Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembentukan Perilaku

Banyak teori tentang determinan perilaku yang didasarkan pada asumsi

yang dibangun, dalam penelitian ini teori yang dijadikan acuan tersebut adalah

teori Lawrence Green. Menurut teori Lawrance Green dan kawan-kawannya

(2005) menganalisis penyebab masalah kesehatan. Teori ini menyatakan

bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor

perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior causes).

Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu:

1. Faktor predisposisi (predisposising factor), adalah faktor yang

mempermudah, mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, norma

sosial, dan unsur lain yang terdapat dalam diri individu maupun

masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan. Upaya untuk mengubah

perilaku dilakukan dengam pemberian informasi atau pesan kesehatan

dalam bentuk penyuluhan. Pada penelitian ini yang termasuk dalam

faktor predisposisi antara lain usia, tingkat pendidikan, pengetahuan dan

sikap.

2. Faktor pemungkin (enabling factor) yang mencakup ketersediaan

sarana dan prasarana, misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah,

dll. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas,

10
11

rumah sakit, poliklinik, posyandu, pos obat desa, dokter dan bidan.

Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan

terwujudnya perilaku kesehatan. Perilaku kesehatan dapat terwujud

dengan memberdayakan masyarakat melalui pengorganisasian atau

pengembangan masyarakat. Pada penelitian ini yang termasuk faktor

pemungkin antara lain transportasi, sosial ekonomi, jarak Puskesmas

dengan rumah.

3. Faktor penguat (reinforcement factor) yaitu faktor yang memperkuat

perubahan perilaku seseorang yang dikarenakan adanya sikap suami,

orang tua, tokoh masyarakat atau petugas kesehatan. Faktor penguat

dalam pendidikan kesehatan berupa pelatihan-pelatihan kepada tokoh

masyarakat maupun tokoh agama baik formal ataupun informal. Pada

penelitian ini yang termasuk faktor penguat antara lain dukungan

keluarga, peran kader, dukungan sosial dan dukungan tokoh masyarakat.

B. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kemauan Pemeriksaan BTA

1. Usia

Menurut Hurlock (2001) semakin cukup umur, tingkat kematangan

dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja.

Dengan umur yang matang masyarakat mampu berfikir atau mencari

informasi tentang kesehatan. Kriteria umur menurut Hurlock (2001):

a. Dewasa Awal : 18-40 tahun


12

b. Dewasa Madya : 41-60 tahun

c. Dewasa Lanjut : >60 tahun

2. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan adalah suatu proses jangka panjang yang

menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir, yang mana tenaga

kerja managerial mempelajari pengetahuan konseptual dan teoritis untuk

tujuan-tujuan umum. Tingkat pendidikan dibagi menjadi dua:

a. Pendidikan rendah : SD-SMP

b. Pendidikan tinggi : SMA-Perguruan tinggi (Basrowi, 2010 dan

Sriyono, 2015)

3. Pengetahuan

a. Pengertian

Martin dan Oxman (1988) dalam Kusrini (2009)

mengungkapkan bahwa pengetahuan merupakan kemampuan untuk

membentuk model mental yang menggambarkan obyek dengan tepat

dan mempresentasikannya dalam aksi yang dilakukan terhadap suatu

obyek.Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

orang melakukan pengindraan suatu kejadian tertentu. Pengindraan

terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan umumnya

datang dari penglaman, juga bisa didapat dari informasi yang


13

disampaikan oleh guru, orangtua, buku, dan surat kabar. Pengetahuan

atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

Ketidak mengertian masyrakat mengenai pentingnya

pemeriksaan screening TB Paru berdampak terhadap pada masyarakat

tidak memeriksaani screening TB Paru pada petugas kesehatan.

b. Klasifikasi

Budiman (2013) menjelaskan bahwa jenis pengetahuan di

antaranya sebagai berikut:

1) Pengetahuan Implisit

Merupakan pengetahuan yang masih tertanam dalam bentuk

pengalaman seseorang dan berisi faktor-faktor yang tidak bersifat

nyata, seperti keyakinan pribadi, perspektif dan prinsip.

