyak aspek dan individu, melibatkan sebuah komunitas masyarakat tertentu,
sehingga penyelesaiannya dilakukan melalui pendekatan yang sifatnya holistik. Parillo
menyatakan, bahwa pengertian masalah sosial mengandung empat komponen, dengan
demikian suatu situasi atau kondisi sosial dapat disebut sebagai masalah sosial apabila
terlihat indikasi keberadaan empat unsur tadi. Keempat komponen tersebut adalah (1)
Kondisi tersebut merupakan masalah yang bertahan untuk suatu periode waktu tertentu.
Kondisi yang dianggap sebagai masalah, tetapi dalam waktu singkat kemudian sudah
hilang dengan sendirinya tidak termasuk masalah sosial. (2) Dirasakan dapat
menyebabkan berbagai kerugian fisik atau nonfisik, baik pada individu maupun
masyarakat, (3) Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari salah
satu atau beberapa sendi kehidupan masyarakat dan (4) Menimbulkan kebutuhan akan
pemecahan. 1
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, banyak memiliki permasalahan
yang kompleks. Hal ini disebabkan karena negara berkembang merupakan sebuah institusi
yang sedang berusaha menuju kemapanan, masih banyak kesenjangan yang terjadi di
masyarakat, belum merata nya pembangunan, sehingga butuh banyak pemecahan masalah
dalam rangka membenahi sistem dan budaya di negara berkembang. Negara berkembang
juga memiliki ciri khas menjadi tempat bernaungnya perusahaan multinasional karena di
negara berkembang memiliki upah buruh yang murah, lahannya masih mudah untuk
dimanfaatkan dan dieksplorasi, dan dari pihak negara sendiri, negara membutuhkan devisa
untuk mengimplementasikan tujuan pembangunan di negara berkembang, untuk
mewujudkan pemerataan, sehingga trend ekspansi pasar perusahaan multinasional negara
maju ke negara berkembang ini saat ini sangat marak dan efeknya bagaikan dua sisi mata
uang. Di satu sisi, dengan adanya ekspansi pasar tersebut, perusahaan telah membantu
memberikan lapangan pekerjaan pada warga negara, mengurangi tingkat pengangguran
dan diharapkan dengan terbukanya banyak lapangan pekerjaan, masyarakat yang belum

1
Soetomo (2013) Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal 6

1
berdaya dan kehidupannya masih di bawah garis kemiskinan dapat merubah kehidupannya
dengan bekerja di anak perusahaan multinasional. Di sisi lain, ekspansi pasar oleh
perusahaan multinasional ini juga menimbulkan permasalahan tersendiri. Saat ini banyak
media massa yang memberitakan mengenai dampak buruk munculnya perusahaan
multinasional yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Buruh di perusahaan multinasional
disebut-sebut telah dibayar dengan tidak layak, jam kerja melampaui batas,
mempekerjakan anak di bawah umur, dan pelanggaran-pelanggaran etis lainnya. Bahkan
perusahaan se kelas Apple pernah ternoda citra nya karena kasus bunuh diri di Foxconn,
China karena perlakuan perusahaan terhadap buruh yang melanggar etika sehingga
menimbulkan gangguan psikologis pada karyawannya. Kasus bunuh diri ini bukan sekali
dua kali tapi belasan kali selama satu tahun. Nike juga sebagai perusahaan multinasional
yang kasusnya banyak terangkat ke media massa dimana banyak kasus kekerasan terhadap
buruh, yang tidak hanya terjadi di Indonesia.
Permasalahan-permasalahan mengenai ketenagakerjaan ini kemudian menjadi
menarik dan menimbulkan banyak perhatian ketika anak perusahaan dari perusahaan
multinasional ini secara diam-diam mempekerjakan anak di bawah umur. Bahkan untuk
beberapa kasus, mempekerjakan anak di bawah umur dalam pabrik ini diadaptasi oleh
beberapa pabrik di Indonesia. Pelanggaran-pelanggaran etis inilah yang kemudian
membutuhkan banyak pemecahan agar permasalahan ini dapat terselesaikan. Meskipun
negara sudah mengatur larangan penggunaan tenaga kerja anak, tidak dapat dipungkiri
prakteknya masih banyak dilakukan. Dalam hal ini, perusahaan ikut memiliki andil dalam
berbuat kesalahan dengan mempekerjakan anak-anak tersebut. Meskipun begitu, ada dua
jenis faktor yang melatarbelakangi maraknya pekerja anak di bawah umur. Faktor
penyebab munculnya tenaga kerja anak (buruh anak) adalah kemiskinan, pendidikan, dan
perubahan faktor produksi. Sedangkan faktor penyebab munculnya pekerja anak (buruh
anak) oleh orang tua adalah ketidaktahuan orang tua terhadap konvensi hak-hak anak dan
undang-undang tentang anak yang sesuai dengan konvensi hak anak, faktor nilah budaya
masyarakat, dan faktor kemiskinan. 2 Setiap individu memiliki usia bermain dan usia
produktif mereka sendiri, sehingga apa yang dilakukan orang tua yang memaksa anaknya
bekerja ketika belum cukup umur, merupakan pelanggaran hak asasi anak sebagai manusia
merdeka.

