Demam Berdarah Dengeu (DBD) adalah penyakit yang berasal dari gigitan salah satu
jenis nyamuk. DBD bisa disembuhkan dan para ilmuwan sudah mulai menemukan
beberapa alternatif.
Tetapi setelah sembuh dari DBD, bagi sebagian anak-anak akan mengalami komplikasi
infeksi dengue yang paling serius dan juga mengancam nyawa, yaitu mengalami
sindrom syok dengue (DSS).
Dengue shock syndrome (DSS) atau sindrom syok dengue adalah sindrom disebabkan
virus dengue yang cenderung mempengaruhi anak-anak di bawah 10 tahun dan bisa
menyebabkan kematian.
Gejala DSS
Dilansir Dengue Virus Net, pada kasus DBD yang parah, setelah tanda dan semua
gejala demam mereda, kondisi pasien mungkin tiba-tiba memburuk setelah beberapa
hari demam; suhu turun, diikuti oleh tanda-tanda kegagalan peredaran darah, dan
pasien dapat dengan cepat mengalami kondisi syok kritis.
Dengue Shock Syndrome (DSS) ditandai dengan perdarahan yang mungkin muncul
sebagai bintik-bintik kecil darah pada kulit (petechiae) dan bercak darah lebih besar di
bawah kulit (ekimosis).
Selain itu, cedera ringan pada penderita dapat menyebabkan perdarahan. Syok kritis
pada penderita juga dapat menyebabkan kematian dalam 12 hingga 24 jam.
Menurut penelitian yang diterbitkan oleh PLOS Neglected Tropical Diseases, jumlah
trombosit harian pada anak-anak pada tahap awal demam berdarah dapat memprediksi
mereka yang paling berisiko terkena DSS.
Dalam penelitian ini, Phung Khanh Lam, dari Unit Penelitian Klinis Universitas Oxford,
Vietnam, dan rekannya mengikuti 2.301 anak berusia 5 hingga 15 tahun yang dirawat di
Rumah Sakit Penyakit Tropis di Kota Ho Chi Minh karena diduga menderita demam
berdarah antara 2001 dan 2009.
Para peneliti mengamati tanda-tanda vital, gejala, dan informasi ujian fisik dalam empat
hari pertama timbulnya gejala sindrom ini. Para peneliti menganalisis faktor-faktor mana
yang dikaitkan dengan risiko lebih besar terkena DSS.
Di antara anak-anak dalam penelitian ini, 143 (6 persen) berkembang menjadi DSS.
Faktor-faktor risiko muncul pada saat anak-anak mulai masuk rumah sakit. Hal ini
semakin berkembang menjadi DSS yang ditandai dengan muntah, suhu tubuh lebih
tinggi, hati terasa tertusuk, dan jumlah trombosit lebih rendah.
Selain itu, jumlah trombosit setiap hari, serta perubahan jumlah trombosit dari waktu ke
waktu, membantu membedakan pasien yang terkena DSS. Namun, model yang dibuat
berdasarkan hasil ini hanya memiliki nilai prediksi sedang dalam mengidentifikasi
semua pasien yang mendapatkan DSS.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan faktor-faktor lain yang dapat
diintegrasikan ke dalam model prediksi sehingga lebih berguna secara klinis.
https://amp-tirto-id.cdn.ampproject.org/v/s/amp.tirto.id/sindrom-syok-dengeu-bisa-terjadi-pada-anak-
anak-usai-dbd-
dfiw?amp_js_v=a2&_gsa=1&usqp=mq331AQCKAE%3D#aoh=15786192403011&referrer=https%3A
%2F%2Fwww.google.com&_tf=From%20%251%24s&share=https%3A%2F%2Ftirto.id%2Fsindro
m-syok-dengeu-bisa-terjadi-pada-anak-anak-usai-dbd-dfiw
PATHOFISIOLOGI
Patofisiologi yang terutama pada Dengue Shock Syndrom ialah tejadinya peninggian
permeabilitas dinding pembuluh darah yang mendadak dengan akibat terjadinya
perembesan plasma dan elekrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan masuk
kedalam ruang interstitial, sehingga menyebabkan hipotensi, hemokonsentrasi,
hipoproteinemia dan efusi cairan ke rongga serosa.