2) Pengetahuan Eksplisit

Pengetahuan yang telah disimpan dalam wujud nyata, bisa dalam

wujud perilaku kesehatan.

c. Tingkat Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif

Notoatmodjo (2012) menjelaskan bahwa pengetahuan yang

tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya.Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini


14

adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari

seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

2) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat

menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

3) Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

4) Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam

satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan

atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk

keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu

kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-

formulasi yang ada.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau


15

objek.Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang

ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah

ada.

d. Cara Mengukur Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan memberikan

seperangkat alat tes/kuesioner tentang objek pengetahuan yang mau

diukur, selanjutnya dilakukan penilaian dimana setiap jawaban benar

dari masing-masing pertanyaan diberi nilai 1 dan jika salah diberi nilai

0. Penilaian dilakukan dengan cara membandingkan jumlah skor

jawaban dengan skor yang diharapkan (tertinggi) kemudian dikalikan

100% dan hasilnya berupa persentase dengan rumus yang digunakan

sebagai berikut: P= (SP/SM) x 100%


Keterangan :

P : Prosentase

SP : Skor yang didapat

SM : Skor maksimal yang diharapkan

Menurut saifudin (2009) pengetahuan dapat diinterprestasikan

dengan cara mengambil nilai rata-rata dari seluruh jumlah nilai

responden, kemudian diinterprestasikan dengan skala:

a. Baik : > dari nilai rata-rata

b. Kurang : < dari nilai rata-rata


16

4. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari

seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmojo, 2010). Adanya

sikap lebih baik tentang antenatal care ini mencerminkan kepedulian ibu

hamil terhadap kesehatan dirinya dan janin.

a. Pengukuran sikap

Sampai sekarang sudah lebih dari 500 macam metode

pengukuran sikap yang muncul (Azwar, 2008). Berikut ini adalah

uraian mengenai beberapa diantara banyak metode pengungkapan

sikap yang secara historik telah dilakukan antara lain:

1. Observasi perilaku untuk mengetahui sikap seseorang terhadap

sesuatu kita dapat memperlihatkan perilakunya, sebab perilaku

merupakan salah satu indikator sikap individu. Sayangnya

perilaku ternyata menjadi indikator yang baik bagi sikap hanya

apabila sikap berada pada posisi ekstrim.

2. Menyatakan langsung asumsi yang mendasari metode penanyaan

langsung guna pengungkapan sikap pertama adalah asumsi

bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai

dirinya sendiri dan kedua adalah asumsi keterusterangan bahwa

manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang

dirasakannya. Oleh karena itu dalam metode ini jawaban yang


17

diberdakan oleh mereka yang ditanyai menjadi indikator sikap

mereka.

3. Pengungkapan langsung suatu versi metode penanyaan langsung

adalah pengungkapan langsung secara tertulis yang dapat

dilakukan dengan menggunakan item tunggal maupun dengan

menggunakan item ganda. Responden diminta menjawab

langsung suatu pertanyaan sikap tertulis dengan memberi tanda

setuju atau tidak setuju.

4. Skala sikap berupa kumpulan pertanyaan mengenai suatu objek

sikap. Dari responden subjek pada pertanyaan setiap pertanyaan

itu kemudian dapat disimpulkan mengenai arah dan intensitas

seseorang.

Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat,

dan persepsi seseorang atau kelompok orang tentang fenomena

sosial. Skala sikap berisi pernyataan-pernyataan sikap, yaitu

suatu pernyataan mengenai objek sikap, misalnya bila

bermaksud mengungkapkan sikap sekelmpok orang terhadap isu

renovasi pasar merupakan pernyataan sikap, sedangkan renovasi

pasar sendiri merupakan objek sikap (umar, 2000). Pernyataan

sikap terdiri dari 2 macam yaitu favorable (mengandung atau

memihak pada objek sikap) dan pernyataan yang unfavorable

(tidak mengandung objek sikap) yaitu:


18

Ss: sangat setuju

S : setuju

R : ragu-ragu

Td: sangat tidak setuju

Kemudian hasilnya dapat disimpulkan berdasarkan kriteria

sebagai berikut :

Mendukung : jika skor > 50

Tidak mendukung : jika skor ≤ 50

5. Sosial Ekonomi

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti

berkenan dengan masyarakat (KBBI, 2002). Santrock (2007) mengatakan

bahwa status ekonomi sebagai pengelompokkan orang-orang berdasarkan

kesamaan karakteristik pekerjaan dan pendidikan ekonomi.