2
Rahman, Astriani (2012), Eksploitasi Orang Tua Terhadap Anak Dengan Mempekerjakan Sebagai Buruh. Jakarta :
Universitas Gunadarma, hal. 5

2
Eksploitasi terhadap anak dengan mempekerjakan mereka ini juga memiliki
beberapa dampak yaitu pada pertumbuhan fisik, pertumbuhan kognitif, pertumbuhan
emosional, pertumbuhan sosial dan moral termasuk rasa identitas kelompok, kemauan
untuk bekerjasama dengan orang lain, dan kemauan untuk membedakan yang benar dan
yang salah. 3 Mempekerjakan anak juga sangat rawan akan pelecehan seksual. Anak-anak
adalah laki-laki dan perempuan yang berusia di bawah 18 tahun. Definisi ini sesuai dengan
peraturan perundang-undangan berikut :4
 Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi pada 1990 (melalui Keputusan Presiden
No 36) mendefinisikan usia di bawah 18 sebagai anak-anak kecuali, berdasarkan
hukum, kedewasaan telah dicapai lebih awal.
 Konvensi ILO No. 138 dan diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999
menyatakan dasar usia minimum untuk bekerja di Indonesia adalah 15,
 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak
sebagai mereka yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk bayi yang masih dalam
rahim ibu mereka,
 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan tentang mendefinisikan tenaga
kerja anak-anak adalah mereka yang berusia kurang dari 18 tahun.
Keppres 59 tahun 2002 5 telah mengidentifikasi 13 jenis pekerjaan terburuk untuk
anak, yaitu :
1. Mempekerjakan anak-anak sebagai pelacur
2. Mempekerjakan anak-anak di pertambangan
3. Mempekerjakan anak-anak sebagai penyelam mutiara
4. Mempekerjakan anak-anak di bidang konstruksi
5. Menugaskan anak-anak di anjungan penangkapan ikan lepas pantai (yang di Indonesia
disebut jermal)
6. Mempekerjakan anak-anak sebagai pemulung
7. Melibatkan anak-anak dalam pembuatan dan kegiatan yang menggunakan bahan
peledak
8. Mempekerjakan anak-anak di jalanan
9. Mempekerjakan anak-anak sebagai tulang punggung keluarga

3
Rahman, Astriani (2012), Eksploitasi Orang Tua Terhadap Anak Dengan Mempekerjakan Sebagai Buruh. Jakarta :
Universitas Gunadarma, hal 3
4 Badan Pusat Statistik (BPS) (2010), Pekerja Anak di Indonesia 2009. Jakarta : Badan Pusat Statistik, hal 17
5 Ibid, hal. 18

3
10. Mempekerjakan anak-anak di industri rumah tangga (cottage industries)
11. Mempekerjakan anak-anak di perkebunan
12. Mempekerjakan anak-anak dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan usaha
penebangan kayu untuk industri atau mengolah kayu untuk bahan bangunan dan
pengangkutan kayu gelondongan dan kayu olahan
13. Mempekerjakan anak-anak dalam berbagai industri dan kegiatan yang menggunakan
bahan kimia berbahaya.

II. PEMBAHASAN
Permasalahan pekerja anak di bawah umur merupakan permasalahan menahun
yang hingga sekarang belum ada solusi yang memadai untuk memecahkankannya.
Permasalahan ini sangat kompleks karena dalam contoh kasus mempekerjakan anak
sebagai buruh ini kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja, tetapi permasalahan ini
sangat kompleks dan apabila ditelusuri lagi, semua pihak memiliki andil dalam
eksploitasi anak dengan mempekerjakan anak di bawah umur sebagai pekerja pabrik.
Dalam sebuah penelitian pada sebuah kasus di pabrik PT. Jaya Abadi yang memproduksi
celana bahan jadi untuk di ekspor ke luar negeri misalnya, perusahaan ini sudah
menerapkan larangan mempekerjakan anak di bawah umur (inisial H dan D). Di dalam
penelitian ini disebutkan bahwa anak-anak sendiri yang menginginkan untuk bekerja di
sektor produksi ini. Tetapi proses anak-anak yang menginginkan bekerja di pabrik ini
juga atas manipulasi dari orang tua mereka sendiri. Orang tua ini yang kemudian
mengusahakan agar anak-anak mereka diterima bekerja. Pada akhirnya, perusahaan
sendiri tidak mengetahui apabila mereka telah mempekerjakan anak dibawah umur.
Dalam hal ini, orang tua telah melakukan eksploitasi anak. 6
Dewasa ini, makin marak pergeseran makna mengenai image. Bekerja di sebuah
pabrik bagi masyarakat bawah merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Bagi beberapa
Asisten Rumah Tangga (ART) juga cukup banyak yang kemudian berpindah ke sektor
produksi . Faktor pendorong dan penarik-nya pun bermacam-macam, salah satunya
adalah mengenai adanya seragam. Bagi sebagian masyarakat, dengan mengenakan
seragam dalam bekerja maka telah meningkatkan harga diri mereka dan dampaknya
adalah mereka akan dilihat sebagai orang yang sukses di mata tetangga mereka,