Pada penderita dengan renjatan berat maka volume plasma dapat berkurang sampai
kurang lebih 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan hipovolemi ini bila
tidak segera diatasi maka dapat mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis metabolik,
sehingga terjadi pergeseran ion kalium intraseluler ke ekstraseluler. Mekanisme ini
diikuti pula dengan penurunan kontraksi otot jantung dan venous pooling, sehingga
lebi lanjut akan memperberat renjatan.
Sebab lain kematian penderita DSS ialah perdarahan hebat saluran pencernaan yang
biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak diatasi adekuat.
Terjadinya perdarahan ini disebabkan oleh :
1. Trombositopenia hebat, dimana trombosit mulai menurun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada masa renjatan.
2. Gangguan fungsi trombosit
3. Kelainan system koagulasi, masa tromboplastin partial, masa protrombin
memanjang sedangkan sebagian besar penderita didapatkan masa thrombin
norma. Beberapa factor pembekuan menurun, termasuk factor II, V, VII, IX, X dan
fibrinogen.
4. Pembekuan intravaskuler yang meluas (Disseminated Intravascular Coagulation
DIC).
MANIFESTASI KLINIK
1. Fase pertama adalah fase demam ditandai dengan dehidrasi, demam tinggi yang
dapat menyebabkan gangguan neurologis .
2. Fase kritis ditandai dengan shock dari kebocoran plasma, perdarahan pasif,
gangguan fungsi organ
3. Fase recovery ditandai dengan perbaikan klinis pasien namun dapat juga terjadi
hypervolemia
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Demam, atau sejarah demam akut, yang berlangsung selama 2-7 hari, kadang
bifasik.
Kecenderungan manifestasi perdarahan, adanya salah satu dari hal berikut:
o Tourniquet test positif
o Petechiae, ecchymosis atau purpura
o Perdarahan dari mukosa, perdarahan gastrointestinal, injeksi perdarahan atau
tempat lain.
o Hematemesis melena
Trombositopenia (<100.000 /mm3 )
Bukti terjadinya kebocoran plasma, dengan manifestasi salah satu:
o Hematocrit yang meningkat lebih dari 20% diatas nilai normal yang disesuaikan
umur, jenis kelamin dan poplasi.
o Turunnya hematokrit setelah terapi pengganti volume yang lebih dari 20%
baseline.
o Tanda-tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites, dan
hipoproteinemia.
Dua kriteria klinis pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi, serta
dikonfirmasi secara uji serologik hemaglutinasi.
Kriteria DHF harus ada ditambah bukti kegagalan sirkulasi yang dimanifestasi
dengan:
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
Darah rutin :
o hemoconsentrasi yang ditandai dengan ht meningkat dan trombositpoenia
o pada Diff Count terdapat peningkatan blue limfosit > 15%
Protrombine time, PTT, APTT
LFT: SGOT/SGPT, serum protein
serologi : IgM dan IgG dengue
virologi : cultur, PCR, MAC-ELLISA
waktu pengambilan uji serologi : pada waktu masuk (S1) atau fase akut, 2-3 hari
sebelum dipulangkan atau bila pasien meninggal fase convalesence (S2), dan fase
convalecence lanjut pada waktu pemulangan pasien (S3). Pengambilan serum
dengan interval tersebut diharapkan menggambarkan perubahan serologi
imunologi.
Rongen :
USG à efusi pleura, acites, penebelan vesica velea dan vesica urinaria.