Untuk mengukur kondisi riil sosial ekonomi seseorang atau

kelompok rumah tangga, dapat dilihat dari kebutuhan hidup manusia

secara menyuluruh. Ketentuan sosial ekonomi, dinilai berdasarkan UMR

kota sidoarjo pada PERGUB Jawa Timur no. 75 tahun 2017 :

a. Pendapatan tinggi, yaitu > dari UMR (Rp. 3.500.000,-)

b. Pendapatan rendah, yaitu ≤ UMR (Rp. 3.500.000,-)

6. Jarak Rumah dengan Layanan Kesehatan

Jarak yang dimaksud adalah ukuran jauh antara rumah tempat

tinggal penderita TB Pru dengan puskesmas Buduran. Menurut


19

Notoatmodjo (2010) bahwa faktor lingkungan fisik/ letak geografis

berpengaruh terhadap perilaku seseorang/ masyarakat terhadap kesehatan.

Keluarga terdekat penderita TB Paru tidak datang ke Puskesmas

disebabkan karena jauh dengan Puskesmas. Berbagai macam alasan

kenapa faktor ini diteliti yaitu sesuai teori Lawrence W Green (1980)

menyatakan bahwa faktor enabling atau memungkinkan untuk seseorang

berperilaku dilihat dari jarak menuju tempat pelayanan kesehatan.

(Hasanah, 2015). Ketentuan jarak:

a. Jauh ≥ 1 km

b. Dekat ≤ 1 km (Riskesdas, 2007)

7. Dukungan Keluarga

Green (2005) mengemukakan salah satu factor penguat yang

mendukung perilaku memperoleh tindakan kesehatan atau tidak adalah

keluarga. Ditegaskan lagi oleh Friedman (2010), dukungan yang diberikan

dapat berupa dukungan emosional, dukungan penghargaan, informasional

dan instrumental yang mampu mempengaruhi minat seseorang dalam

berperilaku. Ketentuan dukungan keluarga:

a. Ada keluarga (suami, saudara 1 rumah) yang mendukung

b. Tidak ada keluarga yang mendukung (Yuryanti, 2010)

8. Peran Kader

Kader kesehatan adalah anggota masyarakat yang dipercaya untuk

menjadi pengelola upaya kesehatan masyarakat. Upaya untuk menemukan


20

kasus TB Paru di masyarakat dalam rangka meningkatkan kesehatan

masyarakat termasuk salah satu peran kader yang perlu diperkuat, salah

satunya melalui edukasi kepada kader (Notoatmodjo, 2010). Tugas-tugas

kader meliputi pelayanan kesehatan dan pembangunan masyarakat, tetapi

yang harus mereka lakukan itu terbatas pada bidang-bidang atau tugas-

tugas yang pernah diajarkan pada mereka. Mereka harus benar-benar

menyadari tentang keterbatasan yang mereka miliki. Ketentuan peran

kader:

a. Ada kader yang memberikan himbauan

b. Tidak ada kader yang memberikan himbauan (Hasanah, 2015)

9. Dukungan Tokoh Masyarakat

Keberhasilan dalam penemuan TB Paru perlu terjalin kerjasama

dengan mitra. Mitra TB adalah setiap orang atau kelompok yang memiliki

kepedulian, kemauan dukungan serta kontribusi pada pengendalian TB

Paru. Kebijakan sosial sangat dibutuhkan untuk menurunkan insidensi TB

Paru (Rasanathan et, al., 2011). Menurut Kemenkes RI 2011, program

pengendalian TB membutuhkan peran aktif kader kesehatan, tokoh

masyrakat dan penderita TB itu sendiri. Ketentuan dukungan Tokoh

Masyarakat:

a. Ada tokoh masyarakat yang mendukung

b. Tidak ada tokoh masyarakat yang mendukung (Yuryanti, 2010)