6
Rahman, Astriani (2012), Eksploitasi Orang Tua Terhadap Anak Dengan Mempekerjakan Sebagai Buruh. Jakarta :
Universitas Gunadarma, hal. 6

4
meskipun bekerja di pabrik tidak se-nyaman yang mereka bayangkan. Masyarakat kita
masih sangat peduli dengan bagaimana pandangan orang mengenai status terutama
pekerjaan. Bagi orang tua H dan D ini, mereka mencoba merubah kehidupan mereka
dengan cara mempekerjakan anak-anak ke sektor produksi mungkin dengan harapan agar
mereka dapat dipandang sebagai keluarga yang sukses di mata tetangga nya, tanpa orang
tua ini mengerti bahwa mempekerjakan anak merupakan sebuah tindakan yang
eksploitatif dan dilanggar oleh Undang-Undang.
Ketika kita meng-analisis dari sisi perusahaan, kita dapat melihat dari sisi
bagaimana entitas bisnis adalah sebagai makhluk hukum yang tujuan satu-satunya adalah
mendapatkan profit sebanyak-banyaknya. Ketika perusahaan secara legal sudah sah
untuk melakukan sebuah izin pendirian, otomatis perusahaan bebas melakukan proses
produksi melalui cara apapun, salah satunya dengan mempekerjakan anak di bawah
umur. Meskipun larangan mempekerjakan anak di bawah umur sudah diatur, ini masuk
ke dalam etika bisnis dan etika bisnis tidak diatur oleh hukum, sehingga sangat mungkin
sebuah perusahaan melanggar etika karena tidak ada hukum yang mengikat. Bagi
konsumen di negara berkembang sendiri, harga masih menjadi tolak ukur utama
konsumen dalam memilih untuk membeli sebuah barang. Konsumen peduli dengan
pentingnya tanggung jawab perusahaan, namun mereka masih memandang harga sebagai
elemen yang paling penting. Ketika perusahaan banyak mempekerjakan anak di bawah
umur, mereka memiliki hak untuk membayar anak-anak di bawah umur ini dengan upah
yang murah, karena anak-anak tidak memiliki pengalaman yang cukup sehingga faktor
ini kemudian “dilegalisasi” perusahaan. Efeknya adalah, dengan melakukan efisiensi
dalam biaya produksi, otomatis harga untuk sebuah barang yang diproduksi akan makin
murah. Ketika harga ini murah, maka akan banyak konsumen yang membeli, dan siklus
ini terjadi berulang.
Dari sisi anak-anak sendiri, ketika sekelompok anak-anak sudah merasakan
nikmatnya bekerja karena bekerja dapat menghasilkan uang, anak-anak akan merasakan
sebuah zona nyaman sehingga tidak ada keinginan dari mereka untuk berkembang
misalnya dengan bersekolah. Saat ini sudah banyak sekolah-sekolah gratis dan program
Corporate Social Responsibility (CSR) bidang sarana prasarana pendidikan dari
perusahaan sudah semakin marak, sehingga tidak ada alasan bagi anak-anak untuk tidak
dapat mengenyam pendidikan. Program kemahasiswaan yang berkaitan dengan mengajar
gratis juga sudah mulai banyak sehingga dengan hal ini diharapkan wajib belajar 9 tahun
dapat dirasakan semua anak-anak terutama mereka yang kurang mampu, tetapi semua ini

5
akan sia-sia apabila cara berpikir anak-anak dan orang tua masih dalam “zona nyaman”
tersebut. Fasilitas yang disediakan ini kemudian tidak dapat berfungsi dengan semestinya
dan dengan maksimal.