DIAGNOSIS BANDING
Pada fase demam awal sulit dibedakan dengan infeksi lain baik bakterial, viral dan
parasit. Demam chikungunya sangat sulit dibedakan dengan klinis demam dengue dan
fase awal DHF. Tanda-tnda shock sudah menghilangkan kemungkinan demam
chikungunya. Ditemukannya trombositopenia bersamaan dengan hematokrit yang
meningkat membedakan DedSS dengan shock oleh karena endotoksin seperti infeksi
bakterial.
PENATALAKSANAAN
Tata laksana kasus DBD dibagi menjadi 4 bagian yang terlampir, yaitu tersangka
DBD, Demam Dengue, DBD derajat I dan II, dan DBD derajat III dan IV.
Pada dasarnya bersifat suportif dengan menekankan pada terapi cairan tubuh dan
simptomatik. Terapi cairan yng adekuat membuktikan memiliki prognosis yang lebih
baik. Rehidrasi oral dengan oralit atau sari buah lebih baik dari pada dengan air biasa.
Medikamentosa :
Suportif
tanda-tanda dehidrasi:
o takikardia
o CRT > 2 detik
o Kulit yang pucat, dingin dan lembab
o Tekanan nadi melemah
o Penurunan kesadaran
o Oliguria
o Peningkatan hematokrit
o Hipotensi/
Pemantauan
Pada DBD ensefalopati dapat terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok
teratasi, cairan diaganti dengan cairan yag tidak mengandung HCO3– dan jumlah
cairan segera dikurangi. Larutan ringer laktat segera ditukar dengan larutan NaCl
(0,9%) : glukosa 5% = 3:1.
KOMPLIKASI
PENCEGAHAN
Pengembangan vaksin untuk dengue sangat sulit karena keempat jenis serotipe virus
bisa mengakibatkan penyakit. Perlindungan terhadap satu atau dua jenis serotipe
ternyata meningkatkan resiko terjadinya penyakit yang serius.
Saat ini sedang dicoba dikembangkan vaksin terhadap keempat serotipe sekaligus.
sampai sekarang satu-satunya usaha pencegahan atau pengendalian dengue dan dhf
adalah dengan memerangi nyamuk yang mengakibatkan penularan. a. aegypti
berkembang biak terutama di tempat-tempat buatan manusia, seperti wadah plastik,
ban mobil bekas dan tempat-tempat lain yang menampung air hujan. nyamuk ini
menggigit pada siang hari, beristirahat di dalam rumah dan meletakkan telurnya pada
tempat-tempat air bersih tergenang.
Pencegahan dilakukan dengan langkah 3m :
Di tempat penampungan air seperti bak mandi diberikan insektisida yang membunuh
larva nyamuk seperti abate. Hal ini bisa mencegah perkembangbiakan nyamuk selama
beberapa minggu, tapi pemberiannya harus diulang setiap beberapa waktu tertentu. di
tempat yang sudah terjangkit dhf dilakukan penyemprotan insektisida secara fogging,
tapi efeknya hanya bersifat sesaat dan sangat tergantung pada jenis insektisida yang
dipakai. Di Samping itu partikel obat ini tidak dapat masuk ke dalam rumah tempat
ditemukannya nyamuk dewasa. Untuk perlindungan yang lebih intensif, orang-orang
yang tidur di siang hari sebaiknya menggunakan kelambu, memasang kasa nyamuk di
pintu dan jendela, menggunakan semprotan nyamuk di dalam rumah dan obat-obat
nyamuk yang dioleskan.
https://tridinilestari-wordpress-
com.cdn.ampproject.org/v/s/tridinilestari.wordpress.com/2015/04/24/seputar-dengue-shock-
syndrome/amp/?amp_js_v=a2&_gsa=1&usqp=mq331AQCKAE%3D#aoh=15786194252171&referrer
=https%3A%2F%2Fwww.google.com&_tf=From%20%251%24s&share=https%3A%2F%2Ftridinil
estari.wordpress.com%2F2015%2F04%2F24%2Fseputar-dengue-shock-syndrome%2F