21

10. Sarana dan Prasana

Pengertian Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau

tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan

kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitasi yang

dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya terdiri

atas:

a. Pelayanan perseorangan; dan

b. Pelayanan kesehatan masyarakat

Fasilitas pelayanan kesehatan tersebut meliputi:

a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama; yang dimaskud dengan

pelayanan tingkat pertama adalah pelayanan kesehatan yang diberikan

oleh fasilitas pelayanan kesehatan dasar.

b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua; yang dimaksud dengan pelayanan

kesehatan tingkat kedua adalah pelayanan kesehatan yang diberikan

oleh fasilitas pelayanan kesehatan spesialistik.

c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga; yang dimaksud dengan pelayanan

kesehatan tingkat kedua adalah pelayanan kesehatan yang diberikan

oleh fasilitas pelayanan kesehatan sub spesialistik.

Ketentuan sarana dan prasana:

a. Sarana dan prasarana cukup untuk memberikan pelayanan kesehatan

pemeriksaan kehamilan.
22

b. Sarana dan prasarana kurang untuk memberikan pelayanan kesehatan

pemeriksaan kehamilan (Sarafino, 2012)

C. Tuberkulosis Paru

1. Pengertian

TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis, yang paling umum mempengaruhi paru-

paru.Penyakit ini ditularkan dari orang ke orang melalui cairan dari

tenggorokan dan paru-paru seseorang dengan penyakit pernapasan aktif

(WHO, 2012).Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru

karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis.Tuberkulosis paru

mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis,

sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ekstrapulmonar

(Djojodibroto, 2009).

2. Etiologi

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, kuman

ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam

pada pewarnaan (Basil Tahan Asam). Kuman TB cepat mati dengan sinar

matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat

yang gelap dan lembek. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dorman

selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan dari penderita TB BTA

positif kepada orang yang berada disekitarnya, terutama yang kontak

erat. TBC merupakan penyakit yang sangat infeksius.Seorang penderita


23

TBC dapat menularkan penyakit kepada 10 orang di sekitarnya.Menurut

perkiraan WHO, sepertiga penduduk dunia saat ini telah terinfeksi M.

tuberculosis.Kabar baiknya adalah orang yang terinfeksi M.tuberculosis

tidak selalu menderita penyakit TBC.Dalam hal ini, imunitas tubuh

sangat berperan untuk membatasi infeksi sehingga tidak bermanifestasi

menjadi penyakit TBC (Rafsanjany, 2013).

3. Cara Penularan

Penularan TB terjadi ketika seseorang terinfeksi droplet yang

mengandung kuman TB. Droplet yang mengandung kuman ini dapat

terhisap atau tertelan orang lain. Di dalam tubuh, bakteri mulai

menginfeksi.Orang yang serumah dengan penderita TB BTA positif

adalah orang yang besar kemungkinannya terpapar bakteri tuberkulosis

(Notoadmojo, 2011).

4. Faktor Risiko

Faktor risiko yang menyebabkan penyakit TB Paru adalah sebagai

berikut:

a. Faktor umur

Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia

dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru

adalah kelompok usia produktif yaitu usia 15-50 tahun(Rafsanjany,

2013).
24

b. Jenis kelamin

TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan

dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan

merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru(Rafsanjany,

2013).

c. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap

pengetahuan seseorang, di antaranya mengenai rumah yang

memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TBC sehingga

dengan pengatahuan yang cukup, maka seseorang akan mencoba

untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu, tingkat

pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis pekerjaannya

(Suryo, 2010).

d. Kebiasaan Merokok

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan

meningkatkan risiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit

jantung koroner, bronkitis kronis, dan kanker kandung kemih.