III. KESIMPULAN DAN SARAN


Kasus mempekerjakan anak-anak di bawah umur sebagai pekerja buruh
merupakan sebuah kasus yang sangat kompleks karena permasalahan ini tidak bisa
dilihat dari satu pihak saja. Semua pihak memiliki andil dalam munculnya kasus ini, baik
itu perusahaan, orang tua maupun anak-anak itu sendiri. Perusahaan sebagai entitas
bisnis memiliki kecenderungan untuk meningkatkan profit sebagai tujuan satu-satunya
sehingga terkadang mereka melupakan sisi etis dari bisnis itu sendiri. Orang tua yang
seharusnya dapat menanamkan nilai-nilai budaya, apabila hidup di dalam sebuah
lingkungan yang kurang kondusif maka akan mengakibatkan pergeseran nilai budaya itu
sendiri di dalam keluarga mereka. Kondisi di tetangga, kebutuhan akan dihargai orang
lain melalui image, membuat orang tua melupakan hakekat yang sebenarnya dari anak-
anak itu sendiri, dimana anak-anak yakni laki-laki dan perempuan di bawah usia 18
tahun memiliki hak untuk bermain dan mendapatkan pendidikan yang layak. Himpitan
ekonomi juga menjadi faktor yang sangat mempengaruhi pemikiran orang tua untuk
mempekerjakan anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Bagi anak-anak sendiri,
kenyamanan mereka pada zona bekerja ini telah membatasi potensi mereka, membatasi
kewajiban dan hak mereka sebagai anak yang seharusnya bermain dan mengenyam
pendidikan. Banyaknya fasilitas pendidikan dan akses yang semakin mudah di beberapa
daerah, seharusnya sudah tidak lagi menjadi hambatan bagi mereka untuk menjadikan
faktor ekonomi sebagai alasan utama mereka untuk tidak bersekolah.
Saat ini sudah banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
memperjuangkan hak anak salah satunya dengan tidak menyetujui adanya pekerja anak
di bawah umur. Banyak juga komunitas yang mulai melakukan pendekatan dengan anak-
anak kemudian mencoba menyampaikan beberapa ilmu mereka kepada anak-anak
tersebut. Beberapa solusi ini cukup efektif untuk mengurangi ekploitasi anak dalam hal
mempekerjakan anak-anak di bawah umur ini. Meski begitu, sebuah nilai budaya tidak
bisa ditanamkan hanya satu atau dua kali pertemuan saja. Budaya yang tertanam pada
diri manusia merupakan sebuah konstruksi diri kita dan faktor lingkungan menjadi
sebuah faktor utama yang memiliki pengaruh sangat besar. Beberapa solusi lain yang
bisa dilakukan agar kasus ini tidak menyebar semakin banyak adalah dengan

6
mengangkat kasus ini ke media atau dengan memberikan “pelajaran” bagi orang tua dan
anak yang masih menjalankan pekerjaan ini, misalnya dengan melibatkan pemerintah
sebagai stakeholder yang memiliki kapasitas dan wewenang paling tinggi di negara ini.
Budaya malu yang harus mulai ditanamkan kepada masyarakat miskin yang memilih
jalan ini agar mereka sadar bahwa mempekerjakan anak merupakan sebuah hal yang
melanggar hak-hak anak, salah satunya dengan memberi “pelajaran” tersebut. Dalam hal
ini tentu saja pemerintah harus melalukan tindakan pro-aktif dengan melibatkan
pemerintah daerah serta LSM setempat. Solusi lain dan ini tidak kalah penting adalah
pentingnya kesadaran konsumen atas hal ini. Masyarakat menengah keatas sebagai
konsumen dapat mencoba melakukan sebuah gerakan untuk mengurangi beberapa kasus
eksploitasi. Masyarakat sebagai konsumen diharapkan dapat memilih dalam hal
penggunaan produk yang baik, dimana perusahaan tersebut melakukan tindakan etis di
dalamnya, dan juga konsumen berhak untuk melakukan tindakan pro aktif sebagai
pemantau perusahaan dalam melakukan proses produksi, karena di negara maju di
Amerika dan Eropa, konsumen memiliki peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan
CSR perusahaan, dimana konsumen tidak mau membeli produk yang mempekerjakan
buruh anak, tidak ramah lingkungan, dsb. Apabila konsumen dapat memiliki kesadaran
ini, maka perusahaan juga akan berpikir dua kali untuk melakukan pelanggaran-
pelanggaran tersebut, dan perusahaan juga akan berpikir untuk melakukan CSR tidak
hanya eksternak tetapi juga internal dengan cara memberlakukan tindakan-tindakan etis
di dalam perusahaan.

IV. DAFTAR PUSTAKA


 Soetomo (2013), Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
 Badan Pusat Statistik (BPS) (2010), Pekerja Anak di Indonesia 2009. Jakarta :
Badan Pusat Statistik
 Rahman, Astriani (2012), Eksploitasi Orang Tua Terhadap Anak Dengan
Mempekerjakan Sebagai Buruh. Jakarta : Universitas Gunadarma

Anda mungkin juga menyukai