Kebiasaan rokok meningkatkan risiko uintuk terkena TBC sebanyak

2,2 kali (Suryo, 2010).

e. Kepadatan Hunian Kamar Tidur

Persyaratan kesehatan rumah tinggal, yaitu bangunan yang

berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan


25

keluarga yang tertulis dalam keputusan Menteri Kesehatan R.I

dengan No. 820/Menkes/SK/VII/1999 yang menyebutkan bahwa luas

kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2

orang tidur dengan ketinggian langit-langit 2,75-3 m. Kepadatan

penghuni kamar dan luas jendela berpengaruh terhadap timbul dan

menularnya penyakit pneumonia, sekalipun pencahayaan alami juga

berperan penting dalam menekan kejadian penyakit saluran

pernafasan. Persyaratan tersebut berlaku juga terhadap rumah susun,

rumah toko, kondomium, rumah kantor pada zona

pemukiman(Sarudji, 2012).

f. Pencahayaan

Faktor-faktor lingkungan (kepadatan, lantai rumah, ventilasi,

dan lain-lain) merupakan faktor resiko yang berperan terhadap

timbulnya penyakit TB paru, disamping faktor kependudukan (jenis

kelamin, umur, status gizi, sosial ekonomi).Untuk memperoleh

cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum

20% luas lantai.Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang

leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting

karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah,

misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai

jalan masuk cahaya yang cukup(Rafsanjany, 2013).


26

g. Ventilasi Rumah

Konstruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat

kesehatan merupakan faktor risiko sumber penularan beberapa jenis

penyakit, seperti diare, ISPA, malaria, TB Paru, demam berdarah, pes

dan lain-lain. Faktor risiko lingkungan pada bangunan rumah yang

dapat mempengaruhi kejadian penyakit maupun kecelakaan, antara

lain ventilasi, pencahayaan, kepadatan hunian ruang tidur,

kelembabanruang, kualitas udara ruang, binatang penular penyakit,

air bersih, limbah rumah tangga, sampah dan perilaku penghuni

dalam rumah (Anonim, 2013). Hubungan penyakit tuberkulosis paru

dipengaruhi oleh kebersihan udara karena rumah yang terlalu sempit

dan terlalu banyak penghuninya, maka ruangan akan kekurangan

oksigen sehingga akan menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh

sehingga memudahkan terjadinya penyakit (Entjang, 2003). Ventilasi

mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga

agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti

keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah

tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan

kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya

ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan

baik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan

penyerapan. Kelembaban ini merupakan media yang baik untuk


27

pertumbuhan bakteri-bakteri pathogen atau bakteri penyebab

penyakit, misalnya kuman TB (Rafsanjany, 2013). Menurut Kep.

Menkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 bahwa luas penghawaan

atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai

(Kemenkes RI, 1999). Menurut sebuah penelitian yang dilakukan di

Ciampea menghitung resiko terkena TB paru sebesar 5,2 kali pada

penghuni yang memiliki ventilasi buruk dibanding dengan penduduk

yang memiliki ventilasi sesuai dengan persyaratan (Depkes R.I,

2002).

h. Status Gizi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi

kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat

dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih.

Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan

daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit

(Rafsanjany, 2013). Indeks Masa Tubuh (IMT) merupakan alat yang

sederhana yang digunakan untuk memantau status gizi orang

dewasa.Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur

diatas 18 tahun, IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak remaja,

ibu hamil dan olahragawan.Batas ambang IMT ditentukan dengan

merujuk ketentuan FAO/WHO, yang membedakan batas ambang

untuk laki-laki dan perempuan. Disebutkan bahwa batas ambang


28

normal laki-laki adalah: 20,1-25 dan untuk perempuan adalah 18,7-

23,8 (Rismayanthi, 2010).

Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

IMT = Berat badan (Kg)


Tinggi badan2 (m)

i. Keadaan Sosial Ekonomi

Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan,

keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan

kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya

kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga

akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi

buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun

sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru. Jenis pekerjaan

menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu.

Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel

debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan

pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat

meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran

pernafasan dan umumnya TB Paru (Rafsanjany, 2013).


29

5. Patogenesis

a. Tuberkulosis Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan

bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang

pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer

ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan

sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan

saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan

tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus

(limfadenitis regional).Afek primer bersama-sama dengan limfangitis

regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan

mengalami salah satu nasib sebagai berikut :

1) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali

2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas

3) Menyebar dengan cara :

4) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh

adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus,

biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar

sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas

bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan

menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang


30

atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang

atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

5) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun

ke paru sebelahnya atau tertelan.

6) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini

berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.

Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan

tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini

akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis

milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy.

Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat

tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan

sebagainya (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

b. Tuberkulosis Post Primer

Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun

kemudian setelah tuberkulosis primer, biasa nyaterjadi pada usia 15-40

tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam-

macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis,

tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah

yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat

menjadi sumbe rpenularan. Tuberkulosis post primer dimulai dengan

sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior


31

maupun lobus inferior. Sarang pneumoniiniakanmengikutisalahsatu

jalan sebagai berikut :

a) Diresopsikembali dan sembuhtanpameninggalkancacat

b) Sarangtersebutakanmeluas dan

segeraterjadiprosespenyembuhandenganpenyebukanjaringan

fibrosis. Selanjutnyaakanterjadipengapuran dan

akansembuhdalambentukperkapuran.

Sarangtersebutdapatmenjadiaktifkembalidenganmembentukjaringa

nkeju dan menimbulkankavitibilajaringankejudibatukkankeluar.

c) Sarangpneumonimeluas, membentukjaringankeju

(jaringankaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya

jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian

dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut

akan menjadi:

d) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang

pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang di atas.

e) Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut

tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh,

tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti

lagi.

f) Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau

kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya


32

mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus

dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped)

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

6. Klasifikasi

Dalam Klasifikasi TB Paru ada beberapa pegangan yang

prinsipnya hampir bersamaan.PDPI membuat klasifikasi berdasarkan

gejala klinis, radiologis dan hasil pemeriksaan bakteriologis dan riwayat

pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini dipakai untuk menetapkan

strategi pengobatan dan penanganan pemberantasan TB (WHO, 2009):

a. TB Paru BTA positif yaitu:

1) Dengan atau tanpa gejala klinis

2) BTA positif mikroskopis (+), mikroskopis (+), biakan (+),

mikroskopis (+), radiologis (+)

3) Gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru.

b. TB Paru (kasus baru) BTA negatif yaitu:

1) Gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru

aktif.

2) Bakteriologis (sputum BTA): negatif, jika belum ada hasil tulis

belum diperiksa.

3) Mikroskopis (-), biakan, klinis dan radiologis (+).


33

c. TB Paru kasus kambuh:

Riwayat pengobatan OAT yang adekuat, gejala klinis dan

gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru aktif tetapi belum ada

hasil uji resistensi.

d. TB Paru kasus gagal pengobatan :

a) Gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru

aktif,

b) Pemeriksaan mikroskopis (+) walau sudah mendapat OAT, tetapi

belum ada hasil uji resistensi.

e. TB Paru kasus putus berobat: Pada pasien paru yang lalai berobat.

f. TB Paru kasus kronik yaitu:Pemeriksaan mikroskopis (+), dilakukan

uji resistensi.

7. Manifestasi Klinis

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3

minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu

dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu

makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari

tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. (DepKes,

2007).
34

8. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Bakteriologik

a) Bahan pemeriksaan

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman

tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam

menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini

dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,

bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar

(broncoalveolar lavage/BAL), urin, feces, dan jaringan biopsi

(termasuk biopsi jarum halus/BJH)

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):

 Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

 Pagi (keesokan harinya)

 Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)

 Atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.

c. Bahan pemeriksaan / spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan

atau ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm

atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor.

Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada

gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.


35

d. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di

gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat

ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.

e. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika dalam gelas objek

dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke

laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identiti pasien yang sesuai

dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi

fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik / tempat pelayanan pasien,

spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.

f. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:

 Kertas saring dengan ukuran 10x10 cm, dilipat empat agar terlihat

bagian tengahnya

 Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan dibagian

tengah dari kertas saring sebanyak ± 1 ml

 Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi

pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak

 Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar ditempat

yang aman, misal didalam dus

 Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam

kantong plastik kecil


36

 Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan

melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan

lidi

 Diatas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal

pengambilan dahak

 Dimasukkan kedalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke

alamat laboratorium

g. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain

Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain

(cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,

kurasan bronkoalveolar / BAL), urin, feces, dan jaringan biopsi,

termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara:

a) Pemeriksaan mikroskopik:

 Mikroskopik biasa : pewarnaan ziehl-Nielsen

 Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin

(khususnya untuk screening)

Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah

bila:

 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif

 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian bila 1

kali positif, 2 kali negatif BTA positif


37

 Bila 3 kali negatif BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala

IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (international uion

againtst Tuberculosis and Lung Disease) :

 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut

negatif

 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah

kuman yang ditemukan

 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +

(1+)

 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)

 Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++

(3+)

b) Pemeriksaan biakan kuman:

Pemeriksaan biakan M. Tuberculosis dengan metode konvensional

ialah dengan cara:

 Egg base media: Lowenstein-jensen (dianjurkan), ogawa kudoh

 Agar base media: middle brook

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis

pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium Tuberculosis dan juga

Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi


38

OTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya

pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun

pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang

timbul.

b. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain

atas indikasi: foto lateral, toplordotik, oblik, CT-Scan. Pada

pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran

bermacam-macam bentuk (multiform).

a) TB Aktif :Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan

posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.

Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak

berawan atau nodular. Bayangan bercak milier. Efusi pleura

unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

b) TB inaktif : Fibrotik, Klasifikasi, Schwarte atau penebalan pleura,

Luluh paru (destroyed Lung):

c) Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru

yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran

radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan

fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau

penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.


39

9. Diagnosis

Untuk yang diduga menderita TB paru, diperiksa 3 spesimen

dahak dalam waktu 2 hari yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).

Berdasarkan panduan program TB, diagnosis TB paru pada orang dewasa

ditegakkan dengan dijumpainya kuman TB (BTA). Sedangkan

pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat

digunakan sebagai penunjang diagnosis sesuai dengan indikasinya dan

tidak dibenarkan dalam mendiagnosis TB jika diagnosis dibuat hanya

berdasarkan pemeriksaan foto toraks (Lo Bue, 2008).

10. Komplikasi

Ardiansyah (2012) membagi komplikasi penyakit TBC itu dalam 2

kategori yaitu:

a. Komplikasi Dini

 Pleuritis

 Efusi Pleura

 Empiema

 Laringitis

 TB usus

b. Komplikasi Lanjut

 Obstruksi Jalan Napas

 Kor Pulmonale
40

 Amiloidosis

 Karsinoma Paru

 Sindrom Gagal Napas

11. Penatalaksanaan

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3

bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri

dari paduan obat utama dan tambahan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

2006).

a. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Obat yang dipakai:

a) Jenis obat lini 1 (utama):

 INH (H)

 Rifampisin (R)

 Pirazinamid (Z)

 Streptomisin (S)

 Etambutol (E)

b) Jenis obat lini 2 (tambahan)

 Kanamisin (Km)

 Amikasin (Am)

 Kuinolon
41

 Obat lain masih dalam penelitian yaitu makroid dan amoksilin +

asam klavulanat

Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain:

 Kapreomisin

 Sikloserino

 PAS (dulu tersedia)

 Derifat rifampisin dan INH

 Thiomides (ethionamide dan prothionamide) (Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia, 2006).

b. Panduan Obat Anti Tuberkulosis

a) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian

Tuberkulosis di Indonesia:

 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Disampig kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan

(HRZE).

 Kategori Anak : 2HRZ/4HR

 Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di

Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin,

Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin, PAS, serta

OAT lini-1, yaitu pirazinaid dan etambutol.


42

b) Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket

berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OA-KDT ini

terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya

disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu

paket untuk satu pasien.

c) Paket Kombipak

Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,

Pirazinamid dan Ethambutol yang dikemas dalam bentuk blister.

Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam

pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT

(Kemenkes R.I., 2012).

Anda mungkin juga menyukai